HAFALAN SHALAT DELISA
DAFTAR ISI
1. SHALAT LEBIH BAI K DARI TIDUR
2. KALU NG SEPARUH HARGA
3. JEMB ATAN KEL EDAI
4. DELISA CINTA UMMI K ARENA ALLAH
5. 26 DESEMBER 2004 ITU!
6. BERITA-BERITA DI TEVE
7. BU RUNG-BURUNG PEMBAWA BUAH
8. HIDA YAH ITU AKH IRNYA DATANG
9. MEREKA SEMUA PERGI!
10. KALU NG YANG INDAH ITU
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
11. PERTEMUAN
12. PULANG KE LHOK NGA
13. HARI-HARI BERLALU CE PAT
14. DELISA CINTA ABI KA RENA ALLAH
15. NEGERI-NEGERI JAUH!
16. IBU KE MBALI!
17. AJ ARK AN KAMI ARTI IKH LAS!
18. AJ ARK AN KAMI ARTI MEMAHAMI!
19. HADIAH HAFALA N SHALAT DELISA
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
1. Shalat lebi h ba ik d ar i t idu r
Adzan shubuh dari meunasah terdengar syahdu.
Bersahutan satu sama lain. Menggentarkan langit-langit
Lhok Nga yang masih gelap. Jangan salah, gelap-gelap
begini kehidupan sudah dimulai. Remaja tanggung sambil
menguap menahan kantuk mengambil wudhu. Anak lelaki
bergegas menjamah sarung dan kopiah. Anak gadis
menjumput lipatan mukena putih dari atas meja. Bapakbapak
membuka pintu rumah menuju meunasah. Ibu-ibu
membimbing anak kecilnya bangun shalat berjamaah.
"Asshalaatu'airummminannaum!"
Delisa menggeliat. Geli. Cut Aisyah nakal menusuk
hidungnya dengan bulu ayam penunjuk batas tadarus.
"Bangun! Bangun pemalas!" Aisyah bertambah jahil
demi melihat wajah polos Delisa. Menarik-narik baju tidur
Delisa yang kebesaran. Yang ditarik malah memukul lemah
tangan Aisyah. Kembali bergelung melanjutkan tidur; tidak
peduli.
"UMMI.... DELISA NGGAK MAU BANGUN!"
Aisyah berteriak kencang-kencang. Mengalahkan suara
adzan dari meunasah. Cut Zahra saudara kembarnya hanya
menyeringai datar dari belakang melihat kelakuan Aisyah.
Zahra baru keluar dari kamar mandi; mukanya basah oleh
wudhu.
"Ais, kamu memangnya nggak bisa bangunin Delisa
nggak pakai teriak-teriak apa?" Cut Fatimah masuk,
langsung melotot dari bawah daun pintu. Fatimah sudah
mengenakan mukena bagian bawah. Tangannya memegang
mukena bagian atas. Muka dan ujung rambutnya juga
basah oleh air wudhu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Yeee, Delisa jangankan digerak-gerakan kencangkencang,
speaker meunasah ditaruh di kupingnya saja, ia
nggak bakal bangun-bangun juga!" Aisyah membela diri.
"Suara kamu tuh juga ngelebihin sepuluh speaker
meunasah, tahu!" Fatimah melotot membesar sambil
melangkah mendekat, duduk di atas ranjang Delisa,
mengambil alih urusan.
Aisyah seperti biasa menyeringai sebal kepada Fatimah,
hidung dan bibir atasnya terangkat. Lucu sekali menatap
Aisyah menyeringai seperti itu. Turun dari atas tempat
tidur, beranjak mendekati Zahra yang berdiri
memperhatikan. Zahra berbalik mengambil mukena tidak
mempedulikan. Ah selalu begini kan setiap pagi? Ribut
membangukan Delisa.
"Delisa bangun, sayang.... Shubuh!" Fatimah, sulung
berumur lima belas tahun membelai lembut pipi Delisa.
Tersenyum berbisik.
"Delisa masih tidur, kak Fatimah...." Delisa men-ceracau
lemah, menggeliat menarik selimutnya.
"Aduh, orang tidur kok masih bisa ngomong:
'Delisa masih tidur, kak Fatimah...1" Fatimah tertawa
menggoda.
"Kak Fatimah ganggu saja.... Delisa masih ngan-tuk!"
Delisa bandel menarik bantal. Ditaruh di atas kepala. Malas
mendengar suara tertawa kak Fatimah.
"Nanti kak Fatimah gelitikin ya! Kalau nggak bangunbangun..."
Jari-jari Fatimah menjulur mengancam.
"Ya kak.... Gelitikin aja, kak!" Aisyah berseru senang.
Menyemangati. Kembali loncat ke atas ranjang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Delisa tak mendengarkan. Juga tak melihat jari-jari yang
mengancam itu (terutama jari-jari tangan Aisyah; mana
kukunya belum dipotong lagi).
"Benar ya...."
Delisa tetap tak bergeming.
"S-a-t-u, d—u—a, t—i—g—a!" Fatimah sambil
tersenyum mulai menggerayangi perut, ketiak, dan telapak
kaki adiknya. Aisyah merangkak mendekat, ikut
membantu; lebih ganas, tertawa lebih bahak.
"Ampun! Ampun!!" Delisa berteriak melempar bantalbantal.
Badannya bergerak bangun. Tangannya sembarang
menangkis tangan-tangan jahil itu. Fatimah sambil
menahan tawa memegang tangan Aisyah agar
menghentikan gelitikan. Delisa sudah terbangun, sudah
duduk nyengir.
Mata Delisa menatap merah; sayu setengah terpejam.
Mulutnya menguap. Pipinya mengukir ke-pulauan
nusantara. Tangannya mengacak-acak muka.
"Iya Delisa bangun nih!" sebal sekali suara Delisa
terdengar. Ia memandang kakak-kakaknya sirik.
"Kak Fatimah dan kak Aisyah jahat.... Bangunin Delisa
maksa!" gadis berumur enam tahun itu mengalah, beringsut
turun dari ranjangnya.
Fatimah ikut beranjak turun mengambil bantal-bantal
yang jatuh di lantai. Aisyah yang tetap tertawa senang
masih sempat-sempatnya iseng menjawil badan Delisa dari
belakang dengan bulu ayam penunjuk tadarus Ummi.
"Kak Fatimah!" Delisa berseru, tangannya menunjuk
Aisyah, mengadu masygul.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Aisyah hanya tertawa, memasang tampang tak berdosa.
Mengangkat bahu. Aisyah memang lagi senang-senangnya
mengganggu orang lain. Umurnya dua belas tahun, hanya
terpisah 23 menit dari kembarannya Zahra; kelas satu
madrasah tsanawi-yah negeri 1 Lhok Nga. Adiknya Delisa
memang terlalu jauh umurnya, berbeda enam tahun, jadi
kenakalan Aisyah terlalu dominan, tanpa perlawanan;
Delisa selama ini hanya bisa mengadu seperti itu.
"Aisyah jangan ganggu Delisa.... Lagian kamu kenapa
pula belum ambil wudhu?" Fatimah melotot. "Yeee, orang
kamar mandinya di pakai Zahra ini!"
"Itu Zahra sudah selesai dari tadi! Kamu kenapa nggak
dari tadi wudhu!" Fatimah menunjuk Zahra yang sudah
rapi, sempurna memakai mukena putihnya.
Aisyah hanya nyengir; kan tadi masih dipakai.
Ummi masuk dari bingkai pintu sudah mengenakan
mukena putih juga.... "Eh kenapa pada belum siap-siap?"
"Delisa lagi-lagi susah bangun...." Aisyah menjawab
sambil menyeringai, menunjuk Delisa.
"Tapi kamu kenapa pula belum ambil wudhu?" Ummi
bertanya. Pertanyaan yang sama dengan Fatimah. Aisyah
buru-buru kabur ke kamar mandi; kan gak mungkin
jawaban yang sama pula, jelas-jelas Zahra sudah selesai dari
tadi.
Sayangnya ia keduluan oleh adiknya. Ia tiba pas Delisa
menutup pintu kamar mandi. Aisyah seketika memasang
tampang sebal. Lagi-lagi meski ia yang bangun paling pagi;
tetap ia yang paling telat datang ke ruang keluarga tempat
shalat berjamaah.
(Oo-dwkz-oO)
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Lhok Nga menggeliat dalam remang. Cahaya matahari
menyemburat dari balik bukit yang memagari kota. Orangorang
sudah dari tadi kembali dari meunasah. Orang-orang
beranjak mulai mengukir hari. Yang berdagang pergi ke
pasar, membuka toko-toko. Yang bekerja di kantoran
mandi bersiap diri. Yang sekolah menyiapkan buku-buku
dan peralatan lainnya. Tetapi hari ini hari Ahad. Libur.
Lebih banyak yang menyiapkan aktivitas di rumah saja.
Tidak kemana-mana.
Ummi sedang mengaji; mengajari Cut Aisyah dan Cut
Zahra. Fatimah membaca Al Qur'an sendiri.
Tidak lagi diajari Ummu, Ah, kak Fatimah bahkan
setahun terakhir sudah khatam dua kali. Ini jadwal rutin
mereka setiap habis shubuh. Belajar ngaji dengan Ummi,
meskipun juga belajar ngaji TPA dengan ustadz Rahman di
meunasah.
Delisa sedang memegang Jus'amma-nya. Terbata-bata
mengeja alif-patah-a; Ia masih banyak menguap. Terkantukkantuk
menunggu giliran menghadap Ummi. Menyetor
bacaan yang sedang diejanya pelan-pelan.
“Cut Aisyah dan Cut Zahra kenapa pula lama sekali....
Kan sudah mau khatam juga, katanya tinggal dua jus
lagi...." Delisa menguap panjang.
Ah iya, kalau sudah khatam pertama kali, berarti besok
lusa pasti ada syukuran.... Delisa menyeringai senang. Ia
sedikit tersadarkan dari kantuknya. Kalau ada syukuran,
pasti ada uang receh yang dilempar.... Kan lumayan buat
beli manisan di sekolah.... Delisa sama sekali tidak
membaca alif-patah-a lagi; ia sibuk mengkhayal denang
senang.... Menguap lagi....
"Delisa!" Ummi memanggil. Delisa masih sibuk....
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Giliran kamu tuh!" Aisyah menjawil lengannya dengan
bulu ayam penunjuk tadarus. Tak sengaja bagian keras bulu
ayam menusuk lengan Delisa. Delisa meringis menahan
sakit, menyeringai marah. Siap mengadu ke siapa saja.
"Delisa!" panggilan Ummi mengekang pengaduannya.
Aisyah tertawa kecil, senang terselamatkan.
Delisa mendekati Ummi, membuka setorannya shubuh
ini. Ummi menunggu. Delisa membaca taawudz dan
bismillah pelan sambil memperbaiki kerudung birunya.
//"Alif-patah-ya-mati-ai, nun tanwin depan nan....
Ainan...."// Delisa memang masih pemula. Ia baru belajar
mengaji enam bulan terakhir, sejak mulai masuk kelas satu
sekolah ibtidaiyah dekat rumah. Kalau di TPA, ustadz
Rahman mengajar pakai Iqra. Di rumah Ummi mengajar
pakai Jus'amma.
Setorannya lancar. Delisa kan anak yang pandai. Tetapi
baru setengah jalan, Delisa mendadak berhenti, mengangkat
kepalanya.
"Ummi, kenapa ya Delisa selalu susah bangun shubuhshubuh?"
Ia bertanya sambil menguap. Teringat masalah
tadi; juga masalahnya selama ini, susah bangun.
"Yee... kamu nyetor dulu... entar nanyanya!" Aisyah
seperti biasa memotong dari belakang. Aisyah sudah
melipat mukenanya. Juga Zahra. Selesai menghadap
Ummi, berarti selesai pula mengajinya. Hanya Fatimah
yang masih mengaji dengan langgam merdu. Delisa
menoleh Aisyah sebal. Ibu mengabaikan Aisyah.
Tersenyum.
"Karena kamu sering lupa doa sebelum tidur kan?"
"Nggak.... Delisa nggak pernah lupa!" Delisa menjawab
cepat. Ngotot. Ibu tersenyum lagi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Emangnya kamu baca doa apa?" Aisyah nye-letuk dari
belakang.
"Eh... eh...." Delisa gelagapan.
"Ayo, kamu baca doa apa coba!" Aisyah menyeringai
lucu. Hidung dan bibir atasnya terangkat lebih tinggi.
"Ehh... Delisa bilang, b-i-l-a-n-g.... ya Allah, Delisa mau
bobo, dijaga ya.... B-e-g-i-t-u!" Delisa berkata pelan.
Mulutnya terbuka. Malu-malu.
Bahkan Fatimah ikut tertawa.
"Tuh kan, Ummi.... Delisa tuh paling malas disuruh
ngapal doa-doa...." Aisyah merayakan kemenangannya.
"Tapi... Tapi kata ustad Rahman doanya boleh pakai
bahasa Indonesia kok...." Delisa ngotot, melotot kepada
kakaknya. Aisyah hanya nyengir.
"Bisa kan Ummi? Bisa pakai bahasa Indonesia kan?"
Delisa menoleh, mencari dukungan. Ummi hanya
tersenyum. Mengangguk. Delisa bersorak senang.
"Tetapi doanya tetap nggak seperti itu kan, Delisa...." Ibu
menambahkan. "Kamu kan dikasih tahu artinya oleh ustadz
Rahman.... Nah kamu boleh baca seperti artinya itu.... Itu
lebih pas.... Atau kalau Delisa mau lebih afdal lagi, ya pakai
bahasa Arabnya! Entar bangunnya insya Allah nggak susah
lagi.... Ada malaikat yang membangunkan Delisa."
Delisa seperti biasa mengangguk-angguk cepat. Sokpaham.
Sok-mengerti. Mukanya yang lucu, terlihat
menggemaskan. Mukena bagian atasnya sudah agak lepas
ikatan belakang. Membuat rambutnya terlihat separuh.
Lebih lucu lagi memandangnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ummi menunjuk //juz'amma// lagi. Delisa
melanjutkan setorannya sejenak. Baru dua kata lanjut,
Delisa berhenti, mendongakkan kepala lagi.
"Ummi, tadi kak Aisyah baca shalatnya nggak keraskeras....
Delisa kan jadi nggak bisa ngikutin...." Ia teringat
sesuatu. Mengadu.
"Makanya kamu cepetan menghafal bacaannya.... Bikin
repot saja!" Aisyah memotong cepat, membela diri.
"Kak Aisyah cuma bisik-bisik gitu.... Gimana Delisa bisa
ngikutin!" Delisa menatap Ummi, berharap Ummi
memarahi Aisyah.
Sebenarnya Delisa ingin membalas olok-olok Aisyah
tadi.
"Lagian kalau Aisyah keras-keras, emang kamu dengar?
Kamu kan ngantuk sepanjang shalat tadi... //Qunut// aja
dia lupa, Mi! Kita-kita //qunut//, Delisa malah turun mau
sujud." sekarang malah Aisyah yang melapor.
Ummi hanya tersenyum tipis. Setiap shalat, Ummi yang
menjadi imam. Abi mereka bekerja jadi pelaut. Di salah
satu kapal tanker perusahaan minyak asing, Arun. Pulang
tiga bulan sekali. Delisa lagi belajar menghafal bacaan
shalat, nah sejauh ini Aisyah lah yang bertugas setiap shalat
untuk membaca lebih keras di belakang, agar Delisa bisa
meniru. Agar Delisa belajar lebih cepat. Tetapi selama dua
minggu terakhir, Delisa lebih banyak ngadunya, kak Aisyah
bacanya kepelanan.
"Delisa mau sekarang yang berdiri dekat Delisa, kak
Zahra saja! Atau kak Fatimah!" Delisa membujuk
Umminya, meminta perubahan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ya sudah.... Biar Zahra atau kak Fatimah sajalah.
Aisyah juga malas baca bacaan shalat keras-keras. Nggak
khusuk!" Aisyah menyeringai senang (ia sebenarnya senang
terbebaskan dari beban itu). Delisa juga ikut senang
mendengar kalimat Aisyah barusan. Menatap Ummi agar
membuat keputusan.
Ummi menggeleng. Tidak! Ummi memang sengaja
menunjuk Aisyah melakukan pekerjaan itu, agar Aisyah
lebih bertanggung-jawab atas adiknya.
Menggeleng tegas sekali lagi.
Demi melihat gelengan itu Aisyah dan Delisa mengeluh
bersama. Lagi-lagi Ummi menolak. Fatimah tertawa. Zahra
hanya memandang datar, ah, selalu begini, kan? Mereka
berdua saja yang nggak pernah cocok. Satu nggak pernah
merasa suara itu cukup keras, satu lagi nggak pernah
merasa suara itu cukup kedengaran.
Delisa melanjutkan setoran Jus'amma-nya dengan suara
mengkal. Lebih lamban dari sebelumnya.
Sejenak. Lagi-lagi mengangkat kepalanya.
"Satu lagi Ummi.... Kenapa kalau Delisa sudah baca doa
sebelum tidur, Delisa tetap saja ngantuk pas udah
bangunnya... Kata Ummi tadi Delisa pasti bisa bangun
lebih cepat dan nggak ngantuk lagi, kan?" Delisa
memikirkan fakta lainnya. Bertanya sambil menguap lebar.
"Kayak sekarang kan?" Aisyah yang sekarang duduk
membaca buku cerita nyeletuk jahil dari ujung ruang
keluarga. Tetapi tak ada yang memperhatikan Aisyah.
Fatimah sibuk menjelaskan sesuatu ke Zahra. Pelajaran
sekolah.
Ummi tersenyum memandang Delisa, "Itu karena kamu
nggak baca doa bangun tidur kan?" Delisa nyengir.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ah, sudahlah. Ummi nggak percaya deh kalau Delisa
bilang sudah baca. Delisa sungguh baca, kok.... Tapi ya
doanya dalam bahasa Indonesia, teks-nya juga sesuai
dengan versi Delisa sendiri... ya Allah, Delisa sudah
bangun, makasih ya!
(Oo-dwkz-oO)
Hari ini seperti yang dibilang sebelumnya adalah hari
Ahad. Jadi Delisa tidak sekolah. Juga kakak-kakaknya.
Keluarga Abi Usman memang bahagia. Apalagi yang
kurang? Empat anak yang salehah. Kehidupan yang
berkecukupan. Baik bertetangga dan bersahaja. Apa
adanya. Mereka tinggal di komplek perumahan sederhana.
Dekat sekali dengan pantai. Lhok Nga memang tepat di
tubir pantai. Pantai yang indah. Rumah mereka paling
berjarak empat ratus meter dari pantai. Komplek itu seperti
perumahan di seluruh kota Lhok Nga, religius dan
bersahabat.
Ummi sehari-hari bekerja menjahit, membordir dan
apalah pakaian pesanan tetangga. Abi seperti yang dibilang
sebelumnya bekerja di tanker perusahaan minyak. Setiap
tiga bulan baru kembali merapat di pelabuhan Arun.
Kemudian pulang ke Lhok Nga selama dua minggu,
sebelum balik lagi berlayar mengelilingi lautan. Terus saja
begitu sepanjang tahun, kecuali pas ramadhan dan lebaran.
Abi cuti panjang, satu bulan.
Fatimah tipikal anak sulung yang bisa diandalkan.
Umurnya 16 tahun. Meski masih kelas satu madrasah
aliyah, Fatimah bisa menggantikan peran Ummi dengan
baik, juga partner Ummi kalau Abi tidak ada di rumah
seperti sekarang, ikut menjaga adik-adiknya.
Cut Aisyah dan Cut Zahra meski kembar benar-benar
bertabiat bagai bumi-langit. Yang satu jahilnya minta
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ampun, yang satu kalem bin pen-diamnya minta ampun.
Tetapi mereka anak-anak yang baik dan penurut. Anakanak
yang cerdas.
Delisa si bungsu, berwajah paling menggemaskan. Ia
sungguh tidak terlihat seperti anak Lhok Nga lainnya. Beda
sekali dengan kakak-kakaknya. Rambut Delisa ikal
berwarna. Kulitnya putih-kemerah-merahan bersih.
Matanya hijau. Delisa lebih terlihat seperti anak-keturunan.
Meskipun itu tidak aneh, Ummi Delisa memang keturunan
Turki-Spanyol (meskipun itu jauh ke kakek-kakeknya
Delisa). Mungkin salah satu gen itu setelah terpendam
begitu lama akhirnya menurun ke Delisa.
Delisa juga punya hobi beda dengan anak-anak gadis
kecil di komplek perumahan mereka. Ia setiap sore lebih
suka main bola bersama teman-teman lelakinya
dibandingkan dengan kakak-kakak dan teman-teman
ceweknya. Mendingan main bola kan, daripada dijahilin
mulu kak Aisyah ini.
Delisa memang beda. Jadi terlihat amat lucu saat
memandang ia berada di tengah-tengah mereka. Berlari-lari
mengejar bola. Meskipun demikian, Delisa tetap tidak beda
dengan kebanyakan gadis kecil perempuan lainnya untuk
urusan tampang. Amat menggemaskan. Sungguh imut
wajahnya. Apalagi kalau ia sedang nyengir.
Satu lagi bedanya dengan anak-anak lain, Delisa anak
yang banyak bertanya. Meskipun sering bandel, Delisa
memiliki pola pikir yang beda dengan anak-anak seumuran.
Membuat orang dewasa di sekitarnya terkadang mendesah,
"Kok bisa?"
Delisa suka mengamati dan meniru-niru orang dewasa.
Mengingat detail dengan baik. Dan pandai sekali
menghubung-hubungkan sesuatu, entah itu berbagai
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kejadian, atau hanya kalimat-kalimat orang yang
didengarnya. Cara berpikir Delisa amat lateral. Ia berpikir
dengan cara yang berbeda.
//"In-na sha-la-ti, wa-nu-su-ki, wa-ma.... wa-ma.... wama...."//
Delisa kesulitan melanjutkan hafalan bacaan
shalatnya. Matanya terpejam. Tangannya menjawil-jawil
rambut keritingnya. "Wa-ma.... Waaa-, waaa, wa-ma...."
"Waaaa ma-cet nih ye!" Aisyah yang sedang bermain
gundu dengan Zahra tertawa kecil. Menyahut begitu saja.
"Kak Fatimah! Kak Aisyah gangguin lagi tuh!" Delisa
berteriak kencang.
Fatimah melempar Aisyah dengan dua biji jambu hijau.
Mereka berempat sedang duduk di bawah pohon jambu
yang sedang berbuah di sebelah rumah; masih kecil-kecil
sih. Hijau lucu-lucu, banyak yang berjatuhan; mungkin
bekas kelelawar semalam. Aisyah dan Zahra asyik bermain
gundu di atas balai-balai bambu. Fatimah duduk di samping
mereka, membaca buku "Taman orang-orang jatuh cinta
dan memendam rindu!" Delisa sih nggak tahu itu buku
apaan.
Delisa lagi sibuk duduk di ayunan pohon jambu yang
dibuatkan Abi dua bulan lalu pas pulang. Berayun-ayun
pelan, sambil menghafal doa iftitah. Delisa memang lagi
berjuang menghafal bacaan shalat minggu-minggu ini.
Setiap kesempatan yang ada, ia pasti menenteng-nenteng
buku hafalan bacaan shalatnya. Meski terkadang buku itu
hanya sekadar dibawa-bawa saja. Tidak dibaca. Setidaknya
ia kelihatan sibuk menghafal, dan Ummi tidak banyak
menengurnya.
"Kok kak Fatimah marah sih? Kan benar tuh! Waaa macet...."
Aisyah nyengir sebal. Membela diri. Tidak sensitif.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Fatimah melotot. Melempar lagi dua biji buah jambu
(Aisyah tertawa menghindar). Buji jambu itu mengenai
Zahra. Fatimah menyeringai, meneruskan bacaannya.
Delisa yang senang dibela kembali ke hafalannya.
//"In-na sha-la-ti, wa-nu-su-ki, wa-ma.... wa-ma.... wama
ma-ti.... Wa-ma yah-ya..."//
"Yee... salah. Kebalik tuh!" Aisyah nyengir;
mendapatkan bahan baru menggoda adiknya. Bacaan doa
iftitah Delisa tertukar urutannya.
Zahra menepuk lengan Aisyah. "Giliran Aisyah
sekarang!" Aisyah buru-buru melanjutkan permainan.
Delisa juga buru-buru melihat buku bacaan shalat di
tangannya. Eh iya, kebalik. Delisa nyengir menggemaskan.
"Kan nggak mungkin mati dulu, baru yahya.... Makanya
Delisa kalau menghafal ingat artinya! Jangan cuma dihafal"
Aisyah sok-dewasa, sok-paham menasehati.
Bagaimana pula adiknya akan tahu teknik menghafal
seperti itu? Mati berarti mati; yahya berarti hidup. Delisa
mana tahu artinya. Delisa baca arab-nya saja ribet minta
ampun, belum bisa; baru belajar.
Tetapi Delisa diam saja di olok seperti itu. Delisa justeru
sedang berpikir sendiri. Memikirkan olok-olok kak Aisyah
barusan.
Ya... di mana-mana mati pasti terakhir kan?Jadi dia
setelah wama-yahya.... Baru wama-mati. Menutup lagi
buku hafalan shalatnya.
//"In-na sha-la-ti, wa-nu-su-ki, wa-ma.... wa-ma.... wama
ma-yah-ya.... Wa-ma ma-ti..."//
Lancar! Delisa nyengir senang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Makasih ya kak!" Delisa berseru kepada Cut Aisyah.
Giliran Aisyah yang bingung! Terima kasih apanya?
(Oo-dwkz-oO)
Ummi keluar dari dalam rumah. Mengenakan kerudung
warna ungu. Bersiap hendak pergi ke pasar. Pagi Ahad,
jadwal belanja mingguan Ummi seperti biasa.
"Ih, Ummi kenapa pakai warna itu?" Fatimah yang apa
mau dikata meskipun bacaannya kelas berat tetaplah remaja
serba tanggung, segera berkomentar saat melihat warna
kerudung yang dipakai Ummi. Keberatan.
"Nggak pa-pa kan? Kerudung Ummi yang lain lagi kotor!
Yang tersisa tinggal ini...." Ummi memegang ujung
kerudung ungunya. Mematut penampilan sambil menatap
tak mengerti Fatimah.
"Ummi bisa pinjam punya Fatimah, kan! Warna apa
saja. Asal jangan warna yang ini. Sebentar ya, Fatimah
ambilin...." Fatimah buru-buru berdiri. Meletakkan
bukunya di atas balai bambu. Lari masuk ke dalam rumah
tanpa ba-bi-bu.
Ummi menatapnya bingung. Aisyah dan Zahra tak
peduli sibuk bertengkar tentang biji gundu yang entah bisa
menghilang kemana.
//"La-sya-ri-ka-la-hu...."// Delisa terus sibuk menghafal.
Fatimah keluar membawa kerudung berwarna putih.
"Emangnya kenapa, kalau Ummi pakai kerudung warna
ungu?" Ummi bertanya penasaran pada Fatimah sambil
menerima kerudung dari tangan sulungnya.
"Yeee, Ummi masak nggak tahu. Ungu itu warna janda!
Pertanda buruk!" Fatimah menjelaskan serius sekali.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Warna janda? Bahkan Delisa yang sedang menghafal
ikut tertawa. Apalagi Aisyah, langsung tertawa lebar. Ia
juga baru tahu. Ungu warna apa? Warna Janda? Ah, terus
kenapa?
Ummi nyengir. Berpikiran sama dengan Aisyah,
memangnya kenapa kalau warna janda? Tetapi menatap
gurat wajah Fatimah yang amat serius Ummi mengalah. Ya
sudahlah! Fatimah belakangan memang suka
mengomentari penampilan orang lain. Ummi saja sudah
tiga kali terpaksa berganti kostum selama sebulan ini pas
hendak ke pasar. Namanya juga ABG.
"Pemerhati pesyen!" Itu kata Aisyah sok-gaul sok-paham
pakai bahasa Inggris beberapa minggu lalu, sirik ngomel
kepada kak Fatimah yang hobi berkomentar tentang
pakaian teman-teman Aisyah yang bertamu ke rumah.
Ummi keluar lagi dari bingkai pintu, sudah berganti
kerudung. Fatimah tersenyum senang. Mengacungkan
jempol tangan. Kembali ke bacaannya.
"Delisa, kamu kok belum pakai kerudung?" Ummi
menegur Delisa, melangkah mendekat.
"Wa-bi-ja-li-ka.... U., u... Um-mi" Delisa menoleh
bingung ke arah Ummi. Ia menghentikan gerakan ayunan.
"Kamu kan ikut Ummi ke pasar sekarang!"
"Eh.... Nggak ah, Delisa menghafal saja hari ini!" Delisa
menggeleng buru-buru.
"Kamu harus ikut, sayang.... Ummi mau beli itu— i-t-u
tuh!" Ummi membuat bundaran dari jemari telunjuk dan
jempol dua tangannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Lingkaran kalung! Delisa menatap tak mengerti dua
kejap. Tetapi segera berteriak beberapa detik berikutnya.
Meloncat dari ayunan....
"UMMI MAU BELI KALUNG?" Delisa berseru senang.
"Kalung buat Delisa?" Delisa sudah mencengkeram baju
Ummi. Wajahnya yang lucu sungguh menggemaskan.
Rambut ikalnya yang pirang bergerak-gerak. Mata hijaunya
menyala.
Ummi mengangguk.
"Hore! ....Sebentar!" Delisa sudah melesat lari ke dalam
rumah. Meletakkan buku hafalan bacaan shalatnya
sembarangan. Menyambar kerudung kecil di atas meja.
Sambil lari, sambil jalan, Delisa mengenakan kerudung
itu apa-adanya. Belepotan. Ummi melangkah mendekat,
membantu membenahi kerudung biru bungsunya.
"Yeee, belum tentu juga Delisa hafal ini bacaan
shalatnya!" Aisyah nyengir menggoda sambil menjalankan
gundunya.
"Delisa pasti hafal!" Delisa berseru cuek. Tidak
mempedulikan Aisyah yang menyeringai ke arahnya.
"Delisa boleh pilih hadiah kalungnya sendiri kan? Seperti
punya kak Fatimah, punya kak Zahra, atau seperti punya
kak Aisyah kan!"
Ummi mengangguk. Sekarang malah Delisa yang
menyeret tangan Umminya keluar pekarangan rumah.
Semangat!
Mereka akan ke pasar Lhok Nga. Membeli kalung
hadiah hafalan bacaan shalat Delisa (di samping belanjaan
rutin mingguan Ummi lainnya). Kalung yang dijanjikan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ummi sebulan lalu. Kalung yang membuatnya semangat
belajar menghafal bacaan shalat minggu-minggu terakhir.
Kalung yang akan membawanya ke semua lingkaran
mengharukan cerita ini.
(Oo-dwkz-oO)
2. Kalung separuh ha rga
"Haiya, kalau begitu kalungnya separuh harga saja
Ummi Salamah!" Koh Acan tersenyum riang.
Pasar Lhok Nga ramai sekali. Sepanjang jalan tadi,
Delisa kencang memegang baju Ummi. Ia jelas tidak mau
kehilangan jejak kaki Ummi. Itulah yang tadi menjelaskan
kenapa Delisa pertama kali buru-buru menyeringai malas
saat diajak Ummi ke pasar.
Ia pernah tertinggal dari Ummi. Dan sepanjang pagi itu
Delisa berteriak-teriak mencari Ummi di seluruh pasar.
Panik. Takut. Delisa benar-benar takut dengan kata-kata
sendirian. Beruntung ada yang mengenali Delisa. Berbaik
hati mengantarnya pulang. Ummi juga waktu itu panik
sekali. Sempat-sempatnya lapor ke pos polisi pasar. Dicari
kemana-mana, eh tahunya yang di cari sudah makan siang
di rumah. Aisyah menggodanya sepanjang minggu.
Buronan polisi!
"Ah, nggak usah. Biar saya bayar penuh Koh Acan!"
Ummi menggeleng pelan. Tersenyum menolak.
"Tidaklah.... Kalau untuk hadiah hafalan shalat ini,
Ummi Salamah bayar separuh saja, haiya!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Delisa nyengir, menarik-narik baju Ummi, menatap tak
mengerti 'Ummi napa sih, mau dikasih setengah harga gak
mau, kan sayang.' Tetapi Ummi tidak memperhatikannya.
"Buat kamu kan.... Ah iya nama kamu Delisa kan? Anak
yang manis, " Koh Acan mengusap-usap kerudung Delisa.
Delisa tersenyum lucu. Semoga begitu malah gratis.
Mereka memang selalu ke sini kalau membeli perhiasan.
Sedikit di antara toko emas yang ada di Lhok Nga. Tadi
Ummi benar-benar membiarkan Delisa memilih sendiri
kalungnya. Sekarang tinggal membayar. Dan sepertinya
Koh Acan yang dari ujung rambut hingga ujung kaki China
tulen, berbaik hati untuk kesekian kalinya.
"Janganlah Koh. Saya jadi tidak enak hati.... Dulu waktu
Fatimah beli Koh Acan juga hanya mau dibayar separuh,
waktu Zahra dan Aisyah beli juga.... Kali ini biarlah Delisa
bayar penuh...." Ummi mengeluarkan dompet dari tas.
Mengambil uang seharga kalung tersebut.
"Nggak... Haiya, saya nggak mungkinlah pasang harga
mahal kalau buat hadiah hafalan shalat! Nggak
mungkinlah...." Koh Acan memperbaiki dupa di atas meja
pajangnya, tersenyum meyakinkan. Koh Acan 100%
Konghucu.
"Kata Abi Usman dulu, shalat itu kan untuk amm-mar
mak-rup na-khi mhung-khar-" Koh Acan kesulitan mengeja
ujung kalimatnya.
"Saya senang sekali anak-anak kecil belajar shalat.... Itu
berarti Lhok Nga akan jadi lebih baik kan.... Apalagi anakanak
Abi Usman dan Ummi Salamah sudah seperti anak
saya sendiri ini...." Koh Acan menggeleng tegas menatap
uang itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ummi memaksa menyerahkan uang penuh. Koh Acan
sebaliknya memaksa mengembalikan separuh-nya. Dan
Delisa dengan sukarela, dengan tampang menggemaskan
ringan-tangan menerima separuh uang itu dari tangan Koh
Acan.
Ummi menyeringai. Mendelik ke arah Delisa. Ingin
menyuruh Delisa mengembalikannya. Tetapi Delisa,
lihatlah, justeru menggenggam uang itu erat-erat. Ya
sudahlah! Seharusnya ia tadi pergi ke toko lain saja kalau
tahu begini.... Masalahnya mau ke toko mana lagi?
Suaminya kan selalu menyuruh dia belanja di sini. Koh
Acan sudah seperti kakak-adik dengan suaminya.
"Daaa Koh Acan! Khamsia...." Delisa menyeringai. Koh
Acan balas melambai tertawa lebar. Khamsia!
Mereka melanjutkan belanja lainnya.
"Kamu belajar darimana kata khamsia tadi?" Ummi
bertanya pelan kepada Delisa.
"Dari orang yang barusan belanja sebelum kita.... Orang
itu bilang begitu! Koh Acan juga bilang begitu. Delisa ikutikut
saja, memang artinya apa-an, Mi?" Delisa menjawab
sekaligus balik bertanya.
Ummi hanya menggeleng kecil, mengatakan artinya.
Delisa mengangguk-angguk sok-paham. Ah, besok ia juga
akan bilang begitu ke siapa saja kalau mau bilang terima
kasih. Kata-katanya lebih enak didengar.
Mereka diam selama sepuluh langkah berikutnya.
"Ummi.... Ummi, biar Delisa yang pegang kalungnya!"
Delisa menarik-narik baju Ummi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Biar Ummi saja!" Ummi menoleh menggeleng. Tetap
melangkah menuju toko kelontong tempat Ummi biasa
belanja.
"Ah, kalau begitu Ummi nggak percaya ama Delisa!"
Delisa menyeringai. Kalimat itu, sebulan terakhir
pamungkas sekali untuk membujuk Ummi.
"Bukan, sayang.... Kan kita sudah janji, kamu nggak
akan pegang kalungnya sebelum kamu hafal seluruh bacaan
shalat! Sebelum lulus dari ujian Bu Guru Nur." Ummi
berkata tegas.
"Yeee, Delisa kan cuma mau bantu bawain ini.... Kan
Ummi repot bawa barang belanjaan!" Delisa membujuk.
Kecewa, bujukan pertamanya tidak mempan.
Ummi tertawa kecil. Jelas-jelas tangannya tidak
memegang apa-apa, selain tas kecil. Mereka kan belum
belanja apa-apa.
"Biar Ummi yang bawa.... Lagian Ummi kan belum
bawa kantong plastik apapun, Delisa. Belum perlu dibantu."
"Yaaa, maksud Delisa entar pasti Ummi bawa banyak
barang belanjaan kan, jadi dari sekarang Delisa bantu bawa
kalungnya!" Delisa tak mau kalah. Maksa mencari
penjelasan lainnya. Menarik-narik baju Ummi. Ia jelas-jelas
bukan ingin membawa kalung tersebut, melainkan ingin
memakainya.
Ummi hanya menggeleng. Meneruskan langkah kakinya.
Benar-benar diluar dugaan cara berpikir bungsunya. Nanti?
Delisa buru-buru ngintil lagi; dengan tampang separuhkecewa,
separuh-takut ketinggalan.
Ah, Delisa kan hanya ingin merasakan memakai kalung
tersebut sekarang. Besok-lusa juga pasti jadi miliknya ini?
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
(Oo-dwkz-oO)
Kecemburuan itu bagai api yang membakar semak
kering. Cepat sekali menyala. Melalap apa saja di
sekitarnya. Dan itulah yang terjadi sesiang, sesore, dan
semalaman saat Delisa dan Ummi sudah pulang dari pasar
Lhok Nga.
Kecemburuan di dalam rumah itu.
Delisa dengan bangga memamerkan kalung itu (setelah
membujuk Ummi habis-habisan agar ia bisa
memperlihatkan kalung tersebut kepada kakak-kakaknya).
Kalung itu biasa saja sebenarnya. Kalung emas 2 gram.
Sama seperti milik Fatimah, Zahra, juga Aisyah. Yang
membuatnya berbeda, karena kalung itu diberikan
gantungan huruf. Huruf D.
"D untuk Delisa!" Delisa riang berseru (menirukan Koh
Acan tadi pagi).
Aisyah menatap sirik. Ia benar-benar cemburu. Kalung
milik Delisa jelas-jelas lebih bagus dibandingkan miliknya.
Kan nggak ada huruf A. A untuk Aisyah.
Aisyah diam saja sepanjang sisa sore. Ia hanya datar
melihat Fatimah, Zahra dan Delisa bermain bulu tangkis di
halaman rumput sebelah rumah. Harusnya permainan itu
berempat. Ganda. Fatimah berpasangan dengan Delisa
lawan Zahra dan Aisyah. Biar seimbang.
"Kakiku sakit!" Itu kata Aisyah pendek menolak ajakan
bermain. Lantas duduk di ayunan. Benci melihat Delisa
yang tertawa-tawa mengejar kok kesana-kemari. Bahkan
Aisyah tidak bergerak sedikitpun saat kok terjatuh dekat
kakinya. Ia kan bisa bantu lempar balik ke lapangan? Cuma
menggapai sedikit, kok bulu tangkis itu sudah bisa terambil
tangannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Fatimah menghela nafas melangkah mendekat
mengambil kok tersebut. Menyeringai sebal ke arah Aisyah.
"Kaki Aisyah segitu sakitnya ya? Sampai-sampai
ngambilin kok saja nggak bisa?"
Aisyah hanya menggerakkan hidung dan bibirnya.
Menyeringai tak peduli. Fatimah malah tertawa
melihatnya; urung melanjutkan omelan. Itu selalu lucu
dilihat. Permainan terus berlanjut hingga menjelang
maghrib.
Malamnya Aisyah yang duduk bersama Zahra juga
berdiam diri saat mengerjakan PR buat besok. Tidak
sedikitpun mengganggu Delisa yang terbata-bata terus
menghafal bacaan shalat di ruang belajar.
//"Su-bha-nal-lah rab-bi-yal a'-la wa-... wa-... wa....
bihamdih!"//
"Aduh itu kan bacaan buat sujud, Delisa!" Fatimah yang
juga sedang belajar bersama-sama menoleh. Tadi Delisa
bukankah baru saja membaca surat pendek, kemudian
takbir hendak ruku1.... Jadi harusnya ia kemudian baca
bacaan ruku1 kan. Bukan bacaan sujud.
"Eh, emang Delisa lompat langsung hafal bacaan sujud
kok! Entar-entar bacaan ruku'nya...." Delisa nyengir.
Padahal sungguh ia suka sekali ketukar-tukar menghafal
bacaan shalat tersebut.... Doa //iftitah// tadi saja ketukarketukar.
Apalagi ini. Bedanya cuma //a'la// dan
//azdhimi//. Delisa suka bingung mana bacaan ruku1,
mana bacaam sujud.
Fatimah menyeringai. Adiknya selalu saja bisa
menjawab pertanyaan orang. Meneruskan membaca
entahlah (bacaan kak Fatimah sekarang aneh-aneh; baca
buku-buku tebal; judulnya panjang-panjang; juga terkadang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
baca komik? Kalau Abi tahu kak Fatimah baca komik bisa
diomelin kan?)
Delisa mengulang lagi menghafal dari bacaan surat
pendek. Takbir. Kemudian bacaan ruku1 lagi.
//"Su-bha-nal-lah rab-bi-yal a... a... a____a'-la wa-biham-
dih!"// Aduh ketukar lagi kan?
Delisa nyengir. Fatimah menatapnya sambil tersenyum
tipis. Malas menegur lagi. Jawabannya juga pasti ngeles.
Delisa menoleh ke arah Aisyah. Maksudnya teramat
jelas.... Kalau tadi pagi kak Aisyah bisa kasih "tips" bagus
biar do'a iftitah-nya nggak ketukar-tukar, sekarang pasti bisa
kasih tips yang keren biar bacaan sujud dan ruku1 tak
ketukar-tukar.
Sayang yang ditoleh, sibuk belajar. Hening tak
mempedulikan kegiatan Delisa. Lebih hening dari pada
Zahra yang memang pendiam. Hanya goretan pulpennya
yang terdengar. Benar-benar diluar kebiasaan Aisyah yang
selama ini seperti minum obat menjahili Delisa. Bukan tiga
kali sehari, tetapi tiga kali setiap tiga puluh menit iseng.
Ummi sedang menjahit di luar. Suara mesin jahit juga
terdengar hingga ke dalam ruang belajar.
Delisa menarik nafas. Menggaruk-garuk rambut
pirangnya. Ia teringat hadiah kalung itu..... Indah sekali
kan! Delisa tersenyum senang. Ia harus hafal bacaan shalat
ini segera biar dapat kalung itu. HARUS!
Delisa malah sibuk membayangkan ia mengenakan
kalung itu sekarang. Manyun senyum-senyum sendiri.
Saking senangnya mengkhayal, Delisa lantas beranjak dari
kursi. Berlari-lari kecil menuju Ummi. Kakak-kakaknya
tidak memperhatikan. Sibuk dengan kegiatan masingmasing.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ummi, Delisa bisa lihat kalungnya sekali lagi?" Delisa
membujuk Ummi yang sibuk memotong kain.
Ummi menoleh. Menatap sebentar. Menggeleng tegas.
"Ah.... Delisa lihat bentar saja, kok...." Ummi
menggeleng lagi.
"Bener... sebentar saja!" Delisa mengacungkan dua
jarinya. Suer! Entah ia melihat dari mana gaya seperti itu.
Ummi tersenyum. Menggeleng sambil mengusap rambut
ikal Delisa yang pirang. Delisa mendesah kecewa. Ia kan
hanya pengin lihat sebentar saja, biar belajar menghafalnya
semangat. Ummi kalau sudah menggeleng susah dibujuk.
(Oo-dwkz-oO)
Dan ternyata kalung itu sakti sekali.
Esok shubuhnya Delisa bangun tepat muadzin di
meunasah baru membaca //"Allaahu-akbar!"// pertama
kali. Delisa menggosok matanya. Teringat kalungnya. Buruburu
turun dari atas ranjang. Menuju ke kamar mandi.
Yang justeru tidak bergeming sekarang adalah siapa lagi
kalau bukan Aisyah. Cemburu itu membakar apa saja.
Termasuk rekor bangun tidurnya.
"Aisyah bangun!" Fatimah pelan membangunkan.
Tidur semalaman justeru membuat hati Aisyah terbakar
lebih luas, lebih dalam. Ia mengibaskan tangan Fatimah.
Hatinya pagi ini teramat dongkol. Ia sebenarnya sudah dari
tadi bangun. Hanya saja malas sekali melihat Delisa ada di
dekatnya. Melihat Delisa turun dari ranjang dengan riang.
Mereka bertiga sekamar. Kak Fatimah punya kamar
sendiri.
Delisa kembali dari kamar mandi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kak Aisyah bangun!" Delisa iseng memercikkan
tangannya ke muka Aisyah. Aisyah menutup kepalanya
dengan bantal. Mengkal sekali.
"Bangun Ais.... Nanti kak Fatimah gelitikin Ion!"
Fatimah mengeluarkan senjata pamungkasnya. Delisa
berseru senang. Asyik, balas dendam. Meloncat ke atas
tempat tidur. Menyiapkan jari-jarinya (juga belum dipotong
kukunya). Tetapi sebelum kak
Fatimah menghitung, Aisyah sudah melempar bantal
duluan. Beranjak duduk.
Bersungut-sungut menatap kak Fatimah. Apalagi saat
menatap Delisa. Mukanya mengkal sekali. Aisyah dongkol
patah-patah turun dari tempat tidur.
Ibu masuk dari bingkai pintu, sudah mengenakan
mukena putih.... "Eh kenapa pada belum siap-siap?"
"Kak Aisyah bangunnya susah...." Delisa melapor sambil
nyengir, 100% meniru intonasi Aisyah kemarin shubuh saat
melaporkannya. Aisyah tambah mengomel dalam hati
mendengar suara Delisa, berjalan tersuruk-suruk menuju
kamar mandi. Sial! Di dalam ada Zahra.
(Oo-dwkz-oO)
Mereka tidak mengaji seperti biasa pagi ini.
Senin pagi. Itu berarti jadwal Abi menelpon setiap
minggu. Mereka duduk di ruang keluarga menunggu
telepon.
"Ummi, tadi kak Aisyah malah sama sekali nggak
bersuara pas shalat... Delisa kan jadi nggak baca apa-apa!"
Delisa yang duduk dekat Ummi melapor.
Aisyah yang sedang menunduk, menjawil-jawil ujung
kerudungnya diam saja. Tidak mempedulikan pengaduan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Delisa. Tabiatnya aneh sekali, biasanya ia langsung
membantah apa saja kalimat Delisa. Ummi menoleh ke
arah Aisyah, meminta penjelasan. Aisyah tetap tak
bergeming.
"Kamu kenapa, sayang?" Ummi bertanya kepada
Aisyah. Urung bertanya soal pengaduan Delisa. Aisyah
diam saja.
"Kamu sakit?" Ummi mendekat. Duduk sambil
memegang dahi Aisyah. Menggeleng, dahi itu tidak panas.
"Panas ya, Mi?" Delisa mendekat. Tangannya ikutan
hendak menyentuh dahi Aisyah. Sok-baik sok-perhatian
seperti biasa. Senyum-senyum.
Ya Allah, Aisyah reflek mengibaskan tangan adiknya.
Delisa mengaduh. Lumayan sakit. Fatimah yang sedang
membaca buku tebal lainnya menoleh. Zahra juga menoleh.
Suasana di ruang keluarga segera berubah. Menegang.
Ummi menatap Aisyah penuh tanda tanya. Sedikit marah.
"Kenapa tangan Delisa kamu kibaskan?"
Aisyah diam seribu bahasa. Ia semakin mengkal. Kan
sudah jelas! Ia nggak suka Delisa dapat kalung lebih bagus!
Ah, beginilah tipikal pencemburu. Merasa
permasalahannya sudah tersampaikan kepada orang lain
dengan merajuk tak jelas maksudnya. Jelas-jelas tidak ada
yang tahu kalau Aisyah sedang marah karena urusan
kalung itu. Aisyah kan belum bikin spanduk, baliho atau
karton demonstrasi. Aisyah belum memproklamirkan
kemarahan tersebut. Tetapi Aisyah merasa ia sudah
menjelaskan masalah dari mukanya yang sekarang mulai
memerah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Delisa mengurut-urut tangannya menjauh, duduk dekat
Fatimah sambil mengomel "Kak Aisyah jahat! Delisa kan
cuma pengin tahu panas atau nggak! Malah dipukul-"
Aisyah justeru menatapnya garang.
Ummi mengambil alih permasalahan.
"Ada apa Aisyah? Apa salah adikmu?" Suara Ummi
tegas. Menyelidik. Aisyah diam, mukanya semakin merah.
Ia hendak berteriak marah, bagaimana Ummi tidak tahu,
jelas-jelas ia tidak suka Delisa dapat kalung lebih bagus!
Telepon berdering.
Perhatian terpecah. Ummi bangkit dari duduknya. Sudah
jadi prosedur normal. Ummi yang pertama kali mengangkat
telepon dari Abi. Nanti baru mereka yang bergiliran
berbicara langsung dengan Abi.
"Assalammualaikum...."
Ummi sumringah sekali. Seperti biasa kalau berbicara
lewat telepon dengan Abi, Ummi bertingkah seolah-olah
Abi ada di depannya saja. Pernah Delisa bertanya "Ummi
kenapa sih senyum-senyum kayak gitu, kan Abi nggak lihat
kalau Ummi senyum...." Ummi hanya menjawab lembut
"Tapi Abi kan bisa merasakan kalau Ummi sedang
tersenyum.... Ah, Delisa nanti kalau kamu sudah besar
kamu bakal tahu, istri yang baik selalu bersikap sungguhsungguh
melayani suaminya...."
Delisa manyun. Akan butuh waktu lama sekali ia akan
mengerti kalimat Ummi itu. Lah sekarang saja umurnya
baru enam tahun.
Ummi entah membicarakan apa. Sepertinya banyak.
Mereka menyimak suara Ummi dengan baik, meski kadang
tak terlalu mengingat dan mengerti. Kadang Ummi terlihat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tersipu. Delisa memandang kakaknya Fatimah. Kak
Fatimah mengangkat bahu, nyengir. Dengarkan saja!
Sepuluh menit kemudian, Ummi menyerahkan telepon
ke Delisa.
//"Assalammualaikum//, Delisa....
//"Waalaikumussalam//, Abi kemarin Delisa ke pasarbeli-
kalung-untuk Delisa-buat hafalan shalat-kalungnya
bagus-ada huruf D-D untuk Delisa-ah iya Koh Acan baik
sekali-ah iya minggu depan-Delisa harus maju-praktekshalat-
depan Bu Guru Nur-Abi bantu doa ya-"
Bagai mitraliur Delisa menyampaikan berita (Delisa
buru-buru karena ingat kata-kata di teve itu; kalau pakai
listrik hemat-hemat. Gerakan hemat nasional. Jadi nelpon
juga harus hemat-hemat; ia mesti cepat-cepat
menyampaikan kabar).
Abi tertawa di seberang.
"Delisa ceritanya pelan-pelan!"
"Nggak-Delisa-mesti-buru-buru."
"Ah iya, nanti Abi juga kasih hadiah buat Delisa.
Sepeda!" Abi berkata lembut.
"Sepeda?... Beneran, ya! Abi janji, kan!" Mendengar
berita itu, Delisa tidak usah disuruh dua kali, kembali bicara
normal seperti biasa. Berteriak senang.
"Ya, nanti kita beli di pasar! Pas Abi pulang!" "Asyik....!
Delisa mau yang warna biru!" "Delisa boleh milih sendiri,
kok!" Delisa berjingkrakan. Kerudung birunya tersingkap.
Aisyah menatap semakin terluka dari atas kursi.
Giliran Fatimah berikutnya. Lima menit. Aduh, kak
Fatimah ngomong apa sih? Bahas buku-buku itu, bikin
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pusing! Ngomong apa gitu! Kan sayang pulsa kebuang
cuma buat nanya yang aneh-aneh.
Lima menit kemudian giliran kak Zahra. Nggak lama,
cuma dua menit. Zahra kan pendiam, jadi lebih banyak
mendengar nasehat Abi. Lebih banyak diamnya.
Mengangguk-angguk.
Giliran Aisyah. Va Allah, Aisyah mentah-mentah
menolak bicara. "Aisyah, ayo.... Abi nunggu nih!" Ummi
menatap tajam. Aisyah tetap tak bergeming.
"Aisyah-nya merajuk, Bi!" Ummi menjelaskan. Bicara
lagi beberapa menit. Memutus hubungan.
(Oo-dwkz-oO)
Dan sekarang Aisyah benar-benar mendapatkan
perhatian 100% dari Ummi.
Ummi mendekat. Duduk di samping Aisyah.
"Kenapa, Ais? Kamu kenapa menolak bicara pada Abi?"
Ummi bertanya tajam. Urusannya jauh lebih serius
dibandingkan dengan memukul tangan adiknya tadi.
Aisyah melotot menatap lantai.
"Ada apa?" Ummi memegang bahu Aisyah. Meminta
penjelasan! Pegangan itu mengeras.
Aisyah yang sedari tadi menahan marah; pecah sudah;
bukan! bukan menjadi marah benaran. Tetapi menangis.
Marah dan menangis itu satu jenis. Kalian akan menangis
jika saking marahnya. Menangis itu juga satu jenis dengan
senang. Kalian akan menangis jika saking senangnya. Dan
tentu saja menangis itu benar-benar satu jenis dengan sedih.
Kalian akan menangis kalau sedih.
Aisyah menangis terisak. Lah!
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ummi menghela nafas. Fatimah memandang bingung.
Zahra menyeringai, Ah seperti biasa, pasti merajuk nggak
jelas lagi! meskipun Zahra tidak tahu Aisyah merajuk
karena apaan. Delisa mendekat, juga bingung. Tetapi
sungguh hati Delisa bagai mutiara; seperti terlahir seperti
itu. Delisa memegang tangan kakaknya dengan lembut.
"Kak Aisyah kenapa menangis?" mata hijau Delisa
menatap wajah kakaknya yang berderai air. Menggemaskan
sekali melihat ekspresi muka Delisa. Polos bertanya.
Aisyah yang menangis tidak mengibaskan tangan itu.
Tidak juga menoleh ke arah Delisa. Hatinya kebas, jadi ia
tidak memikirkan hal lain kecuali kecemburuannya. Tidak
mendengarkan pertanyaan adiknya yang sok-perhatian.
"Ada apa, sayang-" Ummi mengelus rambut Aisyah.
"Bukankah.... Bukankah Ummi sudah tahu!" Aisyah
terbata memotong.
"Tahu apanya, Aisyah kan belum bicara...."
"Kenapa... kenapa Delisa...." Suara Aisyah patah-patah;
menunjuk Delisa di sampingnya. Mencoba menahan sedan.
"Kenapa apa?" Lembut Ummi bertanya.
"Kenapa Delisa dapat kalung yang lebih bagus! Kenapa
kalung Delisa lebih bagus dibandingkan dengan kalung
Aisyah... juga kalung Zahra.... Kalung kak Fatimah!" Jelas
sudah!
Ummi menghela nafas. Fatimah beranjak mendekat.
Delisa menatap tak mengerti. Lebih bagus apanya? Orang
Delisa kemarin pagi milih kalungnya sengaja mirip dengan
punya kak Aisyah.
"Kalungnya kan sama saja dengan punya Aisyah-"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tetapi punya Delisa ada hurufnya!" Aisyah memotong
Ummi cepat, ia masih tersedan. Berusaha mengelap ingus
dengan ujung kerudung.
Delisa menatap nyengir, "Idih, kak Aisyah jorok. Masak
ngelap ingus pake jilbab!" Delisa berseru jijik sambil
mengambil selembar tisu dari atas meja. Menyerahkannya
ke tangan Aisyah.
Aisyah menatap galak. Mengambilnya tetapi tidak
sedikitpun bilang terima kasih.
"Kamu tuh aneh, Aisyah.... Zahra saja nggak cemburu
kok Delisa dapat kalung lebih bagus.... Kak Fatimah juga
nggak! Lagian cuma beda huruf doang" Fatimah mendekati
adiknya. Mencoba membantu Ummi membujuk Aisyah.
Aisyah hanya diam. Iya juga kan? Tetapi ia buru-buru
membuang pendapat kak Fatimah. Diam.
"Ibu kan pernah bilang, sayang.... Jangan pernah lihat
hadiah dari bentuknya... Lihat dari niatnya... Abi kan juga
sering bilang, Kalau kamu lihat hadiah dari niatnya, insya
Allah hadiahnya terasa lebih indah.... Ah iya, bukankah
ustad Rahman juga pernah bilang: kita belajar shalat itu
hadiahnya nggak sebanding dengan kalung.... Hadiahnya
sebanding dengan surga...."
Aisyah masih menggeleng keras kepala.
"Memangnya Aisyah pas belajar shalat hanya agar dapat
kalung?"
Aisyah terdiam. Dulu sih ia memang berharap agar
dapat kalung. Kalau sekarang sudah banyak mengerti,
belajar shalat jelas-jelas bukan untuk dapat kalung saja.
Aisyah menggeleng pelan. Tetapi ada yang mengangguk
kencang-kencang. Delisa! Delisa tersenyum manyun, tanpa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dosa; jelas-jelas ia belajar shalat agar dapat hadiah kalung
dari Ummi.
Itu janji Ummi sebulan lalu. Meskipun tidak ada yang
memperhatikan tampang menggemaskan Delisa.
"Nah, kalau bukan untuk kalung, kamu nggak
sepantasnya cemburu dengan hadiah adikmu, kan? Ah iya,
besok-lusa kita kan bisa ke tempat Koh Acan lagi, masingmasing
nanti beli huruf untuk kalungnya.... F untuk
Fatimah, A untuk Zahra dan Aisyah-"
"U untuk Ummi.... A untuk Abi!" Delisa memotong. Ia
tidak tahu memangnya nama Ummi dan Abi seperti itu; itu
kan hanya panggilan. Fatimah ikut nyengir tertawa.
Aisyah tersenyum tanggung mendengar kalimat Ummi
(bukan melihat gaya Delisa yang sok-tahu tadi).
Kemarahannya berkurang. Cemburunya memudar. Ia akan
dapat huruf A. Tetapi ia masih ingat sesuatu.
"Tetapi kenapa Delisa dapat hadiah sepeda dari Abi?"
Ummi menghela nafas.
"Memangnya sepeda itu buat Delisa doang. Aisyah kan
bisa pinjam. Zahra juga bisa pinjam. Kak Fatimah juga bisa
pinjam.... Seperti tas kalian yang saling pinjam...."
Aisyah menyeringai lagi. Masuk akal sih.
"Nah kalau kamu mau ke sekolah pakai sepeda, sambil
bonceng Delisa.... Kamu mesti baca bacaannya keras-keras
pas shalat, biar adikmu bisa dengar. Biar ia shalat sambil
belajar. Semakin cepat adikmu bisa, kan nanti Abi bisa
langsung beliin saat pulang dua minggu lagi...."
Aisyah mengangkat hidung dan bibirnya. Menyeringai.
Tetapi bagaimana kalau Delisa tidak mau minjamin
sepedanya?
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Iya kak, entar Delisa kasih pinjem, deh!"
(Oo-dwkz-oO)
3. Jemba tan keledai
Delisa mengaduk-aduk lemari pakaiannya (yang
digabung dengan lemari pakaian Aisyah dan Zahra); tega
sekali ia membuat lipatan pakaian kakak-kakaknya porakporanda.
"Ummi! Baju ngaji Delisa kok nggak ada!" Delisa
berteriak sambil terus mengaduk.
"Kan Ummi sudah taruh di atas meja!" Ummi balas
berteriak. Ummi lagi di ruang depan. Membordir pesanan
ustadz Rahman.
"Eh iya!" Delisa nyengir. Buru-buru menuju meja
belajarnya. Meninggalkan isi lemari yang jungkir-balik.
Menemukan baju TPA berwarna biru. Delisa dengan cepat
mengenakan kerudung biru.
"Yaa, Ummi napa kerudungnya yang ini.... Delisa sering
gatal-gatal kalo pakai yang ini...." Delisa mendekati Ummi.
Menunjuk kerudung yang tengah dirapikannya.
"Itu karena kamu malas cuci rambut, sayang!" Ummi
terus konsentrasi pada bordirannya.
"Delisa juga sering kepanasan...." Delisa mendaftar
keluhan berikut.
"Kan kamu bisa lepas nanti kalau terasa panas!" Ummi
menjawab seadanya. Delisa tidak mendengarkan. Ia sudah
beranjak menuju pintu keluar.
"Eh, nanti Delisa langsung main ya, Mi!" Delisa
berteriak dari pintu depan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ummi mengangguk. Mana Delisa bisa lihat anggukan
Ummi? Ia sudah membuka pintu rumah. Ah, kalau Ummi
diam tidak-berteriak itu berarti oke.
"Daa Ummi; //assalamualaikum//!" Delisa berteriak
langsung lari. Ummi tersenyum menjawab salam Delisa
pelan. Bungsunya selalu begitu. Pamit selalu lari sambil
berteriak mengucap salam.
Delisa berlari-lari kecil. Kerudung birunya bergoyang.
Bukan sekadar karena gerak tubuhnya, tetapi juga karena
desir angin laut yang menerpa. Penghujung bulan akhir
tahun ini, angin laut bertiup lebih kencang. Udara lebih
lembab dari biasanya.
Delisa sudah terlambat. Tadi sepulang sekolah ia piket
dulu. Di sekolahnya memang begitu. Piket membersihkan
ruangan kelas dilakukan setelah pulang. Delisa masih kelas
satu, pulangnya pukul setengah sepuluh, sekolah
seperempat hari.
Sekarang sudah jam sepuluh lewat lima. Buru-buru
Delisa ke meunasah yang terletak dua ratus meter dari
rumahnya. Jadwal harian belajar mengaji TPA dengan
ustadz Rahman.
Kata ustadz Rahman, muslim yang baik selalu bisa
menghargai waktu. Delisa tidak tahu apa artinya
menghargai waktu; Yang ia tahu, saat ustadz Rahman
menjelaskan, itu berarti kita harus datang tepat waktu,
nggak boleh terlambat, Delisa berusaha datang tidak pernah
telat. Seperti sekarang, ia lari lebih cepat. Tasnya
bergoyang-goyang mengikuti irama tubuh. Dahi Delisa berkeringatan.
Suara anak-anak yang membaca Iqra terdengar dari
kejauhan. Delisa nyengir. Ya.... ia telat lagi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tiba di halaman meunasah setengah menit kemudian.
Buru-buru masuk ke muenasah. Ustadz Rahman
menatapnya.
"Delisa tadi piket....!" Delisa menjelaskan tanpa diminta.
Menyeka dahinya. Ustadz hanya tersenyum. Dia tahu
setiap hari Senin Delisa pasti datang terlambat. Semua anak
yang lain juga telat kalau lagi jadwal piket di sekolah.
Bedanya dengan Delisa; Delisa selalu berkepentingan
menjelaskan. Meskipun penjelasannya itu-itu juga.
"Tapi entar kalau Abi sudah pulang; Delisa nggak bakal
telat lagi...." Delisa berkata sambil mengambil rihal. Duduk
di sebelah ustadz. Posisinya.
Ustadz Rahman yang sejenak tadi sibuk mengawasi dua
puluh anak sepantaran Delisa yang sedang membaca Iqra
masing-masing; menoleh ke arah Delisa, bertanya lewat
tatapan. Tidak telat lagi?
"Karena Abi janji beliin Delisa sepeda! Hadiah hafalan
shalat Delisa! Jadi wuss... Delisa pasti nggak telat lagi!"
Delisa menyeringai bangga. Membuka iqra-nya.
"Memangnya Delisa sudah hafal bacaan shalatnya?"
Ustadz bertanya lembut, tersenyum. "B-e-l-u-m...." Delisa
menggeleng lucunya.
Ustadz Rahman tersenyum lagi.
Delisa mulai membaca Iqranya. Nanti seperti ngaji
dengan Ummi, ia juga akan nyetor dengan ustadz Rahman.
Tetapi ramai-ramai. Ustadz ngajar-nya serempak di papan
tulis. Kecuali yang sudah baca Al-Qur'an seperti kak Aisyah
dan kak Zahra. Baru ditartil satu persatu.
Ustadz Rahman umurnya sekitar 26 tahun. Lulusan
IAIN Banda Aceh.... Eh, Delisa lupa nama sekolahnya.
Panjang! Nggak sependek nama sekolah Delisa: Ibtidaiyah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Negeri 1 Lhok Nga. Ustadz Rahman baik. Mungkin yang
bisa ngalahin kebaikan ustadz Rahman hanya Umi, Abi,
Ibu Guru Nur, dan kak Fatimah. Kalau dibandingin dengan
kak Aisyah. Uuh, jauh baikan ustadz Rahman. Meski
ustadz sering galak ke anak-anak yang becandaan mulu di
dalam meunasah.
"Ustad, kenapa ya Delisa sering kebolak-balik?" Delisa
nyeletuk. Mengangkat kepalanya dari buku iqra di atas
rihal. Ingat sesuatu. Ustadz Rahman menatapnya? Kebolakbalik?
Oo, bacaan shalat.
"Biar nggak kebolak-balik kamu mesti menghafalnya
berkali-kali.... Baca berkali-kali.... Entar nggak lagi! Entar
pasti terbiasa." ustadz menjelaskan.
"Delisa sudah baca berkali-kali, kok.... Tetap saja
begitu!"
Ustadz tersenyum. Semua anak memang punya masalah
seperti ini kalau menghafal bacaan shalat. Terbalik-balik.
Bedanya dengan Delisa ya pertanyaan selanjutnya ini,
"Ustadz, emangnya nggak boleh baca kebolak-balik?"
Ustadz Rahman yang barusan melototin Teuku Umam
yang lagi iseng menjawil jilbab Tiur menoleh. Buru-buru
menjawab.
"Eh.... Nggak boleh, Delisa!"
"Kenapa nggak boleh? Kan semuanya tetap dibaca....
Lengkap!" Delisa memasang wajah seolah-olah ikut berpikir
serius. Pertanyaan itu juga serius sekali sebenarnya.
Ustadz Rahman menyeringai. Kan susah kalau dia mesti
jelasin shalat itu "ibadah besar". Jadi mesti sesuai dengan
tuntunan Rasul. Tidak boleh ada yang beda. Beda sedikit
bisa jadi bid'ah. Lah bid'ah itu apaan? Pasti Delisa bertanya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
balik. Dan urusan semakin kapiran. Bukan. Bukan ustadz
Rahman tidak mau menjelaskan panjang lebar. Tetapi
mengajari anak kecil seperti Delisa, harus ada tekniknya.
Atau kalau tidak, akan terjadi mall-praktek mendidik anakanak.
"Eh.... Kalau Delisa pakai kaos-kaki kebolak-balik
warnanya boleh nggak?"
"Boleh.... Boleh-boleh saja.... Delisa pernah kok!" Delisa
menjawab serius (ia memang pernah; maksudnya nggak
sengaja salah pasang; diketawain Cut Aisyah; tetapi kan
boleh-boleh saja).
"Eh.... Kalau Delisa pakai sepatu di kepala... Terus
kerudung di kaki bisa gak kebolak-balik begitu?" Ustadz
Rahman mencari analog lain. Menyesal dengan contoh
sebelumnya. Jelas-jelas dia sedang menghadapi Delisa.
Delisa sekarang terdiam. Berpikir. Kemudian nyengir.
Menggeleng pelan. Ustadz Rahman tersenyum. Delisa tidak
perlu penjelasan lebih lanjut. Ia selalu bisa mengambil
kesimpulan sendiri.
Delisa meneruskan membaca Iqranya.
Eh, tetapi ustadz kan belum jelasin bagaimana caranya
agar nggak kebolak-balik? Delisa hendak bertanya lagi.
Terlambat, ustadz Rahman sudah mengetuk papan tulisnya.
Tanda mereka akan beramai-ramai membaca Iqra.
Pertanyaan itu tersimpan dalam hati.
(Oo-dwkz-oO)
"Pernah ada sahabat Rasul, saking khusuknya shalat,
kalajengking besar menggigit punggungnya dia tidak
merasakan sama sekali.... Ya kalajengking besar...." Ustadz
Rahman menggambar kalajengking itu dengan gerakan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tangannya. Bersuara seperti capit kalajengking yang
menganga.
Anak-anak bergidik. Ustadz Rahman pintar bercerita.
Setiap habis membaca Iqra bersama-sama, biasanya ustadz
Rahman akan mengajari mereka banyak hal, selain
mengaji. Doa-doa harian; hafalan-hafalan surat; bernyanyi.
Favorit Delisa dan teman-temannya tentu saja "cerita".
Sekarang ustadz bercerita soal bagaimana khusuknya shalat
Rasul dan sahabat-sahabatnya.
"Kenapa dia nggak kerasa sakit; kan badannya jadi
bengkak?" Kalau anak lain bergidik, Delisa justeru
mengacungkan tangan bertanya. Memandang ingin tahu.
Ustadz Rahman menelan ludah.
"Eh, karena orang yang khusuk pikirannya selalu fokus.
Pikirannya satu! Misalnya Delisa lagi asyik main bola di
pantai. Pikirannya cuma satu kan, nendang-nendang bola.
Meski kaki misalnya keseleo sakit, Delisa tetap main. Meski
hujan-hujanan, Delisa juga tetap main. Bahkan dipanggil
Ummi, Delisa juga nggak mendengarkan, kan...."
Anak-anak lain tertawa. Delisa nyengir.
"Nah, jadi kalian shalat harus khusuk. Harus satu
pikirannya.... Andaikata ada suara ribut diseki-tar, tetap
khusuk. Ada suara gedebak-gedebuk, tetap khusuk. Jangan
bergerak. Siapa di sini yang kalau shalat di meunasah sering
gangguin temannya?"
Semua anak-anak menunjuk Teuku Umam yang jahil
tadi. Termasuk tangan Delisa. Ustadz Rahman tersenyum.
Teuku Umam hanya menyeringai galak.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mereka mendengarkan lanjutan cerita tersebut lima belas
menit lagi. Kemudian ustadz Rahman menutup pengajian
TPA mereka dengan membaca doa bersama. Keras-keras.
"Anak-anak sebentar!" Ustadz meminta perhatian temanteman
Delisa yang sibuk membereskan rihal dan tas
masing-masing. Bersiap pulang. Mereka menoleh.
"Besok kita libur!" Ustadz Rahman tersenyum
mengatakan itu. Mukanya riang; tidak seperti biasanya
kalau mengumumkan soal libur. Ustadz Rahman kan tidak
suka kata-kata libur.
"Hore!!" teman-teman Delisa lebih senang lagi.
Melanjutkan berbenah siap pulang.
"Memangnya ustadz mau kemana?" Delisa mendekat
bertanya, ia melepas kerudung birunya (tuh kan bener,
terasa panas!).
"Ke Meulaboh!"
"Ooo iya.... Ustadz mau nikah ya?" Delisa teringat
ucapan Ummi beberapa hari lalu. Bordiran pakaian Ummi
tadi pagi juga buat bawaan ustadz melamar.
Ustadz Rahman tersipu mukanya.
"Asyik! Pasti ada kenduri besar-besaran kan?" Delisa
berseru riang. Yang beginian memang hobinya. "Pasti ada
arak-arakan... uang receh yang dilempar... banyak
manisan!" Delisa menghitung semua hal menyenangkan
tersebut dengan jemarinya.
Ustadz hanya tersenyum mengangguk. Ah, pernikahan
mereka tidak akan semeriah itu, Delisa. Dia kan hanya guru
ngaji? Tetapi apa salahnya membuat Delisa senang.
Mengangguk bisa berarti banyak, belum tentu berbohong.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dan Delisa sudah melesat keluar meunasah bersama
teman-temannya, memberitahukan mereka tentang kabar
menyenangkan tersebut! Plus "bumbu- bumbu" kenduri
yang diharapkannya.
(Oo-dwkz-oO)
"Kamu nggak jadi main?" Ummi yang sedang
mengenakan mukena bertanya. Delisa masuk sambil
bersenandung.
Menggeleng. Tadi Delisa mau main, tetapi Tiur
mengajaknya pulang dari meunasah naik sepedanya. Jadi ia
ikut saja. Naik sepeda ini. Delisa meletakkan tasnya.
"Kalau begitu kamu shalat dzuhur bareng Ummi ya!"
Delisa mengangguk. Ke kamar mandi. Mengambil
wudhu. Memakai mukenanya pelan, melangkah mendekati
Ummi yang sudah menunggu.
Ummi membaca bacaan shalat keras-keras hingga
terdengar Delisa yang berdiri di sebelah kiri. Delisa tetap
saja ribet, meski suara Ummi lebih terdengar dibandingkan
suara kak Aisyah. Delisa pusing dengan kata-kata yang
sama. Apalagi pas duduk di antara dua sujud, //rab-bil-firli,
war-ham-ni, waj-bur-ni....// Kenapa pula kata-katanya
mesti mirip begitu? Mana depan, mana belakangnya?
Tetapi Delisa tidak banyak bertanya setelah shalat, ia
banyak berpikir sekarang. Pasti ada cara yang lebih baik
untuk menghafal bacaan-bacaan itu. Ia saja yang belum
tahu.
Setelah makan siang bersama Ummi, Delisa kembali ke
ayunan di bawah pohon jambu. Menenteng buku bacaan
shalatnya. Kata ustadz Rahman kan harus sering diulangulang.
Baiklah! Delisa akan mengulang-ulangnya. Tiga
puluh menit ia mencoba mengulang-ulang. Berkonsentrasi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Masalahnya otak Delisa sekarang bukan dipenuhi oleh
bacaan shalat, melainkan oleh "kalung" itu. Jadi Delisa
kebanyakan bengongnya. Mengkhayal. Satu jam kemudian.
Delisa menyerah untuk siang itu. Melipat buku bacaan
shalatnya. Masuk ke dalam lagi. Ummi masih sibuk
melanjutkan bordiran, nanti sore harus diantar ke rumah
ustadz Rahman. "Kak Aisyah dan kak Zahra kok belum
pulang ya, Mi?"
Harusnya jam segini mereka sudah pulang. Kalau
Fatimah memang pulang sorean. Jam setengah tiga.
Sekolahnya agak jauhan. Juga jam sekolah kak Fatimah
memang lebih lama.
"Mereka kan latihan tari Saman hari ini!" Ummi
menjelaskan tanpa melihat Delisa. Tangan Ummi lincah
menggerakan alat bordir. Delisa membuka mulut, ber-ooo.
"Delisa main ya, Mi!" Delisa yang bingung mau
melakukan apa terpikirkan ide pamungkasnya. Ia
sebenarnya bukan bingung mau melakukan apa. Ia
penasaran saja dengan hafalannya. Penasaran dengan
kalungnya. Kalau sudah begitu maka ia biasanya butuh
//refreshing// (meski Delisa tidak tahu apa arti kata itu, ia
pernah mendengarnya sekali; yang penting ia tahu mesti
main sebentar kalau bingung mau melakukan apa).
Ummi mengangguk. Delisa tidak melihatnya. Ia sudah
kabur lagi sambil beteriak mengucap salam.
(Oo-dwkz-oO)
Menuju lapangan sepakbola. Empat ratus meter dari
rumahnya. Lapangan itu persis berada di pantai Lhok Nga.
Siang ini udara teduh. Awan menggumpal di langit.
Menyenangkan berada di lapangan. Pasir di mana-mana.
Angin laut bertiup kencang. Burung camar melenguh ber-
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pekikan berterbangan di kejauhan. Suara ombak memecah
bibir pantai menambah suasana menyenangkan itu.
Sudah ada beberapa teman cowok Delisa yang sedang
menendang-nendang bola di sana. Delisa menggemaskan
berlari mendekat. Rambut ikal pirangnya tertiup angin laut,
bergoyang-goyang lucu. Kerudung biru itu sudah masuk
kantong celana panjangnya. Panas banget!
"Delisa ikutan ya!" Ia langsung masuk kerumunan.
"Nah jadi lengkap! Kamu masuk tim Teuku Umam
saja!" salah seorang temannya mendorong tubuh Delisa
bergabung dengan salah satu kerumunan anak lainnya.
Delisa menoleh ke arah tim Teuku Umam. Mengangguk.
Untuk urusan bola, Umam jagonya. Kalau urusan lain,
Delisa tidak akan pernah satu kelompok dengan Teuku
Umam. Raja jahil, sama seperti kak Aisyah; ratu jahil.
Sebenarnya, justeru karena Umam jago itulah maka
Delisa oleh teman-temannya digabungin ke sana. Biar
imbang.
Maka bermainlah mereka, tanpa wasit. Enam lawan
enam. Bola plastik itu diuber beramai-ramai. Delisa terlihat
beda sekali. Meskipun ia lumayan gesit. Lumayan pandai
menendang. Rata-ratalah. Apalagi ia kan anak cewek ini.
Delisa awal-awalnya dulu hanya ditaruh jadi kiper.
Tetapi ia protes mulu. Delisa benci hanya berdiri bengong
menunggu bola. Karena temannya sebal dengan protesnya
yang tak kunjung henti, dan juga banyaknya gol yang
masuk ke dalam gawangnya, Delisa dibiarkan mengambil
posisi yang paling ia inginkan. //Striker//.
Hari semakin sore. Matahari mulai beranjak turun. Satu
jam kemudian Tiur datang membawa sepedanya. Melambai
berteriak ke arah Delisa yang sedang berlari mengejar-
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ngejar bola. Delisa teringat sesuatu. Ah iya, ia kan tadi janji
mau belajar bersepeda dengan Tiur. Maka begitu saja
Delisa meninggalkan lapangan. Padahal permainan sedang
seru-serunya: 3-3. Teman-teman cowoknya berseru keki.
"Delisa mau belajar naik sepeda!" Delisa menjawab
pendek menjelaskan saat teman laki-nya menarik bajunya,
tak sensitif.
"Yaaa.... Kan jadi nggak lengkap timnya!" Teuku Umam
melotot ke arahnya, dia benar-benar keberatan Delisa
keluar sekarang; timnya bisa kalah untuk pertama kalinya.
Delisa cuek mendekati Tiur. Membiarkan Umam yang
marah.
Permainan terus dilanjutkan meski Teuku Umam
melempar Delisa dengan pasir. Tak masalah benar. Sepak
bola kan bisa dimainkan dengan formasi apapun. Yang
penting bahagia. Lari. Dan tendang. Tak ada yang peduli
soal menang atau kalah. Mungkin Teuku Umam saja yang
peduli soal menang-kalah sekarang.
Setengah jam berikut dihabiskan oleh Delisa belajar naik
sepeda. Ternyata tidak semudah main sepakbola. Delisa
sudah tiga kali jatuh berdebam di atas pasir.
Lututnya bahkan lecet (ia sih pakai digulung segala
celananya). Rambut ikal pirangnya penuh butiran pasir.
Tetapi Delisa tetap cuek. Tak kenal menyerah.
Berteriak-teriak agar Tiur tidak melepaskan
pegangannya. Tiur hanya tertawa-tawa di belakang. Bilang
"iya dipegang ini!" namun tangannya sibuk ngupil.
Satu jam kemudian, suara adzan ashar terdengar dari
meunasah. Delisa tetap belajar menaklu-kan sepeda Tiur. Ia
khusuk sekali. Benar-benar seperti yang dikatakan ustadz
Rahman tadi. Coba ia belajar menghafal bacaan shalatnya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
seperti ini, kan jauh lebih cepat urusannya. Tidak sepanjang
hari semata-mata membayangkan hadiah kalung itu.
Matahari bergerak menghujam bumi semakin rendah.
Jingga memenuhi langit. Indah. Angin bertiup lebih lembut.
Lapangan lebih ramai. Ramai oleh penduduk Lhok Nga
yang sedang berjalan menghabiskan sore setelah bekerjan
seharian. Menatap bentang cakrawala yang elok nian.
Burung camar berpekikan kembali ke sarang. Ombak
semakin kencang. Pantai terlihat menakjubkan.
Delisa sudah lima menit lalu duduk menjeplak di sebelah
Tiur. Badannya baret-baret. Memar di sana-sini. Tetapi ia
menyeringai senang. Setidaknya dua-tiga meter Delisa
sudah bisa jalan sendiri. Cepat sekali ia belajar; habis Delisa
teringat janji Abi! Ia mesti bisa belajar naik sepeda sebelum
Abi membelikannya sepeda.
Lima menit lagi Delisa beranjak pulang.
Tiba di rumah, Ummi ngomel! Delisa pulang ke-sorean.
"Mi, tadi Delisa belajar naik sepeda.... Nggak main kok...
belajar!" Delisa sok-serius berusaha menjelaskan;
memangnya dengan kata belajar semua urusan jadi
termaafkan. Delisa buru-buru mengambil handuk, bergegas
masuk ke dalam kamar mandi sebelum Ummi mencubit
perutnya.
Kak Aisyah dan kak Zahra belum kelihatan, pasti sedang
ngaji di meunasah, mereka jadwalnya memang sore. Kak
Fatimah sedang membantu Ibu membungkus pakaianpakaian
pesanan utsadz Rahman di ruang depan. Mandi
super-cepat.
Lima menit kemudian. Delisa dengan rambut basah;
pakaian bersih sudah bergabung di ruang depan.
"Ibu Guru Eli calon ustadz Rahman itu kan cacat, Mi!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Memangnya kenapa kalau cacat? Kamu kok ngomongin
aib orang, Fatimah?"
Fatimah dan Ummi lagi-lagi membicarakan hal-hal yang
tidak Delisa mengerti. Delisa duduk saja memperhatikan
mereka. Ia tiba-tiba demi melihat pakaian-pakaian yang
sedang disiapkan itu teringat kancing bajunya yang tadi
lepas waktu belajar naik sepeda bersama Tiur. Delisa buruburu
ke belakang, mengambil pakain kotornya. Meminta
benang dan jarum ke Ummi.
"Kamu mau ngapain?" Fatimah bertanya.
"Jahit kancing baju...." Delisa menyeringai.
"Aduh, pakaiannya kotor gini di bawa-bawa ke sini....
Jahitnya kan bisa besok-besok saja, kalau sudah dicuci!"
Fatimah merampas baju itu dari tangan Delisa.
Delisa nyengir. Orang mau jahit ini.... kan niatnya baik.
Kenapa nggak boleh? Ummi hanya tersenyum. Delisa
kembali duduk di atas kursinya. Memperhatikan. Lagi-lagi
tentang pembicaraan itu. Cacat. Nikah. Setia. Bahagia.
Sakinah. Ma... ma-wa... ma-wa-entahlah. Apa coba
maksudnya.
(Oo-dwkz-oO)
Malam datang menjelang. Mereka jamaah lagi shalat
maghrib. Kali ini kak Aisyah melakukan tugasnya dengan
baik dan benar. Bersuara keras-keras. Meski itu tidak
berpengaruh banyak buat kemajuan Delisa. Sepanjang
shalat ia hanya berpikir dua hal. Satu bagaimana agar dia
nggak kebolak-balik lagi. Dua ya kalung itu.
Mereka makan malam bersama.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tadi siapa yang ngacak-ngacak lemari pakaian?" Zahra
yang pendiam (tetapi pencinta ketertiban) bertanya pelan.
Semua mata memandang ke Delisa.
"Nggak kok.... Delisa cuma nyari pakaian ngaji doang!
Sama sekali nggak ngacak-ngacak." Delisa merasa tak
berdosa menyendok sayur bayam.
"Iya! Tapi kamu nyarinya kan bisa lebih pelan dikit?
Nggak mesti merusak lipatan pakaian yang lain, kan?"
Zahra menyeringai kepada Delisa.
Delisa mengangguk. Meski tidak berjanji. (Delisa
memang lebih respek dengan Zahra dibandingkan Aisyah;
mungkin karena Zahra pendiam; jadi seram saja berdebat
dengannya).
"Delisa tuh paling lupa untuk ngecek di atas mejanya
dulu, kalau nyari sesuatu!" Fatimah berkata datar.
Delisa diam saja. Iya sih!
"Jangan-jangan Delisa juga belum lihat meja belajar sore
ini?" Entah mengapa Aisyah bertanya tiba-tiba kepada
Delisa. Delisa menoleh, tidak mengerti. Yang lain tidak
memperhatikan.
"Kan kak Aisyah sudah taruh di atas meja habis pulang
latihan tari Saman tadi!" Aisyah berkata serius.
Delisa mengernyitkan dahi. Apanya yang ditaruh di atas
mejanya? Orang Delisa dari tadi memang nggak lihat-lihat
tuh meja. Tetapi ia turun dari kursinya. Menghentikan
makannya. Beranjak ke meja belajar. Penasaran. Di atas
meja itu ada selembar kertas. Jembatan Keledai. Itu
petunjuk cara menghafal shalat yang baik. Seperti
bagaimana agar bacaan ruku tidak ketukar dengan bacaan
sujud. Bagaimana agar bacaan di antara dua sujud tidak
kebolak-balik. Semuanya ada 'jembatan keledai'-nya. Cara
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menghafal dengan menganalogkan hafalan dengan urutan
huruf atau benda-benda menarik lainnya.
Delisa berteriak senang! Kertas ini menyelamatkannya!
Ia berlari ke meja makan lagi. Kertas itu yang buat Aisyah.
Tadi siang ketika di sekolah, Pak Guru Jamal bilang,
sungguh saudara-saudara kita akan menjadi tameng api
neraka. Maka berbuat baiklah kepada mereka. Sungguh
adik-kakak kita akan menjadi perisai cambuk malaikat.
Maka berbuat baiklah kepada mereka. Sungguh saudarasaudara
kita akan menjadi penghalang siksa dan azab
himpitan liang kubur. Maka berbuat baiklah kepada
mereka.
Aisyah ingat cemburunya. Ia amat malu sepanjang Pak
Guru Jamal menjelaskan. Ya Allah, Aisyah malu sekali.
Lihatlah, ia justeru mengganggu adiknya saat Delisa sedang
berjuang menghafal bacaan shalat.
Aisyah hampir menangis mendengar penjelasan Pak
Guru Jamal. Ia memang sering jahil kepada Delisa, tetapi
hatinya juga bagai mutiara.
Siang itu sambil menunggu latihan tari Saman, ia
membuat kertas petunjuk "jembatan keledai" itu.
"Terima kasih, kak Aisyah!" Delisa melompat, memeluk
kakaknya.
Aisyah hanya ber "hiss".... Risih juga mendapatkan
perlakuan seperti itu. Memang begitulah adiknya. Eksplosif.
Ummi t ersenyum senang. Fatimah menghela nafas lega.
Zahra hanya bergumam pendek: Ah, entar pasti berantem
lagi!
(Oo-dwkz-oO)
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
4. Delisa cin ta Umm i karena Allah
Waktu berjalan cepat. Senin-Selasa-Rabu langsung wusss
hari Sabtu. Bagi Delisa waktu juga bergerak cepat. Dengan
adanya jembatan keledai itu Delisa menghafal bacaan
shalatnya lebih cepat, lebih lancar. Memang masih bolong
di sana-sini, tetapi ibarat bangun rumah, sudah kelar 95%.
Hari-hari juga di isi pertengkaran Delisa dengan Aisyah
(benar kata Zahra; mereka berdua memang seperti itu; akur
satu jam, bertengkar sehari-semalam). Bermain bola di
pantai bersama geng Teuku Umam (yang selalu terpotong
setiap Tiur datang; Delisa sudah lancar bersepeda di pantai
sekarang. Tinggal praktek di jalan). Mengaji dengan ustadz
Rahman ("Ustad, katanya calon istri ustadz cacat, ya?" itu
tanya Delisa sehari setelah libur ngaji. Ustadz hanya
tersenyum; tidak berkata banyak, padahal kak Fatimah di
rumah berkomentar banyak sesore itu; yang juga dinasehati
banyak oleh Ummi).
Dan yang lebih banyak lagi, waktu banyak dihabiskan
oleh Delisa untuk membujuk Ummi agar mengijinkan ia
melihat kalung itu. "Delisa pengin pegang sebentar saja...!
Bener, sebentar! Suer deh, Mi!" Ummi hanya menggeleng
(karena jelas sekali maksud Delisa; mau memamerkan
kalung itu ke Aisyah yang baru saja menjahilinya; balas
dendam, biar kak Aisyah cemburu lagi).
Mereka shubuh itu kembali shalat berjamaah.
Sabtu pagi, 25 Desember 2004.
Rutinitas harian biasa. Delisa seminggu terakhir sudah
bisa bangun tepat waktu. Keributan kamar mandi berkurang
banyak. Aisyah juga melakukan tugasnya dengan baik dan
benar. Delisa juga tidak banyak protes.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Yang tidak rutin, sehabis shalat ketika Ummi memimpin
mereka berzikir. Delisa tiba-tiba maju ke depan. Merangkak
dengan mukena masih membungkus tubuhnya. Fatimah
melotot menyuruhnya duduk kembali. Tetapi Delisa tidak
peduli, tetap mendekati sajadah Ummi. Aisyah nyengir.
Zahra tak memperhatikan melanjutkan zikir meniru suara
Ummi.
Delisa duduk bertelekan lutut di belakang Ummi.
Kemudian pelan memeluk leher Ummi yang duduk
berdzikir di depannya.
"Ada apa, sayang?" Ummi menghentikan zikirnya,
menoleh menatap muka Delisa yang ada di bahu kanannya,
tersenyum.
Ya Allah, mata Delisa teduh sekali. Mukanya lembut
menatap Umminya. Muka keturunan dengan mukena putih
menghias wajahnya. Muka yang habis dibasuh wudhu.
Muka Delisa yang habis dibasuh sujud (meski Delisa lupa
lagi bacaan sujud tadi).
Muka yang habis dibasuh dengan dzikir. Muka itu
mempesona. Mata hijau Delisa mengerjap-ngerjap.
"Ada apa sayang?" Ummi menggerak-gerakkan
badannya. Seolah-olah akan menggendong Delisa dari
belakang. Tersenyum, menggoda Delisa. Fatimah menatap
menyeringai dari belakang. Zikir mereka terhenti. Aisyah
dan Zahra bertatapan satu sama lain.
Bibir Delisa menyimpul senyum. Matanya sedang
menatap beningnya bola mata Ummi. Berbisik.
"Delisa.... D-e-l-i-s-a cinta Ummi.... Delisa c-i-n-t-a
Ummi karena Allah!" Ia pelan sekali mengatakan itu. Kalah
oleh desau angin pagi Lhok Nga yang menyelisik kisi-kisi
kamar tengah. Tetapi suara itu bertenaga. Amat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menggentarkan. Terdengar jelas di telinga kanan Ummi.
Kalimat yang bisa meruntuhkan tembok hati.
Ummi Salamah terpana. Ya Allah, kalimat itu sungguh
indah. Kalimat itu membuat hatinya meleleh seketika.
Delisa cinta Ummi karena Allah.... Tasbih Ummi terlepas.
Matanya berkaca-kaca. Ya Allah, apa yang barusan
dikatakan bungsunya? Ya Allah darimana ia dapat ide
untuk mengatakan kalimat seindah itu. Tangan Ummi
gemetar menjulur merengkuh tubuh Delisa.
"U-m-m-i juga cinta sekali Delisa.... -U-m-m-i c-i-n-t-a
Delisa karena Allah!" Ummi Salamah terisak memeluk
bungsunya. Memeluknya erat. Fatimah di belakang
menghela nafas. Adiknya sungguh diluar dugaan.
Zahra terdiam menundukkan kepala.
Aisyah tersentuh. Ia beranjak merangkak mendekat ke
depan. Ikut memeluk Umminya dari belakang, berbisik
lemah, "Aisyah juga cinta Ummi...."
Zahra dan Fatimah ikut mendekat. Mereka berpelukan
erat. Berlima. Anak-anak gadis yang sale-hah, dengan
Ummi pemberi teladan. Bertangisan bahagia. Delisa
merangkul kakak-kakaknya, menangis tersedan.
Pagi itu, Sabtu 25 Desember 2004. Sehari sebelum badai
tusnami menghancurkan pesisir Lhok Nga. Sebelum alam
kejam sekali merenggut semua kebahagian Delisa.
Pagi itu sebilah cahaya menyemburat dari rumah
sederhana itu, menghujam langsung ke langit. Cahaya
kemilau menakjubkan. Cahaya yang menggentarkan arasy
Allah. Membuat penduduk langit ramai bertanya. Siapa?
(Oo-dwkz-oO)
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Lepas sekolah, Delisa berlarian pulang. Melempar
tasnya. Mengganti pakaiannya. Mencari baju mengajinya.
Lagi-lagi ia mengaduk-aduk pakaian di lemari. Mulutnya
terbuka, sudah mau berteriak bertanya pada Ummi,
teringat, oh iya ada di atas meja. Delisa buru-buru menuju
meja belajarnya. Melompat mengambil baju TPA-nya.
Ia ingat sesutau lagi. Entar kak Zahra pasti marah. Buruburu
merapikan kembali tumpukan pakaian dalam lemari
mereka. Ampun, malah semakin acak-kadut.
Delisa berteriak pamit mengaji kepada Ummi. Seperti
biasa mengucap salam jarak jauh. Hari ini Delisa berangkat
ngaji TPA semangat sekali. Ada hadiah yang hendak
ditagihnya. Tadi pagi kan sukses besar.
Sepanjang mengaji, Delisa juga tak sabar menunggu
pengajian TPA-nya usai; bahkan tidak memperhatikan
banyak saat ustadz Rahman sibuk bercerita tentang ihklas
dan tulus. Ikhlas dan tulus? Ah, Delisa tidak
mendengarkan. Ia sibuk membayangkan hadiah yang akan
ia dapat.
Ketika ustadz Rahman mengucap salam menutup
pengajian. Delisa langsung maju ke depan. Kerudung
birunya dilepas lagi. Gatal! Mulutnya juga gatal menagih
janji.
"Ustadz, Delisa sudah melakukan seperti yang ustadz
bilang dua hari yang lalu..."
"Yang mana?" ustadz bertanya sambil menghapus papan
tulis. Lupa!
"Yang bilang ke Ummi! Kan ustadz yang bilang: 'Nah
coba kalian katakan kepada Ummi masing-masing. Nanti
kalau Umminya sampai menangis, ustadz beri hadiah!',"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Delisa persis menirukan suara ustadz Rahman waktu itu.
Amat menggemaskan caranya meniru.
Ustadz Rahman tertawa. Dia ingat sekarang. Soal katakata:
Aku mencintai Ummi, karena Allah. Dia memang
bilang itu dua hari lalu. Menyuruh murid TPA-nya
mengatakan itu ke Ummi mereka masing-masing. Itu
sunnah rasul. Kalian bilang ke seseorang yang kalian cintai
karena Allah.
"Memangnya Ummi Salamah menangis?"
Delisa memandang dengan mata hijau berbinar-binar.
Bangga. Mengacungkan dua jempolnya. Top dah!
"Bahkan kak Fatimah, kak Zahra, kak Aisyah juga
ikutan menangis...." Delisa nyengir melaporkan.
Ustadz Rahman tertawa lagi. Sejauh ini tak ada anak
yang melapor sesukses Delisa. Atau mungkin anak-anak
lain malas melakukannya. Tetapi Delisa beda, ia selalu
merasa kalau sesuatu itu menarik untuk dikerjakan, pasti
akan dikerjakan sungguh-sungguh. Apalagi kalau ada
hadiahnya. Makanya tadi pagi dia benar-benar serius
melakukannya. Dan sukses besar!
Tangan Delisa menjulur menagih janji.
Ustadz Rahman tersenyum. Merogoh saku baju
kokonya. Dia memang menyiapkannya. Siapa tahu dua-tiga
hari ke depan benar-benar ada yang bisa melakukannya.
Dan ternyata benar kan? Tentu saja Delisa bisa
melakukannya! Ia bahkan bisa melakukan hal-hal yang
lebih seru lagi.
Delisa berseru senang. Ustadz Rahman memberikan satu
batang coklat besar. Hatinya riang. Delisa benar-benar lupa
kalau shubuh tadi, sebenarnya hatinya juga ikutan terharu.
Ia menangis benar-benar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Saat ia merangkak mendekati Ummi, saat ia memeluk
leher Ummi, ia memang masih men-skena-riokan banyak
hal. Tetapi saat menatap wajah teduh Ummi, bening
matanya. Menatap Ummi yang terisak. Bergetar
menyebutkan kalimat yang sama,
ia benar-benar bahagia; entah tidak mengerti kenapa.
Kalimat tadi shubuh itu benar-benar keluar dari hatinya.
Tidak ada pengharapan yang aneh-aneh. Apalagi soal
cokelat ini. Ah, Delisa lupa fakta tersebut. Lebih asyik
memasukkan batag cokelat tersebut ke dalam tasnya.
Delisa pulang ngaji naik sepeda Tiur lagi. Dibonceng.
Kak Aisyah dan Kak Zahra lagi-lagi belum pulang. Lagilagi
latihan tari Saman, "Kan mau pentas dua minggu lagi
di balai kota, Delisa kan mau nonton bareng Abi!" Ummi
menjawab datar, entah sedang sibuk mengerjakan pesanan
pakaian dari siapa.
Kak Fatimah juga belum pulang. Delisa seperti biasa
bingung hendak melakukan apa; akhirnya memutuskan
untuk melesat menuju ke lapangan. Bermain bola.
"Eh, kamu nggak menghafal lagi? Kan besok praktek
shalatnya?" Ummi mencegahnya.
"Delisa sudah siap kok...."
"Katanya masih ketukar-tukar dikit?"
"Besok sudah siap kok...." Delisa sudah kabur duluan.
Berteriak mengucap salam.
(Oo-dwkz-oO)
Hari ini benar-benar menyenangkan buat Delisa. Tadi
pagi di sekolah dapat ponten 9 buat ulangan matematikanya.
Ibu Guru Nur memujinya. Terus dapat hadiah cokelat
dari ustadz Rahman. Ustadz
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Rahman juga memujinya. Terus menang main bola lagi.
Delisa bikin dua gol. Masih kalah dengan Teuku Umam
sih, dia bikin tiga gol. Tapi mereka jadi menang 5-0. Dan
Teuku Umam jarang-jarang juga ikut memujinya.
Pas Tiur datang, mereka memutuskan untuk belajar
sepeda langsung di jalan. Dan Delisa lancar melakukannya.
Tidak gugup. Tidak takut. Ia juga dipuji Tiur. Jadilah ia
menghabiskan sepanjang sore dengan riang gembira.
Satu jam kemudian duduk menatap pantai Lhok Nga.
Bersebelahan dengan Tiur. Memegang ranting. Mengguratgurat
pasir yang basah.
"Abi-mu belum pulang?" Tiur bertanya pelan meningkahi
suara anak-anak yang masih bermain bola (anak-anak yang
lebih besar).
"Dua minggu lagi..." Delisa menjawab pendek. Ia
sekarang asyik memperhatikan lapangan bola. Ada kakak
yang memakai baju Ronaldo. Tangkas menggiring bola
(entar ia mau seperti itu! maksudnya seperti Ronaldo;
bukan seperti kakak itu).
"Asyik ya... Delisa masih punya Abi!" Tiur berkata
pelan. Menelan ludah. Kalimatnya lemah terdengar.
Delisa menoleh. Ah, tentu saja ia tahu, Abi Tiur sudah
lama meninggal. Katanya mati di hutan. Delisa tidak tahu
urusan pertikaian politik itu. Tidak tahu apa maksud GAM
dan lain sebagainya. Yang ia tahu waktu Abi Tiur
meninggal setahun silam ia juga ikut sedih. Benar-benar
sedih. Bagaimana mungkin kalian tidak akan sedih melihat
kesedihan teman sendiri?
Tiur jadi yatim (itu istilah dari ustad Rahman); teman
yang baik, berbuat dua kali lebih baik dengan temannya
yang yatim.... Itu juga kata-kata ustad Rahman.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kan Abinya Delisa bisa jadi Abinya Tiur?" Delisa
tersenyum manis. Muka itu sungguh tulus. Dan pernyataan
itu tidak mengada-ada. Meski Delisa jagonya mengada-ada.
Setiap kali Abi pulang, Tiur yang tiga rumah dari rumah
mereka, selalu mendapatkan hadiah, sama banyaknya
dengan hadiah Delisa (dan Delisa tidak protes seperti kak
Aisyah). Selalu ikut mereka bersama kemana-mana. Ummi
Tiur sudah tua dan sakit-sakitan. Kakak-kakaknya bekerja
serabutan, kurang memperhatikan adiknya.
Tiur tersenyum lemah. Menatap Delisa.
"Kamu rindu Abimu ya?" Delisa berkata sok-mengerti.
Rambut ikal pirangnya bergerak-gerak. Mata hijaunya
berkerjap-kerjap. Pantai semakin anggun. Angin berhembus
menyibak anak rambut Delisa.
Tiur mengangguk.
Mereka berdiam diri lagi. Delisa sibuk berpikir dalam
hati, ia jelas-jelas masih beruntung, meski rindu Abi,
Abinya setiap tiga bulan pulang membawa banyak oleholeh.
Lah Tiur?
Pulang-pulang Delisa diomelin Ummi lagi.
"Delisa kan belajar naik sepeda, Mi. Tanya Tiur deh!"
(Oo-dwkz-oO)
Mereka berkumpul malam itu di ruang keluarga. Malam
minggu, menonton teve. Ummi amat ketat kalau
menyangkut urusan nonton teve. Mereka hanya boleh
nonton di waktu-waktu tertentu, seperti malam minggu ini.
Karena mereka sudah terbiasa dengan aturan main tersebut,
mereka tidak banyak protes.
Kak Fatimah malah asyik membaca. Sama sekali tidak
tertarik dengan acara teve. Kak Aisyah dan kak Zahra juga
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
asyik membuat entahlah dari karton-karton. Ummi di atas
kursinya juga membaca sesuatu. Hanya Delisa yang sibuk
menonton (dan acaranya juga tidak ia mengerti).
Tadi ia hendak bergabung dengan Kak Aisyah dan kak
Zahra. Membantu mereka menggunting-gunting dan
menulisi karton itu, tetapi mereka mengusirnya. Apa sih
yang mereka kerjakan, sampai tega mengusir Delisa jauhjauh.
Delisa dongkol sekali balik ke depan teve.
Tiba-tiba telepon berdering.
Ummi beranjak. Mengangkat telepon.
"Waalaikumussalam, A-B-I!"
Semua kepala tertoleh. Bergerombol mendekati Ummi.
Abi yang telepon. Kenapa? Kan jadwalnya baru senin pagi
lusa, bukan malam minggu ini? Abi ternyata sengaja
menelepon buat menyampaikan taklimat atau 'kalimat
penyemangat' besok untuk Delisa.
"Tenang saja, Bi! Delisa sudah hafal kok!" Abi tertawa.
"Hadiah sepedanya jadi ya!"
Abi tertawa lagi.
Telepon bergiliran diserahkan ke yang lain. Kak Aisyah
minta maaf soal Senin lalu. Yang lain hanya nyengir
mendengarnya. Ummi menceritakan soal tadi pagi; soal
kalimat Delisa yang menyentuh; suara Ummi terdengar
terharu lagi. Abi dari ribuan kilometer sana menghela nafas
mendengarnya. Terdiam. Dia juga akan menangis kalau
ada di sana....
Lima belas menit kemudian Ummi menutup telepon,
persis berbarengan dengan seruan Aisyah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"INI COKELAT SIAPA?" Aisyah mengangkat tinggitinggi
cokelat milik Delisa yang tidak sengaja jatuh dari
sakunya saat mendekati Ummi.
"Punya Delisa... ITU PUNYA DELISA!" Delisa
melompat menyambarnya. Kapiran sekali urusan, kalau ia
tidak bisa segera merebutnya. Kak Aisyah kan suka iseng;
biasanya pasti nanya, "Mana buktinya kalau ini punya
Delisa?", "Mana saksinya?" Menyebalkan pokoknya.
Delisa berhasil merebutnya. Berlari mendekat Ummi.
Berlindung di belakang Ummi, khawatir kalau-kalau Aisyah
kembali merebut cokelatnya.
Aisyah menatap menyelidik.
"Kamu dapat cokelat dari mana?"
"Hadiah!"
"Hadiah siapa?"
"Ustadz Rahman!"
"Ngapain pula ustadz Rahman ngasih kamu hadiah
cokelat?" Aisyah menyelidik. Sebenarnya pertanyaan yang
salah, Delisa memang sering dapat hadiah dari ustadz
Rahman. Masalahnya, orang-orang yang berbuat kekeliruan
selalu saja merasa salah tingkah untuk menjelaskan. Begitu
juga dengan Delisa. Ia bingung menjawab pertanyaan
sesederhana itu.
"Ee...." Kalimat Delisa terhenti. Tidak mungkin cerita
kan? Apalagi Delisa baru saja melihat muka Ummi yang
terharu menceritakan kejadian tadi pagi dengan Abi pas
menelpon.
Tiba-tiba Delisa merasa bersalah sekali. Ia tiba-tiba
menyadari baru saja memanfaatkan Ummi hanya untuk
hadiah sebatang cokelat. Ya Allah—
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ayo hadiah apa?"
Delisa menelan ludah. Ia kan tidak bisa berbohong.
Tetapi akan lebih rumit kalau ia cerita sekarang. Pasti
dihabisin kak Aisyah. Ah, besok-besok kan masih ada
waktu. Delisa akan cerita deh... Tetapi besok-besok
ceritanya. Janji Delisa dalam hati sungguh-sungguh
(Sayangnya Delisa tidak tahu! Tidak ada lagi besok-besok
itu).
"Ehh, hadiah karena Delisa anak yang baik...." Delisa
ngarang menjawabnya. Tertawa kecil (men-tertawakan
idenya barusan; kan nggak bohong? Kalimat itu bermakna
banyak; sama seperti anggukan ustadz Rahman saat ditanya
soal acara pernikahannya). Aisyah tidak puas atas jawaban
itu. Mendekat dengan tatapan semakin mengancam.
Delisa buru-buru membuka cokelatnya. Memotongnya
sepertiga. Menyerahkannya pada kak Aisyah.
"Nih buat kak Aisyah!"
Suapan itu ternyata sukses. Ummi tertawa melanjutkan
membaca buku, memang sering sekali Delisa pulang bawa
hadiah dari ustadz Rahman. Kak Fatimah hanya
menyeringai tidak berkomentar. Zahra tak bergeming di
atas meja.
Aisyah mengambil potongan cokelat tersebut. Lantas
kembali ke atas meja. Melanjutkan pekerjaan rahasia
bersama Zahra. Entah menulis apa di atas karton-karton itu.
Zahra langsung menyambutnya dengan berbisik pelan,
"Eh itu warnanya harusnya biru, Delisa kan suka biru!"
(Oo-dwkz-oO)
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
5. 26 Desember 2 004 Itu!
Delisa bangun dengan semangat. Shalat shubuh dengan
semangat. Tadi bacaannya nyaris sempurna (kecuali sujud;
bukan ketukar, entah mengapa tiba-tiba Delisa lupa bacaan
sujudnya; sebelum ingat bacaannya Ummi sudah keburu
bangkit duluan dari sujud; empat kali sujud; empat kali
delisa lupa secara sempurna).
Tetapi Delisa mengabaikan fakta itu. Toh, nanti pas di
sekolah ia punya waktu banyak untuk mengingatnya. Kalau
belum ingat, ya jangan bangkit dulu dari gerakan sujud.
Delisa bersenandung lagu "Aisyah Adinda Kita" sambil
mengenakan seragam sekolahnya (Delisa hafal lagunya;
karena sering diputar kak Aisyah di kamar; mentangmentang
lagunya memakai nama kak Aisyah ini, itu
komentar Delisa dulu, terganggu dengan suara kaset yang
diputar itu-itu mulu).
Delisa semangat berangkat sekolah hari ini. Janji kalung
itu membuatnya sumringah. Tadi selepas shubuh Delisa
sempat memaksa Ummi untuk memperlihatkan kalung
tersebut, Ummi dengan tegas menolak lagi.
Ibu Guru Nur memang sengaja memindahkan praktek
shalat anak-anak kelas satu ibtidaiyah ke hari Ahad. Biar
anak-anak lebih rileks. Biar keluarga mereka ikut
mengantar. Lagian akan memakan waktu lama, sayang
dengan jadwal pelajaran reguler lainnya. Mereka bisa
menghabiskan hari minggu ini full untuk ujian hafalan
bacaan shalat anak-anak.
Anak-anak juga senang datang hari minggu itu. Mereka
sudah berjejer rapi di halaman sekolah. Rapi memakai
seragam. Meskipun hampir semua anak memasang
tampang cemas, sibuk menghafal sendiri-sendiri, berbisik
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sendiri-sendiri, khawatir lupa satu-dua bacaan saat maju
menghadap.
Ummi ikut mengantar Delisa. Hari ini sekolah ramai
oleh ibu-ibu. Umminya Tiur yang batuk-batuk juga datang.
Sekolah seperti ada acara kecil. Memang setiap tahun Ibu
Guru Nur membuat ujian praktek shalat ini menjadi "pesta
kecil" saja. Yang tidak ada, ya itu, lemparan uang receh
logam.
Saat Ummi dan Delisa berangkat tadi pagi. Cut Aisyah
dan Cut Zahra buru-buru memasang karton-karton itu di
depan rumah. Berwarna biru-biru-biru. Diberi hiasan birubiru-
biru. Fatimah tersenyum membacanya. Ah, mereka
berdua juga kakak-kakak yang baik!
Jam tujuh teng.
Anak-anak berebut masuk kelas. Ummi menunggu di
luar, berbincang dengan Ummi Tiur (menanyakan
kesehatannya; menjanjikan akan menyuruh Fatimah
mengantarkan sweater buat Ummi Tiur; Ummi Tiur batuk,
tersenyum lemah. Berpikir lemah, ah, Ummi Salamah
benar-benar berhati emas, pantas anak-anaknya demikian
pula).
Sementara di kelas, tegang sekali tampang anak-anak.
Masih berisik mencoba memanfaatkan sisa-sisa waktu.
Ibu Guru Nur mengambil daftar absen. Mulai
memanggil satu persatu anak-anak untuk membaca hafalan
shalatnya di depan kelas. Langsung praktek. Kelas terdiam
seketika.
Satu anak maju. Anak-anak melotot memperhatikannya.
Sama-sama tegangnya. Anak yang maju itu pertama-tama
gugup. Patah-patah. Ibu Guru Nur menenangkan. Pelanpelan
mulai lancar. Dua puluh menit kemudian kelar. Ibu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Guru Nur mengangguk. Lulus! Menyerahkan selembar
kertas. Anak itu berlari senang keluar dari kelas.
Menunjukkan kertas tersebut. Ummi-nya menyambut riang.
Kelas jadi riuh lagi.
Delisa menelan ludah. Ia gugup. Bagaimana kalau ia
tiba-tiba lupa bacaan shalatnya? Seperti mau sujud tadi
pagi. Ia kan tiba-tiba lupa begitu saja, Aduh bagaimana ini?
Satu anak lagi maju. Patah-patah juga. Lupa bacaan
ruku1. Bu Guru Nur membantunya. Patah-patah lagi.
Tetapi dia hafal hingga sisanya. Juga lulus! Delisa menarik
nafas lega. Gak pa-pa lupa sedikit tuh! Delisa menyeringai
senang. Otaknya langsung membayangkan kalung itu.
Kalung itu akan indah di lehernya. Urusan ini tidak sesulit
yang dibayangkannya.
Dua anak lagi maju. Dua puluh menit masing-masing.
Lulus dua-duanya! Suasana berubah semakin santai. Tidak
sulit!
Satu anak lagi maju. Nah yang ini benar-benar kacau.
Banyak lupanya. Ibu Guru Nur menggelengkan kepala.
Tidak lulus. Delisa menyeringai menenangkan diri, ia jauh
lebih baik dari anak barusan. Bersiap untuk maju.
"Alisa Delisa"
Delisa menggigit bibir. Maju ke depan.
"Kamu pasti bisa sayang, kan ponten matema-tika-nya
kemarin dapat 9. Tertinggi di kelas!" Ibu Guru Nur
menatapnya sambil tersenyum. Menenangkan Delisa yang
muka keturunan-nya sudah memucat. Jadi kentara
tegangnya dibandingkan teman-temannya yang lain.
Delisa senang dipuji. Ia tiba-tiba jauh lebih lega (Ibu
Guru Nur sungguh pintar membesarkan hati). Delisa pelan
menyebut taawudz. Sedikit gemetar membaca bismillah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mengangkat tangannya. Tangan itu bergetar meski suara
dan hati Delisa pelan-pelan mulai mantap. Va Allah, Delisa
siap untuk shalat yang sempurna untuk pertama kalinya
kepadaMu. Delisa siap melewati ujian praktek ini. Delisa
akan khusuk.
//"Allaahu-akbar!"// xSxS Seratus tiga puluh kilometer
dari Lhok Nga. Persis ketika Delisa usai ber-takbiratulihram;
Persis ucapan itu hilang dari mulut Delisa. Persis di
tengah luatan luas yang beriak tenang. Persis di sana!
LANTAI LAUT RETAK SEKETIKA. Dasar bumi terban
seketika! Merekah panjang ratusan kilometer.
Menggentarkan melihatnya. Bumi menggeliat. Tahan
kematian itu mencuat. Mengirimkan pertanda kelammenakutkan.
//"Allahu-akbar ka-bi-ra walham-dulillahi ka-si-ro....//
Ya Allah, terban itu seketika membuncah bumi. Tanah
bergetar dahsyat, menjalar merambat menggentarkan
seluruh dunia radius ribuan kilometer. Bumi bak digoyang
tangan raksasa. Dan.... Ya Allah, air laut seketika bagai
mendidih. Tersedot ke dalam rekahan tanah maha luas itu.
Tahan kematian semakin mengerikan. Aroma tragedi besar
menggantung di langit-langit samudera. Ratusan ribu
penduduk Aceh dan sekitarnya tidak tahu. Milyaran
penduduk dunia belum tahu! Tetapi seribu malaikat
bertasbih di atas langit Lhok Nga. Melesat siap menjemput.
//"Innashalati, wanusuki, wa-ma-... wa-ma-...wa-mayah-
ya, wa-ma-ma-ti____//
zSitZ Gempa menjalar dengan kekuatan dahsyat. Banda
Aceh rebah jimpa. Nias lebur seketika. Lhok Nga
menyusul. Tepat ketika di ujung kalimat Delisa, tepat ketika
Delisa mengucapkan kata wa-ma-ma-ti, lantai sekolah
bergetar hebat. Genteng sekolah berjatuhan. Papan tulis
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
lepas, berdebam menghajar lantai. Tepat ketika Delisa bisa
melewati ujian pertama kebolak-baliknya, Lhok Nga
bergetar terbolak-balik.
Gelas tempat meletakkan bunga segar di atas meja Bu
Guru Nur jatuh. Pecah berserakan di lantai, satu beling
menggores lengan Delisa. Menembus bajunya. Delisa
mengaduh. Ummi dan Ibu-ibu berteriak di luar. Anak-anak
berhamburan berlarian. Berebutan keluar dari daun pintu.
Situasi menjadi panik. Kacau-balau. "Gempa! Gempa!!"
Orang-orang berteriak diluar sana.
"Innashalati, wanusuki, wa-ma-... wa-ma-... wa-ma-yahya,
wa-ma-ma-ti....
xSxS Delisah gemetar mengulang bacaannya yang
terganggu tadi. Ya Allah, Delisa takut.... Delisa gentar
sekali.... Apalagi lengannya yang berdarah; membasahi baju
putihnya. Menyemburat merah. Tetapi bukankah kata
ustadz Rahman, sahabat Rasul bahkan tetap tak bergerak
saat shalat ketika punggungnya digigit kalajengking.
Bahkan salah satu sahabat rasul lainnya begitu tenang
shalat meski dua temannya baru saja dipancung, dan dia
juga akan dipancung setelah shalatnya. Mereka manusiamanusia
pilihan begitu khusuk kala menghadap kepadaMu.
Delisa ingin untuk pertama kalinya ia shalat, untuk
pertama kalinya ia bisa membaca bacaan shalat dengan
sempurna, Delisa ingin seperti sahabat Rasul... Delisa ingin
seperti itu. Delisa ingin khusuk, ya Allah.
Delisa bergetar melanjutkan bacaannya.
//"La sya-ri-ka-la-hu wa-bi-, wa-bi-, wa-bi-jalika-u-mir-tu
wa ana minal mus-li-min....//
jtSjtS Ketika Delisa tiba di kalimat ini. Tiba di
penghujung kalimat itu. Bagai dipukul tenaga raksasa. Air
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang tersedot ke dalam rekahan tanah tadi kembali
mendesak keluar. Kembali menghempas berbalik. Sejuta
laksa air laut segera menderu menerpa amat ganas, bagai
tangan-tangan raksasa menuju bibir-bibir pantai. Mendesis
mengerikan. Bergemuruh menakutkan. Tingginya tak
kurang sepuluh meter. Kecepatannya bagai deru pesawat.
Melibas apa saja.
//"Al-ham-du-lillahirabbil 'a-la-min. Ar-rah-ma-nir-rahim.
Ma-li-ki-yau-mid-din...."// xSxS Ibu Guru Nur yang
demi melihat Delisa tetap tak bergerak membaca hafalan
shalatnya, ikut tak bergerak di atas meja. Kelas sudah
hampir kosong. Ummi mencoba masuk ke dalam kelas.
Mencari Delisa. Tetapi gempa sudah reda. Kepanikan
sudah lewat. Delisa bungsunya tak kurang satu apapun
masih takjim membaca hafalan shalatnya. Ibu Guru Nur
juga masih duduk di atas kursi gurunya. Ummi menghela
nafas panjang menatapnya. Ia tiba-tiba merasa seperti
melihat ada kemilau indah dari kerudung bungsunya.
Ummi balik melangkah ke halaman sekolah, membantu
Ummi Tiur yang tadi terjatuh pas berlarian. Kekacauan
mulai terkendali. Meski, ya Allah mereka tak tahu,
kekacauan yang lebih besar siap menghantam.
//"Ih-di-nas-siratol-mus-ta-qim....."//
xSxS Seluruh isi perahu nelayan itu berseru panik saat
melihat lautan seperti ditinggikan puluhan meter begitu
saja. Perahu mereka yang puluhan kilometer dari bibir
pantai Lhok Nga mental oleh tenaga besar. Tidak
terjungkir, tidak berdebam terguling, tetapi mengerikan
sekali melihat ombak besar itu melewati mereka.
Menggentarkan menyaksikan tenaganya.
Mereka sedikitpun tidak berpikir, sejenak lagi gelombang
itu akan meluluh-lantakkan rumah-rumah mereka. Mereka
sudah terlampau pias. Menyaksikan deru ombak yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
semakin menjauh menjamah bibir pantai. Ombak itu
teramat tinggi! Ada yang tidak beres.
//"Ar-ro-ai-tal-la-zi yu-kad-di-bu-bid-din. Pa-dja-li-kal-laji
ya-du'ul... ya-du'ul... ya-du'ul____"// Delisa lupa
kelanjutannya.
Bu Guru Nur yang mulai reda dari tegangnya hendak
membantu. Delisa menggeleng-gelengkan kepalanya.
Kerudung birunya bergetar. Jangan! Jangan bantu! Delisa
bisa ingat kok.... Ya, jembatan keledai kak Aisyah.... Surat
itu kan tentang Tiur.... Tentang Tiur yang yatim... ah iya....
//"ya-du'ul-ya-tim..."//
Delisa menyeringai, tersenyum senang. Hafalan ini
mudah. Semua ini mudah. Asal ia tenang. Asal ia khusuk.
xSxS Gelombang itu sudah menyapu kota Banda Aceh,
dan sepanjang pesisir yang lebih dekat dengan muasalnya.
Orang-orang berteriak histeris. Tak bisa melakukan apapun
untuk menyelamatkan diri. Rumah bagai sabut yang
disaput air. Pohon-pohon bertumbangan bagai kecambah
tauge yang akarnya lemah menunjang. Tiang-tiang listrik
roboh tanpa ampun bagai lidi yang ditancapkan di pasir
basah. Mobil-mobil terangkat seperti mainan, dan orangorang
yang tidak beruntung terperangkap oleh arus kencang
mematikan. Menjemput maut.
//"Sub-ha-nal-lah-rab-bi-yala-dzi-mi wa-bi-hamdih...."//
Gelombang tsunami sudah menghantam bibir pantai
Lhok Nga. Orang-orang yang di pagi Ahad biasanya dudukduduk
menikmati hari di pasir pantai berteriak terperanjat.
Terkejut melihat betapa dahsyatnya ombak yang tiba. Plesir
mereka berubah menjadi tahan kematian. Terlambat,
gelombang itu menyapu lebih cepat. Tanpa ampun. Tanpa
pandang bulu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pohon kelapa bertumbangan. Lapangan bola Delisa
tersaput begitu saja. Tiang-tiang gawang itu ditelan ombak.
Gelombang terus menyapu bersih rumah-rumah di bibir
pantai; muenasah yang indah. Meunasah itu lebur seketika.
RumahMu ya Allah!
Terus bergerak mengerikan, mendekat ke sekolah Delisa.
Menyebar hawa maut tak terkirakan.
//"Sa-mi-al-la-hu-li-man-ha-mi-dah...."//
xSxS Gelombang itu menyentuh tembok sekolah.
Beberapa detik sebelumnya terdengar suara bergemuruh.
Juga teriakan-teriakan ketakutan orang di luar. Delisa tidak
melihat betapa menggentarkan saputan gelombang raksasa
itu. Delisa mendengar suara mengerikan itu. Tetapi Delisa
sedang khusuk. Delisa ingin menyelesaikan hafalan
shalatnya dengan baik. Ya Allah Delisa ingin berpikiran
satu. Maka ia tidak bergeming dari berdirinya.
Ujung air menghantam tembok sekolah. Tembok itu
rekah seketika. Ibu Guru Nur berteriak panik. Ummi yang
berdiri lagi di depan pintu kelas menunggui Delisa berteriak
keras.. .SUBH AN ALLAH! Delisa tidak mempedulikan
apa yang terjadi. Delisa ingin khusuk. Delisa ingin satu.
//"Rab-ba-na-la-kal-ham-du...."//
Tubuh Delisa terpelanting. Gelombang tsunami
sempurna sudah membungkusnya. Delisa megap-megap.
Ya Allah, ia selintas bisa melihat hadiah kalungnya.
Hadiah kalung itu sudah dekat. Ya Allah Delisa ingin terus.
Delisa ingin khusuk di shalat pertamanya yang sempurna.
Shalat yang ia hafal seluruh bacaannya.
Gelombang tsunami tanpa mengerti apa yang diinginkan
Delisa membanting tubuh Delisa keras-keras. Kepalanya
siap menghujam tembok sekolah yang masih bersisa. Delisa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terus memaksakan diri, membaca takbir setelah //i'tidal....
"Al-la-hu-ak-bar...."// Delisa harus terus membacanya!
Delisa tidak peduli tembok yang siap menghancurkan
kepalanya.
Tepat Delisa mengatakan takbir sebelum sujud itu, tepat
sebelum kepalanya menghantam tembok itu, selaksa cahaya
melesat dari arasy Allah. Tembok itu berguguran sebelum
sedikit pun menyentuh kepala mungil Delisa yang
terbungkus kerudung biru.
Air keruh mulai masuk, menyergap kerongkongan
Delisa. Delisa terbatuk. Badannya terus terseret. Ya Allah,
Delisa ditengah sadar dan tidaknya ingin sujud.... Ya Allah,
Delisa ingin sujud dengan sempurna.... Delisa sekarang
hafal bacaannya.... Delisa tidak lupa seperti tadi shubuh.
Ya Allah Delisa sungguh tidak lupa seperti empat kali
sujud shubuh tadi pagi. Delisa hafal. Gemetar jemari Delisa
hendak memberikan tanda ia ingin sujud.... Tetapi
terlambat, ia terlanjur pingsan. jtSjtS Tubuh Delisa
terlempar kesana-kemari. Kaki kanannya menghantam
pagar besi sekolah. Meremukkan tulang-belulang betis
kanannya. Delisa sudah tak bisa menjerit lagi. Ia sudah
sempurna pingsan. Mulutnya minum berliter air keruh.
Tangannya juga terantuk batang kelapa yang terserat
bersamanya. Sikunya patah. Mukanya juga dilibat pelepah
batang kelapa itu, menimbulkan baret luka di mana-mana.
Muka yang menggemaskan itu. Muka yang riang. Sekarang
lebam tak berbentuk lagi. Dua giginya patah seketika.
Darah menyembur dari mulutnya. **
zSitZ Ibu Guru Nur yang saat terlempar dari ruang kelas
sempat berpegangan pada sebilah papan, beberapa detik
melihat tubuh Delisa yang terseret di dekatnya. Ibu Guru
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
**Ya Allah... lihatlah'. Gadis kecil itu sungguh ingin
sujud kepadaMu... sungguh hanya ingin sujud kepadaMu
dengan sempurna untuk pertama kalinya. Tetapi sekarang
ia tak bisa melakukannya'.
Ya Allah, bukankah banyak sekali orang-orang jahat,
orang-orang munafik, orang-orang fasik yang bisa
semaunya melakukan hal-hal buruk di dunia ini. Engkau
sungguh tak menghalanginya'. Tetapi Delisa'. Ya Allah
Delisa justeru hendak sujud kepadaMu.... Hendak sujud'.
Kenapa Kau membuatnya pingsan sebelum ia sempat
melakukannya. Kenapa?Ya Allah, kenapa. Aku bertanya....
Aku butuh penjelasan.... Seribu malaikat bertasbih. Seribu
malaikat mengungkung langit lhok Nga. Turun enatap
semua itu. Dan mereka tidak melakukan apa-apa'.
*** Nur berseru panik demi melihat tubuh Delisa yang
muncul-tenggelam. Tersedak karena seruannya membuat ia
meminum air kotor lagi. Sambil menahan sakit badannya
yang setengah menit terakhir terhujam benda-apa-saja, Ibu
Guru Nur ber-takbir lemah "Allahu-akbar" mengayuh
tangannya sekuat tenaga mendekat. Tubuh itu mulai
tenggelam.
Ibu Guru Nur dengan sisa-sisa kekuatan yang ada
berjibaku mendekati tubuh Delisa. Mulutnya tersedak.
Meminum lebih banyak air lagi. Tapi ia tidak peduli.
Gemetar tangan Ibu Guru Nur menggapai. Sakit sekali,
tangan itu terhantam balok kecil. Ibu Guru Nur menggigit
bibir keras-keras. Ia harus berhasil menyentuh Delisa tepat
waktunya.
Tangan itu setelah kesekian kalinya panik mengadukaduk
air yang semakin gila menyeret, akhirnya berhasil
mencengkeram kerudung biru Delisa persis sebelum Delisa
sempurna tenggelam. Ibu Guru Nur menariknya kencangkencang.
Sekencang tenaganya bersisa.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kerudung Ibu Guru Nur robek entah dihantam apa saat
berusaha menarik tubuh Delisa. Tangannya berdarahdarah.
Ia setelah tersengal-sengal berhasil meletakkan
Delisa di atas papan. Tetapi ia segera menyadari sesuatu.
Papan itu terlalu kecil. Tidak muat untuk mereka berdua.
Tak akan mampu menampung dua nyawa. Papan itu pelan
mulai tenggelam.**
*** Tubuh Delisa mulai tenggelam. Tubuh Delisa mulai
menjemput kematiannya. Tubuh delisa-Ya Allah, lihatlah'.
Aku mohon.... Itu permohonanku yang pertama.
zSzS Ibu Guru Nur tidak sempat berpikir panjang. Saat
tubuh mereka berdua mulai perlahan tenggelam, Ibu Guru
Nur melepas kerudung robeknya. Mengikat tubuh Delisa
yang pingsan di atas papan sekencang yang ia bisa dengan
kerudung itu. Lantas sambil menghela nafas penuh arti,
bergetar tangan berlaksa maksud, gemetar bibir
memanggang makna, melepaskan papan itu dari tangannya
pelan-pelan, sebilah papan dengan Delisa yang pingsan
terikat kencang di atasnya.
"Kau, harus menyelesaikan hafalan itu, sayang.... Kau
harus menyelesaikannya!" Ibu Guru Nur berbisik sendu.
Menatap sejuta makna. Matanya meredup. Tenaganya
sudah habis. Ibu Guru Nur bersiap menjemput syahid.
Akhir yang indah baginya! **
Tubuh lemah Delisa terus terseret jauh gelombang
tsunami. Terikat di atas papan. Bersama ribuan orang
lainnya. Hari itu pagi Ahad, 26 Desember 2DD4. Penduduk
dunia mencatatnya!
Hari itu pagi Ahad, 26 Desember 2004. Penduduk langit
mencatatnya. Mencatat manusia- manusia terbaik....
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
** Ya Allah, padahal banyak sekali manusia, yang
katanya mahkluk terbaik ciptaanMu, bahkan memiliki
berjuta bilah papan yang bahkan cukup untuknya hidup
sejuta tahun.... Bilah papan yang tak pernah berbagi....
Bilah papan yang dimakan sendiri.... Demi nafsu dunia dan
cinta materi.... Tetapi lihat/ah, mereka hanya punya sebilah
papan. Hanya punya sebilah nyawa yang akan
diselamatkan.
** Seribu malaikat mengungkung langit lhok Nga
memuji namaMu ya Allah.... Seribu malaikat
mengungkung langit lhok Nga menyebut asmaMu ya
Allah.... tak pernah seperti itu semenjak Ibrahim a/ Pasai
memilih turun dari tahtanya. Meninggalkan seluruh
kenikmatan dunia demi berbagi di kerajaan Samudera
Pasai. Seribu malaikat mengucap salam untuk Ibu Guru
Nur.
(Oo-dwkz-oO)
6. Berit a-berita d i tev e
//"Mam, look!"// anak kecil berambut pirang,
mengenakan kaos putih polos, celana selutut, memakai
sepatu berkaos kaki berteriak memanggil ibunya.
Sebenarnya tak perlu-lah berteriak, mereka berdua duduk
bersama dalam ruang keluarga yang nyaman, terang
benderang.
Hiasan natal tergantung di mana-mana. Salju turun
lembut diluar. Pagi yang indah. Setelah semalaman
merayakan //christmas eve// yang tenang. Pohon cemara
kerlap-kerlip menambah nyaman ruangan tersebut. Kaos
kaki sinterklas tergantung di dinding, dipenuhi kotak-kotak
hadiah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sang ibu yang sedang membaca, menoleh. Melihat
anaknya yang terhenti menyusun balok-balok bangunan
(hadiah tadi malam juga). Ikut menatap teve, di mana
tangan anak tersebut tertunjuk.
Gempa berkekuatan 8,9 skala richter menghantam
bagian utara pulau Sumatera, Indonesia. Banda Aceh,
Sumatera Utara dan sekitarnya. Konfirmasi terakhir
mengatakan sekitar 3.000 orang meninggal. Tidak ada yang
tahu apakah korban akan bertambah atau tidak. Yang pasti,
gempa tersebut merupakan salah satu gempa terbesar yang
pernah terjadi di daerah tersebut. Bahkan di seluruh dunia.
Si Ibu menyeringai pelan. Pembawa acara News
Morning! CNN di layar teve pindah ke berita lainnya.
Berita itu mungkin biasa-biasa saja di salah satu
neighborhood sudut kota Helsinki, Finlandia tempat
rumahnya berada. Apalagi kejadian itu puluhan ribu
kilometer dari negara mereka. Tetapi istilah ujung pulau
Sumatera, Indonesia penting bagi keluarga itu. Banda Aceh!
Jangan-jangan! Si Ibu mendadak mendesis cemas.
Tergesa bangkit lantas berlari, gemetar menyambar gagang
telepon di atas meja. Bergetar menekan tombolnya.
Ketukan di tombol nomor pesawat telepon
bertransformasi menjadi perintah. Berubah menjadi kode
binari. Melesat melalui jaringan kabel optik kota Oslo.
Melesat menuju satelit melalui kubah pemancar. Lantas
dilemparkan ke atas samudera Indonesia. Tiba di satelit
palapa C-2. Turun menghujam ke bumi. Ke kota yang baru
saja remuk oleh bencana.
Telepon genggam suaminya bergetar. Bernyanyi riang.
Mendesiskan lagu "My way". Pelan, penuh tenaga. Bukan
hanya pholyponic, melainkan dengking lagu yang
sempurna.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sayang. Jemari itu sudah membeku. Tangan itu
tertimbun sampah dan lumpur. Muka bule itu sudah tak
dikenali. Hanya HP satelit yang water resistance itulah yang
menunjukkan kehidupan. Sisanya tidak. Tidak juga radius
puluhan kilometer dari tubuh membeku itu. Hening.
Kepedihan baru saja memanggang kota ini.
Dr Michael J Fox. Pakar sosiologi universitas ternama
Helsinki, Finlandia menjemput maut, saat melakukan
penelitian tentang struktur dan tingkah laku religius
masyarakat Banda Aceh dan Lhok Nga.
Mahal sekali! Mengingat dia membutuhkan tak kurang
enam bulan hanya untuk mendapatkan ijin ke Banda Aceh
dan Lhok Nga. Mahal sekali! Mengingat anaknya Junior
yang berumur enam tahun ringan kembali meneruskan
menyusun balok, tak tahu apa yang telah terjadi pada papanya,
baru tahun-tahun mendatang mengerti makna tentang
hilang dan kehilangan. Mahal sekali! Mengingat istrinya
berteriak panik, gemetar menghubungi siapa saja yang bisa
ia hubungi.
Mahal sekali! Mengingat seharusnya dia bisa saja
menghabiskan waktu perayaan natal bersama keluarga
tercinta tadi malam. Bukan malah menjemput maut di
negeri antah-berantah.
(Oo-dwkz-oO)
Musnah! Semuanya musnah. Benar-benar tak bersisa.
Masalahnya informasi menyebar amat lambat
dibandingkan gelombang tsunami yang meluluhlantakkan
semua. Informasi bergerak merangkak. Terpotong-potong.
Sore hari. Dunia masih menyeringai! Kabar gempa itu
seperti tak ada bedanya dengan bencana dunia lainnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Makan siang masih indah. Menyeruput teh sambil
mencelupkan roti tawar masih nyaman. Bercanda dengan
teman dekat masih menyenangkan. Tak ada yang perlu
dikhawatirkan. Bukankah gempa bumi dan bencana alam
lainnya sering melanda bumi belakangan. Topan di
Amerika. Banjir besar di China. Bahkan perang di
Afganistan dan Irak saja mereka santai-santai. Pembantaian
di Palestina dan Checnya mereka oke-oke saja.
Lagi pula Indonesia bukan negara penting.
Tetapi puluhan wartawan tetap melesat menuju lokasi.
Skala gempa itu tinggi! Ada yang tidak beres. Wartawan
yang masih tersisa di Banda Aceh dan sekitarnya berjuang
mengirimkan tragedi yang sesungguhnya. Apa daya. Apa
yang bisa digunakan lagi? Kehidupan kembali primitif. Tak
ada pemancar, tak ada telepon, tak ada listrik. Semuanya
tak ada.
Yang banyak di sini hanyalah kesedihan. Yang banyak di
sini hanyalah muka-muka kehilangan. Yang banyak di sini
adalah sisa-sisa kerusakan. Mayat! Bangunan hancur!
Pohon tumbang! Tumpukan sampah!
Malam hari. Berita pertama melesat. Gempa itu diikuti
gelombang tsunami! Kekhawatiran memuncak. Korban
tewas diperkirakan 15.000. Dunia mulai tersentak. Gambar
satelit ditayangkan teve-teve dunia yang memiliki teknologi
canggih.
Makan malam mulai tak menyenangkan. Akhir pekan
sekaligus akhir tahun yang indah terganggu. Mengernyitkan
dahi. Keprihatinan mulai menjalar.
Sungguh berita seperti itu saja sudah menggentarkan.
Tak ada yang menyangka ternyata jumlah korban sepuluh
kali lipat lebih menggentarkan. Bahkan tetap tidak ada yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tahu persis, jumlah korban enam bulan kemudian. Juga
hingga hari ini. Orang-orang mulai mengambil sikap!
(Oo-dwkz-oO)
"Kami harus berangkat ke Indonesia, Prof. Strout!" Istri
Michael J. Fox menahan tangis.
"Bersabar, Jinny! Tak ada yang bisa kita lakukan selain
menunggu!"
"Bagaimana aku bisa bersabar profesor! Menurut CNN
korban sudah mencapai 15.000, bahkan diperkirakan lebih!
Kita tidak tahu apa yang terjadi dengan suamiku! Telepon
satelitnya tidak pernah diangkat! Itu jauh lebih mengganggu
dibandingkan tidak ada nada panggil misalnya!" Istri
Michael mulai tidak terkendali.
Prof. Strour mengenggam lengannya. Menghela nafas
panjang. Berbisik berkali-kali. Sabar! Situasi ini sungguh
tidak terkendali. Dia juga sama sekali tidak tahu harus
melakukan apa, selain mendekap istri kolega terbaiknya.
Malam itu, di rumah dekat kampus universitas Helsinki
yang bermandikan lampu hias. Lampu-lampu perayaan
natal. Lampu-lampu perayaan tahun baru. Kesedihan
merambat tak pandang bulu. Kehilangan melingkupi tak
mengenal ampun. Meski sayangnya terkadang hanya
berbilang waktu singkat saja!
Manusia memang bebal soal belajar dari berbagai
kejadian.
(Oo-dwkz-oO)
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dan semuanya memang sungguh tak terkendali. Tak ada
yang mengerti harus melakukan apa 24 jam kemudian.
Indonesia bagai diguncang gempa berikutnya yang lebih
dahsyat. Kepanikan melanda di mana-mana. Anak-anak
perantauan Aceh dan yang berkepentingan lainnya berebut
mencari tahu. Apa yang sebenarnya terjadi di pagi hari
Minggu ketika hujan gerimis hampir membasuh seluruh
Indonesia. Apa yang terjadi di Banda Aceh dan sekitarnya.
Bandara dipenuhi orang-orang yang ingin mencari tahu.
Stasiun teve berebut mengirimkan orang-orang terbaik
mereka. Kecemasan melanda. Ketakutan muncul di manamana.
Desah nafas tertahan, terdengar bagai menghitung
waktu mundur kala menonton tayangan teve yang perlahan
mengerikan. Semakin lama volumenya semakin bertambah.
Semakin membesar.
(Oo-dwkz-oO)
Senin siang! Bencana itu semakin jelas. Angka korban
memang lambat bertambah. Tetapi itu urusan birokrasi.
Dunia sudah mendapatkan gambar-gambar! Dunia sudah
mendapatkan gambaran. Apa gunanya semua satelit itu.
Meskipun koran-koran nasional baru bergegas
menayangkan foto satelit itu beberapa minggu kemudian.
Gambaran itu bahkan separuh pun belum benar. Walau
separuh pun belum benar, cukup sudah untuk membuat
kaki kami lemas berdiri.
Teve-teve mulai menayangkan doa.
(Oo-dwkz-oO)
Orang-orang semakin jelas mengambil sikap.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
(Oo-dwkz-oO)
Panglima perang Indonesia mengontak negara-negara
sahabat. Bantuan harus segera dikirimkan. Apa saja yang
ada! Apa saja yang tersedia!
Di sana-sini memang masih terdapat keraguan. Masih
terdapat sisa-sisa kemunafikan. Masih terdapat gagap
bertindak. Tetapi itu hanya soal hitungan menit. Ketika
semua mulai jelas tersingkap. Hati itu luluh.... Entah besok
bisa jadi hitam menggumpal lagi, itu urusan lain!
Helikopter tempur berbagai negara, bantuan obat-obatan
militer negara-negara seberang melesat menuju ujung pulau
Sumatera. Sama cepatnya dengan ucapan belasungkawa.
Teve-teve mulai menggurat kesedihan di layar. Mulai
mendendang lenguh ratapan. Mulai memukul tifa luka
berenda air mata. Memilukan. Menatap potongan gambar
yang sebenarnya jauh dari lengkap. Video amatir menghias
profesional bingkai teve di rumah-rumah warga.
Makan siang sungguh tidak enak lagi! Sungguh
semuanya hancur. Sungguh semuanya musnah. Ya Allah,
kami tidak pernah melihat kehancuran seperti ini. Kota itu
tak bersisa, kota ini luluh lantak hanya meninggalkan
berbilang kubah masjid, kota itu menjadi coklat, kota ini tak
berpenghuni lagi. Kota ini! kota itu!
Kota-kota kami.
(Oo-dwkz-oO)
"Bangsa Amerika ikut berduka cita...." Bush Junior
berkata datar. Esoknya dia dicerca rakyat negerinya sendiri
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sebagai pemimpin negeri besar yang tidak tanggap dan tidak
peduli. Tetapi itu urusan mereka.
Urusan kita sekarang adalah di mana Delisa?
(Oo-dwkz-oO)
Di mana Delisa, wahai pemilik alam semesta?
(Oo-dwkz-oO)
Saat Bush berkata demikian....
Delisa justeru sedang bermimpi.
Ummi, Cut Fatimah, Cut Aisyah, Cut Zahra dengan
pakaian bercahaya menjemputnya di ujung taman indah.
Taman berjuta pohon, taman berjuta bunga, taman berjuta
warna. Ummi dan kakak-kakaknya bercengkerama riang.
Mereka berempat berjalan bergandengan. Tersenyum
menawan. Menjemput janji. Mereka berjalan di depan
Delisa menuju gerbang taman tersebut. Pakaian putih
mereka berkibar elok.
Burung-burung camar melenguh di sekitar mengiringi.
Cahaya matahari redup menyenangkan. Gerbang taman itu
indah sekali.
Delisa sedang duduk, saat mereka datang. Hei! Delisa
tidak bisa bergerak. Delisa tidak bisa berdiri. Dan mereka
berempat mengapa hanya berlalu begitu saja melewati
Delisa. Ummi, kak Fatimah, kak Aisyah, kak Zahra
melangkah menjauh, tidak menoleh. Bukankah mereka
akan menjemputku?
Delisa panik. Tidak! Bagaimana mungkin mereka hanya
lewat begitu saja di depannya. Lewat di depannya yang
sedang duduk di atas tepi jalan menuju gerbang taman
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tersebut. Tidak! Ia tidak ingin seperti di pasar Lhok Nga. Ia
tidak ingin tertinggal. Bagaimanalah ia akan mencari tahu
di mana mereka kalau ia sampai tertinggal.
Bukankah tidak ada siapa-siapa kecuali mereka di sini.
"UMMI!" Delisa berteriak kencang. Berusaha
menggerakan kakinya. Berusaha berdiri. Berusaha
merangkak dari tepi jalan tersebut.
Ummi tidak mendengar.
"KAK FATIMAH!" Delisa mulai panik. Bagaimana
mereka tak mendengarnya. Bagaimana mereka tak tahu
kalau aku tertinggal di belakang.
Kak Fatimah tidak mendengar.
"KAK ZAHRA!" Delisa semakin panik.
Kak Zahra sama sekali tidak mendengar.
Ya Allah, apa yang terjadi dengan semua ini. Delisa
takut. Delisa gentar. Delisa tak ingin ditinggal sendiri.
Kemanapun mereka akan pergi.... Delisa ingin ikut. Delisa
ingin ikut. Delisa meronta-ronta. Badannya tetap saja tak
bergeming. Apa yang terjadi dengan tubuhnya. Bagaimana
Delisa sedikitpun tidak bisa bergerak untuk menyusul
mereka.
"KAK AISYAH!" Delisa tersengal. Suaranya lebih dari
panik sekarang. Ia berteriak sekencang yang ia bisa.
Suaranya parau. Parau oleh tangisan. Parau oleh
kecemasan.
Dan kak Aisyah sedikitpun tidak mendengar.
Empat sosok indah itu hilang di bawah bingkai gerbang
taman indah. Meninggalkan Delisa yang terduduk di tepi
jalan. Sendiri! Begitu saja.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
(Oo-dwkz-oO)
"Putar kemudi!" Laksamana Jensen Hawk berkata
dingin. Raut mukanya menegang. Bibirnya berkedut-kedut.
Perintah itu bagai seribu kartu yang berdiri dideretkan di
atas meja, kemudian dirobohkan ujungnya. Langsung
rebah. Menjalar hingga ke ujungnya. Kapal induk John F.
Kennedy yang menggunakan reaktor nuklir sebagai bahan
bakarnya langsung berputar haluan. Ribuan kelasi dan
pasukan yang ada di atas kapal diberitahu. Bagai seribu
kartu yang roboh, perintah itu menjalar.
Perintah super-penting. Menuju ujung utara pulau
Sumatera.
Tak ada prajurit yang bertanya kenapa? Meski mereka
sebentar lagi akan tiba di rumah. Tak ada dengung
keberatan. Meski mereka sebentar lagi akan bertemu
dengan keluarga masing-masing. Meski mereka bersiap
libur setelah lama bertugas menjaga dunia.
(Oo-dwkz-oO)
Di mana Delisa?
Saat laksamana di Kapal Induk mengatakan kalimat
tersebut, Delisa sedang bermimpi bertemu Ibu Guru Nur.
Ibu Guru Nur datang mendekat. Melangkah tersenyum.
Mengelus kerudung biru Delisa. Mengusap air mata Delisa
yang jatuh berderai. Mendiamkan Delisa yang menyebut
lemah dan tersedan Ummi, kak Fatimah, kak Aisyah, dan
kak Zahra.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ibu Guru Nur datang dengan kerudung indah. Kerudung
itu bagai dari air. Kerudung itu sungguh bagai air. **
"Jangan menangis, sayang!" Ibu Guru Nur tersenyum.
Merengkuh Delisa dalam pelukan.
"D-e-l-i-s-a t-a-k-u-t!" Delisa terisak.
"Apa yang kau takutkan, anakku?" Ibu Guru Nur
menatap amat mempesona.
"Ummi, kak Fatimah, kak Aisyah, kak Zahra pergi...
Pergi... tak mengajak Delisa!"
** Ya Allah, aku pernah sekali melihatnya'. Jadikan ia
sebagai kerudung yang akan dipakai "perhiasan terbaikku".
Pinjamkan ia di atas kepala kekasih dunia-akheratku'.
"Mereka tidak ke mana-mana sayang...."
"Tetapi.... Tetapi Delisa takut s-e-n-d-i-r-i...."
Ibu Guru Nur mengusap pelan lengan Delisa.
Tersenyum lembut. Matanya bening menatap lamat-lamat.
"Kau memiliki lebih banyak teman dibandingkan seluruh
dunia dan seisinya, Delisa...."
Delisa menatap tak mengerti. Delisa menatap tak paham.
Bukankah ia jelas-jelas sendiri di depan taman indah itu.
Badannya tidak bisa bergerak. Tak bisa menyusul Ummi
dan kakak-kakaknya tadi. Bukankah tak ada siapa-siapa di
sini?
Ibu Guru Nur tidak menjelaskan lebih lanjut seperti
biasanya kalau di kelas Delisa menatap dengan ekspresi
yang sama seperti itu. Ibu Guru Nur hanya tersenyum lagi.
Mengusap kerudung biru Delisa lagi. Delisa terdiam.
Senyuman dan usapan itu menenangkan. Delisa perlahan
berhenti dari sedu sedannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Membalas tatapan Ibu Guru Nur. Menatap betapa
indahnya kerudung Ibu Guru Nur.
"Kerudung Ibu Guru Nur indah sekali!" Delisa berkata
lemah. Tangannya menyentuh kerudung itu. Bagai
mengalir di jemari. Bagai menembus ujung-ujung jari.
Ibu Guru Nur tersenyum.
"Ini kerudungmu sayang.... Ini kerudung yang kau
pinjamkan.... Kaulah yang membuat Ibu mendapatkan
kerudung seindah ini.... Ketahuilah, sayang, kau kelak akan
mendapatkan kerudung yang sepuluh kali lebih indah dari
kerudung ini.... Kau akan mendapatkannya. Kami semua
akan menunggumu...."
Ibu Guru Nur tersenyum. Mengelus kepala Delisa untuk
terakhir kalinya. Beranjak berdiri. Dan sebelum sempat
Delisa bertanya, atau apalah, Ibu Guru Nur sudah
melangkah menuju taman indah itu.
Delisa panik lagi. Ya Allah, Ibu Guru Nur mau kemana?
Delisa tidak ingin sendiri. Delisa tidak mau sendiri.
Bukankah Ummi, kak Fatimah, kak Aisyah, kak Zahra juga
sudah pergi meninggalkannya tadi?
"IBU GURU NUUUURM" Delisa berteriak parau.
Ibu Guru Nur tidak mendengarkan.
(Oo-dwkz-oO)
Elementary School Rose The Elizabeth. Tepat di jantung
kota London. Michelle dan Margaretha, kembar enam
tahun berdiam diri. Mukanya tertunduk takjim. Tangannya
merapat. Mata birunya terpejam. Seluruh isi kelas hening.
Tadi pagi sebelum mereka memulai pelajaran kelas satu.
Michelle dan Maragaretha berdiri di depan kelas.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Memimpin doa-doa. Berkata lemah.... "Untuk teman-teman
kami di Aceh.... Untuk teman-teman kami di
Indonesia....11
* * Ya Allah, bahkan mereka sekecil itu tahu apa yang
harus mereka lakukan'. Bahkan mereka sekecil itu tahu arti
ikut merasakan.... Ikut berbagi.... Ya Allah, sungguh ada
banyak sekali orang-orang yang bahkan tidak tahu buat apa
mereka hidup di dunia ini.... Tidak tahu Kau akan bertanya
banyak kelak di penghujung pengadilan. Tidak tahu kau
akan meminta seluruh pertanggung-jawaban kelak. Tidak
tahu semuanya pasti mendapatkan balas walau setitik d
jarah.
(Oo-dwkz-oO)
Di mana Delisa?
Delisa sedang bermimpi lagi ketika Michelle dan
Margaretha, kembar enam tahun berdiam diri. Ketika dua
muka kembar itu tertunduk memimpin do'a temantemannya.
Lewat di depan Delisa yang terduduk tak bisa bergerak:
Tiur, Ummi Tiur dan kakak-kakak Tiur.
"D-e-l-i-s-a!" Tiur tersenyum riang berlari memeluknya.
Ummi Tiur tidak batuk, tidak terlihat sakit. Ummi Tiur
amat sehat dan tersenyum bahagia. Kakak-kakak Tiur tidak
bertampang kusut seperti biasanya kalau mereka sedang
mengangkut barang-barang di pasar Lhok Nga. Wajah
mereka bahagia.... Meski tak secemerlang Ibu Guru Nur
tadi.
"Tiur akan bertemu Abi!" Tiur berkata riang.
"Tiur mau kemana?" Delisa menatap tak mengerti.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tiur akan bertemu Abi!" Tiur menunjuk gerbang taman
yang indah itu. Delisa tidak mengerti.
Ummi Tiur membimbing Tiur berdiri. Delisa baru
mengerti. Mereka akan pergi ke sana. Sama seperti Ummi,
kak Fatimah, kak Aisyah, kak Zahra, dan Ibu Guru Nur.
Delisa sekarang mengerti. Ia akan sendirian lagi.
Rombongan itu meneruskan langkahnya. Tiur berontak
semakin beringas. Membentak kakinya yang tak bisa
bergerak. Membentak badannya yang tak bisa bergerak.
"TIUR!" Delisa berteriak.
Tiur tidak mendengarkan.
"TIUUUR!"
Kakak-kakaknya juga tidak bergeming.
"Ya Allah.... Tiur, j-a-n—g—a—n p-e-r-g-i...." Delisa
menyebut namaMu dengan lemah. Suaranya habis sudah.
Dan sekali ini Ummi mendengarkan. Ummi Tiur
menghentikan langkahnya. Berbalik. Beranjak mendekati
Delisa.
Delisa tersedan, tangannya menggapai-gapai tubuh
Ummi Tiur yang mendekat lagi. "Ummi, Delisa ingin ikut!"
Ummi Tiur tersenyum. Menggeleng.
"Ummi, Delisa ingin ikut!"
Ummi Tiur beranjak duduk. Lembut mengelap air mata
Delisa. Mencium kening Delisa penuh makna. Berbisik
lemah.
"Delisa harus tinggal, sayang...."
"DELISA MAU IKUT!"
"Delisa harus menyelesaikan hafalan itu, saya-ng.,.."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"DELISA TIDAK MAU SENDIRIAN!"
"Kau memiliki lebih banyak teman dibandingkan seluruh
dunia dan seisinya, sayang!"
Ummi Tiur beranjak berdiri. Melangkah anggun menuju
gerbang taman indah itu. Delisa terperangah. Delisa
nelangsa. Delisa sendiri lagi.
(Oo-dwkz-oO)
SBY-JK tergesa memasuki ruang rapat istana. Rapat
kabinet super-mendadak. "Ini masalah serius! Kita harus
melakukan banyak hal...." Suara itu sayangnya terdengar
"biasa-biasa" saja!
Kemarin-lusa dia datang ke Banda Aceh, lengkap dengan
pakaian super-rapi. Disetrika. Seperti berkunjung atau
plesiran. Bagai anjangsana ke Dufan atau Taman Safari
atau entahlah.
Menyerahkan sekotak mie!
Memangnya kesedihan ini bisa ditukar dengan mie,
walau jumlahnya bisa ditumpuk memenuhi langit Aceh!
(Oo-dwkz-oO)
Delisa terbatuk pelan.
(Oo-dwkz-oO)
Abi Usman yang sedang bertugas di ruang mesin
sepanjang dua hari dua malam (mesin itu bermasalah lagi)
dihampiri teman negro-nya.
"Kamu sudah lihat berita sepanjang dua hari ini, buddy?"
Abi tersenyum. Menoleh. Menyeka tampangnya yang
belepotan oli dan sebagainya. Tidak mudah pekerjaannya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sebagai maintenance kapal tanker ini. Menatap negro itu
ramah. Menunjuk mesin yang sedikitpun tidak tahu apa
masalahnya sejak minggu pagi. Abi hanya beristirahat jika
malam tiba. Abi hanya bersitirahat saat jam makan dan
shalat datang. Dia benar-benar pekerja yang amanah!
"Ada gempa!" Wade, si negro menguap-me-ngantuk.
"Di mana?" Abi melanjutkan pekerjaannya. "Di Aceh!"
Abi menoleh. Semoga tidak serius. "Ada tsunami!"
"Di mana?" intonasi pertanyaan Abi mulai serius. "Di
Aceh!"
Abi mengucap innalillah untuk yang kedua kalinya.
Semoga tidak serius. Menghentikan pekerjaannya lagi. Abi
mulai tidak enak di hati.
"CNN bilang sudah 15.000 orang korbannya!"
Tidak perlu dua kali. Abi melempar kunci Inggris di
tangannya. Melesat menuju tangga menuju palka atas.
(Oo-dwkz-oO)
Delisa batuk untuk yang kedua kalinya.
(Oo-dwkz-oO)
Abi berseru tertahan menatap potongan gambar-gambar
itu! //SUBH AN ALLAH!//
Abi sudah tak bisa berpikir lagi. Dengan pakaian
kotornya, dengan lengan kotornya, sambil men-desiskan
nama Ummi, Delisa, Aisyah, Zahra, dan Fatimah, Abi
sudah berlari kencang-kencang menuju ruangan kepala
//maintenance//.
Dia harus pulang!
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tak ada yang tahu apa yang terjadi dengan istri tercinta,
dan empat malaikat kecilnya. Tak ada yang tahu.
Dia harus segera pulang!
(Oo-dwkz-oO)
Jemari Delisa gemetar. Bergerak kecil-kecil.
(Oo-dwkz-oO)
7. Burung-b urung pemb awa buah
Delisa tak bisa bergerak, kaki kanannya hingga ke betis
sempurna terjepit di sela-sela dahan semak. Tubuh
mungilnya terjerambab di atas semak belukar tersebut.
Badannya terbaring dengan bagian sebelah kiri menyentuh
tanah. Kaki kanannya menggantung tak berdaya.
Muka Delisa biru lebam, sekujur tubuhnya juga penuh
baret dan luka, sisa garutan pelepah pohon kelapa, rantingranting
pohon lainnya, benda-benda yang menghantam
tubuhnya sepanjang terseret gelombang tsunami, juga
semak-semak yang sekarang mencengkeram kaki kanannya.
Betis kanannya sungguh menyedihkan. Remuk. Darah
membeku menggumpal. Delisa nyaris telanjang. Seragam
sekolahnya robek besar di mana-mana, roknya lepas hanya
menyisakan celana dalam, itupun belepotan lumpur. Tubuh
itu meng-kerut kedinginan. Tubuh itu penuh biru lebam
oleh guratan luka. Sisa gelombang tsunami yang tak kenal
ampun enam hari lalu.
Kerudung birunya hampir terbelah dua. Tersangkut di
lehernya. Rambut pirang Delisa kotor dan semrawut,
dedaunan menempel seperti sarang burung. Tubuh itu sama
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sekali tidak mirip manusia lagi. Tubuh itu bengkak
mengerikan. Tetapi Delisa masih bernafas.
Delisa masih hidup. Terseret empat kilometer hingga ke
kaki bukit Lhok Nga. Tersangkut di semak-semak.
Siku kanan Delisa juga patah! Sempurna sudah, ia tidak
berdaya. Hanya menggantung terbaring. Dengan badan
sebelah kiri menyentuh becek tanah yang sudah mengering.
Sebelah kanan badannya terjepit semak-belukar.
Matahari siang memanggang tubuhnya!
Delisa lama hanya mengerjap-ngerjapkan mata. Hening.
Senyap. Tak ada siapa-siapa. Di tempatnya tersangkut,
harusnya banyak orang. Bukankah kaki bukit ini masih
bagian kota Lhok Nga? Tetapi tidak ada siapa-siapa. Sepi.
Bukankah di sini banyak rumah-rumah? Kenapa tinggal
puing reruntuhan kayu dan timbunan sampah. Pohonpohon
bertumbangan.
Kemanakah orang-orang.
Mata Delisa berkedip-kedip. Silau. Sinar terik matahari
mengembalikan panca inderanya. Delisa reflek
menggerakkan tangan kanannya. Ya Allah, sakit. Sungguh
sakit. Delisa meringis. Delisa menahan sesak. Sakitnya
lebih sakit dari suntikan dokter waktu ia demam dulu.
Lebih sakit juga dibandingkan saat bahunya di suntik
imunisasi di sekolahan.
Siku tangan kanannya, tak bisa digerakkan.
Tulang tangannya tak mau menurut perintah, menolak
mentah-mentah digerakkan dengan rasa sakit itu. Delisa
mencoba berdiri. Semuanya juga sakit. Bagaimanalah ia
bisa berdiri dengan tubuh lemah dan terjepit seperti ini.
Delisa menahan tangis. Sakit ini sungguh tak tertahankan.
Kalau ia tidak ingat dulu Ummi berkali-kali menasehatinya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
agar tak mudah menangis, dari tadi ia akan menangis.
Ummi?
Delisa tiba-tiba ingat Ummi. Ya Allah di mana Ummi.
Kepala Delisa berputar mencari. Di mana pula kak
Fatimah? Kak Zahra? Kak Aisyah? Di mana mereka?
Pelan kenangan itu kembali. Lambat Delisa mengingat
kejadian enam hari lalu. Delisa sama sekali tidak pernah
tahu, hampir seminggu ia sudah terjerambab di atas semakbelukar
tersebut. Sekolah! Ia di sekolah pagi itu. Ia, Ia
bukankah sedang menghadap Ibu Guru Nur menghafal
bacaan shalat.
Ibu Guru Nur?
Di mana Ibu Guru Nur sekarang? Delisa semakin
memaksakan kepalanya terus berputar. Di mana temanteman
sekelasnya. Bukankah ramai sekali? Anak-anak yang
sama sepertinya sedang menunggu dipanggil menghadap.
Ujian praktek shalat. Di mana Tiur, teman sebangkunya di
kelas?
Tiur?
Ya Allah, untuk yang satu ini Delisa tak perlu bersusah
payah mencarinya. Persis lima langkah di depannya, mayat
Tiur yang lebam terbaring begitu saja. Tertelentang
menghadap langit. Dan muka beku Tiur persis mengarah
kepada Delisa yang tersangkut. Muka itu tidak seburuk
muka Delisa yang lebam. Delisa dengan cepat bisa
mengenalinya. Mengenali mayat Tiur yang pucat tak
berdarah. Mayat Tiur yang terbaring mengerikan di
hadapannya.
Seketika Delisa mengeluh panjang. Keluhan gentar.
T-i-u-r? **
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Delisa gemetar menahan tangis. Ia takut. Ia takut sekali
menatap mayat Tiur. Memandang tubuh membeku teman
terbaiknya. Delisa berusaha menutup matanya. Justeru
muka pucat Tiur memenuhi benaknya. Delisa berusaha
menggeleng-gelengkan kepalanya, mengusir bayangan itu.
Justeru tubuh membeku Tiur semakin mencengkeram
pikirannya!
Delisa takut! Teramat takut.
Dan ia jatuh pingsan lagi.
(Oo-dwkz-oO)
Tiur keluar dari taman indah itu. Menggunakan
** Ya Allah, lihatlah'. Delisa haru enam tahun'. Delisa
bahkan belum mengerti makna mati dan kematian. Ya
Allah, lihatlah'. Delisa baru enam tahun'. Delisa bahkan
belum tahu makna derita dan penderitaan....
Banyak sekali ciptaanMu di dunia yang sungguh
bermewah-mewah dengan hidup. Lupa dengan makna mati
dan kematian, padahal mereka mengerti. Menciptakan
berjuta derita dan penderitaan bagi orang lain, padahal
mereka tahu-memahami. Tetapi mengapa Delisa yang
harus menyaksikan semua itu. Mengapa harus melalui mata
hijaunya yang bening kami harus mengerti ayat-ayatMu.
Mengapa ya Allah.... Aku sungguh tak mengerti....sepeda
bersayap putih. Lembut mendekat. Sepeda itu tidak
dikayuh. Sepeda itu bergerak seperti terbang. Delisa yang
tetap tak bisa bergerak di pinggir jalan menuju taman indah
menatapnya gembira. Berteriak senang!
"TIUR!" Akhirnya ada yang keluar dari taman indah itu.
Datang menjemputnya.
Tiur tersenyum. Lembut beranjak turun.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Delisa menggapai-gapai baju putih Tiur.
Tiur jongkok menyentuh sikunya. Tiur pelan menyentuh
betisnya. Menatap tersenyum. Menatap mempesona.
"Tiur tidak rindu Abi lagi, Delisa.... Tiur sudah bertemu
Abi, " Hanya itu yang dikatakan Tiur. Dengan suara riang.
Lantas kembali menaiki sepedanya. Dengan lembut sepeda
itu kembali melesat menuju gerbang taman indah.
Meninggalkan Delisa yang mulutnya terbuka lebar.
Kecewa. Begitu saja? Hanya mengatakan kalimat pendek
itu? Ia pikir Tiur akan memboncengnya masuk ke dalam
taman indah itu. Mengajaknya ke sana sambil menaiki
bersama sepeda bersayap tersebut. Ia pikir?
(Oo-dwkz-oO)
Mata Delisa berkerjap-kerjap. Delisa kembali siuman.
Malam sudah lama turun.
Dan hujan deras. Amat deras membasuh kota Lhok Nga.
Tubuh Delisa kuyup. Tubuh itu pucat kedinginan. Tubuh
itu gemetar menahan terpaan ribuan bulir air. Delisa
menolehkan kepalanya. Tubuhnya masih sakit digerakkan.
Ia melihat lagi mayat Tiur. Delisa masih takut. Tetapi apa
yang bisa ia lakukan sekarang? Lari? Tidak bisa!
Memejamkan mata? Percuma! Ini semua benar-benar
situasi yang tidak terelakkan.
Delisa benar-benar berada dalam situasi yang tidak
terelakkan. Dan seperti manusia-manusia terbaik
pilihanMu, situasi ini akan mendidiknya menjadi lebih baik.
Menjadi bersinar. Kejadian ini membuatnya cepat pulih.
Berpikir banyak hal meski tanpa disadari oleh Delisa
sendiri.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Malam sempurna gelap. Hanya halilintar yang berkalikali
menyambar membuat terang langit-langit Lhok Nga.
Dimanakah semua lampu itu? Dimanakah semua cahaya
terang-benderang Lhok Nga? Delisa ingat, jam begini ia
seharusnya sedang belajar bersama kak Aisyah, kak Zahra,
kak Fatimah di ruang tengah. Ummi menunggui sambil
menjahit pakaian pesanan tetangga.
Atau mereka duduk-duduk di balai bambu sambil
mendengar Ummi bercerita. Melihat purnama. Melihat
bintang-bintang. Melihat lampu-lampu Lhok Nga yang
indah. Ah iya, cerita Ummi belakangan sering Delisa tak
mengerti! Kak Fatimah selalu mendesak Ummi bercerita
tentang pertemuan pertama Ummi dan Abi dulu. Kan cerita
seperti itu tidak asyik buat Delisa. Mending Ummi cerita
tentang sahabat rasul, dongeng-dongeng atau apalah. Yang
penting bukan kalimat-kalimat aneh tentang "cinta"; atau
apalah tersebut.
Delisa ingat mereka setiap malam jam begini juga sering
duduk-duduk di kursi hangat. Duduk sambil mengemil.
Menggambar dengan dua belas warna crayon. Nonton teve
(hanya Delisa yang menonton). Atau belajar menjahit dan
menyulam bersama Ummi.
Apa yang sedang terjadi? Apa yang telah menimpa
dirinya. Delisa hanya ingat terakhir ia sedang menghafal
shalat di depan Bu Guru Nur. Gempa bumi? Bukankah
waktu itu tanah terasa bergetar. Papan tulis jatuh. Gelas
untuk menaruh bunga di meja Ibu Guru Nur pecah, dan
satu pecahan beling melukai lengannya. Suara-suara itu.
Keributan diluar. Kemudian air yang banyak. Air di manamana.
Mengepungnya. Menyeretnya. Entahlah! Ia lupa.
Delisa meringis. Ia lapar. Delisa teramat lapar. Sudah
enam-hari enam-malam perutnya kosong. Delisa juga tibatiba
merasa teramat haus. Kesadaran dan pulihnya panca
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
indera Delisa membuat perutnya mengirim sinyal ke otak
tak tertahankan.
Kemana pula ia harus mencari makanan. Tak ada meja
makan di sini. Tak ada Ummi yang bisa dimintai tolong.
Tak ada siapa-siapa. Gelap. Hanya hujan yang sempurna
membungkus tubuh menyedihkan itu.
Delisa entah apa sebabnya mulai menangis. Delisa
tersedu. Bibir biru itu mengeluarkan lenguh kecil.
Mengeluarkan dengking lemah. Delisa menyerah. Ia
menangis. Semua ini membuatnya takut.
Membuatnya bingung. Takut dan bingung itu dekat
sekali dengan menangis. Kalian akan menangis jika saking
takut dan bingungnya. Delisa tersedan panjang. **
Lama! Tak ada yang terjadi. Tak ada yang melihat.
Tak ada yang membantu.
Hingga kesadaran itu ditanamkan di kepala Delisa. *** "
Delisa pelan membuka mulutnya. Ia haus. Dan air yang
turun dari langit menjadi berkah baginya. Delisa minum.
Tanpa mengerti mengapa ia harus minum. Mengapa ia
harus membuka mulutnya. Pengertian itu datang begitu
saja. Delisa berhenti menangis. Bibirnya yang lemah
melahap berkah air dari langitMu. Mulut yang giginya
tanggal dua itu bergetar lemah. Kerongkongannya basah.
Kesegaran masuk ke sekujur tubuhnya. Membantu banyak.
Tetapi Delisa juga lapar! Kemanakah ia harus mencari
makanan? Kemana? Bukankah tak ada yang tersisa lagi di
sekitarnya. Tak ada siapa-siapa. Delisa mengeluh panjang
saking kosong perutnya.
Dan lima buah apel merah-ranum tergeletak begitu saja
di dekat tubuh Delisa. Rapi tersusun membentuk formasi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bintang. Paras Delisa menyeringai senang melihatnya.
Tangan kiri Delisa gemetar meraihnya. Masih sakit. Tetapi
ia pelan-pelan berhasil menggapainya. Sempurna sekali
letak lima buah apel tersebut. Tepat di ujung jangkauan
tangan kiri Delisa. Apel itu indah dan besar-besar. Dan
sungguh terasa lezat saat Delisa mengunyahnya. Mencair
begitu saja dalam mulut Delisa yang lemah. Apel itu entah
dari mana datangnya.
"Kau memiliki lebih banyak teman dibandingkan seluruh
dunia dan seisinya, sayang!" **
(Oo-dwkz-oO)
//MOVE... MOVE....//" Sersan Ahmed membentak.
Dua belas prajuritnya dengan gesit berlari tergesa ke atas
helikopter Super Puma yang mendesing.
Pengatur landing-take off landasan Kapal Induk John F.
Kennedy memberikan tanda. HIJAU! Sersan Ahmed
tangkas melompat ke atas helikopter terakhir kali. Pemuda
berusia 35 tahun. Lulusan terbaik pendidikan tamtama
marinir Amerika Serikat lima belas tahun silam. Pemuda
afrika kelahiran Boston. Sedikit di antara muslim yang
bertugas di gugus perang John F. Kennedy. Sersan Ahmed
mualaf setelah pertempuran badai padang pasir Irak dulu.
Baling-baling Super Puma semakin keras mende-
* Ya Allah itu cemburuku yang pertama'.
**Lihatlah ya Allah'. Gadis kecil itu sungguh sendirian.
Bukankah kuasaMu menjejak walau sekadar basah atau
keringnya setangkai jerami. Bukankah kuasaMu menggapai
walau jatuh-tidaknya setetes air di tengah hutan belantara
luas. Aku mohon- Bantulah engan tak terkira kasihMu-
Bantulah dengan tak terhitung sayangMu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
*** Ya Allah, sungguh mulia Engkau. Kau-lah yang
menanamkan semua kesadaran itu. Kami lahir tak bisa
melihat, kau buat melihat. Kami lahir tuli, kau buat
mendengar, kami lahir tak bergerak, kau buat melangkah,
kami lahir tak mengerti, kau tanamkan pengertian.
sing. Bergetar. Lantas melesat ke atas langit. Mantap
bergerak menuju area tugas mereka. Area penyisiran
mereka hari ini. Pagi itu, Minggu 2 Januari 2005, hari ke
tujuh setelah bencana menggetarkan dunia itu terjadi.
Langit Aceh bagai penuh oleh ribuan helikopter.
Sersan Ahmed dengan tampang dingin menatap tajam
seluruh anak-buahnya. Tugas mereka berbeda sekali hari
ini. Tidak menyerbu musuh. Tidak menghabisi benteng
kokoh pertahanan penjahat. Tidak juga meluluh-lantakkan
gedung-gedung yang dianggap sarang gembong narkoba.
Bahkan Sersan Ahmed tidak tahu bagaimana cara terbaik
menghadapi musuh mereka sekarang. Musuh mereka
adalah menyisir kota untuk mengevakuasi mayat;
menyelamatkan segera orang-orang yang masih bernafas.
Musuh yang menyedihkan, memilukan hati.
Satu setengah jam kemudian, pesawat itu menyentuh
salah satu lapangan di Lhok Nga. Mendarat. Membuat
debu di lapangan itu berter-bangan. Apa mau dikata, kota
tersebut sudah menjadi lapangan semua. Apa gunanya lagi
disebut salah satu lapangan? Tetapi itu benar-benar
lapangan.
Lapangan bekas sekolah Delisa.
Dua belas prajurit berloncatan gagah berani. Tampang
mereka akan beda sekali dibandingkan dengan penduduk
lokal kalau mendarat empat hari lalu. Wajah-wajah muda
bule. Wajah-wajah dengan garis, tekstur dan warna yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berbeda. Tetapi hari ini, tak ada yang peduli kenyataan itu.
Ada banyak hal yang lebih penting dipedulikan.
Tak banyak yang menyambut helikopter mendarat,
karena sisa penduduk kota Lhok Nga hanya segelintir.
Prajurit yang bertugas di atas helikopter segera melempar
kardus-kardus bantuan ke tangan-tangan yang terjulur
mendekat. Sementara Sersan Ahmed dan prajuritnya mulai
bergerak menyisir.
Tak banyak pula yang membantu pasukan marinir
tersebut. Posko sukarelawan baru dibuka beberapa hari
kemudian. Merekalah yang pertama tiba di Lhok Nga (juga
dibandingkan kamera teve nasional). Hanya penduduk
setempat yang selamat membantu mereka menyisir bekas
bencana. Tetapi penduduk selamat tersebut, lebih sibuk
mencari keluarga masing-masing.
Wajah-wajah cemas. Wajah-wajah meminta
pertolongan. Bukan sebaliknya. Sersan Ahmed menggigit
bibir. Dia terus membentak prajuritnya melakukan
penyisiran.
"CARI TERUS! KUMPULKAN MAYAT SEBANYAK
MUNGKIN! PERIKSA SELURUH TEMPAT!" Sersan
Ahmad galak menatap pasukannya yang begitu lamban.
Anak buahnya bergegas memanggul kantong-kantong
mayat.
Sore itu mereka mengumpulkan ratusan tubuh.
Sayangnya tak ada satupun yang ditemukan masih
bernafas. Tidak ada. Bagaimana mungkin keajaiban itu
ada? Lhok Nga hampir 80% musnah. Kalaupun ada yang
selamat, karena memang sedang
beruntung berada di manalah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Hari itu, penyisiran mereka masih satu kilometer dari
tubuh Delisa yang terpanggang.
(Oo-dwkz-oO)
Tubuh Delisa terpanggang oleh teriknya matahari.
Tubuhnya semakin mengenaskan. Air dan beberapa buah
apel memang mengisi perutnya dengan baik semalaman,
tetapi itu tidak cukup untuk mengurangi semua rasa sakit.
Menjelang sore, kaki kanannya sudah benar-benar tak
terasa lagi. Seperti tidak ada lagi di sana, saking kebasnya.
Matanya perih menahan panas seharian. Kerudung biru
yang sekarang ditutupkannya di atas dahi tidak membantu
banyak.
Delisa sudah lelah menangis. Air matanya sudah habis
sepanjang hari. Tujuh hari tujuh malam sudah ia terkapar.
Ia tidak takut lagi dengan mayat Tiur yang mulai
membusuk. Ia tidak takut lagi menatap sepinya kota. Tidak
takut lagi menatap gelapnya malam. Bahkan Delisa tidak
peduli dengan hujan deras yang selalu turun tiap malam.
Mengeriputkan badan kecilnya.
Ah, selalu begitu. Kejadian yang tak terhindarkan, selalu
mendidik manusia-manusia terbaikMu dengan cepat.
Kejadian itu selalu sementara. Pemahaman atas kejadian
itulah yang akan abadi.
Tadi pagi beberapa orang yang selamat melintas di
dekatnya. Delisa ingin berteriak memanggil. Sayang
bibirnya sudah lemah. Ia sudah tak mampu berteriak lagi.
Ia sudah terlampau lemah walau sekadar menggerakkan
kepala.
Menatap nelangsa orang-orang tersebut bergegas
menjauh darinya.
(Oo-dwkz-oO)
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Malam datang!
Hujan deras turun lagi.
Ya Allah, sungguh mengenaskan menyaksikan
pemandangan itu! Delisa membuka mulutnya. Mencoba
minum. Tetapi bibirnya sudah susah digerakkan. Mulutnya
lemah membuka. Jemari tangan kirinya pun sudah lemah
untuk menggapai lima buah apel yang entah dari mana
asalnya kembali utuh membentuk formasi bintang di
dekatnya. Delisa hanya menatap nelangsa apel-apel
tersebut.
Pelan-pelan sepanjang hari ini Delisa ingat apa yang
terjadi padanya. Ingat detail-detailnya. Tidak dalam bentuk
ingatan yang antara ada dan tidak. Ia benar-benar ingat
semuanya. Ingat malam sebelumnya Abi menelpon. Ingat
pagi-pagi ia dan Ummi berangkat menuju sekolah dengan
riang. Ingat Cut Aisyah dan Cut Zahra yang entah
sembunyi-sembunyi menempelkan apa di depan rumah saat
mereka berangkat.
"Ummi, apa yang ditempel kak Aisyah dan kak Zahra!"
Delisa bertanya saat mereka berada di ujung tikungan gang.
Ia sempat melihat mereka berdua menaiki kursi
menempelkan karton-karton bertulisan warna biru.
Hiasan-hiasan warna biru.
Ummi hanya mengangkat bahu! Menyeringai,
menggeleng pura-pura tidak tahu.
"Apa sih Ummi?" Delisa semakin penasaran.
Ummi hanya tersenyum. Mempercepat langkah. Delisa
terpaksa ngintil semakin cepat.
Delisa ingat ia sedang menghafal bacaan shalat saat
semuanya terjadi. Saat tubuhnya terseret derasnya air.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kemudian gelap, semuanya terasa gelap. Ia lupa dengan
apa yang terjadi berikutnya. Kemarin Delisa juga ingat
tentang ini, tetapi sekarang berbeda. Delisa tiba-tiba
menyadari sesuatu. Bibirnya gemetar. Ya Allah, Delisa
ingat.... Delisa harus menghadap Bu Guru Nur untuk
membaca seluruh bacaan shalat. Bukankah Delisa waktu itu
berusaha untuk shalat dengan khusuk. Tidak mempedulikan
suara-suara, tanah yang bergetar, juga air bah itu.
Delisa mau shalat sekarang. Delisa ingin menyetor
hafalan itu langsung kepadaMu. Delisa ingin melakukannya
sebelum semuanya terlambat.
Begitu saja, pikiran itu datang di kepalanya. Menuntun.
Delisa menggerak-gerakkan jemarinya. Delisa ingin
mengulang hafalan bacaan shalat itu. Di tengah-tengah
hujan deras ini. Langsung kepadaMu.
Gemetar bibir Delisa mengucap takbiratul-ihram. 7/Alla-
hu-ak-bar....//"
Dan Delisa seketika lupa kelanjutannya. Delisa lupa
harus membaca apa sekarang? Delisa lupa seperti apa kata
awal doa iftitah. Delisa benar-benar menatap kosong!
Ya Allah, Delisa sungguh lupa. Lupa begitu saja. Semua
kesedihan ini, semua pemandangan ini, semua kesakitan
ini, semua perasaan ini. Delisa lupa. Bagaimanalah jadinya?
semua hafalan itu seperti tercerabut begitu saja dari
otaknya. Tak berbekas sedikitpun. Delisa kelu
menyadarinya. Delisa terpana tidak mengerti. **
(Oo-dwkz-oO)
** Ya Allah, bahkan banyak sekali orang-orang yang
lalai, orang-orang yang fasik, orang-orang munafik, orangorang
jahat yang tak pernah lupa atas rencana-rencana jahat
mereka.... Tidak pernah terlupakan. Bagaimana Delisa yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
hendak shalat padaMu. Delisa yang dalam keadaan
sungguh mengenaskan, ingin shalat padaMu dengan
sempurna, dan Kau buat ia lupa.... Bagaimanalah kalau
esok-lusa ia tidak sempat lagi menyetor bacaan itu?
Ketika Delisa kelu menyadari fakta itu, ketika Delisa
terjebak oleh semua kebingungan, seribu malaikat sedang
menyiapkan istana indah untuknya di surga; terukir
namanya dengan huruf-huruf besar di pigura depan: Alisa
Delisa.
(Oo-dwkz-oO)
8. Hida yah itu a khi rn ya datang
Jam tujuh pagi. Super Puma itu melesat lagi dari kapal
induk. Sersan Ahmed semakin galak meneriaki prajuritnya.
Dia tahu, semua pemandangan kemarin sungguh
menggentarkan. Semua kota yang luluh-lantak itu sepuluh
kali lebih menekan dibandingkan pertempuran mereka
selama ini. Mayat-mayat yang bergelimpangan, tanpa
lengan, tanpa tangan, dan lain sebagainya seratus kali lebih
menakutkan dibandingkan mayat-mayat korban muntahan
peluru senjata mereka selama ini.
Memandang wajah-wajah tak berdaya yang selamat.
Wajah-wajah nelangsa. Penduduk kota Lhok Nga yang
dililit kesedihan. Mereka tidak saling mengenali. Tetapi raut
dan bentuk kesedihan sama di seluruh dunia. Universal!
Kesedihan tidak memerlukan perantara bahasa. Apalagi
kesedihan akibat bencana seperti ini. Semua itu menekan
dia dan prajurit-prajuritnya.
Sersan Ahmed menggigit bibir. Mereka harus
menemukan lebih banyak mayat lagi. Mungkin jika
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
beruntung satu-dua yang masih bernyawa. Meskipun itu
benar-benar sebuah keajaiban.
"Apa yang kau kunyah!" Sersan Ahmed bertanya tajam
kepada Prajurit Smith yang duduk tegang di depannya.
"P-e-r-m-e-n k-a-r-e-t, Sir!" Prajurit Smith menjawab
pendek. Menyeringai. Wajahnya terlihat berbeda sekali
dengan temannya. Ia tertekan dengan semua ini. Permen
karet itu membantunya.
Sersan Ahmed mendengus. Dia tahu apa yang dilakukan
Prajurit Smith. Dia tahu persis semua kebiasaan anakbuahnya.
Pertanyaan tadi hanya untuk membuat Smith
tetap fokus. Semua pemandangan ini pasti menggangu
Smith. Anakbuahnya yang baru enam bulan silam beruntun
kehilangan anak semata wayang dan istrinya di California.
Sersan Ahmed mengalihkan tatapan tajamnya dari muka
Prajurit Smith yang tegang, kembali memandang
pemukiman bawah sana yang hancur luluh. Sepanjang
pesisir menuju Lhok Nga, tak ada yang tersisa, hanya
kepedihan. Orang-orang yang menggapai-gapai ke udara
mengharap bantuan dilemparkan.
Orang-orang kelaparan.
Semua ini entah hingga kapan selesai.
(Oo-dwkz-oO)
Delisa siang itu pingsan untuk kesekian kalinya. Tenaga
Delisa sudah melemah, tak bersisa. Delisa sudah tidak
makan-minum lagi selama sehari, semalam. Bibirnya tak
bisa dibuka sama sekali. Semuanya sudah hampir selesai
baginya. Habis.
Matahari sekali lagi garang membakar tubuhnya. Tubuh
itu terpanggang sepanjang siang, setelah semalaman justeru
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kedinginan menggigil di hajar hujan deras. Tubuh itu
semakin menyedihkan. Luka di betis kanannya mulai
bernanah. Lebam biru di parasnya membesar. Tubuh Delisa
biru-mengeriput.
Sore datang menjelang. Cahaya matahari melembut,
tetapi itu tak membantu banyak. Delisa sudah hampir habis.
Kulitnya sudah kebas tak berasa.
Dua belas prajurit Sersan Ahmed juga sudah hampir
habis. Kelelahan. Lelah fisik dan lelah mental. Hanya suara
Sersan Ahmed yang masih garanglah membuat mereka
tetap bertahan. Mereka tadi pagi mendarat jauh dari bekas
lapangan sekolah Delisa. Menyisir kota Lhok Nga dengan
radius lebih jauh lagi.
Parjurit Smith sudah menghabiskan permen karet yang
kedua belas, itu permen karet terakhirnya. Dia gontai
mendekati semak-belukar itu. Lemah menatap semua
pemandangan menyedihkan ini. Bau bangkai menyeruak
hidungnya. Prajurit Smith mendekat. Mencari tahu
sumbernya.
Mayat Tiur!
Prajurit Smith menelan ludah melihat mayat Tiur yang
membusuk. Lemah melangkah mendekat. Menghela nafas.
Menyiapkan kantong mayat.
Saat itulah. Sudut mata Prajurit Smith tak sengaja
menangkap siluet pemandangan yang menggentarkan itu.
Menatap semak belukar yang sebenarnya kalau tak ada
semua ini terlihat amat menawan. Semak-belukar itu
sedang berbunga. Bunganya putih kecil-kecil. Indah.
Melingkupi dengan sempurna seluruh dedaunannya. Tetapi
bukan itu yang membuat Prajurit Smith seperti dipakukan
seketika di tanah. Tubuh yang tersangkut di semak-belukar
itulah yang membuat Prajurit Smith tak bisa bernafas.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mata Prajurit Smith membesar.
"JESUS CHRIST!" Smith mendesis menelan ludah.
Lututnya bergetar, ia sontak jatuh terduduk. Berdebam
lututnya menghantam tanah. Hatinya gentar seketika.
Matanya menatap tubuh Delisa yang tergantung.
Matanya menatap tubuh Delisa yang tergantung di
tengah-tengah semak belukar penuh oleh bunga-bunga putih
tersebut.
Ya Allah, tubuh itu bercahaya. Tubuh yang ditatapnya
bercahaya. Berkemilauan-menakjubkan. Lihatlah! **
(Oo-dwkz-oO)
** Itu cemburuku yang kedua, ya Allah'. Bahkan
perbuatan terbaikku tak pernah membuat seujung kuku
wajahku bercahaya.... Tak pernah. Tak pernah sedikitpun'.
Apakah hati ini begitu kotornya?
Apakah tak ada sisa kebaikan yang ada di hati ini agar
bisa menyinari jalan kebaikan bagi orang lain. Apakah
semuanya tinggal sebongkah daging yang hitam kelam?
Tanpa perasaan lagi?
Sersan Ahmed berlari menuju semak belukar tersebut.
Beberapa prajurit lainnya juga bergegas saat mendengar
teriakan lemah Prajurit Smith barusan, "Ada yang hidup,
//Sir//!"
Sersan Ahmed merekahkan dahan yang menjepit kaki
kanan Delisa. Yang lain buru-buru memegangnya agar
tubuh Delisa tidak terbanting ke tanah. Tubuh lemah Delisa
lantas di letakkan pelan-pelan di atas tanah. Tubuh yang
terlihat lebih mengenaskan dibandingkan mayat yang
mereka temukan sebelumnya. Beberapa prajurit lain
membuka kantong mayat, memasukkan mayat Tiur.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"TANDU!" Sersan Ahmed membentak.
Tergesa dua prajurit mengambil tandu di pendaratan
mereka tadi. Tak ada yang berpikir akan menemukan
korban selamat. Mereka hanya membawa kantong mayat
sepanjang penyisiran.
Langit merah. Malam segera menyergap Lhok Nga. Laut
begitu tenang. Burung camar melenguh kembali ke sarang
masing-masing. Tubuh Delisa akhirnya ditemukan. Tubuh
Delisa hati-hati dinaikkan ke atas tandu. Bergegas menuju
point pendaratan helikopter tadi pagi.
Helikopter Super Puma beberapa menit kemudian datang
mendarat sesuai dengan jadwalnya. Penjemputan.
Menerbangkan debu. Memedihkan mata. Terbirit-birit
prajurit yang memegang tandu membawa tubuh Delisa ke
atas helikopter.
"Smith, kembali!" Sersan Ahmed menegur Prajurit
Smith.
Yang ditegur masih terduduk di tanah. Tak bergerak
selama lima belas menit. Dan tetap tak bergerak meski
telinganya mendengar perintah Sersan Ahmed agar mereka
segera bergegas kembali ke kapal induk.
Pencarian hari ini selesai. Besok mereka akan kembali,
dengan kekuatan yang lebih besar. Membangun tendatenda.
Lokasi ini mungkin membutuhkan satu bulan lebih
hingga bersih disisir. Dan tetap saja akan ada mayat yang
tidak pernah berhasil ditemukan.
"SMITH!" Sersan Ahmed mendekat, memegang tegas
bahu anak buahnya yang masih terduduk. Membentaknya.
Smith menoleh. Mata itu penuh berjuta tanya.
(Oo-dwkz-oO)
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Helikopter Super Puma mendarat tergesa. Tandu dorong
rumah sakit sudah menunggu di pelataran pendaratan
Kapal Induk John F Kennedy. Dua suster berseragam putih
juga sudah menunggu. Berita itu cepat sekali sampai. Sersan
Ahmed melalui alat komunikasi helikopter segera
mengontak rumah sakit kapal induk.
Korban tsunami yang ditemukan hidup akan tiba di
kapal induk. Kondisi gawat darurat. Entah hidup entah
mati. Siapkan pertolongan pertama. Terburu-buru tubuh
Delisa dipindahkan dari tandu ke ranjang dorong. Segera
dibawa masuk ke dalam lift evakuasi. Meluncur cepat nonstop
ke lantai rumah sakit.
Dua dokter senior antusias segera menyambut.
Sepertinya perhatian semua penghuni kapal tercurah ke
Delisa. Beberapa kamera wartawan lokal dan manca negara
yang kebetulan sedang berada di Kapal Induk buas
memangsa tubuh terkulai Delisa. Lampu sorot kamera
berebut menerkamnya.
Tetapi ruang operasi segera ditutup.
Tubuh Delisa tergolek lemah di atas ranjang bedah,
berhadapan dengan puluhan peralatan medis super-canggih
yang coba membantu hidupnya. Semua dokter
mengerahkan kemampuan terbaik mereka. Suster-suster
berdiri tegang membantu. Dua belas jam ke depan tanpa
henti.
Sementara prajurit Smith sedang gemetar memasuki
kabinnya. Semua ini menimbulkan berjuta tanya!
(Oo-dwkz-oO)
Abi Usman berlari kesana-kemari cemas. Mulutnya tak
henti bertanya. Dia baru tiba di Banda Aceh, setelah
penerbangan dua belas jam langsung dari Toronto, Kanada.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sibuk bertanya apa ada kabar tentang Lhok Nga. Sibuk
bertanya apa dia bisa menumpang ke sana. Sibuk bertanya
apa ada data korban.
Saking sibuknya Abi, dia sampai tidak memperhatikan
layar televisi yang ada di Pusat Informasi Bakortanas
Kantor Gubernuran Aceh. Layar teve yang jelas-jelas
menayangkan bungsunya terkapar tak berdaya.
Si bungsu yang sedang bermimpi berdiri sendirian di
tengah taman nan luas tersebut. Taman penuh bunga
berjuta warna. Penuh kupu-kupu berjuta warna. Penuh
pelangi-pelangi berjuta warna. Dan Delisa baru saja bisa
menggerakkan tubuhnya.
(Oo-dwkz-oO)
Delisa dioperasi. Betis kaki kanannya yang sudah
membusuk diamputasi tanpa ampun. Siku tangan kanannya
di-gips. Masih bisa diselamatkan. Tubuhnya lemah sekali.
Tak ada yang bisa menjelaskan bagaimana tubuh selebam,
seluka, dan se-menyedihkan itu masih bisa bernafas.
Bertahan hidup.
Rambut ikal-pirang Delisa dipangkas. Delisa gundul
total. Luka-luka kecil di kepalanya dijahit. Muka lebamnya
di balsem tebal-tebal. Lebih dari seratus baret di sekujur
tubuhnya. Lebih dari dua puluh jahitan di sekujur
tubuhnya. Tubuh itu sekarang tergolek lemah. Berganti baju
pasien rumah sakit. Baju itu berwarna biru. Warna
kesukaan Delisa. Biru, warna lautan pantai Lhok Nga.
Dua-hari dua-malam sudah tubuh itu terkapar di atas
ranjang rumah sakit. Tak berdaya. Pingsan. Selang infus
berjejalan dengan berbagai belalai peralatan kedokteran
lainnya. Kondisinya tidak memburuk, tetapi tak kunjung
membaik, tetap seperti itu-itu saja, seperti setelah ia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ditemukan pingsan selama lima-hari lima-malam di semakbelukar
itu.
(Oo-dwkz-oO)
Malam ketiga ketika Delisa terbaring tak berdaya. Pukul
02.45. Dua pertiga malam. Waktu terbaik yang Engkau
janjikan. Prajurit Smith gentar melangkah masuk ke dalam
ruangan rawat Delisa.
Dia lemah membujuk suster yang masih terjaga di depan.
Dia hanya ingin melihat gadis itu sekali lagi. Dia ingin
menyampaikan berjuta pertanyaan. Semoga Tuhan di atas
mau menjawabnya setelah dia melihat wajah gadis kecil itu
sekali lagi. Suster yang berjaga menatap tak mengerti.
Tetapi membiarkan Prajurit Smith, demi melihat matanya
yang sembab. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Prajurit Smith paling hanya akan berdiri di sebelah
ranjang gadis kecil itu. Bukankah ia juga membiarkan saja
beberapa wartawan mengambil gambar Delisa beberapa
hari yang lalu. Bukankah menurut berita-berita di teve,
prajurit ini yang pertama kali menemukan tubuh Delisa.
Biarkan sajalah!
Bergetar tangan Prajurit Smith membuka pintu kaca.
Saat dia menatap sekali lagi tubuh Delisa. Saat dia
menatap sekali lagi wajah itu. Prajurit Smith untuk yang
kedua kalinya jatuh terduduk. Jatuh terduduk begitu saja.
Sekarang tidak berdebam, lebih mirip bak sehelai kapas
yang jatuh ke bumi.
"Oh, Jesus Christ...." Lirih dia menyebut.
Sungguh dia menduga akan mendapatkan lagi
pemandangan yang menggentarkan ini. Sungguh dia tahu,
dua hari lalu itu bukan halusinasinya. Bukan kekeliruan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
otaknya akibat lelahnya melihat kesedihan menggantung di
langit kota Lhok Nga. Bukan! Semua ini nyata.
Wajah ini sama bercahayanya dengan saat dia
melihatnya pertama kali. Bahkan lebih elok.
Prajurit Smith tergugu. Menangis. Mendekap mukanya.
Ya Tuhan, dia ingat anak semata wayangnya yang
meninggal karena kanker enam bulan lalu. Persis seumuran
dengan gadis kecil di hadapannya. Dia ingat istrinya yang
meninggal, dua bulan setelah anaknya pergi. Ya Tuhan,
pertanyaan-pertanyaan ini. Lihatlah, muka itu damai sekali.
Teduh bercahaya.
Pertanyaan-pertanyaan yang menggumpal itu pelanpelan
mulai mencair. Prajurit Smith mengerti. Mengerti
sudah. Semua pengingkarannya. Semua kebenciannya atas
takdir hidup. Semua kutukan atas musibah beruntun yang
menimpa keluarganya. Semua penolakannya!
Lihatlah, gadis kecil itu begitu damai. Wajahnya
menenangkan. Memberikan semua jawaban. Tak ada
gunanya menyesali semua takdir Tuhan atas anak dan
istrinya. Tak ada gunanya menyalahkan diri sendiri atas
kejadian tersebut. Apalagi sumpah serapah dan berbagai
kemarahan-kemarahan yang tidak jelas.
Lihatlah, gadis kecil ini menderita lebih banyak, tetapi
wajahnya teramat teduh. Gadis kecil ini sungguh menderita
lebih banyak dibandingkan dirinya, namun wajahnya
bercahaya oleh penerimaan. Pengertian itu datang kepada
Prajurit Smith. Pemahaman yang indah!
Hidayah itu akhirnya datang padanya.
Esok shubuh. Prajurit Smith akan mendatangi ruangan
mushalla yang terdapat di kapal induk itu. Patah-patah
dibimbing Sersan Ahmed mengambil wudhu. Lantas
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bergetar menahan tangis mengucap sahadat. Esok pagi
Prajurit Smith memutuskan untuk menjalani hidup baru.
Bukan soal pilihan agamanya, karena itu datang
memanggilnya begitu saja, tetapi lebih karena soal
bagaimana ia menyikapi kehilangannya selama ini.
Penerimaan yang tulus. **
(Oo-dwkz-oO)
** Ya Allah, bahkan wajahku tak pernah sedikitpun
menginspirasikan orang lain untuk berbuat baik. Tak
pernah sedikitpun mengilhami orang lain untuk berubah.
Lihatlah'. Sungguh aku cemburu- Bagaimana aku harus
menjelaskan semua kecemburuan ini. Cemburu kedua-ku?
Istana itu semakin indah buat Delisa....
Ada sejuta burung bul-bul di halamannya sekarang.
(Oo-dwkz-oO)
9. Mereka semua pergi !
Empat hari empat malam. Delisa belum menunjukkan
tanda-tanda akan siuman. Tetap terbaring tak bergerak di
atas ranjang. Hanya suara beep lemah peralatan medis di
sekitarnya yang menunjukkan Delisa masih bernafas
dengan baik. Masih ada kehidupan di sana.
Abi sekarang sedang melangkah patah-patah menuju
lokasi bekas rumah mereka. Abi tiba di Lhok Nga beberapa
menit lalu, setelah membujuk kesana-kemari akhirnya bisa
menumpang helikopter tentara tadi pagi dari Banda Aceh.
"Ya Allah, //Astagfirullah//!" Abi hanya bisa berkalikali
menyebut asmaMu. Semua pemandangan ini
menyedihkan. Menusuk-nusuk hatinya. Puing-puing
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
rumah, sampah bertumpuk tinggi. Pohon-pohon tercerabut.
Apalagi yang bisa diharapkannya. Keajaiban? Abi
menghela nafas panjang.
Tiba di lokasi bekas rumah mereka. Hanya tiang pondasi
setinggi mata kaki yang tersisa. Seluruh tembok musnah.
Lantai marmer putih terlihat bersih setelah diguyur hujan
tadi malam. Itulah yang menunjukkan kalau sepetak tanah
tersebut bekas rumahnya. Itulah yang membuat Abi
mengenali sepotong masa lalu mereka. Itu kamar Delisa,
Aisyah, dan Zahra. Itu kamar Fatimah. Itu kamar Ummi.
Itu ruang keluarga, itu dapur, itu kamar mandi—
Abi jatuh terduduk. Tergugu lama.
Cahaya muka lelaki berumur empat puluh tahunan itu
meredup. Parasnya yang seharusnya terlihat berwibawa dan
menyenangkan padam. Tubuh kekarnya bergetar. Abi
mengusap rambutnya yang hitam legam. Mendesah ke
langit-langit pagi Lhok Nga. Udara yang lembut. Angin laut
bertiup lemah memainkan anak rambut Abi.
Hanya batang jambu itu yang tersisa, meskipun tak
berbentuk lagi. Dahannya patah separuh. Daunnya robek di
sana-sini. Buahnya habis berguguran dihantam gelombang
air bah. Tetapi ayunan itu masih terikat sempurna. Ayunan
itu utuh. Bergerak-gerak ditiup angin pagi. Abi berdiri,
melangkah mendekatinya. Gemetar tangan Abi
menyentuhnya.
"Abi.... Abi ingin buat ayunan buat Delisa, kan?"
Bungsunya repot membantu membawa martil dan pakupaku.
"Yeee, bukan! Buat Aisyah ini!" Aisyah yang duduk di
atas balai bambu berteriak mengganggu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Abi.... Abi buat untuk Delisa, kan? Bukan buat kak
Aisyah-" Bungsunya menarik-narik baju Abi.
"Bukan! Buat Aisyah ini!" Aisyah tertawa, semakin
senang memperolok adiknya, Zahra dan Fatimah yang
duduk di atas balai bambu hanya nyengir. Ummi yang
sedang menyulam di dekat mereka menjawil kerudung
Aisyah.
Abi mengusap matanya yang basah.
Tergugu lama.
(Oo-dwkz-oO)
"Bagaimana kondisinya?" dr Eliza bertanya.
"Tidak ada kemajuan, dok!" suster Sophi menjawab
sambil mengembalikan peralatan pengukur tensi dan lain
sebagainya ke dalam kotak, dr Eliza menghela nafas
beranjak mendekat. Memeriksa berbagai data dari kertas
yang diberikan suser Sophi. Beranjak memeriksa tubuh
Delisa beberapa menit kemudian.
"Sudah lima hari lima malam.... ini akan sulit sekali!"
"Apakah dia akan baik-baik saja?" suster Sophi bertanya.
Mata hitam bundarnya berkerjap-kerjap. Sedikit cemas.
"S-e-m-o-g-a...." dr Eliza hanya tersenyum tipis.
Melangkah memeriksa kondisi ibu-ibu yang terbaring di
ranjang sebelah Delisa. Ibu-ibu itu dari Banda Aceh, tiba di
rumah sakit sehari setelah Delisa. Kedua kakinya juga
diamputasi. Tetapi ia sudah sadar. Kondisi tubuhnya jauh
lebih baik dibandingkan Delisa saat ditemukan. Meski
masih lemah dan trauma. Ibu-ibu itu hanya diam sepanjang
hari. Menatap kosong ke siapa saja yang mendekatinya.
Suster Sophi masih menatap wajah teduh Delisa yang
terbaring tak berdaya. Paras cantik suster Sophi menatap
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bersimpati. Gadis kecil ini sungguh tak beruntung. Suster
Sophi berdoa dalam hati. Menghela nafas sambil
memperbaiki kerudungnya. Kerudung?
Ya, Sophi satu di antara dua suster muslimah yang
bekerja di rumah sakit kapal induk itu. Ia kelahiran
Virginia, 25 tahun silam. Sudah tiga tahun bertugas di
gugus Kapal Induk ini. Keturunan Turki. Muslimah yang
baik. Ia juga suster yang baik. Ia yang meletakkan dua
boneka teddy bear di sebelah Delisa sekarang. Yang berdoa
setiap shalatnya agar Delisa segera sembuh. Meski ia sama
sekali tidak tahu siapa nama gadis kecil yang sedang
terbaring tak berdaya itu. Entah mengapa, suster Sophi
merasa dekat dengan Delisa. **
(Oo-dwkz-oO)
Sore datang menjelang. Di bekas rumah Delisa yang
hanya tinggal marmer putih dan pondasi semata kaki, Abi
masih tergugu panjang sepanjang hari. Menundukkan
muka. Meremas jemarinya. Koh Acan sedang berdiri di
depannya. Baru saja datang, langsung membawa berbagai
berita menyakitkan.
"Cut Aisyah mayatnya sudah ditemukan empat hari lalu,
bang Usman." Koh Acan berkata pelan.
Abi semakin tertunduk mengusap matanya.
"Mayatnya ditemukan sudah membusuk. Berpelukan
dengan Cut Zahra...." Bahkan suara Koh Acan hilang di
ujungnya. Menghela nafas panjang. Mereka terdiam lama.
** Dan memang begitulah, semua manusia yang masih
memiliki hati di dunia ini, akan selalu merasa dekat dengan
siapa saja yang kebetulan sedang tertimpa musibah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Matahari Jingga untuk kesekian kalinya menyinari senja
di Lhok Nga. Bedanya, minggu-minggu ini hanya
kesedihan yang menggantung di kota tersebut. Kesedihan
yang menyaput bersaman dengan air laut yang menjilat-jilat
pantai. Kesedihan yang menggumpal di bukit-bukit Lhok
Nga. Suara burung camar yang melenguh, semakin
menambah nuansa berduka.
"Apa lagi yang kau tahu?" Abi bertanya. Pertanyaan
yang menohok jantungnya. Dia bahkan takut dengan
pertanyaannya sendiri. Matanya memandang Acan lemah.
Tatapan yang sudah benar-benar pasrah dengan semua
kabar yang akan diberikan Acan. Tetapi Acan menggeleng.
"Hanya itu yang aku tahu, bang...." Koh Acan ikut
tertunduk sedih. Hanya itu? Haiya, itu saja cukup sudah
untuk membuat kesedihan sepanjang tahun.
Diam.
"Bagaimana kabar istrimu?" Abi memutus kesunyian.
Balik bertanya pelan.
Koh Acan tersenyum getir. Menahan tangis.
Menggeleng.
"Mayat Chi-bi sudah dikuburkan.... Tak ada yang
bersisa, bang.... Tak ada.... Toko itu musnah.... Keluarga
saya musnah, papa Liem, Tian Er, pembantu-pembantu di
toko. Entahlah apa yang akan aku lakukan sekarang-" Koh
Acan ikut tersedu.
Tertunduk. Abi mendesah tertahan mendengarnya.
Mereka diam lagi.
"Ah, padahal.... Padahal baru tiga minggu lalu-" Koh
Acan mendesiskan sesuatu. Abi mengangkat kepalanya.
Menatap Acan yang tersenyum getir mengingat sesuatu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Padahal.... Baru dua minggu lalu Delisa datang ke toko,
bang.... Bersama Ummi Salamah. Ia riang mencari
kalungnya, hadiah buat hafalan bacaan shalat. Mukanya
senang menatap kalung itu! D untuk Delisa, " Koh Acan
mendesis lemah-terluka. Koh Acan benar-benar sahabat
yang baik. Tidak mengeluhkan keluarganya, tidak
membicarakan masalah dirinya, malah teringat dengan
gadis bungsu Abi, keluarga yang sudah dianggapnya
sebagai kakak.
"Kalung...." Abi mendesah pendek. Seketika ingat
pembicaraannya dengan Delisa melalui telepon pagi itu.
Kalung itu dan Delisa entah di mana sekarang berada. Abi
mengusap rambutnya. Mengeluh dalam.
Terdiam lama lagi. **
** Semua kesedihan ini bahkan cukup untuk membuat
panglima perang paling perkasa sekalipun tertunduk
menangis. Semua kesedihan ini. Semua perasaan ini.
Sayangnya ketahui/ah wahai penduduk bumi, kesedihan
tidak mengena/ derajat kehidupan yang diciptakan
manusia. Kesedihan hanya mengena/ derajat kehidupan
yang Engkau tentukan. Kesedihan tidak pernah berkolerasi
dengan standar kehidupan manusia yang amat keterlaluan
cinta dunianya. Kesedihan hanya mengenal ukuran yang
Engkau sampaikan lewat ayat-ayatMu. Kesedihan
seseorang sungguh seharusnya kegembiraan baginya.
Kegembiraan seseorang boleh jadi hakikatnya kesedihan
terbesar baginya. Hanya untuk orang-orang yang berpikir....
(Oo-dwkz-oO)
"//Assalammualaikum//, Shopi, Ah-iya, kenalkan ini
Shopi, Prajurit Salam! Shopi, ini Prajurit Salam!" Sersan
Ahmed tersenyum ramah mengenalkan Prajurit Salam.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Malam itu selepas isya di ruang perawatan Delisa.
Sersan Ahmed dan Prajurit Salam (nama baru Prajurit
Smith) datang membesuk Delisa di rumah sakit. Sophi
mengenal baik Sersan Ahmed. Tidak banyak muslim di
kapal induk itu. Mereka mengenal satu sama lain.
Tersenyum mengangguk pada Prajurit Salam, mualaf
lainnya, desis Sophi riang dalam hati.
"Bagaimana kabarnya?" Salam bertanya datar. Menatap
gadis kecil yang terbaring tak bergerak di atas ranjang.
Salam menelan ludah. Di matanya, wajah itu masih tetap
bercahaya. Dan itu sekali lagi, sepanjang minggu ini
membuat hatinya selalu gentar.
"Dokter Eliza tidak banyak berkomentar, Yang pasti
mereka tidak tahu bagaimana membuatnya segera sadar...."
Sophi menjelaskan dengan suara prihatin.
Sersan Ahmed menggeleng. Ikut menatap prihatin wajah
yang masih lebam tersebut. Kesembuhan itu lambat sekali
datangnya.
"Tidak bisakah kepalanya diberikan kerudung?" Prajurit
Salam berkata datar. Dia risih menatap kepala botak Delisa
dengan barut-marut tambal-luka. Menyedihkan.
Sophi hanya tersenyum. Menggeleng. Akan mengganggu
selang dan berbagai belalai peralatan medis.
Bertiga diam lagi menatap tubuh lemah-Delisa.
Sementara ibu-ibu yang terbaring di sebelahnya hanya
menatap kosong mereka. Tidak bergerak, meski otaknya
berpikir banyak, ternyata selain perempuan ini, ada muslim
lainnya di sini, mereka tak jauh beda dengan ia, hanya
tekstur dan gurat wajahnya yang berbeda, sepertinya
mereka muslim-muslim yang baik!
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Fakta itu ternyata membuat ibu-ibu tersebut pelan-pelan
bisa kembali mengingat sesuatu. Apalagi kalau bukan
kembali mengingatMu, ya Allah. Ibu itu mulai menyadari
banyak hal. Ibu itu mulai ber-//istigfhar//. Dan itu
ternyata berguna untuk kesadaran Delisa nanti-nantinya.
(Oo-dwkz-oO)
Teuku Dien, tetangga terpisah sepuluh rumah Delisa di
Lhok Nga datang ke bekas rumah mereka. Malam semakin
larut. Abi yang masih saja duduk di sana mendesah pendek
saat Teuku Dien datang menyetuh bahunya. Mereka
berpelukan lama di bawah pohon jambu itu (Teuku Dien
adalah ayah Teuku Umam; masih terhitung saudara Abi).
"Cut Fatimah sudah dikuburkan tiga hari lalu,
Usman...." Teuku Dien menelan ludah. Memberitahukan.
Abi menunduk. Tak akan ada keajaiban itu. Tak akan
ada. Bagaimana mungkin dia masih berharap, setelah
melihat puing-puing ini? Tak akan ada yang selamat. Berita
dari Teuku Dien ini tak kalah menyedihkan, tetapi Abi
sudah lebih siap mendengarkan. Apalagi setelah mendengar
berita dari Koh Acan tadi pagi: kembarnya yang ditemukan
berpelukan. Kesedihan ini sudah menembus batasnya. Jadi
tidak akan ada bedanya lagi.
"Kalau begitu hanya tinggal Delisa dan Ummi...." Abi
mengusap mukanya. Berkata pelan. Tersenyum pahit.
"Kau sudah bertanya ke tenda marinir tentang kabar
mereka berdua, Usman?"
Abi menggeleng lemah. Dia sudah bertanya. Kemanamana.
Ke siapa saja. Tetapi siapa-yang-mengenal siapa?
Mayat-mayat itu buruk sekali kondisinya. Dan sudah
banyak yang buru-buru dikuburkan. Marinir itu tidak bisa
mengenali siapapun. Hanya penduduk lokal sini yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mengenali mayat-mayat tersebut. Itupun jika belum
terlanjur dikubur. Sayangnya marinir tersebut hanya
mengerti satu hal. Kuburkan sesegera mungkin, jika tidak
mayat-mayat yang mulai membusuk itu akan membuat
pengap langit-langit kota Lhok Nga.
"Berdoalah, semoga Delisa dan Salamah selamat,
Usman!"
Abi hanya tersenyum datar. Getir! Teuku Dien menepuk
bahunya sekali lagi.
Mereka berdiam diri.
"K-e-l-u-a-r-g-a-m-u?" Abi Usman bertanya pelan,
memecah kesunyian malam. Bulan separuh
bersinar terang di langit. Juga jutaan bintang. Seharusnya
pemandangan tersebut terasa menyenangkan.
Teuku Dien tersenyum pahit. Senyum yang sama dengan
Koh Acan kemarin. Senyum yang sama dengan sisa-sisa
penduduk Lhok Nga yang selamat lainnya. Senyum itu!
Hanya Umam anak bungsunya yang selamat. Istri, anakanaknya
yang lain hilang entah tak tahu rimbanya.
(Oo-dwkz-oO)
Malam beranjak semakin larut. Kembali ke ruang rawat
Delisa di Kapal Induk yang membuang sauh tiga puluh
kilometer dari bibir pantai ujung barat-laut pulau Sumatera.
Ibu-ibu di sebelah Delisa entah apa sebabnya, tiba-tiba
ingin shalat. Ia ingin shalat malam, tahajud. Kesadaran itu
datang begitu saja. Mungkin karena mendengar
pembicaraan Sersan Ahmed, Parjurit Salam dan suster
Shopi selepas isya tadi. Mungkin setelah menyadari bahwa
di mana-mana, ternyata terdapat hambaMu yang baik dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
selalu mengingatMu. Mungkin setelah menyadari banyak
hal.
Ibu-ibu itu ingin shalat malam.
Kondisi tubuhnya selain kaki yang terpotong, jauh lebih
sehat dibandingkan Delisa. Wajahnya tak selebam Delisa.
Tubuhnya juga tak seluka Delisa. Maka ibu-ibu itu dengan
mudah beranjak duduk bersandarkan bantal. Gemetar
tangannya pelan menepuk-nepuk seprai ranjang—
tayamum. Membasuh muka dan tangannya dengan debu.
Debu dan air itu dekat sekali. Sama-sama sebuah keniscayaanMu.
Diam sejenak. Menghela nafas. Lantas dengan tetap
bersandarkan bantal, ia memulai shalatnya.
Gemetar mengangkat tangan, takbiratul ihram.
Menghela nafas lagi. Terbata membaca doa //iftitah//.
Suaranya lemah mengisi langit-langit ruangan. Amat
lemah. Wajahnya masih tanpa ekspresi, tetapi matanya
mulai berair. Kesedihan melingkup hatinya. Doa
//iftitah// itu menyentuhnya. Menangis sejenak. Hanya
suara sedan lemah memenuhi ruangan mereka.
Meneruskan membaca Fatihah. Suasana terdengar semakin
sendu. Ibu-ibu itu lebih sering terhenti sekarang. Terisak.
Membaca surat pendek, alamnasroh! Ibu-ibu itu entah
mengapa memilih surat itu. Tiba di janjiMu itu, ia terdiam
lama. //Fainnakal 'usri yusro.// Sungguh setelah kesulitan
akan ada kemudahan!
Sungguh! Itu janjiMu yang tertoreh di atas kitab suci.
Sungguh tak ada keraguan di sana! Bagaimanalah orangorang
tak mempercayainya? Itu kata-kataMu. Janji dari
maha-pemegang janji!
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ibu-ibu itu gemetar menggerakkan tangannya, tanda
hendak ruku. Melanjutkan shalatnya. Membaca bacaan
ruku1 pelan. Menggerakkan tangannya lagi tanda hendak
//i'tidal//. //Samiallahuliman-hamidah.
Rabbanalakalhamdu//.
Dan sujud! Ibu-ibu itu akan sujud.
Saat bibir ibu-ibu itu gemetar menyebut:
//subhanallah rabbiyal a'la wabihamdih// .... Bacaan
sujud yang selama ini Delisa tak pernah mampu hafal.
Jemari Delisa tiba-tiba bergerak-gerak.
Ya Allah, Delisa ingin sujud, Delisa ingin menyambung
sujud yang terhenti itu. Delisa ingin sujud sempurna
padaMu. Berikanlah kesempatan kepadanya,
Dan Delisa pelan-pelan sadar.
(Oo-dwkz-oO)
** Ya Allah, Delisa harus tirus hidup.... Ia belum pernah
sujud yang sempurna.... Aku mohon demi hidup dan
kehidupan ini'.
(Oo-dwkz-oO)
10. Kalung yang inda h itu
Ibu-ibu di sebelah ranjang Delisa mengucap salam.
Shalat malamnya usai. Tahajud-nya sudah selesai. Ia
menangis tersedan. Tak ada yang perlu disesali. Bukankah
semua sudah terjadi. Tak ada yang bisa mengembalikan
waktu! Tidak ada yang bisa memutar ulang nasib, hidup
dan kehidupan. Ibu-ibu itu menghela nafas dalam.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dan ternyata ada yang menghela nafas juga di ruangan
itu.
Ia menoleh, melihat Delisa. Gadis kecil itu pelan-pelan
siuman. Suara nafasnya terdengar lebih keras. Mata Delisa
berkerjap-kerjap. Silau. Cahaya ruangan itu tidak terlalu
terang. Tetapi bagi Delisa yang hampir seminggu pingsan di
atas ranjang, ditambah dua minggu pingsan di semak
belukar itu, cahaya seperti apapun akan terasa
menyilaukan.
Delisa mengaduh. Sakit. Badannya terasa amat sakit.
Tetapi sepertinya ia tidak tergantung di atas semak-belukar
itu lagi. Tubuh sebelah kirinya tidak basah di atas becek
tanah terkena hujan deras. Ia tidak panas dipanggang tanah
mengering dan garangnya sinar matahari siang. Ia sekarang
berada di atas ranjang yang empuk. Di mana? Di
rumahnya? Bukankah kasurnya tidak sebesar ini?
Delisa menolehkan kepala ke sana-kemari.
Ibu-ibu itu juga menolehkan kepala. Tidak ke sanakemari,
melainkan ke samping ranjangnya, tangannya
menggapai tombol untuk memberitahu perawat yang
sedang berjaga.
"A-a-a....?" Delisa entahlah mau bilang apa. Suaranya
masih tersendat di tenggorokan. Menatap Ibu-ibu itu. Ibuibu
itu menyeka sisa air matanya. Tersenyum. Tidak
membalas seruan Delisa. Apalagi ia tidak mengerti apa
yang dikatakan Delisa barusan.
"A-a-a....11 Suara Delisa terdengar sekali lagi.
Suster Sophi yang kebetulan malam itu berjaga
terkantuk-kantuk di meja depan, terburu-buru masuk
ruangan setelah melihat lampu di meja jaganya berkedipkedip.
Kode dari tombol yang ditekan ibu-ibu tadi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Membuka pintu kaca ruang rawat Delisa. Dan mukanya
yang tadi amat cemas langsung menyungging senyum saat
menatap Delisa yang pelan terus menoleh kesana-kemari.
"Honey, kamu sudah siuman...." suster Sophi berseru
kecil, melangkah mendekat.
"A-a-a-a..." Delisa menatap suster Sophi. Suaranya tetap
belum terbentuk. Hanya matanya yang sempurna pulih
mengamati wajah orang yang mendekatinya sekarang.
Kerudung? Mbak-mbak ini berkerudung seperti kak
Fatimah. Seperti Ummi. Meski wajahnya sama sekali asing
bagi Delisa. Siapa ia? Delisa tidak mengenalinya.
Suster Sophi mengabaikan pertanyaan dari gesture muka
lebam Delisa. Buru-buru memeriksa seluruh layar hijau.
Selang dan belalai di tubuh Delisa. Mencatat entahlah.
Mengamati apalah. Tersenyum lagi. Lantas duduk di tepi
ranjang, menyentuh dahi Delisa lembut.
"Bagaimana perasaanmu sayang?" Sophi bertanya riang.
Semuanya membaik. Kesadaran ini membuat situasi gadis
kecil di hadapannya berubah drastis.
Namun Sophi mendadak terdiam. Bukankah urusan ini
akan sama saja dengan ibu-ibu di sebelah ranjang Delisa?
Mereka kan tidak mengerti bahasa satu sama lain.
Pertanyaannya tadi sedikitpun tidak dimengerti Delisa.
Delisa yang matanya mulai terbiasa oleh cahaya lampu,
masih menatap lamat-lamat wajah Shopi, tidak
mendengarkan Sophi barusan.
"D-i-m-a-n-a....?" Akhirnya Delisa bisa menyebut kalimat
yang utuh. Bukan erangan yang tersangkut di tenggorokan.
Shopi menelan ludah. Apa maksud pertanyaan itu?
Aduh, ia sedikitpun tak mengerti bahasa Indonesia.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"U-m-m-i...." Delisa mendesahkan kata lain.
Shopi tersenyum. Kalau yang satu ini ia mengerti. Ibu!
Gadis kecil ini memanggil ibunya. Sophi tersenyum riang.
Dan seketika terjadilah komunikasi yang ajaib itu. Delisa
dan Shopi berbicara satu sama lain. Tak mengerti masingmasing
bahasa, tapi bisa saling memahami.
"Kau ada di rumah sakit, sayang!"
"Kak Fatimah...."
"Kami menemukanmu.... Kau sudah pingsan selama
enam hari, sayang! Tetapi sekarang kau sudah sadar....
Kondisimu sekarang baik. Amat baik."
"Kak Zahra.....11
"Dan.... D-a-n kami terpaksa.... Maafkan aku, sayang.
Kami terpaksa mengoperasi kakimu.... Kami juga
memasang gips di lengan kananmu."
"Kak Aisyah...."
Suster Sophi dan Delisa sekarang bertatapan. Delisa
hendak menggerakkan tangan kanannya. Tak bisa. Tangan
itu terbungkus gips. Dan saat matanya melihat kaki
kanannya, kaki itu sudah terpotong sempurna hingga lutut.
Delisa menatap kosong. Ia tiba-tiba tidak bisa berpikir
lebih banyak lagi. Terhenti begitu saja. Setelah menyebut
nama Ummi, kak Fatimah, kak Zahra, dan kak Aisyah tadi,
ingatannya pelan-pelan kembali. Masalahnya ingatan itu
kembali bersama "sepotong" hati dan otak yang tertinggal.
Apalagi setelah melihat kakinya yang terpotong. Semua ini
terasa menyedihkan. Terasa memilukan. Mata Delisa mulai
basah ber-air. Sophi menelan ludah. Mengelus lembut bahu
Delisa.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Di mana ia sekarang? Ia jelas-jelas tidak berada di semak
belukar itu. Tidak terpanggang cahaya matahari. Tidak
diterpa hujan deras. Oh ya, jam berapa sekarang? Siangkah?
Atau malam? Di mana kota Lhok Nga-nya? Di mana?
Air....
"A-i-r____" Delisa tiba-tiba mendesis.
Shopi tahu kata yang satu ini. Ibu-ibu di sebelah ranjang
Delisa beberapa hari lalu juga menyebutkan kata itu. Shopi
buru-buru menjangkau gelas dan teko kaca di atas meja.
Mengisinya separuh. Dengan lembut mendekatkan gelas itu
ke bibir Delisa. Delisa menggeleng. Ia tidak haus.
Setidaknya itu yang ia rasakan sekarang.
Air di mana-mana. Air yang merekahkan tembok
sekolah. Air yang menyeret tubuhnya. Delisa ingat sikunya
terhantam pohon kelapa. Mukanya diparut pelepah pohon
kelapa. Betis kaki kanan! Betis itu menghantam pagar
sekolah. Ibu Guru Nur.... Di mana Ibu Guru Nur? Temanteman
sekelasnya? Tiur? Di manakah mayat Tiur yang
membeku? Delisa mengeluh dalam. Wajah Tiur yang putih
tak berdarah membayang di pelupuk mata.
Sophi mengembalikan gelas yang tidak disentuh bibir
Delisa. Menggeleng walau tetap tersenyum. Memperbaiki
posisi kepala Delisa agar Delisa bisa mengamati situasi
kamar lebih nyaman.
"I-n-i rumah sakit?" Delisa batuk kecil, bertanya lagi.
Sophi mengangguk (ia tidak tahu apa yang dikatakan
Delisa; hanya mengangguk saja). Delisa menatap selang
infus, berbagai belalai yang melilitnya. Menatap peralatan
rumah sakit. Terdiam. Di manapun ia sekarang. Semua ini
terasa menyedihkan. Semua ini terasa aneh. Dan yang lebih
penting lagi, semua perasaan yang tiba-tiba menohok-nohok
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
hatinya. Perasaan merasa sendirian. Dan Delisa benarbenar
sendirian.
(Oo-dwkz-oO)
Esok paginya.
dr Eliza amat semangat memeriksa Delisa. Tersenyum
hangat melihat semua data. Kesehatan fisik Delisa maju
sekali. Sophi bahkan sekarang membantu melepas belalaibelalai
itu—sudah tidak diperlukan. Delisa bahkan sudah
bisa beranjak duduk, dr Eliza mengusap kepala plontos
Delisa sebelum beranjak memeriksa ibu-ibu di sebelahnya.
Memuji Delisa anak yang pandai.
"Itu buatmu, sayang!" Sophi mendekat setelah dr Eliza
pindah ke ranjang sebelah, menunjuk boneka teddy bear.
Delisa menatap boneka itu. Meraihnya. Mema-tut-matut.
Tidak ada yang berwarna biru. Mengamatinya sebentar.
Meletakkannya kembali. Tidak ter- lalu berselera, meski
Delisa amat suka dengan boneka.
"Kamu hari ini mandi ya. Sebentar, kakak siapkan dulu."
Sophi melangkah keluar kamar, entah mengambil apa.
Delisa menoleh ke arah ibu-ibu di sebelahnya, dr Eliza,
setelah memeriksa singkat ibu-ibu itu, sudah keluar kamar
menyusul suster Sophi. Ibu-ibu itu hanya balik
memperhatikan Delisa. Diam, membalas pandangan
Delisa. Tersenyum lemah. Hanya itu.
Sophi kembali dengan membawa sebaskom besar air
hangat. Kain kering yang lembut. Handuk besar dan
pakaian ganti. Membantu Delisa hati-hati duduk
bersandarkan bantal-bantal. Melepas atasan baju Delisa.
Delisa menurut saja. Membiarkan jemari suster Sophi
bekerja.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sophi menelan ludah. Tubuh gadis kecil di hadapannya
menyedihkan sekali. Ia mengambil kain, mencelupkannya
dalam air hangat di baskom. Memerasnya. Kemudian
lemah penuh perasaan jemari Sophi mengelap punggung
Delisa yang penuh parut.
Sungguh menggentarkan menatap tubuh telanjang itu.
Sisa-sisa barut, jahitan luka panjang-panjang, lebam biru.
Sophi menghela nafas dalam senyap.
Hangat. Kain basah itu terasa hangat di badan Delisa.
Delisa menyeringai. Ini menyenangkan. Ternyata ini
maksudnya kakak-kakak ini dengan kata mandi tadi?
Jemari Sophi pelan mengelap bahu Delisa. Hati-hati agar
tidak menyentuh jahitan luka di sana. Sementara Delisa
menatap wajah Sophi. Memperhatikannya lamat-lamat.
Kakak-kakak ini baik sekali. Mukanya teduh seperti muka
Ummi. Wajahnya mirip seperti anak-anak Wak Burhan.
Kata Ummi dulu, anak-anak Wak Burhan itu memang
demikian. Wajah keturunan Arab. Jadi sepertinya kakakkakak
ini juga sama. Meski Delisa tidak tahu di mana
negara Arab itu berada. Mungkin Abi tahu, kan Abi pernah
pergi ke negara mana saja.
Sophi sekarang mengelap kepala Delisa. Yang sempurna
botak, juga penuh barut luka. Menelan ludah lagi.
Menghela nafas.
"Kakak siapa?"
Delisa tiba-tiba bertanya. Tangan Sophi terhenti.
Menatap Delisa yang menyeringai. Mulut Delisa terbuka,
dua giginya yang tanggal langsung menyeruak terlihat.
Sophi tak mengerti pertanyaan itu, tetapi menjawabnya
dengan benar tanpa sadar.
"Sophi!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Delisa mengangguk. C-o-f-i! Nama kakak ini ternyata
Cofi. Setidaknya itulah yang telinga Delisa dengar.
Sophi meneruskan membersihkan tubuh Delisa. Melepas
bagian bawahan pakaian Delisa. Di kaki kiri Delisa yang
utuh ada dua jahitan luka. Besar-besar. Sophi lebih lama
membersihkan bagian bawah tubuh Delisa. Mengganti
perban kaki Delisa yang diamputasi. Kemudian terakhir
mengeringkan tubuh Delisa dengan handuk besar. Handuk
ini besar sekali, seperti handuk Abi.... Delisa berpikir,
menyeringai.
"A-b-i...."
Sophi menoleh. Gadis kecil ini baru saja menanyakan
ayahnya. Sophi hanya tersenyum menggeleng. Tidak tahu
mesti bilang apa. Meneruskan mengganti pakaian Delisa.
Seragam pasien rumah sakit yang bersih. Biru. Delisa
menatap senang seragam itu. Setidaknya warna itu
membuatnya merasa tidak sendirian.
(Oo-dwkz-oO)
Dan dua hari kemudian, Delisa benar-benar tidak
sendirian.
Shopi selalu menemaninya. Meski itu bukan jadwal
piketnya. Gadis berumur 25 tahun itu menggantikan peran
Ummi, kak Fatimah, kak Aisyah, sekaligus kak Zahra
dengan baik. Juga teman yang baik.
"Kak Cofi...." Delisa selalu berseru senang setiap Sophi
masuk ke ruangan rawatnya. Dan pagi itu Delisa juga
berseru senang menyambut suster Sophi.
Hari ketiga setelah Delisa siuman. Lebam muka Delisa
mulai memudar. Luka-lukanya mulai mengering. Barutbarut
itu juga pelan-pelan terkelupas, digantikan kulit baru.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Masa-masa pertumbuhan kanak-kanak, fisiknya pulih lebih
cepat.
Sophi tersenyum mendekat. Membalas riang sapaan
Delisa (meski ia belum tahu siapa nama gadis kecil itu).
Hari ini Sophi tidak bertugas. Maka ia datang dengan
pakaian biasa. Bukan dengan seragam putihnya. Sophi
sekarang mengenakan kerudung biru; baju panjang, seperti
baju yang sering digunakan kak Fatimah. Sophi sengaja
memakai kerudung biru. Ia tahu Delisa suka dengan warna
biru. Delisa mengatakan warna itu berkali-kali sejak dua
hari lalu.
"Kakak bawa sesuatu untukmu!" Sophi melangkah
patah-patah mendekat. Dua tangannya tersembunyi di balik
badannya. Delisa menyeringai. Kak
Fatimah juga sering begitu dulu. Pasti tangan itu
menyembunyikan sesuatu. Kejutan.
"Tara...!" Sophi berseru kecil. Mengeluarkan benda
pertama. Berwarna biru! Kain! Kerudung kecil untuk
Delisa. Delisa tersenyum senang. Meraihnya dengan tangan
kiri.
"Dan... Tara...!" Sophi mengeluarkan benda kedua.
Cokelat! Sebatang cokelat besar. Delisa benar-benar
berteriak senang sekarang. Ibu-ibu di sebelah mereka
bahkan ikut tersenyum.
"COKELAT!" Delisa menyambarnya. Sophi tersenyum.
Duduk di tepi ranjang. Membantu memasangkan kerudung
di kepala botak Delisa. Manis sekali. Wajah gadis kecil di
hadapannya baru separuh pulih. Tetapi lihatlah! Ketika
kerudung itu terpasang di kepalanya, wajah itu seketika
berubah manis sekali!
Sophi menelan ludah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kakak bantu buka ya...." Sophi meraih cokelat itu.
Dengan satu tangan, Delisa tadi kesulitan membuka
bungkusnya.
"Kak Cofi potong saja separuhnya...." Delisa berkata
sambil tersenyum saat Sophi hendak menyerahkan lagi
cokelat yang sudah terbuka.
Sophi menggeleng tak mengerti (bahasanya). Tetap
meletakkan seluruh cokelat itu di tangan Delisa. Delisa
yang memotongnya. Awalnya kesulitan meski akhirnya
berhasil. Lantas menyerahkan potongan itu ke tangan
Sophi.
"Buat kak Sophi!"
Sophi tertegun. Ia mengerti sekarang. Gadis kecil di
hadapannya ternyata hendak berbagi. Sophi menelan ludah.
Tersenyum kaku menerima potongan itu. Va Allah, bahkan
Delisa di tengah situasi menyedihkan ini, reflek begitu saja
membagi cokelatnya.... Tulus berbagi....
Mereka berdiam diri. Dengan pikiran masing-masing.
Delisa menggigit cokelat itu. Cokelat ini membuat Delisa
ingat Ummi. Ingat ustadz Rahman. Bukankah Delisa belum
sempat menjelaskan kejadian shubuh itu kepada Ummi.
Delisa buru-buru memperbaharui janjinya, nanti kalau
ketemu Ummi, ia akan menjelaskan semuanya. Minta
maaf. Paling Ummi akan mencubit perutnya. Delisa
tersenyum senang dengan kemungkinan terburuk itu.
Sedikitpun tidak menyadari kemungkinan yang lebih buruk.
Sophi menggigit cokelat itu. Memandang wajah manis
Delisa di hadapannya. Wajah itu teduh sekali. Siapakah
nama gadis kecil ini? Sophi mendesah dalam hati. Di
manakah Abi-nya? Di manakah Ummi-nya? Di manakah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
keluarganya. Jangan-jangan, sama seperti penduduk Aceh
lainnya.
Sophi menghela nafas panjang. Ia sepanjang dua hari ini
selalu bertanya nama, alamat, dan data-data Delisa lainnya,
namun gadis kecil ini hanya mengangguk, menggeleng tak
mengerti. Ribet! Kalau sudah se-detail itu, cara komunikasi
mereka yang ajaib tidak jalan lagi. Jadi bagaimana ia harus
mendapatkan informasi sepenting itu dari Delisa?
Sophi hampir menghabiskan potongan cokelat-nya
(bahkan potongan miliknya lebih besar dibandingkan milik
Delisa), ketika tiba-tiba ia ingat sesuatu. Isian formulir. Ia
tidak bisa bertanya. Tetapi gadis kecil ini pasti pernah
melihat formulir seperti itu. Ia pasti bisa mengisinya.
"Sebentar, sayang!" Suster Sophi tiba-tiba berdiri. Delisa
mengangguk. Ia sudah mengerti gesture itu. Itu berarti kak
Cofi hendak keluar sebentar. Sophi buru-buru ke ruang jaga
rumah sakit. Meminta kertas dari suster yang berjaga di
depan.
Delisa menoleh ke arah ibu-ibu di sebelahnya.
"Aduh, Delisa lupa bagi Ummi cokelatnya...." Delisa
baru ingat. Menatap ibu-ibu itu. Ibu-ibu itu hanya
tersenyum. Diam. Sudah tiga hari Delisa siuman, tetapi tak
sepotong patah pun yang keluar dari mulut ibu-ibu tersebut.
Delisa sebenarnya banyak bertanya, meski ibu-ibu itu
menjawab hanya dengan senyuman.
Sophi kembali. Membawa selembar kertas isian formulir
rumah sakit. Menyerahkannya dengan pensil dan alas
papan. Delisa menatapnya. Memegang kertas itu. Ia tidak
mengerti apa maksudnya. Tetapi Delisa pernah melihat
formulir seperti ini. Ia pernah melihat kak Fatimah
mengisinya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ini namanya kertas pendaftaran. Kak Fatimah mau ikut
PMR, kak Fatimah mengisikan nama.... alamat... apa saja
tentang kak Fatimah!" Kak Fatimah menjelaskan waktu
Delisa bertanya.
"Ngapain pula kamu nanya-nanya.... Paling juga nggak
ngerti kak Aisyah jelasin ini!" Itu waktu Aisyah pulang
membawa kertas pendaftaran latihan tari Saman-nya.
Seperti biasa ribut dengan Delisa. Tetapi kak Zahra berbaik
hati menjelaskannya. Lebih detail dibandingkan penjelasan
kak Fatimah dulu.
Delisa menatap kertas tersebut, beralih memandang
Sophi. Sophi mengangguk. Membantu Delisa memegang
pensilnya dengan tangan kirinya (Delisa memang kidal
kalau menulis; meski normal saat melakukan pekerjaan
lainnya).
"Isilah, sayang!"
Delisa tak tahu apa arti kolom di sebelah kirinya.
//Name//? //Birthday//? //Sex//? //Address//? Ia
hanya ingat ucapan kak Fatimah dan kak Zahra, maka ia
sembarang mengisinya. Menulis namanya. Menulis alamat
rumah mereka. Menulis nama SD-nya. Menulis nama Abi
dan Ummi (walaupun yang ditulis ya "Abi" dan "Ummi").
Menulis nama kakak-kakaknya. Menulis nama Ibu Guru
Nur. Menulis nama ustadz Rahman. Menulis nama Tiur.
Bahkan menulis warna kesukaannya. Apa saja, hingga
semua kolom pertanyaan itu penuh hingga ke bawah.
Sekacau apapun urutan Delisa menulis. Semua informasi
itu berguna sekali. Sophi tersenyum senang melihatnya.
Segera siang itu juga, semua data itu bergabung dengan
ribuan data korban selamat lainnya di Pusat Informasi
Banda Aceh dan Lhok Nga.
(Oo-dwkz-oO)
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Malamnya, Sophi datang lagi. Sekarang bajunya yang
berwarna biru. Kerudungnya berganti putih. Sophi
membawa beberapa foto keluarganya di Virginia. Malam
ini ia akan bercerita banyak dengan gadis kecil itu. Meski
mereka berdua tidak saling mengerti, menyenangkan saja
berbincang dengan gadis kecil itu. Menyimak wajah
teduhnya. Menatap beningnya mata hijau itu.
"Kak Cofi!" Delisa berseru riang. Duduk dari baringnya,
bersandarkan bantal-bantal.
"Da-le-sia!" Sophi membalas tersenyum. Untuk pertama
kalinya bisa menyebut nama gadis kecil di hadapannya
(setelah melihat formulir isian tadi siang).
Sophi menyeret kursi ke dekat ranjang Delisa. Ia tidak
bisa menyebutkan nama Delisa dengan baik. Bukan
masalah besar. Delisa juga tidak bisa menyebutkan
namanya dengan baik kan. Bahkan ia berpikir, cara Delisa
menyebut namanya lucu sekali. Cofi? Seperti seseorang
dulu yang biasa memanggilnya. Ah!
Sophi memperlihatkan foto-foto tersebut. Delisa
mengerti, itu foto-foto keluarga kak Sophi. Delisa juga
punya foto-foto itu di rumah. Mereka dengan riang
membicarakan keluarga Sophi baru sekitar lima menit,
ketika tiba-tiba Sophi menyadari, ia sudah melakukan
kesalahan besar. Saat Delisa terdiam menatap salah satu
fotonya. Foto Sophi dengan Dad dan Mam di depan rumah
mereka, Virginia. Bukankah foto-foto ini malah membuat
Delisa teringat keluarganya.
Bagaimana mungkin ia tidak berpikir sebelumnya.
Bagaimana mungkin ia hanya berpikiran sependek itu,
semata-mata hanya ingin membuat Delisa senang. Delisa
justeru terdiam sekarang. Sophi merengkuh bahu Delisa.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kita pasti akan menemukan Ummi, Abi, kak Fatimah,
kak Zahra, dan kak Aisyah sayang...." Kalimat itu
sayangnya tidak terdengar seyakin raut muka Sophi yang
tersenyum tanggung. Tangan Sophi buru-buru hendak
menyingkirkan foto-foto itu.
Delisa tetap diam. Tetap memegang foto tersebut. Sophi
menelan ludah. Menahan tangannya.
Tidak! Delisa tidak sedih teringat Ummi, Abi dan kakakkakaknya.
Delisa sedang terdiam melihat leher kak Sophi di
foto itu. Itu foto Sophi tiga tahun silam. Sebelum ia
berjilbab. Di leher kak Sophi ada kalung. Kalung yang
indah. Ada huruf S. S untuk Cofi (?). Delisa berpikir. Bukan
berpikir soal tidak sinkronnya S dengan C. Ia berpikir
tentang sesuatu.
Kalung? Bukankah kosa kata itu selama ini teramat
penting baginya? Kalung? Bukankah kata itu benar-benar
penting baginya. Mengapa hilang begitu saja? Delisa lupa
apa maksudnya. Yang ia tahu, kalung milik kak Sophi
indah sekali, dan ia ingin punya yang seperti itu.
"Ada apa, Da-le-sia?"
Delisa menoleh. Jari telunjuknya menyentuh leher kak
Sophi di foto. Sophi mengernyit bingung? Gadis kecil di
sampingnya jelas-jelas tidak sedih mengenang keluarganya.
Ia sedang tertarik dengan leher Sophi di foto tersebut.
Delisa membentuk bundaran dari jari telunjuk dan
jempol tangan kirinya. "K-a-l-u-n-g...." Berkata dengan
mata hijau yang berkerja-kerjap.
Sophi mengerti. Kalung? Delisa melihat kalung di
fotonya. Sophi tersenyum. Menyingkap kerudung birunya.
Memperlihatkan lehernya. Kalung itu tergan- tung di sana.
S untuk Cofi. Indah sekali.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Gemetar tangan Delisa menyentuhnya!
Ia ingat banyak hal.... Delisa ingat hampir semua
kenangan itu. Tetapi tidak yang ini.... Ia lupa tentang
kalung itu! Kalung yang dibeli dari Koh Acan. Kalung yang
membuat kak Aisyah merajuk semalaman. Kalung emas 2
gram. Dengan huruf yang tergantung. D untuk Delisa.
Kalung hadiah hafalan bacaan shalatnya.
(Oo-dwkz-oO)
11. Pertem uan
Dan inilah gunanya daftar isian itu. Ketika siangnya
Sophi menyerahkan data tersebut ke Sersan Ahmed. Nama
Delisa seketika bergabung dengan daftar ribuan nama
lainnya yang selamat dari bencana tsunami dan sekarang
terpisah entah kemana.
Salah satu kertas itu di kirim ke barak marinir Lhok Nga.
Abi yang sekali lagi mencari informasi di tenda marinir
Kapal Induk kota Lhok Nga mendekat, mendongakkan
kepala amat tertarik saat Prajurit Salam menempelkan data
baru di papan pengumuman.
Mungkin saja ada nama Delisa di sana. Mungkin saja
ada nama Ummi di sana. Abi tidak pernah berhenti
berharap.
"D-e-l-i-s-a!" dan gemetar Abi menyebut nama yang
tertera di atas kertas tersebut. Sekejap kemudian reflek
memegang lengan Prajurit Salam yang masih menempelkan
data lainnya.
"Bagaimana saya bisa k-e-s-a-n-a? BAGAIMANA?" Raut
muka Abi menegang. Cemas, senang, khawatir, bersyukur
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dan entahlah perasaan apa lagi yang bercampur aduk dari
paras tegang mukanya.
Prajurit Salam menoleh, sama sekali tidak mengerti apa
yang dikeluhkan bapak-bapak di sampingnya. Salam hanya
tersenyum tipis, balik bertanya lewat senyuman itu.
"Delisa! Bagaimana saya bisa kesana?" Tentu saja Abi
lebih dari memadai bahasa Inggrisnya. Bertanya sekali lagi
dengan intonasi lebih terkendali. Menggunakan bahasa
yang dimengerti oleh Prajurit Salam.
"Eh, maaf.... Siapakah bapak?" Salam menyeringai.
Akhirnya mengerti pertanyaan itu. Menatap menyelidik.
"Saya.... Abi! Maksud saya.... Saya ayah-nya Delisa!"
Abi berkata terburu-buru; terbata-bata.
Salam menatap lamat-lamat. Mencerna. Bapak-bapak ini
ayah dari gadis kecil yang bercahaya itu? Berpikir lagi.
Kalau begitu? Hatinya seketika gentar. Beberapa detik
kemudian reflek kepala Prajurit Salam menunduk,
menggapai lemah tangan Abi di hadapannya. Mencium
takjim tangan Abi.
(Oo-dwkz-oO)
Pagi itu juga, Abi segera menumpang helikopter Super
Puma. Perjalanan satu setengah jam menuju kapal induk
yang membuang sauh di lautan Aceh terasa seperti satu
setengah abad. Hatinya buncah. Entah bagaimana dia bisa
menjelaskan semua kebahagiaan itu. Ya Allah, akhirnya
keajaiban itu ada.
Sersan Ahmed menjelaskan banyak. Detail. Semuanya.
Tetapi itu tetap tidak memadamkan berjuta pertanyaan di
hati Abi. Dia ingin segera memeluk bungsunya. Lihatlah!
Bungsunya pasti melewati semua ini dengan kesedihan
mendalam. Sendirian! Sendirian di kapal perang yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
penghuninya sama sekali tidak dikenalinya. Bungsunya
terlalu kecil untuk menghadapi kenyataan yang
menyakitkan ini.
Helikopter mendarat anggun di pelataran Kapal Induk.
Sersan Ahmed berjalan bergegas menuju pintu masuk di
pelataran pendaratan. Abi mengikuti setengah berlari.
Mereka berdua langsung melangkah ke lift evakuasi rumah
sakit.
Delisa saat itu sedang bermain bersama suster Shopi,
duduk bersandar di ranjangnya. Memegang dua boneka
Teddy Bear (sekarang diberikan pita biru). Tertawa
manisnya (Delisa menganggap dua Teddy Bear kembar itu
seperti kak Aisyah dan kak Zahra). "Yang ini wajahnya
mirip kak Aisyah, cerewet. Nah yang ini mirip kak Zahra,
pendiam." Sophi hanya tersenyum melihat gadis kecil di
hadapannya begitu riang bercerita dengan bahasanya.
Bermain boneka-bonekaan.
Pintu kaca terbuka hampir tak bersuara.
Sersan Ahmed tegap melangkah masuk.
Sophi menoleh sambil tersenyum. Berdiri menyambut.
Delisa ikutan menoleh sambil tangannya terus
memegang dua boneka tersebut.
Sersan Ahmed menyibak jalan ke samping. Abi Usman
seketika terlihat berdiri di bawah bingkai pintu. Menatap
dengan mata terbuka penuh mencari tahu. Di manakah
bungsunya?
Boneka teddy bear terlepas dari tangan Delisa. Dalam
gerakan lambat yang menggentarkan, Delisa berteriak....
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"A-B-IM A-B-IM" Delisa berseru-seru riang. Ia berontak
hendak bangkit. Loncat seperti biasanya dalam pelukan Abi
saat menyambut Abi pulang. Tapi bagaimanalah?
"D-e-l-i-s-a!" Abi mendesiskan nama. Melangkah
gemetar. Matanya sontak berkaca-kaca. Lihatlah!
Bungsunya dengan muka-merah merekah berbinar-binar
saking senang menyambutnya. Lihatlah, paras itu sama
sekali tidak bersedih. Menyambutnya amat riang. Seperti
menyambut Abi yang baru pulang setelah tiga bulan
berlayar. Muka itu seperti bercahaya saking riangnya.
Abi berdiri bergetar mendekati ranjang Delisa, gemetar
menjulurkan kedua tangannya.
Delisa tanpa menunggu, beringsut memeluk.
Berguguran sejuta pertanyaan itu. Delisa bahkan lebih
tegar dibandingkan dengannya. Bungsunya bahkan lebih
tabah dibandingkan dengannya. Tidak ada rona sedih di
sana.
"A-b-i____ A-b-i____" Delisa masih berseru-seru senang.
Kerudung birunya terlepas. Memperlihatkan kepala
botaknya. Abi menelan ludah. Melepas pelukan. Mengusap
lembut kepala Delisa. Memperhatikan seluruh tubuh
bungsunya.
"Kaki.... Kaki Delisa dipotong, Bi!" Delisa menyeringai.
Abi mengeluh.
"Gigi.... Gigi Delisa lepas dua, Bi!" Delisa membuka
mulutnya, nyengir.
Abi mengeluh semakin dalam.
"Siku.... Siku Delisa dibungkus, Bi!" Delisa
menunjukkan lengan kanannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ya Allah, Sersan Ahmed sudah memberitahukannya.
Namun pemandangan ini sungguh menyakitkan, teramat
menusuk hatinya. Dan yang lebih membuat hati Abi bagai
diaduk-aduk, lihatlah, Delisa ringan saja menyampaikan
semua berita itu. Tidak berkeberatan sedikitpun dengan
keputusanMu.
Abi memeluk Delisa sekali lagi. Mengusap matanya
yang mulai basah. Apapun itu, bungsunya ternyata selamat.
Keajaiban itu masih ada. Abi untuk kesekian kalinya
mengusap matanya yang semakin basah.
Ada tiga orang lain yang mengusap mata di sana. Sophi,
yang menggunakan tissu di atas meja. Sersan Ahmed yang
mendongakkan kepala (ia tidak ingin terlihat menangis).
Ibu-ibu itu, yang meski matanya menatap kosong, ikut
mengurai air mata haru.
"Kenapa kak Aisyah tidak ikut, Bi?" Delisa tiba-tiba
bertanya, memutus keheningan sesaat tadi. Abi terkesiap.
"Kenapa kak Zahra dan kak Fatimah juga tidak ikut
sekalian dengan Abi? Helikopternya nggak muat ya?"
Abi mengelus dadanya.
"Kenapa Ummi tidak ikut datang sekalian menjenguk
Delisa, Bi? Ummi menunggu di rumah ya?" Pertanyaan
Delisa muncul bagai tiga kali roket yang dihujamkan di
lokasi yang sama. Membuat lubang kesedihan menganga
semakin lebar.
Abi tertunduk. Bagaimana dia harus menjelaskan
semuanya? Rumah mereka yang tak bersisa. Aisyah, Zahra
dan Fatimah yang sudah pergi selama-lamanya? Ummi
yang entah hari ini ada di mana?
Sophi dan Sersan Ahmed juga terdiam. Saling pandang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Delisa mulai panik melihat raut muka Abi. Raut muka
itu tidak beres. Raut muka itu menimbulkan pertanyaan.
Dan Delisa siap meluncurkan puluhan pertanyaan lainnya.
"Abi.... Abi.... Ummi di mana?"
Abi Usman menelan ludah. Menggeleng. Dia tidak tahu.
"Abi.... Ummi di mana, BI?" Delisa mencengkeram baju
Abi dengan tangan kirinya. Suaranya mulai terdengar
cemas.
"Abi tidak tahu sayang!"
"Abi tidak tahu? Bagaimana Abi tidak tahu?" Delisa
benar-benar panik sekarang.
Abi hanya menggeleng lemah. Matanya menatap sendu.
"Ummi.... Ummi dimana, Bi?" pertanyaan Delisa
melemah demi melihat raut muka sedih Abi. Meski dengan
tatapan mata yang masih menyelidik, Delisa menelan ludah
dan menggigit bibirnya. Menunduk dalam-dalam.
Abi memaksakan tersenyum. Menggeleng sekali lagi
dalam diam. Mengelus kepala botak Delisa.
"Kak Aisyah.... Kak Aisyah di mana, Bi?" Delisa
mengganti pertanyaannya. Mengangkat kepalanya lagi.
Abi masih diam. Menghela nafas pajang. "Kak Aisyah su-
d-a-h p-e-r-g-i, Delisa!" 'Pergi ke mana? Kan nggak ikut
Abi sekarang?" Abi terdiam. "Pergi kemana, Bi?"
"Kak Aisyah sudah m-e-n-i-n-g-g-a-l!"
Kesunyian menggantung seketika di langit-langit
ruangan. Delisa menatap Abi dengan tatapan tak mengerti.
Mata hijaunya membulat. Tangan Delisa terlepas dari baju
Abi. Mukanya mengernyit menggemaskan. Meski mulai
ada denting kesedihan di sana.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kak Aisyah dan kak Zahra sudah dikuburkan seminggu
yang lalu, sayang.... Kak Fatimah juga sudah meninggal....
Kak Fatimah dikuburkan sehari setelah kak Aisyah dan kak
Zahra-" Lemah suara itu. Suara yang tak mengerti
bagaimana cara terbaik untuk menjelaskan. Tak bisa
menemukan cara lain untuk membuat bungsunya nyaman
mendengar semua kabar menyakitkan ini.
Delisa mulai paham. Delisa mulai mengerti. Ia tidak
mengerti makna mati dan kematian yang sesungguhnya.
Belum. Tetapi ia tahu, mati berarti pergi untuk selamanya.
Seperti Abi Tiur, yang tak pernah kembali. Ya seperti Abi
Tiur. Juga seperti mayat Tiur lalu. Dingin-membeku.
Kak Aisyah pergi untuk selamanya? Delisa menggigit
bibirnya. Hatinya entah mengapa tiba-tiba bagai ditusuk
sebilah sembilu. Membuat luka yang dalam-menganga.
Mencair. Luka itu mencair seketika, mengeluarkan air asam
yang memilukan. Air itu menerabas melewati tenggorokan
Delisa. Merambat ke mata hijaunya. Berkaca-kaca.
Kak Zahra juga pergi untuk selamanya? Delisa mulai
terisak pelan. Bagaimanalah ini? Bagaimanalah semua ini?
Kak Fatimah.... Kak Fatimah juga pergi untuk
selamanya? Delisa benar-benar menangis. Terse-dan.
Bagaimanalah? Itu sama saja Delisa ditinggal sendirian....
Abi ikut terisak pelan sekali lagi demi melihat Delisa
menangis. Memeluk bungsunya erat-erat. Sungguh semua
perasaan kehilangan ini menyakitkan. Sungguh semua
perasaan ini memilukan. Sungguh! **
(Oo-dwkz-oO)
** Maha suci Engkau ya Allah, yang telah menciptakan
perasaan. Maha besar Engkau ya Allah, yang telah
menciptakan ada dan tiada. Hidup ini ada/ah
penghambaan. Tarian penghambaan yang sempurna. Tak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ada milik dan pemilik selain Engkau. Tak punya dan
mempunyai selain Engkau. Tetapi mengapa Kau harus
menciptakan perasaan? Mengapa kau harus memasukkan
bongkah yang disebut dengan "perasaan" itu pada mahkluk
ciptaanMu? Perasaan kehilangan.... Perasaan memiliki....
Perasaan mencintai....
Kami tak melihat, Kau berikan mata; kami tak
mendengar, Kau berikan telinga; Kami tak bergerak, Kau
berikan kaki. Kau berikan berpuluh-puluh nikmat /ainnya.
Jelas seka/i, semua itu berguna! Tetapi mengapa Kau harus
menciptakan bongkah itu? Mengapa Kau letakkan bongkah
perasaan yang seringkah menjadi pengkhianat sejati dalam
tubuh kami. Mengapa?
"Air.... Air di mana-mana!" Abi diam.
"Delisa terseret. Delisa terminum air. Delisa batuk....
Kaki Delisa terkena pagar sekolah.... Air.... Air di manamana,
Bi."
Abi mengusap kepala bungsunya. Mencium kening yang
masih sedikit lebam. Delisa sedang menceritakan kejadian
itu. Lima belas menit setelah penjelasan Abi yang tidak
memuaskan tentang Ummi (meski kemudian Delisa tidak
bertanya lagi).
Delisa terdiam. Memainkan jemarinya.
"Maafkan Delisa, seharusnya Delisa mau belajar
berenang seperti yang Abi bilang waktu pulang tiga bulan
lalu!" Delisa menatap Abi-nya menyesal dalam.
Abi hanya tersenyum. Menggeleng. Lihatlah, bungsunya
justeru berpikir tentang fakta lain dalam urusan ini.
"Maafkan Delisa, Delisa juga belum hafal bacaan
shalatnya, Bi! Delisa belum hafal-" kelu Delisa mengatakan
itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Delisa benar-benar kelu. Tak mengerti.
Selama seminggu di rumah sakit, Delisa sebenarnya
sudah berusaha kembali untuk mengingat bacaan shalatnya.
Setiap kali melihat ibu-ibu di sebelahnya shalat, ia
memperhatikan. Tetapi ia lupa. Tidak sekata pun bacaan
yang ia ingat, kecuali takbiratulihram. Sisanya lenyap
begitu saja.
"Delisa waktu itu sedang menghadap Ibu Guru Nur...."
Delisa terdiam mencoba mengingat kejadian itu kembali.
Setiap kali mengingat detail, kepala
Delisa terasa berat.
"Ibu Guru Nur di mana?" ingatannya terpotong,
pertanyaan itu keluar lebih dahulu.
"Ibu Guru Nur sudah pergi!"
Delisa kelu sekali lagi. Teman-temannya? Tiur? Di mana
mayat Tiur?
"Juga Tiur dan Umminya, sayang. Kata Wak Burhan
mayat Tiur sudah dikuburkan.... Kakak-kakak Tiur...."
suara Abi hilang di ujung. Kesedihan menggantung ?sekali
lagi di langit-langit ruangan rumah sakit itu. Meski kali ini
tanpa air mata dan pelukan haru.
Hanya berdiam diri. Delisa sibuk memainkan jemarinya.
Abi menahan nafas. Memandang berkeliling, menyapu
lemah isi ruangan. Mencoba memikirkan hal lain.
Sophi beberapa saat kemudian kembali dari ruang jaga
depan, dengan segelas cokelat panas.
"Silahkan!" menyerahkan gelas tersebut kepada Abi. Abi
menerimanya sambil tersenyum, berterima-kasih. Sersan
Ahmed sudah dari tadi kembali ke posko tenda marinir
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Lhok Nga. Sophi yang mengantarnya keluar sambil
mengambil segelas cokelat panas tersebut.
"Ah-ya, Bi. Kak Cofi memberikan hadiah boneka untuk
Delisa!" Delisa menunjukkan kedua boneka itu. Abi
mengangguk. Sophi yang berdiri di sebelah Abi tersenyum.
"Sudah Delisa beri pita biru.... Agar sama dengan warna
kerudung Delisa.... Ah-ya, kalau ada kak Aisyah.... Yang
ini akan Delisa berikan buat kak Aisyah-"
Kalimat itu terputus. Digantikan ekspresi wajah Delisa
yang terdiam. Ah sudahlah, Delisa buru-buru mengganti
bahan pembicaraan lainnya. Membicarakan semua ini tidak
menyenangkan. Apalagi melihat raut muka Abi yang sedih.
Delisa benar-benar belajar cepat dari semua kesedihan ini.
(Oo-dwkz-oO)
Dan hari memang berjalan lebih cepat setelah berbagai
kesedihan yang menimpa. Sudah begitu kodratnya.
Masalahnya orang-orang lebih banyak terkungkung oleh
perasaan. Perasaan yang menipu hakekat waktu.
Tiga minggu sudah Delisa berada di rumah sakit
tersebut. Luka amputasinya sudah mengering, diganti
perban yang lebih tipis. Gips di lengan kirinya sudah
dilepas. Ibu-ibu di sebelah Delisa bahkan sudah pulang ke
Medan dua hari yang lalu (hanya di sana keluarganya yang
masih tersisa). Kondisi ibu-ibu itu membaik lebih cepat
dibandingkan Delisa.
Abi diijinkan menemani Delisa di rumah sakit selama
tiga minggu tersebut. Tinggal di salah satu kabin tamu.
Menemani gadis bungsunnya membaca buku. Menemani
bungsunya sepanjang hari. Bercerita banyak hal. Menebus
waktu-waktu ketika Delisa hanya terbaring sendirian. Suster
Sophi juga ikut menemani Delisa, seperti biasanya meski
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ada Abi di sana. Baik sekali Sophi membawakan berbagai
buku bacaan, yang dibaca oleh Abi. Salah satunya adalah
bacaan hafalan shalat.
Pertama kali Sophi menyerahkan buku-buku itu. Tangan
Delisa segera menyambar sembarangan. Kebetulan itu buku
hafalan shalat yang biasa ia tenteng-tenteng selama ini.
Dengan versi bahasa yang berbeda, meski lafal bahasa
Arab-nya sama.
Delisa melipat keningnya. Hidungnya mendengus.
Nafasnya terdengar lebih berat. Huruf-huruf itu aneh sekali
baginya. Tercenung. Bukankah Delisa dulu sudah pernah
membaca dan menghafalnya dengan baik. Kenapa sekarang
menjadi asing sekali? Bacaan-bacaan itu terlihat seratus kali
lebih rumit dari biasanya. Berpilin satu sama lain. Dan
Delisa terpana oleh kenyataan itu. Mata hijaunya membulat
tak mengerti.
"Ada apa sayang?" Abi bertanya lembut.
Delisa buru-buru menggeleng.
"Tentu saja Delisa bisa menghafalnya kembali.... Insya
Allah jauh lebih cepat sekarang.... Kan Delisa pernah
menghafal sebelumnya," Abi tersenyum melihat buku yang
dipegang Delisa. Delisa hanya mengangguk pelan.
Terdiam.
"Nanti seperti janji Abi dulu, Abi akan belikan sepeda
untuk Delisa, kalau sudah hafal...."
Delisa tersenyum getir. Mengangguk. Ia tidak sesenang
biasanya saat mendengar janji hadiah itu. Bukan apa-apa,
Delisa sungguh sedang bingung. Dan takut! Bukankah
kalian merasa ada yang salah ketika tiba-tiba entah
bagaimana caranya, separuh memori itu hilang begitu saja.
Bukankah kalian merasa takut saat ada sepotong fakta yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tersembunyi menyimpan tanda-tanya? Dan Delisa benarbenar
kehilangan memori soal hafalan bacaan shalat
tersebut.
Dua hari kemudian. Tulisan-tulisan itu tetap
memeningkan kepala Delisa. Delisa menyerah untuk
sementara waktu. Meletakkan buku tersebut di atas meja. Ia
sekarang juga sibuk dengan urusan lain. Kak Sophi
membantunya belajar berjalan menggunakan kurk. Delisa
mulai turun dari ranjang. Berjalan kesana-kemari. Patahpatah
menyesuaikan diri dengan alat bantu jalan tersebut.
Mengelilingi lantai rumah sakit.
Mengelilingi Kapal Induk (bagian-bagian yang hanya
diijinkan Delisa kunjungi). Sepanjang berlatih berjalan raut
muka Delisa semakin kusut. Delisa semakin bingung
dengan hafalan bacaan shalatnya.
(Oo-dwkz-oO)
12. Pulang k e Lhok Nga
Hari itu, enam minggu sesudah gelombang tsunami
menghantam Lhok Nga. Tiga minggu setelah Delisa
dirawat di rumah sakit Kapal Induk tersebut. Delisa
akhirnya diijinkan pulang. Ia sedang digandeng Abi
berjalan patah-patah di atas pelataran parkir menuju
helikopter Super Puma yang baling-balingnya mendesing
tajam, membuat Delisa meski memegang kokoh //kurk//-
nya sedikit terhuyung.
Suster Sophi, dr Eliza, dan beberapa perawat lainnya ikut
melepas di atas pelataran parkir kapal induk. Wartawan
teve nasional yang ngetop itu juga berada di sana (Delisa
hafal wajahnya dari jadwal menonton teve Ummi setiap
Sabtu malam, Najwa siapalah namanya).
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sersan Ahmed menyambut dari atas helikopter.
Kesulitan menggapai tubuh Delisa. Meloncat turun, lantas
menggendong Delisa menaiki Super Puma. Vang lain
tertawa saat melihat kurk Delisa tak sengaja melibat kaki
salah satu prajurit. Prajurit itu jatuh terjerambab di kursi
helikopter. Delisa menyeringai tipis, nyengir bilang
"//Sorry//!".
Helikopter segera melesat ke langit-langit lautan Aceh.
Delisa dan Abi kembali ke Lhok Nga. Pulang ke rumah.
Meninggalkan tempat yang tak pernah terbayangkan akan
pernah ia kunjungi dalam hidupnya. Meninggalkan Kapal
Induk tentara Amerika Serikat yang menggentarkan itu.
Kapal super-besar, super-canggih, dengan super-amunisi
yang konon bisa menaklukan sebuah negara.
Meninggalkan tempat yang meski berbeda dalam banyak
hal, sama dalam satu hal: menyimpan kebaikan.
Tergantung yang mengendalikan kebaikan dan keburukan
tempat tersebut.
Delisa senang sekali sepanjang pagi. Ia sudah tahu, Lhok
Nga hancur. Abi sudah cerita. Ia juga sudah tahu rumahnya
rusak. Abi sudah cerita. Tetapi kata-kata pulang selalu
menyenangkan bagi anak-anak mana pun, tak terkecuali
bagi Delisa. Ia rindu dengan semuanya. Apapun itu
bentuknya sekarang. Delisa rindu bermain di lapangan
bolanya. Delisa rindu mengaji di meunasah. Delisa ingin
kembali bersekolah. Apapun itu yang masih tersisa. Delisa
rindu.
Yang sama sekali tidak dipahami Delisa, semuanya
memang benar-benar hancur. Semuanya benar-benar
musnah. Tak ada yang tersisa. Tak secuil potongan yang
bisa memenuhi perasaan rindu Delisa. Dan itulah yang
ditemukannya saat helikopter Super Puma mendarat di
tenda marinir Lhok Nga.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Menatap kosong. Kotanya tak bersisa. Hanya lapangan
luas, dengan puing bangunan di sana-sini.
Abi yang berjalan di sisinya, menggenggam jemari
tangan bungsunya kencang-kencang. Delisa mendesah
tertahan, ngintil mengikuti langkah Abi.
Delisa benar-benar terdiam saat melihat sekolahnya. Tak
ada yang tersisa, kecuali semen tiang bendera setinggi mata
kaki. Tembok sekolah tak ada. Kursi-kursi. Meja-meja.
Delisa bahkan bingung menentukan di mana bekas kelasnya
dulu. Apalagi di mana kursi-mejanya dulu.
Meunasah itu juga musnah. Hanya menyisakan sepotong
pondasi di sudut-sudutnya. Delisa menelan ludah. Di mana
rihal-rihalnya? Di mana papan tulis? Sajadah-sajadah?
Tempat ini di tempat inilah ia belajar mengaji TPA dengan
ustadz Rahman. Ustadz Rahman? Delisa ingin bertanya
kabar ustadz Rahman kepada Abi, tetapi bibirnya
mendadak kelu. Delisa memutuskan diam. Ia enggan
mendengar kemungkinan berita buruk berikutnya. Besoklusa
mungkin saat situasi hatinya membaik, ia akan
bertanya. Abi meneruskan langkah menuju bekas rumah
mereka. Delisa mengikuti. Dan rumahnya benar-benar tidak
ada lagi.
Lama Delisa hanya duduk di atas ayunan. Tak bergerak.
Diam. Ya Allah, kenangan itu kembali semua di kepalanya.
Menusuk-nusuk hatinya. Ayunan itu sempurna terdiam
sekarang. Delisa tertunduk. //Kurk//-nya mengais-ngais
tanah di bawah ayunan. Abi sedang berbincang dengan
Koh Acan dan Teuku Dien di halaman. Tadi Koh Acan
sempat mendekatinya. Mengusap kerudungnya. Juga
Teuku Dien yang tersenyum senang melihatnya selamat.
Ikut membelai kerudung biru Delisa.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Delisa hanya tersenyum. Ia ingat Koh Acan orang yang
baik. Sering memberi Ummi separuh harga setiap belanja di
tokonya. Sayang, meski Delisa ingat banyak hal tentang
kebaikan Koh Acan, Delisa sempurna lupa tentang ia dan
Ummi membeli kalung buatnya hari Ahad itu. Delisa
benar-benar lupa kalau ia dulu paling suka berseru: D untuk
Delisa.
Delisa hanya tersenyum sekali lagi saat Koh Acan dan
Teuku Dien melambaikan tangan. Pamit pergi entah ke
mana. Tadi Delisa sempat menyeringai senang saat
mendengar kabar dari Teuku Dien, kalau Umam selamat.
Hanya itu kabar yang menyenangkan sepanjang pagi ini.
Sisanya buruk. Delisa menghela nafas panjang. Ah
setidaknya ia masih bisa bermain bola bersama Umam.
Delisa menghentikan guratan kurknya. Menyeringai tipis.
"Kita malam ini tidur di tenda darurat, sayang!" Abi
mendekatinya, selepas menyertai Koh Acan dan Teuku
Dien ke jalan kecil depan rumah. Delisa hanya diam. Ia
sedang ingat jembatan keledai kak Aisyah. Mungkin nantinanti
ia bisa minta Abi membuatkan satu untuknya.
Siang itu juga mereka mendatangi tenda darurat yang
terletak dekat tenda posko marinir. Mendapatkan selimut.
Beberapa potong pakaian ganti. Alat-alat mandi, dan
berbagai keperluan lainnya. Delisa menatap tenda-tenda
yang berjejer rapi tersebut. Ia berjalan-jalan menghabiskan
sisa sore sendirian. Sementara Abi entah mengurus apa di
posko depan bersama kakak-kakak yang mengenakan
seragam rompi.
Delisa mengenali satu-dua ibu-ibu yang sedang memasak
di dapur umum. Tetangga mereka dulu. Dan ibu-ibu yang
juga mengenalinya itu satu persatu memeluknya saat Delisa
mendekat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sabar... anakku! Allah akan membalas semua kesabaran
dengan pahala yang besar!"
Delisa tidak mengerti mengapa mereka melakukannya.
Meski ia tahu, kalimat itu sering diajarkan ustadz Rahman.
Delisa hanya tersenyum nyengir dalam pelukan.
Memperlihatkan giginya yang tanggal dua. Ibu-ibu itu
semakin terharu melihatnya. Delisa buru-buru meneruskan
langkahnya, sebelum badannya sakit dipeluk kencangkencang
lagi oleh mereka. Kan badan ibu-ibu ini nggak
selangsing Ummi.
Delisa juga bertemu dengan beberapa temannya. Ayahayah
mereka yang selamat di tenda-tenda lain. Tadi Delisa
juga bertemu dengan Umam di depan salah satu tenda.
Sedang duduk melamun. Delisa mendekat. Saling
bertatapan. Delisa menyeringai, tersenyum. Umam hanya
diam. Matanya keruh memandang. Parasnya keruh.
Ekspresi mukanya keruh sekali. Umam juga kehilangan
seluruh keluarga, kecuali Abinya.
"Aku boleh main kan meski pakai kurk ini?" Delisa
nyengir mendekat, berdiri di depan Umam.
Umam menatapnya tak mengerti. Delisa menyeringai
semakin lebar. Menendang-nendangkan kaki kirinya yang
masih utuh. Umam menelan ludah. Main bola.
Mengangguk lemah. Lantas berdiam diri lagi.
Delisa urung untuk melanjutkan pembicaraan. Ia
memutuskan untuk meneruskan langkah kakinya;
sepertinya Umam tidak ingin diganggukan kak Fatimah
dulu sering marah-marah kalau ia tidak mau diganggu,
Delisa malah banyak nanya-nanya.
Delisa meneruskan berkeliling. Di posko terdepan, salah
seorang penjaganya, kakak-kakak berwajah seperti Koh
Acan, berpeci putih, berompi cokelat memberikan hadiah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sebatang cokelat padanya, batang cokelat yang kecil. Tetapi
Delisa tertawa riang menerimanya.
V/Khamsia//....!" Delisa nyengir. Teman kakak-kakak
itu yang berjaga di posko tersebut bahkan ikut tertawa.
Bagi Delisa kehidupan sudah kembali. Bagi Delisa
semua ini sudah berlalu. Bagi Delisa hari lalu sudah tutup
buku. Ia siap meneruskan kehidupan. Tak ada yang perlu
dicemaskan. Tak ada yang perlu ditakutkan. Delisa siap
menyambung kehidupan; meski sedikit pun ia belum
mengerti apa itu hakikat hidup dan kehidupan.
(Oo-dwkz-oO)
Sore pertama Delisa di Lhok Nga. Abi Usman masih
sibuk entah mengurus apa soal bekas rumah mereka.
Berbincang banyak dengan Sersan Ahmed dan Prajurit
Salam. Dengan kakak-kakak di posko tenda darurat.
Dengan siapalah. Bertanya soal transfer rekening bank.
Delisa malas mendengarnya.
Delisa sekarang meneruskan napak tilasnya berjalan ke
lapangan bola mereka. Pasir itu masih sama. Burungburung
camar itu masih sama. Memang di sana-sini porakporanda,
banyak sampah dan puing-puing bertumpukan.
Tetapi ini tetap lapangannya yang dulu. Lapangan yang
menyenangkan.
Matahari sore menghujam bumi. Jingga. Delisa berdiri
dengan kurk di tangan kanan menatap cakrawala elok di
kejauhan. Kerudung birunya dilepas, diikat di leher. Angin
sore memainkan rambutnya yang mulai tumbuh tipis.
Delisa menyeringai lebar.
Sama! Tak ada yang berbeda di sini.
Delisa menikmati sore dengan perasaan jauh lebih lega.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
(Oo-dwkz-oO)
Abi pulang maghrib-maghrib ke tenda. Delisa sedang
menunggunya. Mereka mengambil jatah makan malam di
dapur umum. Untuk urusan logistik dan lain sebagainya,
pos tenda darurat mereka jauh lebih beruntung
dibandingkan puluhan ribu pengungsi Aceh lainnya. Tenda
mereka mendapatkan suplai yang cukup dari tentara
Amerika.
Air bersih juga tidak menjadi masalah, marinir itu
membawa alat penyuling air. Obat-obatan dan berbagai
kebutuhan lainnya tersedia lebih dari cukup.
Malam itu Delisa untuk pertama kalinya merasakan tidur
beramai-ramai di tenda pengungsian. Beralaskan tikar
plastik seadanya. Abi memberikan sleeping bag kepadanya
(dipinjamkan Sersan Ahmed tadi sore). Tetapi Delisa lebih
nyaman tidur apa adanya. Biar seperti kemping waktu itu.
Mereka kan sering membuat tenda-tendaan bersama Abi
di depan rumah. Tidur di sana. Dan Delisa selalu ribut
dengan kak Aisyah. Berebut tempat di tenda kecil tersebut.
Belum lagi kak Fatimah yang entah juga ikut-ikutan
menyebalkan setiap kali mereka kemping di depan rumah.
Kalau kak Aisyah dan kak Fatimah sekarang ada, pasti
tidak akan berebut lagi. Tenda ini kan besar sekali. Meski
mereka ramai, tetap saja terasa lega.
Malam semakin beranjak matang. Delisa tidak bisa tidur.
Tadi selepas Abi shalat isya, Delisa membuka tas yang
dibawanya dari Kapal Induk. Mengambil buku hafalan
bacaan shalatnya. Mencoba mulai menghafal. Sama saja.
Tulisan-tulisan itu tetap rumit. Seolah-olah menolak
mentah-mentah otak Delisa untuk memahaminya.
Delisa menghela nafas. Lelah ia mengulang-ulang
kalimat pertama doa iftitah. Semakin diulang, semakin
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
lupa. Delisa kemudian memutuskan berhenti. Memasukkan
buku itu kembali dalam tas. Duduk termenung.
Abi sudah tertidur. Tadi sempat membujuk Delisa untuk
tidur. Delisa hanya menjawab iya, sebentar lagi. Lantas
meneruskan membaca. Abi memutuskan untuk
membiarkan Delisa (berpikir tidak pada tempatnya
memaksa Delisa tidur dalam kondisi seperti ini, lagi pula
Delisa sedang belajar).
Delisa menatap sekitar tenda besar yang lengang. Debur
ombak di bibir pantai bahkan bisa terdengar dari sini.
Terasa menyenangkan. Berirama indah. Semua penghuni
tenda sudah tertidur. Tetapi tidak Teuku Umam. Umam
sama seperti Delisa, duduk di seberang sana. Tetap terjaga.
Melamun. Delisa menarik nafas. Memutuskan untuk tidur.
Tidak mungkin kan Umam punya masalah yang sama
dengannya? Kesulitan menghafal bacaan shalat?
(Oo-dwkz-oO)
Shubuh pertama kembalinya Delisa ke Lhok Nga.
Delisa terbangun pas muadzin di salah satu tenda darurat
mengucapkan takbir pertama. Bangun begitu saja kata-kata
Ummi dulu benar sekali, meski Delisa tidak menyadarinya:
nanti akan ada malaikat yang membangunkan Delisa.
Ia melihat Abi beranjak keluar dari tenda. Abi hendak
mengambil wudhu di keran air yang dibuatkan oleh
marinir. Delisa melipat selimutnya, meraih kurknya, lantas
berjalan tersuruk-suruk keluar tenda.
Entah mengapa shubuh ini Delisa ingin shalat. Ia ngintil
patah-patah berjalan dengan kurknya mengikuti Abi ke
halaman barak penampungan. Abi hanya menguap
membiarkan Delisa mengambil wudhu di keran sebelahnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Beberapa bapak-bapak dan ibu-ibu juga meng-antri ambil
wudhu. Abi dan Delisa kembali ke tenda. Mereka akan
shalat berjamaah di tenda tersebut. Abi menjadi imam. Ada
beberapa bapak-bapak lainnya berdiri di depan, termasuk
Teuku Dien. Di barisan belakang, Delisa berdiri bersama
dua ibu-ibu dan satu kakak-kakak seumuran kak Fatimah.
Shubuh itu. Ketika sebagian besar mahklukMu masih
terlelap. Lihatlah, dengan muka basah oleh wudhu Delisa
shalat kepadaMu. Delisa hanya bisa membaca //takbiratulihram//.
Itu saja. Lantas ia lupa bacaan yang lainnya.
Inilah shalat pertamanya sejak sujud yang terputus oleh
gelombang tsunami tanpa ampun itu.
"Yeee, makanya belajar! Emangnya boleh shalat nggak
pakai bacaan!" Kak Aisyah menggodanya saat Delisa mulai
ikut-ikutan shalat bersama Ummi. Delisa hanya nyengir,
menarik mukena Ummi meminta pertolongan dari tatapan
nakal kak Aisyah.
"Shalatlah! Kalian tetap bisa shalat meski tak mengerti
bacaannya. Meski tak tahu bacaannya. Allah lebih dari
mengerti.... Allah mendengarkan.... Allah akan melihat!
Allah-lah yang menciptakan bahasa-bahasa, bagaimana
mungkin ia akan kesulitan untuk mengerti-" Itu kata ustadz
Rahman waktu Delisa mengadukan kak Aisyah.
Maka Delisa shalat. Shalat tanpa beban. Shalat karena
Delisa ingin shalat. Ia rindu suasana shalat yang
menyenangkan. Ia memang selalu terkantuk-kantuk dulu
saat berjamaah dengan Ummi, tetapi shalat shubuh
sebenarnya selalu menyenangkan baginya.
Maka Delisa shalat. Tanpa membaca apapun. Karena
tak ada kak Aisyah yang membaca keras-keras di
sebelahnya. Delisa hanya bergerak mengikuti Abi di depan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Delisa hanya bisa itu. Dan Delisa tidak peduli. Ia hanya
ingin shalat.
Saat Delisa tiba di sujud pertama. Saat dahinya yang
basah menyentuh sajadah. Saat telapak tangannya yang
basah menyentuh sajadah. Selarik cahaya indah menembus
tenda darurat itu. Seberkas cahaya menggentarkan
menerabas ke atas langit. Berkemilauan begitu terang,
begitu menakjubkan. Menghujam ke atas. Penduduk langit
bertasbih. Arasy-Mu bergetar. Cahaya itu keluar dari tubuh
Delisa.
(Oo-dwkz-oO)
Siangnya Delisa sekali lagi lebih banyak menghabiskan
waktu berkeliling tenda darurat. Berkeliling di sepotong
kota Lhok Nga yang ia kenali. Memperhatikan marinir
yang bersama-sama mendirikan meunasah darurat. Sersan
Ahmed yang memimpin renovasi itu sempat mendekati
Delisa yang berdiri. Mengelus rambut Delisa, kemudian
memberikan hadiah kaca mata hitam yang sedang dipakai
Sersan Ahmed.
Kaca mata itu kebesaran. Tetapi Delisa senang
memakainya. Membuat ia gagah seperti para marinir
tersebut. Prajurit dan sukarelawan lainnya tertawa melihat
Delisa yang seperti mandor bangunan berdiri mengawasi
mereka bekerja.
Sersan Ahmed juga menyampaikan pesan lainnya ke Abi
yang ikut membantu mendirikan meunasah itu. dr Eliza
sedang mengusahakan kaki palsu untuk Delisa. Delisa
mendekati Abi dan Sersan Ahmed yang berbincang serius
saat istirahat dzhuhur. Delisa tidak mengerti sepatah pun,
meski ia senang saja mendengarkan Abi berbincang dengan
marinir itu dalam bahasa Inggris. Sepertinya keren sekali!
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Delisa nyengir, berikrar dalam hati, nanti ia akan belajar,
biar bisa ikutan.
Delisa juga memperhatikan beberapa rombongan
sukarelawan yang setiap hari bermunculan di Lhok Nga.
Wajah mereka berbeda sekali dengan penduduk Lhok Nga.
Ah, bukankah wajah Delisa juga terlihat berbeda. Delisa
sekali lagi menyeringai berpikir banyak hal.
Delisa sudah tidak terlalu kesulitan dengan kurknya,
bahkan ia sudah bisa berlari-lari kecil. Lincah. Tak pernah
merasa terbebani dengan alat bantu tersebut. Delisa setelah
lelah berjalan ke sana kemari bahkan ikut bekerja.
Membantu dapur umum. Membantu membawa barangbarang.
Membantu membereskan tenda. Ia belajar banyak.
Ia sekarang mengerti tentang melipat pakaian. Semua
situasi ini mengajarkan banyak hal kepadanya. Dan Delisa
melaluinya tanpa banyak bertanya. Hanya tersenyum riang.
Meunasah itu berdiri kokoh sore harinya. Masih
seadanya. Tetapi itu jauh dari memadai di tengah-tengah
situasi darurat seperti ini. Delisa tersenyum senang
melihatnya. Meskipun setiap kali memandang meunasah
itu, Delisa ingat ustadz Rahman?
Sore harinya, Abi mengajak Delisa jalan-jalan di
sepanjang pantai. Menatap matahari yang mulai tenggelam.
Mereka berjalan bersisian. Kadang Delisa memukul-mukul
ombak yang menyentuh kakinya dengan kurk. Tertawa
senang.
"Delisa ingin main bola, Bi!" Delisa memegang lengan
Abi. Mengalihkan perhatian dari tawa senangnya barusan.
Abi hanya mengangguk. Besok dia akan mencari bola
plastik, mungkin marinir itu punya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kapan Delisa bisa sekolah, Bi?" Delisa bertanya lagi.
Nah yang ini pertanyaan sulit. Abi menggeleng, bahkan
saat itu pemerintahan SBY-JK saja tak bisa menjawabnya
pasti.
"Abi, kenapa Umam sekarang sering berdiam diri ya?
Tidak mau Delisa ajak main?" Delisa bertanya lagi.
"Mungkin dia masih sedih!" Abi mengusap kerudung
Delisa. Menjawab seadanya.
Delisa mengangguk sok-paham, sok-mengerti.
"Memangnya sedih kenapa, Bi?" bertanya lagi.
"Mungkin Umam rindu Ummi-nya-" jawaban yang
keliru. Abi menelan ludah. Buru-buru menunjuk cakrawala
di kejauhan.
Tetapi Delisa tidak bereaksi banyak. Ia hanya diam.
Delisa juga rindu sekali dengan Ummi. Tetapi entah
bagaimana ia tahu dan mengerti, Delisa merasa pertanyaanpertanyaannya
tentang Ummi justeru akan membuat Abi
semakin bersedih. Delisa tak ingin melihat kesedihan di
muka Abi lagi, seperti di Kapal Induk dulu waktu ia
menjejali Abi dengan pertanyaan tersebut. Maka Delisa
memutuskan untuk tidak banyak bertanya lagi tentang
Ummi, juga tentang kak Fatimah, kak Zahra, dan kak
Aisyah.
"Bagaimana hafalan shalatMu, sayang?" Abi bertanya
setelah mereka terdiam lama.
"S-u-s-a-h, Bi!" Delisa menjawab pendek sambil
menyeringai. Sebenarnya ia ingin menjawab: benar-benar
susah, Bi! Tetapi sudah kelihatan sekali makna kata susah
tersebut dari dahi Delisa yang terlipat tiga.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Abi hanya mengusap kerudung Delisa. Menarik nafas
panjang. Hari-hari ke depan mereka juga akan susah. Abi
sudah menelepon kapal tanker itu, bilang ambil cuti tak
terbatas. Dia sama sekali tidak punya ide akan seperti apa
masa depan yang akan mereka jalani. Tidak mungkin Abi
kembali kerja di sana. Delisa akan sendirian.
Kalau dia tidak bekerja di sana, apa yang bisa
dikerjakannya di sini? Hanya meratapi semua puing-puing
masa lalu? Menangis di atas bekas-bekas kenangan yang
tersisa? Abi menarik nafas lebih dalam.
Delisa yang memperhatikan Abinya ikut menarik nafas
dalam. Orang dewasa itu rumit ya? Sering berpikiran yang
aneh-aneh. Memandang matahari tenggelam yang indah ini
saja, Abi kok menghela nafas panjang, Delisa nyengir.
(Oo-dwkz-oO)
Esok sorenya. Di kuburan massal itu.
"Yang mana kuburan kak Fatimah, Bi?" Delisa
memandang lapangan tersebut. Bingung. Kuburan kok
seperti ini. Lebih besar dibandingkan lapangan bola Delisa
di pinggir pantai. Mana tidak ada nisan dan tulisan
petunjuk lainnya lagi.
Abi menggeleng, menggenggam erat-erat jemari Delisa.
"Tidak tahu, sayang!"
Delisa terdiam. Tadi siang saat Abi bilang hendak
mengajaknya ke kuburan kak Fatimah, kak Zahra, dan kak
Aisyah, yang muncul dibenaknya adalah kuburan-kuburan
lazim seperti biasanya. Bukan lapangan nan luas di
hadapannya sekarang. Delisa bingung mau meletakkan di
mana tiga tangkai mawar biru di tangannya (bunga itu dulu
ditanam Ummi di halaman rumah Delisa; kembali
berbunga setelah meranggas dihajar air bah).
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Abi tidak tahu yang mana kuburannya sayang....
Mereka menguburkan semuanya di sini.... Dalam satu
lubang yang besar.... Kak Fatimah, kak Zahra, kak
Aisyah.... Tiur, Ummi Tiur, kakak-kakak Tiur.... Ibu Guru
Nur-" Abi menelan ludah. Terhenti. Daftar itu akan panjang
sekali kalau diteruskan.
Delisa menunduk. Meletakkan bunga-bunga dan
kurknya di tanah. Duduk menjeplak begitu saja.
"Kalau sebanyak itu, berarti kak Fatimah, kak Zahra,
dan kak Aisyah tidak akan kesepian di sana, Bi-"
Abi menggigit bibirnya. Tersenyum pahit mendengar
kalimat "ringan" bungsunya.
"Di sana ramai sekali, ya Bi.... Justeru Delisa yang
sendirian di sini! Tidak ada siapa-siapa, kecuali Abi...."
Abi ikut duduk di sebelah Delisa. Menghadap timbunan
tanah di lapangan luas tersebut. Memegang bahu Delisa
lembut. Bungsunya entah mengapa tiba-tiba menangis
pelan. Mata Delisa sembab dan tersedu lemah.
Delisa sungguh tidak sedih dengan kepergian mereka.
Delisa tidak sedih karena itu. Delisa sudah mengerti soal
itu. sama mengertinya saat Abi Tiur pergi dulu. Delisa tibatiba
menangis, karena ia baru saja menyebutkan kata
sendirian. Ia mengerti benar kata tersebut. Maka mata
Delisa mulai berkaca-kaca. Delisa takut sendirian. Delisa
tidak suka dengan kata-kata tersebut. Tetapi Delisa tidak
ingin menangis di depan kak Fatimah, kak Zahra dan kak
Aisyah, maka Delisa berusaha mengusap matanya.
Berusaha tetap terkendali. Diam tertunduk.
Setelah lama terdiam, Delisa ingat sesuatu. Nisan?
Lemah jemari tangan kiri Delisa menggapai sebilah
ranting yang tergeletak di depan kakinya. Lantas pelan-
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pelan Delisa menggurat-gurat tanah di hadapannya.
Menulis nama-nama: kak Alisa Fatimah, kak Alisa Zahra,
kak Alisa Aisyah....
Abi menghela nafas panjang melihat apa yang dilakukan
putri bungsunya. Delisa sedang menandai makam mereka.
Delisa membuatkan nisan yang indah dari guratan tangan
tersebut. Delisa kemudian menancapkan tiga bunga mawar
biru tersebut. Abi menghela nafas sekali lagi.
Dan mereka ternyata tidak sendirian di sana. Ada yang
juga tiba-tiba menghela nafas panjang.
Abi menoleh. Di samping mereka, berjarak dua puluh
langkah. Istri Michael J. Fox dengan Junior sedang berdiri
menahan tangis. Mereka mengenakan baju hitam-hitam.
Istri Michael J. Fox mengenakan kerudung putih.
Menggenggam tangan anaknya erat-erat. Ia-lah yang
menghela nafas panjang barusan. Berusaha mengusir tangis
yang siap meledak dari kerongkongannya.
Mereka baru tiba di Banda Aceh dari Helsinki, Finlandia
kemarin sore. Tadi pagi langsung kemari. Tidak seperti Abi
dan Delisa, mereka sama sekali tidak tahu di mana Michael
J Fox dikuburkan. Bahkan tidak tahu apakah suaminya
sudah meninggal atau belum. HP satelit suaminya
ditemukan prajurit marinir Kapal Induk lima minggu silam.
Mati, kehabisan baterai. Dan mereka sama sekali tidak
mengenali yang mana mayat Michael J Fox. Ada banyak
mayat yang sudah membusuk di sekitar HP tersebut.
Marinir di posko tenda hanya menyarankan mereka
datang ke pemakaman massal jika hendak berdoa. Siapapun
yang meninggal di Lhok Nga, hampir semuanya dikubur di
sini. Itu berarti kemungkinan besar Michael J Fox juga ada
di sana.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Abi dan Delisa memandang istri Michael J Fox dan
anaknya. Orang-orang asing! Mereka bersedih sama seperti
Abi dan Delisa. Kalau begitu pasti ada kerabat mereka yang
tidak selamat dari bencana itu. Mereka pasti tidak tahu
yang mana kuburan orang yang mereka cari. Juga sama
seperti Abi dan Delisa. Abi menghelas nafas panjang.
Semua pemandangan ini amat menyedihkan. Semua
kesedihan ini benar-benar tidak mengenal batas.
Delisa entah mengapa berdiri. Membawa ranting yang
masih tergenggam di tangan kirinya. Mendekati istri
Michael J Fox dan anaknya patah-patah. Jemari tangan
kanannya menggamit lemah baju hitam istri J Fox saat tiba
di sebelahnya.
"S-i-a-p-a yang meninggal?" Delisa bertanya dengan mata
hijaunya. Istri J Fox menoleh sambil menyeka air mata.
Tidak menyangka akan ada yang menegurnya di negeri
antah-berantah ini. Tidak menyangka akan ada yang
menyapanya saat ia sedang berdoa untuk suaminya yang
entah berada di mana. Istri J Fox memandang wajah
menggemaskan Delisa. Bekas luka yang belum hilang, gigi
tanggal dua. Tetapi wajah gadis kecil di sebelahnya
bertanya tulus meski ia sama sekali tidak mengerti apa yang
diucapkannya barusan.
Abi melangkah mendekat. Tersenyum getir memandang
Delisa. Entahlah apa yang akan dilakukan Delisa dengan
menegur orang asing ini, dia tidak pernah bisa menduga apa
yang sedang direncanakan bungsunya. Membantu,
mengulang pertanyaan Delisa dalam bahasa Inggris.
Istri J Fox menatap Abi dan Delisa sesaat. Bingung
dengan pertanyaan tersebut. Ada urusan apa gadis kecil di
depannya bertanya soal siapa yang pergi?
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Michael J Fox!" akhirnya ia menjawab lemah. Tidak
mengerti apa yang sebenarnya diinginkan Delisa yang
sekarang menyeringai berjuta makna.
Delisa terbata mengeja ulang nama itu. Menganggukangguk.
Lantas duduk begitu saja. Menggurat pelan nama
tersebut di atas timbunan tanah. Dengan huruf yang besarbesar
Maekel J Pok
Delisa bangkit berdiri. Tersenyum manis ke arah istri J
Fox. Menunjuk guratan tersebut. Nisan!
"Dia sekarang bersama kak Fatimah, kak Zahra, kak
Aisyah, Tiur, Ibu Guru Nur, dan yang lainnya.... Di sana
pasti ramai sekali!" Delisa menyeringai ringan. Abi
menterjemahkannya terbata-bata, terharu. Bagi Delisa
urusan kehilangan ini sederhana sekali. Ia membuatkan
nisan untuk orang yang sama sekali tidak dikenalnya.
Istri J Fox seketika juga mengerti apa maksudnya. Ia
tidak mengenal nama-nama yang diucapkan Delisa. Tetapi
ia tahu apa yang hendak disampaikan Delisa. Ia paham apa
yang telah dikerjakan Delisa. Kalimat itu sederhana, tetapi
menjelaskan semuanya. Di sana pasti ramai sekali! Istri J
Fox jatuh terduduk dengan lututnya. Kedua tangannya
gemetar terjulur, lantas memeluk Delisa erat-erat.
Menangis.
Anak ini jelas kehilangan lebih banyak dibandingkan ia.
Anak ini jelas kehilangan nama-nama itu. Kehilangan
rumah, sekolah, teman-teman, tempat bermain dan
segalanya. Tetapi lihatlah, gadis kecil ini menganggap
semua kepergian itu dengan sederhana. Benar-benar
sederhana. Tidak ada penolakan. Tidak ada
pengingkaran—
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Delisa hanya nyengir menerima pelukan tersebut.
(Oo-dwkz-oO)
13. Har i-har i be rlalu c epat
Selama enam minggu kemudian Abi memutuskan untuk
membangun kembali rumah mereka. Dengan bahan
bangunan apa adanya. Hanya berdinding bata merah tanpa
diplester, beratap seng bekas reruntuhan. Abi dibantu
Sersan Ahmed dan pasukannya, serta penduduk Lhok Nga
setempat mengerjakan rumah tersebut seharian.
Ternyata itulah yang dulu dibicarakan Abi dengan
mereka. Teuku Dien, Koh Acan, dan beberapa penduduk
lain juga melakukan hal yang sama seperti Abi. Bergotong
royong. Tetapi penduduk Lhok Nga yang benar-benar
kehilangan semuanya tetap bertahan di tenda darurat. Abi
jauh lebih beruntung masih memiliki tabungan. Kapal
tanker itu juga memberikan pesangon utuh kepada Abi, plus
sumbangan rekan-rekan kabinnya.
Abi memang memutuskan pindah sesegara mungkin dari
barak penampungan. Tempat itu tidak buruk, tetapi semua
kesedihan yang menggantung di kerongkongan ini
membutuhkan banyak aktivitas agar pelan-pelan bisa
terlupakan. Kehidupan baru harus dimulai, dan menempati
rumah sendiri walau seadanya menjadi tonggak awal yang
baik. Itu penjelasan Abi ke Delisa. Delisa hanya manggutmanggut
lantas bertanya, "Perasaan di rumah baru kita
nggak ada tonggak-nya, Bi?"
Abi juga memutuskan berhenti dari kapal tanker.
Sekarang mengerjakan banyak hal di sini. Tidak jauh
dengan pekerjaan Abi dulu. Membantu sukarelawan yang
mengurusi gardu listrik, alat pemancar, mesin-mesin umum
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dan lain sebagainya. Bahkan Abi resmi menjadi
sukarelawan di salah satu lembaga bantuan internasional
yang datang ke Lhok Nga. Mengenakan rompi kuning
mereka.
Delisa juga mengerjakan banyak hal. Dua minggu
setelah kembali ke barak penampungan, sekolah, mengaji,
dan lain sebagainya memang belum pulih kembali. Delisa
lebih banyak mainnya. Lebih banyak berjalan kesanakemari,
menjadi pengamat yang baik. Pemerhati sekaligus
komentator. Atas tingkah Delisa itulah, ia ngetop sekali di
sepotong kota Lhok Nga. Siapa yang tidak mengenal
Delisa? Gadis kecil manis memakai //kurk//. Suka
nyeletuk dan jahil berkomentar.
Dan kabar baiknya bagi Delisa, setelah memasuki bulan
ketiga, sekolah darurat akhirnya dimulai. Di tenda-tenda.
Mereka belajar menghampar seadanya. Tidak ada
seragam sekolah. Tidak ada buku-buku pelajaran. Apalagi
bangku-bangku dan meja belajar. Yang bagus di kelas itu
hanya papan tulisnya. Kata Ibu Guru Ani papan tulis itu
namanya //whiteboard//. Menulisnya pun pakai spidol.
Bantuan dari tenda marinir. Prajurit Salam yang
mengantarkannya.
Ibu Guru Ani adalah satu-satunya guru SD Delisa yang
selamat. Dulu Ibu Guru Ani mengajar kelas enam. Delisa
kasihan sekali melihat Ibu Guru Ani sekarang, terpaksa
mengajar semua anak-anak. Mulai dari kelas satu hingga
kelas enam. Tetapi karena anak-anak yang selamat tidak
banyak, kelas itu digabung jadi satu, meskipun kelasnya jadi
terlihat amat ganjil. Masak Delisa harus sekelas dengan
kakak-kakak yang sudah duduk di kelas enam?
Delisa mulai belajar berhitung. Belajar menulis,
menggambar, bernyanyi, dan semua kegiatan yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menyenangkan dulu. Delisa ingat ponten matematikanya
yang sembilan. Sekarang pun Delisa tidak kesulitan
melanjutkan sekolahnya. Masih sama seperti dulu. Terasa
menyenangkan, meski dengan situasi seadanya. Delisa
tidak berkeberatan, ia riang berangkat setiap pagi menuju
sekolah darurat itu.
Yang sulit dan memberatkan bagi Delisa sekarang adalah
hafalan bacaan shalatnya. Sulit sekali. Padahal pengajian
TPA mereka juga sudah dimulai. Kak Ubai, salah seorang
sukarelawan dari Jakarta mengambil inisiatif memulai
pengajian buat anak-anak di meunasah darurat. Delisa
mengaji setiap sore sekarang. Pengajian mereka juga
digabung, hanya sekali sehari. Sore sebelum Ashar! Jadi
Delisa tidak perlu buru-buru pulang selepas bel sekolah. Ia
tidak akan terlambat.
Kak Ubai benar-benar kakak yang baik. Kata kak Ubai,
dia sukarelawan Palang Merah Indonesia. Delisa tidak
paham benar soal nama tersebut nama PMI itu mirip seperti
kegiatan sekolah yang diikuti kak Fatimah dulu. Yang ia
tahu kak Ubai rajin memakai rompi yang ada lambang
"tambah" berwarna merah. Pokoknya keren. Kak Ubai
umurnya sama dengan ustadz Rahman. Baiknya sama.
Tingginya sama. Cakepnya sama. Apalagi jenggot-tipisnya.
Sama lucunya.
Kak Ubai juga jago bercerita. Pandai bernyanyi dan
pintar menjelaskan. Yang berbeda dengan ustadz Rahman,
kak Ubai suka menenteng kamera ke mana-mana. Delisa
sering menemani kak Ubai berjalan di sepanjang kota Lhok
Nga. Di sepanjang pantai saat matahari terbenam. Di ganggang.
Di mana saja. Dan kak Ubai selalu memoto tempattempat,
orang-orang, benda-benda dan entahlah yang
mereka temui sepanjang perjalanan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Lucu sekali, kadang kak Ubai cuma moto daun, moto
tong sampah, moto tiang-tiang pondasi atau barang-barang
kecil lainnya. Kenapa pula kak Ubai mesti moto barangbarang
"tak berguna" itu. Kan mending moto Delisa ini.
Tapi kak Ubai cuma tertawa kecil ketika Delisa
menanyakan hal tersebut. Ah, orang dewasa memang
terkadang aneh cara berpikirnya. Delisa manyun.
Dengan jadwal mengaji sore hari di meunasah, "hobi
pamungkas" Delisa bermain bola menjadi berkurang. Ia
hanya bisa bermain bola satu jam selepas mengaji. Tetapi
itu tidak jadi masalah. Lebih dari cukup. Dengan kurk di
lengan kanan, Delisa meneruskan hobi menyenangkan
tersebut.
Awalnya kurk di tangan amat mengganggu. Lama-lama
ia terbiasa. Lagipula posisi Delisa sekarang berubah seratus
delapan puluh derajat. Ia tidak perlu banyak bergerak.
Delisa menjadi kiper. Pertama-tama ditunjuk temantemannya
menjadi kiper, Delisa bencinya minta ampun.
Tak pernah membayangkan posisi barunya "hanya" sebagai
kiper.
"Semua pemain sama pentingnya, Delisa. Kan
pertandingan nggak jalan kalau tidak ada kiper?" Abi
menjelaskan malam itu saat Delisa mengadu. Keberatan
saat tadi sore teman-temannya kompak memaksa ia
menjadi kiper.
"Kata siapa nggak bisa jalan? Tetap bisa jalan kok, Bi.
Kita dulu pernah kok main nggak pakai kiper.... Pokoknya
Delisa nggak mau jadi kiper. Kan hanya berdiri saja, nggak
ngapa-ngapain...." Delisa ngotot, menyeringai.
Abi menelan ludah. Benar juga, siapa bilang main bola
mesti ada kipernya? Tetapi bagaimana mungkin Delisa bisa
jadi striker dengan kurk di tangan. Repot.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tapi siapa bilang kalau kiper kerjanya hanya berdiri
saja. Nggak ngapa-ngapain. Delisa bisa maju juga, kan....
Nggak ada yang melarang kiper maju ke depan?" Abi
tertawa kecil menjelaskan. Dia tidak punya argumen lain
untuk meredakan keberatan Delisa, jadi sembarang saja.
Memakai balik logika Delisa.
Dan penjelasan itu ternyata betul-betul di masukan ke
hati oleh Delisa. Esok sorenya, saat ia main lagi dengan
teman-temannya di lapangan pasir tersebut, Delisa dengan
"ihklas" menjadi kiper.
Dan ia berubah menjadi kiper yang nyentriknya minta
ampun. Delisa ikut-ikutan maju saat permainan dimulai.
Ribut sekali pertandingan tersebut. Teman-teman satu
timnya berteriak-teriak menyuruh Delisa kembali ke bawah
tiang bambu gawang mereka. Sedangkan teman-teman
lawan timnya ribut memprotes ulah Delisa. Kan Delisa
nggak boleh pegang-pegang bola persis di tengah-tengah
lapangan. Mentang-mentang ia kiper.
Tetapi bagi mereka, sepak bola adalah permainan.
Urusan itu selesai dengan sendirinya. Yang penting
pertandingan tetap dilanjutkan. Tak masalah Delisa mau
maju sampai ke mana pun. Paling Delisa repot sendiri pas
ada serangan balik. Dan malamnya Delisa nyengir senang
bercerita pada Abi soal pertandingan tadi sore.
(Oo-dwkz-oO)
"Kamu nggak sarapan?" Abi bertanya kepada Delisa
yang sudah siap berangkat sekolah.
"Delisa kenyang, Bi!" Delisa menyambar buku-buku
sekolahnya (buku-buku itu baru tiba di sekolah tenda
darurat mereka. Kak Ubai dan beberapa kakak-kakak
sukarelawan PMI lain yang mengantarnya dua hari lalu).
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Abi Usman meletakkan nasi goreng itu ke atas meja
(satu-satunya benda yang ada di ruang depan). Rumah
sederhana mereka hanya terdiri dari tiga kamar. Ruang
depan, ruang tengah, dan ruang belakang. Isinya cuma
kursi, meja, kasur dan beberapa peralatan rumah sederhana
lainnya.
Bukan itu! Delisa bukan tidak lapar. Tetapi masakannya!
Sudah seminggu terakhir Abi mencoba memasak sendiri.
Tidak tergantung lagi dengan makanan dapur umum "Tidak
selamanya dapur umum ada, Delisa" itu penjelasan Abi saat
dia memutuskan mulai memasak sendiri di rumah. Dan
selama tujuh hari terakhir ini, sayangnya masakan Abi
ternyata jauh dari enak. Hambar! Tak berbentuk!
"Kamu benar-benar kenyang?" Abi menyeringai.
Menyelidik. Delisa buru-buru mengangguk-angguk.
Matanya mengerjap-ngerjap menggemaskan. Delisa bahkan
mengangkat tangannya. Mengacungkan dua jari. Suer.
Memang kenyang.
"Masakan Abi nggak enak ya?" Abi bertanya, tertawa.
Akhirnya menyadari kebohongan Delisa. Ikut menjawiljawil
nasi goreng di atas piring plastik tersebut.
Delisa mendekap mulutnya. Tertawa. Mengangguk.
Mereka berdua tertawa.
"Ya sudah.... Abi juga kenyang, kok!" Abi menumpuk
piringnya. Delisa nyengir. Bangkit berdiri.
"Delisa berangkat, assalammualaikum!" Delisa sudah
loncat. Kebiasaan lamanya. Pamit sambil lari.
"Eh, tunggu sayang!" Abi buru-buru mengikuti.
Delisa berhenti, menoleh.
"Memangnya Abi mau kemana?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Dapur umum, sama seperti Delisa...." Abi menjawab
rileks. Menjajari langkah Delisa. Delisa nyengir. Mereka
berdua tertawa lagi.
(Oo-dwkz-oO)
Bagi Abi Usman, kehilangan ini tidaklah sesederhana
seperti kehilangan Delisa. Delisa cukup menjadi Delisa saja.
Tetapi Abi terpaksa sekaligus menjadi Ummi, kak Fatimah,
kak Zahra, dan kak Aisyah bagi Delisa. Abi harus
mengurusi berbagai pernak-pernik kebutuhan Delisa dan
dirinya sendiri. Dan salah satunya yang meskipun sepele
namun mendesak tentu urusan masak-memasak tadi.
Delisa sebenarnya tumbuh lebih dewasa dua bulan
terakhir. Delisa jauh lebih bertanggung-jawab. Ia membantu
Abi menyapu rumah. Mencuci piring. Bahkan sudah bisa
mencuci pakaian dan belajar menyetrika. Delisa juga tidak
banyak berseru meminta tolong. Dengan sendirinya
pengertian itu datang kepadanya. Delisa selalu mengerjakan
sendiri apa yang bisa ia kerjakan. Termasuk urusan
menyiapkan pakaian mengajinya.
Tetapi tetap saja semua ini tidak sederhana bagi Abi.
Apalagi dengan kejadian yang semuanya serba mendadak.
Membuatnya canggung bersikap. Gagap bertindak. Abi
mesti belajar semuanya dari awal. Belajar dengan hati yang
masih terbelenggu kesedihan. Belajar dengan pemandangan
sisa-sisa masa lalu menyakitkan di sekitar.
Delisa tidak tahu itu. Delisa sama sekali tidak menyadari
beban pikiran Abi. Apalagi soal Abi yang suka shalat
malam-malam mengadu kepadaMu. Delisa hanya
berpikiran sederhana. Kalau bisa dikerjakan sendiri, tidak
perlu merepotkan Abi. Dan Delisa sekarang sudah melesat
ke tenda darurat kelas sekolahnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tenda darurat itu sepagi ini ramai sekali. Lebih ramai
dari biasanya. Ada kakak-kakak yang membawa karduskardus.
Tidak ada bel masuk. Ibu Guru Ani hanya
berteriak. Dan mereka bergegas masuk ke dalam tenda.
Sekarang sudah ada bangku-bangkunya sejak seminggu
lalu. Delisa seperti biasa duduk di depan.
Dan pagi itu juga berubah menyenangkan bagi mereka.
Kakak-kakak itu ternyata membawa kardus-kardus berisi
seragam sekolah, tas, dan peralatan sekolah lainnya.
Mereka tak sabar menunggu di meja, saat kakak-kakak
tersebut mulai mengeluarkan dan membagikan barangbarang
tersebut.
"Nah, sekarang baju dan celananya kalian pakai dulu....
yang kekecilan atau kebesaran bisa tukar!" Ibu Guru Ani
tersenyum di depan tenda.
Tanpa diperintah dua kali, mereka segera rusuh
membuka bungkus plastik tersebut. Menarik keluar seragam
baru. Melapis baju seadanya dengan baju merah-putih.
Hanya Teuku Umam yang tidak antusias. Umam diam saja
di pojokan kelas. Lamban membuka kantong plastiknya.
Ibu Guru Ani bahkan perlu membantunya. Delisa
menyeringai. Ia lupa mulu untuk bertanya ke Umam.
"Umam kenapa masih suka diam saja ya, Bi?" Itu
pertanyaan Delisa dua minggu yang lalu.
"Kenapa nggak Delisa tanya saja? Seperti waktu Delisa
sering bicara dengan Tiur...." Abi menyarankan itu, setelah
mereka berbincang beberapa saat kemudian.
Nanti-nanti ia akan bertanya, Delisa berikrar dalam hati.
Sekarang ia lagi sibuk. Sibuk dengan bungkusan plastik di
hadapannya. Delisa maju ke depan. Ia tidak membawa baju
atau roknya. Seragamnya pas. Delisa membawa tasnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ibu Guru Ani, Delisa bisa tukar dengan warna biru?"
Kakak-kakak yang berdiri di depan menoleh ke arah
Delisa. Sebelum Ibu Guru Ani menjawab, kakak-kakak itu
ringan tangan sudah menukarnya. Delisa tersenyum riang.
//Khamsia//!"
(Oo-dwkz-oO)
Sorenya Delisa berjalan cepat dengan kurk di lengan.
Menuju meunasah darurat. Ia memakai seragam mengaji
TPA-nya. Tas biru baru itu sudah tersampir di punggung.
Delisa riang menuju meunasah. Sepanjang hari ini
semuanya terasa menyenangkan.
Anak-anak sudah ramai saat Delisa tiba di sana. Entah
sedang mengerubungi apa. Berteriak-teriak
riang. Bukankah seharusnya mereka duduk rapi mulai
membaca Iqra?
Saat Delisa melepas sandalnya di depan, meletakkannya
berjejer rapi di halaman meunasah. Tiba di bawah bingkai
daun pintu, Delisa akhirnya tahu apa yang teman-temannya
sedang kembungi. Di sana, di sana ada ustadz Rahman.
Duduk di sebelah kak Ubai.
Delisa seketika buncah oleh rasa gembira. Mukanya
memerah. Matanya mengerjap-ngerjap. Menggemaskan.
Saking saking cepatnya berusaha melangkah mendekati
ustadz Rahman, tubuh Delisa limbung kiri-kanan.
"USTADZ!!" Delisa berseru riang. Keras sekali. Dua
langkah sebelum tiba, sayangnya ia benar-benar jatuh.
Kurknya tersangkut tikar pandan meunasah.
Utsadz Rahman sigap menyambarnya. Menahan tubuh
Delisa agar tidak jatuh benaran. Delisa nyengir. Nafasnya
sedikit tersengal. "Ups, maaf, ustadz!" Delisa menyeringai.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ustadz Rahman tersenyum. Meskipun hatinya terharu
sekali. Lihatlah! Delisa begitu eksplosif menyambutnya.
Delisa begitu tulus memanggil namanya. Ustadz Rahman
menelan ludah. Ya Allah, gadis kecil kesayangannya
ternyata cacat sekarang. Ia memakai kurk. Dan itulah yang
membuatnya terjatuh saat tergesa mendekatinya tadi.
Gadis kecilnya tersenyum riang, sama sekali tidak
memperhatikan wajah ustadz Rahman yang terharu.
Mulutnya membuka menyeringai, memperlihatkan dua
giginya yang tanggal. Ustadz Rahman semakin tersentuh.
Lihatlah! Delisa sama sekali tidak merasa keberatan dengan
semua ini. Ia masih sama seperti dulu. Riang tak berubah.
Ustadz Rahman menghela nafas. Delisa ternyata jauh lebih
memahami semua kejadian ini dibandingkan dirinya.
Murid yang selama ini ia bimbing tentang makna menerima
jauh lebih bisa menerima kenyataan ini dibandingkan
dirinya.
"Ustadz kemana saja sih?" Delisa mulai menyiapkan
rentetan pertanyaan. "Delisa bahkan mulai berpikir yang
tidak-tidak, loh, " Mata hijau Delisa berkerjap-kerjap.
Ustadz Rahman menelan ludah.
"Ustzad kemana saja?" Delisa sekali lagi bertanya sambil
menggenggam koko ustadz Rahman kencang-kencang.
"Meulaboh-" Ustadz Rahman menjelaskan pendek.
"Ah iya, pernikahan itu.... Jadinya kapan, ustadz?"
Delisa menyeringai senang. Ingat dengan uang receh yang
dilempar. Ingat manisan yang akan banyak terhidang. Kuekue.
"Kapan? Kapan, ustadz?" Delisa bertanya semakin riang.
Ustadz Rahman terdiam. Lihatlah, gadis kecilnya begitu
ringan menyikapi semua ini. Sedangkan dia hampir tiga
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bulan lamanya berkutat dengan kenyataan yang
menyakitkan itu. Lelah membujuk hatinya untuk berdamai.
Lelah menghela kesedihan yang tak kunjung henti setiap
kali ia memutuskan untuk kembali ke sini.
Ustadz Rahman menggeleng.
"Nikahnya tidak jadi, Delisa?"
"Kenapa? Kenapa nggak jadi ustadz?"
Ustadz Rahman diam.
"Kenapa ustadz?"
"Kenapa nggak jadi nikahnya?"
"Aduh, Delisa kan ingin lihat ustadz menikah!" Delisa
berkata tanpa jeda dalam satu tarikan nafas. Ustadz
Rahman tersenyum pahit. Menatap datar langit-langit
meunasah. Semua ini amat menyakitkan baginya. Karena
Ibu Guru Eli sudah pergi selamanya, Delisa. Pergi bersama
gelombang tsunami itu. Itu berarti tidak akan pernah ada
pernikahan. Tidak akan ada sama sekali, Delisa!
Delisa terdiam mendengar penjelasan itu. Kak Ubai yang
duduk di samping ustadz Rahman menghela nafas. Anakanak
yang tadi mengerubungi mereka beberapa sudah
mengambil rihal masing-masing. Tidak terlalu
memperhatikan pertanyaan Delisa. Sibuk mengomentari tas
baru masing-masing.
"Ustadz akan ngajar kita lagi, kan?" Delisa menyeberang
ke pertanyaan lainnya. Ia sedih mendengar penjelasan
ustadz Rahman tadi, jadi malas melanjutkan bertanya
tentang Bu Guru Eli. Delisa benar-benar sedih. Meskipun
separuh kesedihan itu timbul karena prospek tidak akan ada
manisan, kue-kue dan uang receh yang dilempar dari
kendurian ustadz. Baru separuhnya lagi karena menatap
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
raut muka ustadz Rahman yang biasanya penuh kebaikan
sekarang terlihat tersenyum getir.
Seperti wajah Abi kalau Delisa suka nanya tentang
Ummi.
Ustadz Rahman menggeleng. Dia tidak akan bisa
kembali ke Lhok Nga. Hatinya selalu kebas setiap berjalan
di sepanjang jalan kota Lhok Nga. Mengingat-ingat
kenangan masa lalu yang indah. Hatinya sakit sekali setiap
berjalan di sepanjang pantai Lhok Nga. Mengingat-ingat
kalau dia seharusnya sekarang justeru berjalan mesraberdua
dengan belahan hatinya.
"Kenapa ustadz tidak ngajar kita lagi?"
Ah, Delisa tidak akan paham arti kehilangan "cinta".
"Kenapa, ustadz? Delisa kan mau bertanya banyak hal....
Delisa mau bertanya tentang hafalan bacaan shalat....
tentang cokelat itu-" Delisa mengernyit. Ia benar-benar
hendak bertanya soal itu. "
Selama ini ia tidak pernah bertanya dengan Abi, kak
Ubai atau Ibu Guru Ani. Ia tidak pernah merasa nyaman
membicarakannya. Saat melihat ustadz Rahman tadi,
Delisa segera merasa akan mendapatkan tempat bertanya
yang baik. Tetapi sekarang ustadz Rahman justeru kembali
sekaligus hendak berpamitan pergi dengan mereka.
"Ustadz akan kembali ke Banda Aceh, Delisa!" ustadz
Rahman memegang lembut bahu Delisa.
"Aduh, bagaimana jadinya...." Delisa sok-dewasa berseru
cemas. Cemas dengan masalahnya.
Kak Ubai dan ustadz Rahman tertawa melihat raut muka
Delisa yang bingung-berkeberatan dengan kalimat ustadz
barusan. Masalahnya mereka berdua memang tidak tahu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
masalah itu bagi Delisa tiga bulan terakhir terasa serius
sekali.
Delisa bingung hendak bertanya kepada siapa? Dan
pembicaraan itu selesai tanpa kesimpulan bagi Delisa.
Ustadz Rahman akan kembali ke Banda Aceh. Keputusan
itu sudah bulat. Ustadz akan menjadi dosen diperbantukan
di sekolahnya dulu. Delisa hanya manyun masygul
mendengar penjelasan ustadz. Mendingan ngajar Delisa ini,
kan? Daripada ngajar kakak-kakak mahasiswa.
Saat ustadz Rahman keluar dari meunasah, Delisa baru
sadar ternyata ustadz juga cacat seperti ia. Ustadz Rahman
pincang. Berjalan dengan kurk. Delisa tidak ingat kalau ia
juga berjalan dengan kurk. Delisa justeru ingat Ibu Guru
Eli.
"Bukankah Ibu Guru Eli calon istrinya ustadz Rahman
itu pincang, Mi?" Itu kata kak Fatimah dulu. Dan Ummi
menasehati kak Fatimah sepanjang sore.
Delisa menelan ludah. Entahlah apa semua maksudnya
ini.
(Oo-dwkz-oO)
Sepanjang pulang dari pengajian TPA Delisa berpikir
banyak hal. Tentang pertanyaannya tadi dengan ustadz
Rahman. Delisa akan bertanya ke siapa soal hafalan shalat
dan cokelat itu?
Urusan menghafal bacaan shalat itu pelik bagi Delisa.
Susah. Susaaaaaah sekali. Guratan huruf Arab itu
menolaknya mentah-mentah. Delisa sudah sebulan terakhir
selepas isya selalu menenteng buku hafalan bacaan
shalatnya. Membacanya berulang-ulang. Malam ini jika ia
berhasil hafal doa //iftitah//. Besoknya ia seketika lupa
begitu saja. Seperti rekaman kaset yang dihapus. Delisa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
benar-benar bingung. Belum lagi penyakit bolak-baliknya
yang kembali semakin parah.
Memang tidak ada deadline ujian untuk menyetor
hafalan bacaan shalatnya seperti dengan Ibu Guru Nur
dulu. Tetapi Abi sering menanyakan tentang itu. Dan
Delisa hanya menjawab "sedikit lagi". Padahal Abi juga
sudah membuatkan jembatan keledai seperti yang dulu
dibuatkan Abi.
Delisa sebenarnya sekarang tak pernah absen ikut shalat
maghrib, isya, dan shubuh bersama Abi. Bangun pagi
bukan masalah besar baginya. Tetapi shalat Delisa tidak
pernah sempurna. Tidak pernah lengkap. Bacaannya
kebolak-balik, bahkan lupa sama sekali. Abi tidak seperti
Ummi atau kak Aisyah, Abi tidak membaca bacaan
shalatnya keras-keras. Kecuali pas al-Fatihah dan surat
pendek. Jadi selama shalat, Delisa hanya melakukan
gerakannya saja.
Ustadz Rahman dulu mungkin benar, kita bisa shalat
tanpa membaca bacaannya. Tetapi nggak mungkin kan
sepanjang tahun Delisa hanya bisa gerakan shalat saja.
Shalatnya tidak akan pernah sempurna. Tidak sama dengan
shalat rasul dana sahabat-sahabatnya. Tidak akan khusuk
seperti yang dulu sering diceritakan ustadz.
Urusan ini benar-benar membuat Delisa bingung.
Urusan cokelat sebenarnya tidak terlalu membebani
Delisa lagi. Ia sudah mengaku kepada kak Aisyah, kak
Zahra, dan kak Fatimah. Ia memberikan pengakuan itu
ketika sendirian datang ke pemakaman massal. Menggurat
nama-nama kakaknya. Meletakkan tiga tangkai bunga
mawar biru. Lantas terbata mengaku soal cokelat tersebut.
Itu kebiasaan Delisa belakangan ini. Setiap minggu pagi
pergi ke pemakaman massal.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi Delisa kan belum mengaku kepada Ummi.
Bagaimanalah urusannya? Sedangkan Ummi hingga hari ini
tidak tahu entah berada di mana? Ia harus mengaku ke
mana?
Delisa menghela nafas. Melepas kerudung birunya.
Kerudung yang ini sama saja dengan miliknya dulu.
Membuat rambutnya panas dan gatal. Tiba di rumah, Abi
belum kembali dari gardu listrik (Abi entah memperbaiki
gardu yang mana hari ini). Delisa mencari kunci rumah di
bawah keset.
Masuk ke dalam. Meletakkan tas dan kerudung. Lapar.
Perutnya lapar! Delisa memutuskan masak sebungkus mie.
Menyeringai menghidupkan kompor minyak. Ia jauh dari
pandai kalau hanya urusan memasak mie instan. Bahkan
lebih pandai dibandingkan Abi, hihi!
(Oo-dwkz-oO)
14. Delisa cin ta Ab i karena Allah
Sore ini pantai Lhok Nga ramai. Tentara Amerika juga
banyak datang menghabiskan sore. Bercampur dengan
penduduk setempat dan sukarelawan lainnya. Sebagian
besar dari mereka hanya duduk-duduk memandang
indahnya senja. Menikmati angin laut yang mengusap
muka lembut. Sebagian lain menikmati berkejaran dengan
ombak yang menggulung tubir pantai. Busanya beriak
menjilat-jilat kaki. Tertawa bahak ketika salah seorang dari
mereka terjatuh. Membuat kuyup sekujur badan dibasuh
gulungan air. Beberapa lagi bermain lempar-lemparan buah
kelapa tua yang jatuh.
Delisa seperti biasa bergabung dengan teman-temannya.
Bermain bola. Tidak ada yang berbeda dengan sore-sore
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sebelumnya. Kecuali mereka sore itu lagi-lagi kekurangan
satu orang. Delisa //celingukan// mencari teman yang bisa
diajak bergabung. Ada Umam di pinggir lapangan. Duduk
di atas pelepah tua pohon kelapa yang jatuh. Mengguratgurat
pasir di hadapannya.
Delisa melangkah mendekati Umam dengan
/Aurk//.
"Main, yuk!" Delisa mengajak.
Umam mengangkat kepalanya. Menatap Delisa sejenak.
Menggeleng.
"Kita kurang satu-" Delisa menunjuk ke tengah
lapangan. Delapan temannya menatap dari sana, berharap
ia berhasil membujuk Umam.
Umam hanya diam.
"Kan nggak seru kalau nggak lengkap!"
Umam tetap diam. Berpikir, bukankah dulu Delisa yang
paling sering membuat tim mereka tidak lengkap. Kabur
begitu saja pas pertandingan lagi seru-serunya.
"Tim kita kalah mulu sekarang-"
Umam tetap diam.
"Meskipun kalau Umam ikut main belum tentu juga tim
kita jadi menang-" Delisa menyeringai, tertawa kecil.
Umam menyeringai. Percuma dia tetap tak bergeming
dengan becandaan Delisa. Delisa menarik nafas mengkal
kembali ke lapangan, bersiap untuk bermain tak imbang
empat-lawan-lima. Bola plastik diletakkan di tengah-tengah.
Prajurit Salam dan teman-temannya entah dari mana
melangkah mendekati tepi lapangan saat mereka bersiap
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
melakukan kick-off (ini istilah Delisa; ia dapat setelah
menonton siaran langsung sepak bola di teve).
Salam menawarkan diri bergabung dengan tim Delisa
biar lengkap. Ribut sejenak. Tim lawan Delisa protes, sama
sekali nggak adil; jelas-jelas Prajurit
Salam lebih besar dibandingkan mereka. Tetapi lima
menit kemudian pertandingan tetap dilangsungkan.
Sepuluh lawan sepuluh. Marinir itu bergabung semua. Dan
ramai sekali lapangan kecil tersebut.
Lebih ramai lagi saat Delisa semakin ngaco jadi
kipernya.
Tentara Amerika itu tidak terlalu serius bermain. Kan
nggak mungkin seserius itu menghadapi anak-anak umur 6-
7 tahunan. Tetapi pertandingan itu menyenangkan. Prajurit
Salam berkali-kali pura-pura kena tekel. Jatuh berdebam di
atas pasir. Berser-seru minta pinalti. Juga pura-pura
menendang bola ke arah yang salah padahal tinggal
selangkah di depan gawang lawan ini. Hingga iseng sekali
memindahkan tiang bambu gawang Delisa entah kemana.
Anak-anak hanya tertawa memegang perut melihat Delisa
bingung mencari gawangnya pas balik mundur dari maju
ikut menyerang.
Rusuh sekali.
Sore semakin matang. Derai tawa anak-anak bermain
bola ditingkahi oleh penonton yang ramai duduk di pinggir
lapangan terdengar dari kejauhan. Jingga menyemburat di
pantai Lhok Nga. Ombak semakin sering memecah bibir
pantai. Burung camar melenguh menambah indah suasana.
Tiga bulan setelah bencana tsunami itu. Tiga bulan
setelah banyak kehilangan akibat air bah itu. Lhok Nga
menjelma menjadi kota antar-bangsa. Kembali merajut
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
masa depannya. Tumbuh dengan bangunan-bangunan baru.
Warna-warna baru. Hingga petak-petak tanah baru.Tetapi
Lhok Nga tidak akan pernah kehilangan semangat
bersahabat, kekeluargaan dan kesederhanaannya. Lhok Nga
tidak akan pernah kehilangan spirit religiusnya. Lhok Nga
masih yang dulu!
(Oo-dwkz-oO)
"Bi, tadi Delisa bikin satu gol-" Delisa menyeringai
senang. Duduk di meja makan.
Abi meletakkan masakannya di atas meja. "Bukannya
kamu kiper?"
"Memangnya kiper nggak bisa bikin gol," Delisa nyengir.
Kan Abi dulu yang memberikan saran?
Abi tertawa. "Tapi kamu kebobolan berapa?"
Delisa ikut tertawa. Tidak menjawab. Malu! Tadi tuh
benar-benar rusuh mainnya. Golnya banyak sekali. Lagian
Prajurit Salam bukannya bantuin ia jadi back bertahan,
malah menyembunyikan gawang mereka.
Makan malam yang menyenangkan. Kecuali
masakannya. Abi belum ada kemajuan sama sekali.
Hambar. Tidak berasa. Abi niatnya masak sayur //capcai//
dengan lauk ikan. Tetapi rasanya seperti ketukartukar.
Bentuknya juga. Delisa menyeringai. Setelah
beberapa sendok, mereka berdua saling bertatapan.
Abi menghela nafas. Meletakkan piring nasinya.
Tersenyum.
"Kamu mau martabak?"
Delisa nyengir, langsung mengangguk-angguk senang.
Mereka segera meninggalkan meja makan. Makan di
luar. Bukan di dapur umum. Koh Acan sudah membuka
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
toko daruratnya tidak di pasar; tetapi dekat barak
penampungan. Koh Acan tidak berjualan perhiasan
sekarang. Dia berjualan makanan. Martabak Aceh! Ke
situlah Abi dan Delisa menebus masakan hambar tadi.
(Oo-dwkz-oO)
Lama Abi dan Delisa menghabiskan malam di lapak
Koh Acan. Makan martabaknya sih sebentar, paling
setengah jam. Yang lama berbincangnya. Ada Sersan
Ahmed yang mengirimkan hadiah buku untuk Delisa dari
kak Sophi. Dan Abi entah membicarakan apa dengan
Sersan Ahmed. Tertawa-tawa, bilang tentang "tiga bulan",
"tentara asing harus pulang", "ada-ada saja" dan sejenisnya.
Meski tidak mengerti, Delisa asyik menyimak.
Tiba di rumah Delisa langsung tidur di kamar tengah.
Sudah ada ranjang kecil di dalamnya. Abi seperti biasa tidur
di atas kursi ruang depan. "Abi bisa tidur di mana saja,
Delisa. Namanya juga darurat, kan?" itu penjelasan Abi
dulu, saat Delisa berkeberatan tidur di ranjang, tetapi Abi
tidur di kursi atau di atas tikar pandan.
Malam sudah sempurna. Gelap, bulan menyabit hilang
ditelan awan gelap. Hening, hanya debur ombak terdengar
berirama di tubir pantai. Lhok Nga terlelap.
Dan dari sebagian hambaMu, ada yang tetap terjaga.
Mengingat Mu.... Bersimpuh mengadu kepa-daMu, wahai
yang menerima semua pengaduan. Menangis kepadaMu,
wahai yang paling berhak menerima tumpahnya air mata.
Meminta petunjuk kepadaMu, wahai yang memiliki semua
pertanda. Meminta penjelasan kepadaMu, wahai yang
memiliki rahasia langit, bumi, dan di antara kedua-duanya.
Abi! Abi masih terjaga.
Abi sedang tertelungkup di ruang tengah. Abi tidak bisa
tidur selepas dari lapak Koh Acan. Itulah yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dilakukannya saat matanya tak mau terpejam lagi di malam
hari. Shalat Tahajud. Ketika semua kenangan itu kembali.
Ketika semuanya balik menerabas deras hati yang
sebenarnya mulai tertata.
Muka Abi basah oleh wudhu dan air mata. Sajadahnya
basah. Basah oleh sebuah pengaduan. Ya Allah, berat sekali
semua urusan ini. Dia kehilangan istri yang salehah dan
anak-anak tercinta. Dia kehilangan lebih dari separuh
kehidupannya. Kehidupan yang dia pupuk begitu lama.
Kehidupan yang menjanjikan banyak kebahagiaan. Tetapi
musnah sekejap begitu saja.
Dan lihatlah, dia harus membesarkan Delisa sendirian
sekarang. Gadis kecil yang cerdas, banyak bertanya, amat
menggemaskan, namun harus tumbuh menatap masa depan
dengan melewati semua hal menyakitkan ini. Gadis kecil
yang jauh dari pantas menjalani kehidupan seperti ini.
Ya Allah, amanah itu berat sekali. Dia harus menjadi
Abi, Ummi, kakak, sekaligus teman untuk
Delisa. Jangankan untuk urusan yang lebih rumit, soal
memasakan makanan yang halal dan //thayib//-pun dia
tidak bisa. Masakan yang //thayib// ya Allah! Dan dia tak
kunjung bisa berdamai dengan semua perasaan kehilangan
ini. Tak kunjung bisa melupakan semuanya. Lemah.
Hatinya lemah sekali. Sering tertelungkup mengadu
kepadaMu. Mengadu semua penderitaan yang tak kunjung
berubah menjadi angin sejuk.
Lihatlah! setiap hari, hanya bertemu dengan wajahwajah
sisa kesedihan bencana itu. Setiap hari, hanya
menambah daftar kehilangan. Semua ini terasa berat. Berat
sekali! Abi menyeka air matanya. Berusaha menahan isak
tangis. Ia tidak ingin mengganggu Delisa yang sekarang
lelap tertidur.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Hening lagi. Keheningan ini mengembalikan semua
kenangan itu. Teringat, bukankah dulu saat-saat seperti ini
dia sering tahajud bersama Ummi. Berdoa berdua bersama
Ummi. Dia dulu punya teman seiring-seperjalanan
membesarkan anak-anak. Mempunyai teman untuk berbagi
keluh kesah. Sungguh, dialah yang lebih banyak bersandar
di bahu istrinya, dibandingkan sebaliknya. Abi rindu
Ummi. Abi rindu mendengar suara menenangkan Ummi
kalau dia sedang menghadapi masalah. Rindu menatap
wajah bening Ummi. Abi benar-benar rindu. Tangisan itu
tak kuasa ditahan, mulai mengeras.
Semuanya kenangan indah bersama Ummi kembali
bagai desing peluru. Hari-hari pertama pertemuan mereka
dulu. Janji-janji pernikahan.
Rencana-rencana merajut masa depan. Bahkan Abi
teringat kalimat-demi-kalimat nasehat pengantin barunya
dulu. Ingat wajah Ummi yang tersenyum bahagia saat ia
membaca akad. Wajah teduh istrinya pelan menggurat di
atas sajadahnya. Tersenyum. Abi tergugu.
Bukankah hari-hari seperti ini, saat Abi pulang selama
dua minggu dulu Abi sering shalat bersama Fatimah,
Zahra, dan Aisyah. Berkali-kali melotot ke arah Aisyah
yang jahil mengganggu Delisa. Abi rindu Aisyah, senakal
apapun ia. Dan Aisyah semenjak kecil memang sudah
senakal itu. Abi ingat, Aisyah paling suka menaiki
punggungnya. Pernah Aisyah naik ke punggung Abi, pas
dia sedang sujud. Maka lama sekali Abi tidak bangkitbangkit,
menunggu Aisyah yang baru berumur tiga tahun
turun dari punggungnya.
Abi rindu berbincang dengan Fatimah soal buku-buku
itu. Fatimah yang akan menjadi pujangga besar! Itulah yang
berkali-kali Abi katakan kalau tak mampu lagi menjawab
pertanyaan sulungnya. Mengusap kerudung sulungnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Abi rindu Zahra yang pendiam. Yang mukanya teduh.
Yang selalu memiliki rencana. Pasti Zahra menyiapkan
sesuatu di pagi Delisa menyetor bacaan hafalan shalat itu.
Pasti Zahra menyiapkan sesuatu, meski Abi tak tahu. Abi
benar-benar rindu anak-anaknya. Wajah ketiga gadisnya
ikut menggurat di atas sajadah, tersenyum bersama Ummi
memandang Abi. Abi membalas tersenyum. Senyum getir
memilukan.
Sekarang dia hanya bersama Delisa menyambung semua
kisah. Bungsunya yang bagai mutiara. Berat sekali dia harus
membesarkannya sendirian. Abi mengusap air mata.
Delisanya yang tidak pernah mengeluh tentang kakinya.
Tidak pernah bertanya lagi tentang di mana Ummi. Delisa
yang terus menjalani kehidupan tanpa bertanya mengapa
semua itu harus terjadi. Menghiburnya dengan banyak
celetukan. Menghela sedihnya dengan muka riang
menggemaskan. Sungguh, dialah yang banyak terbantu oleh
Delisa. Bukan sebaliknya.
Abi menangis semakin dalam. Tetapi suara tangisan Abi
tidak sendirian sekarang.
Berdua!
Delisa sudah terbangun. Dia mendengar ada yang
menangis di ruang depan. Menyingkap kain selimutnya,
lantas dengan mata setengah tertutup, pipi mengukir
kepulauan, mulut menguap, melangkah malas-terhuyung
menuju ruang depan.
Delisa melihat Abinya yang sedang menangis. Abinya
yang tertunduk di atas sajadah. Delisa tidak mengerti apa
yang terjadi pada Abi. Delisa tidak tahu. Yang ia tahu
hatinya meleleh seketika. Hatinya sempurna mengukir
berjuta perasaan yang tak ia pahami. Menyemburat
menembus kerongkongannya. Menerabas matanya. Delisa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ikut menangis. Delisa seolah-olah bisa merasakan apa yang
sedang Abi pikirkan. Delisa merasakan.
Delisa bergetar melangkah. Lantas memeluk leher Abi
dari belakang. Mata hijaunya yang teduh dibuliri air bening.
Mata hijaunya berkerjap-kerjap menatap basah.
Abi menoleh. Sedikit terkejut. Buru-buru mengusap air
matanya. Dia tidak ingin terlihat menangis di depan
bungsunya. Menatap raut muka Delisa. Tersenyum.
"Maafkan Abi. Kamu jadi terbangun-" Abi mengangkatangkat
pundaknya. Membuat tubuh Delisa yang memeluk
dari belakang seperti diayun-ayunkan.
"Abi sedang a-p-a?" Delisa bertanya sambil ikutan
mengusap matanya. Bertanya lemah.
Abi hanya diam.
"Abi ingat U-m-m-i, ya?"
Abi tersenyum. Diam.
"Abi ingat kak Fatimah, ya?"
Abi memainkan pundaknya, tubuh Delisa terayun pelan.
"Abi ingat kak Zahra, kak Aisyah, ya?"
Abi masih memainkan pundaknya.
"A-b-i," Delisa berkata lemah. Tersendat. Ia ingin
menangis lagi. Abi menoleh, menghentikan ayunannya.
Menatap wajah bungsunya yang begitu dekat dari
mukanya.
"Abi.... A-b-i.... D-e-l-i-s-a c-i-n-t-a Abi karena Allah!"
Kalimat itu meluncur saja dari mulut Delisa. Meluncur dari
hati Delisa tanpa tertahankan. Tercipta tanpa pengharapan
imbalan sebatang cokelat. Mengalir dari kemilau hati yang
tiada tara. Kalimat itu sebenarnya lemah, disertai sedu-
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sedan pula, tetapi cukup sudah untuk menghancurkan
tembok hati membeku terbesar yang pernah ada.
Abi tergagap. Ya Allah, gadis kecilnya mengatakan itu.
Abi seketika tergugu diam. Bungsunya baru saja
mengatakan kalimat indah itu. Kalimat yang diceritakan
Ummi dulu. Kalimat yang melelehkan semuanya. Gemetar
Abi meraih tubuh Delisa. Menatap mata hijau teduh itu.
Menatap Delisa yang memamerkan giginya yang tanggal
dua. Abi gentar sekali.
"Abi juga cinta Delisa.... A-b-i juga cinta Delisa karena
Allah!" Bergetar bibir Abi menguntai suara.
Hanya itu yang bisa dia katakan. Hati Abi terlanjur
meleleh oleh perasaan haru. Abi memeluk Delisa erat.
Matanya basah lagi. Menangis. Semua perasaan ini. Semua
kenyataan ini. Semua kejadian-kejadian ini. Lihatlah,
bungsunya benar-benar mengajarkan hakikat cinta yang
sebenarnya. Mengajarkan hakikat perasaan yang seutuhnya.
Ketika semuanya tumbuh hanya karenaMu, ketika
semuanya terjadi hanya karenaMu. Lama Abi dan Delisa
menangis-berpelukan. **
** Engkaulah alasan semua kehidupan ini. Engkaulah
penjelasan atas semua kehidupan ini. Perasaan itu datang
dariMu. Semua perasaan itu juga akan kembali kepadaMu.
Kami hanya menerima titipan. Dan semua itu ada sungguh
karenaMu....
Katakanlah wahai semua pecinta di dunia. Katakan/ah
ikrar cinta itu hanya karenaNya. Katakanlah semua
kerinduan itu hanya karena Allah. Katakanlah semua getarrasa
itu hanya karena Allah. Dan semoga Allah yang maha
men-cinta, yang menciptakan dunia dengan kasih-sayang
mengajarkan kita tentang cinta sejati.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Semoga Allah memberikan kesempatan kepada kita
untuk merasakan hakikatnya.
Semoga Allah sungguh memberikan kesempatan kepada
kita untuk memandang wajahNya. Wajah yang akan
membuat semua cinta dunia layu bagai kecambah yang
tidak pernah tumbuh. Layu bagai api yang
(Oo-dwkz-oO)
15. Negeri-neger i jauh !
Tahajud Abi malam itu membuat Delisa mengerti satu
hal. Delisa memutuskan untuk memakan habis apa saja
yang Abi masak. Meski dengan muka menyeringai. Meski
dengan mata mengerjap-ngerjap. Meski dengan hidung
meringis. Lagipula, belakangan masakan Abi mulai ada
rasanya. Terlalu pedas. Terlalu asin. Dan terlalu lainnya.
Abi hanya tertawa kecil ketika Delisa mulai "memuji-muji"
masakannya.
Hari berjalan tanpa terasa. Masalahnya ketika semuanya
terasa mulai nyaman dan menyenangkan, perubahanperubahan
selalu saja terjadi. Mau atau tidak, perubahan
selalu sebuah keniscayaan.
Beberapa hari kemudian saat Delisa sedang asyik
berkejaran di depan sekolah tenda daruratnya. Ibu Guru
Ani sambil memegang amplop cokelat besar memanggilnya
kencang-kencang. Ada Abi di sana. Juga ada suster Sophi,
Sersan Ahmed dan Prajurit Salam di depan tenda. Mereka
bertiga tersenyum menyambut Delisa. Abi berjalan di
belakang.
Delisa tidak mengenakan kerudungnya. Panas.
Rambutnya yang baru tumbuh dua senti jingkrak ke atas.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Delisa lebih mirip anak laki dengan gaya rambut seperti itu,
meski tetap terlihat menggemaskan dengan mata hijaunya.
"KAK COFI!" Delisa tersenyum senang, berlari
menghambur ke arah Sophi.
"Da-lie-sa!"
Sophi jongkok memeluk Delisa. Sersan Ahmed
mengusap rambut Delisa sambil tertawa datar. Sementara
Prajurit Salam hanya tersenyum mengangguk. Muka itu
selalu bercahaya baginya. Termasuk saat sedang main bola
sekalipun.
"Mereka akan pergi, sayang-" Abi tiba-tiba memecah
kesenangan pelukan Delisa dan Sophi, menjelaskan.
Sekarang atau nanti Abi mesti menjelaskan urusan ini ke
Delisa. Jadi lebih baik sekarang saja. Tidak perlu ditundatunda.
Delisa menatap kak Sophi mengernyit tak mengerti.
Yang ditatap mengangguk. Membenarkan perkataan Abi.
"Sudah tiga bulan, sayang. Seluruh tentara asing harus
kembali-" Sophi tersenyum. Abi membantu menjelaskan
lagi.
"Pergi k-e-m-a-n-a?" Delisa bertanya bingung.
"Pulang ke negara mereka. Amerika. Jauuuh. Seperti
yang Abi pernah tunjukkan lewat peta-peta!" Abi
tersenyum.
Mereka akan pulang?
Kak Cofi akan pergi. Juga Sersan Ahmed dan Prajurit
Salam. Ia tidak terlalu akrab dengan Sersan
Ahmed, ia hanya tahu bapak-bapak ini sering
menjenguknya di rumah sakit dulu. Juga sering
memberinya hadiah, termasuk kaca mata hitam itu. Juga
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sering menemani Abi entah bicara apa. Delisa suka
mengamati mereka bicara. Tetapi tidak suka dengan cara
Sersan Ahmed membentak-bentak anak buahnya. Galak.
Kalau Prajurit Salam ia akrab, bapak-bapak yang ini
sering menemaninya bermain bola. Meski tak banyak bicara
dengannya. Hanya menegur. Tetapi apapun bentuk
hubungan mereka, kalau mereka akan pergi itu
menyedihkan. Delisa menghela nafas panjang menatap
ketiganya bergantian.
Delisa mengerjap-ngerjapkan matanya. Kata-kata pergi
selalu membuatnya tidak nyaman. Pergi dan sendirian amat
dekat maknanya. Delisa merasa perutnya mulas seketika.
"Tetapi kenapa kak Sophi harus pergi? Memangnya ada
yang melarang kak Sophi di sini-" Delisa menyeringai siap
berdebat dengan siapa saja.
Abi menghela nafas, "Tidak ada yang melarang, Delisa.
Tetapi rumah kak Sophi bukan di sini. Kak Sophi harus
melanjutkan tugasnya. Seperti Abi yang sering berpergian
tiga bulan. Nanti-nanti kak Sophi kan bisa ke sini lagi."
Berbohong. Tetapi itu bohong putih. Dusta yang diijinkan.
Delisa menyeringai ke arah kak Sophi. Mengklarifikasi.
Kak Sophi tersenyum mengangguk.
"Kak Sophi berjanji akan selalu mengirim surat, sayang-"
Sophi memegang bahu Delisa, berkata lemah
"Mengabarkan banyak hal.... Ah, lihatlah,
bahkan bekas luka di wajahmu sama sekali tidak bersisa-
"
Sophi mengalihkan pembicaraan. Sibuk memeriksa bekas
jahitan di muka dan dekat leher Delisa. Delisa juga sedang
sibuk berpikir. Memikirkan kata-kata Abi dan kak Sophi
barusan. Memikirkan kenapa dunia ini harus besar
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bentuknya. Orang-orang harus terpisah oleh jarak.
Bukankah asyik sekali kalau dunia ini hanya sebesar kota
Lhok Nga? Bisa saling kunjung-mengunjung setiap hari?
"Kamu ambil ini sayang-" Sophi mengulurkan
genggaman tangan kanannya. Membuka pelan-pelan
genggaman tersebut. Sebuah benda melingkar indah
ditimpa cahaya matahari pagi ada di telapak kak Sophi.
Kalung milik kak Sophi. S untuk Cofi.
Delisa seketika menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak.
Ia tidak menginginkan kalung tersebut. Bukan karena ia
tidak menyukainya, ia amat suka, kalung kak Cofi indah
sekali. Delisa sedang sedih memikirkan kata pergi.
Memikirkan kemungkinan ia tidak akan bertemu lagi
dengan kak Cofi, meski kak Sophi sudah berjanji. Semua ini
membuat Delisa kehilangan selera dengan kalung tersebut.
Lagipula Delisa belakangan selalu merasa tidak nyaman
jika berbincang, melihat, apalagi memegang benda yang
bernama kalung. Delisa masih sempurna lupa tentang
kalung hadiah hafalan bacaan shalatnya. Tetapi Delisa
merasa ada yang aneh setiap kali ia melihat kalung. Setiap
kali ada yang menyebut-nyebut tentang kalung. Aneh saja
rasanya. Ada yang terputus dalam ingatannya! Dan itu
ganjil sekali.
"Ambillah, sayang...." Sophi membujuk.
"Nggak! Delisa nggak mau," Delisa menggigit bibirnya.
Menatap Abi meminta untuk menjelaskannya pada kak
Cofi.
Sophi menyentuh tangan Delisa. Memaksa memasukkan
kalung tersebut dalam genggaman Delisa. Delisa
menggeleng-gelengkan kepalanya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bukankah kok Cofi dulu bilang, kalung ini hadiah
spesial dari seseorang.... Delisa tidak mau kalung kak Cofi.
S untuk kak Cofi! Bukan untuk Delisa-" Delisa menggerakgerakkan
kepalanya. Berusaha mengepalkan tangannya
kencang-kencang. Menolak. Sersan Ahmed tertawa melihat
tingkahnya.
Abi menjelaskan kalimat Delisa barusan kepada Sophi.
Sophi terdiam. Ah, kalau begitu ia tidak akan berhasil
membujuk Delisa menerima kalung tersebut. Ya, Delisa
benar, kalung ini hadiah spesial dari seseorang. Tetapi ia
ingin sekali Delisa yang mengenakannya. Seseorang itu
tidak akan kembali. Seseorang itu tidak akan keberatan jika
Delisa yang memakainya sekarang. Sophi tersenyum tipis,
memasukkan kalung tersebut ke saku bajunya. Menyeka
keringat di dahi.
Mengeluarkan sesuatu yang lain dari sakunya.
"Kalau yang ini, Delisa pasti tak keberatan kan?"
Sekarang Delisa berseru senang. Sebatang cokelat yang
besar untuknya. Ia tidak perlu ditawari dua kali. Segera
menyambarnya, seolah-olah ada tangan panjang kak
Aisyah yang kapan saja siap merebutnya dari belakang.
Sersan Ahmed tertawa lebih lebar.
"Baiklah, Pak Usman, kami harus segera kembali ke
Kapal Induk-" Sersan Ahmed menjabat tangan Abi erat.
Bahkan berpelukan sejenak.
Prajurit Salam juga memeluk Abi erat.
"Sekali lagi terima kasih, Salam!" Abi berbisik. Abi tahu
dari cerita Sersan Ahmed kalau Salam-lah yang
menemukan Delisa tersangkut di semak itu. Tetapi yang
Abi tidak ketahui, cerita setelah itu. Cerita Prajurit Salam
yang mualaf.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Akulah yang harus banyak berterima kasih, Abi!"
Prajurit Salam menelan ludahnya. Dia mulai terharu.
Bagaimanapun tempat ini akan menjadi penting dalam
catatan kehidupannya. Orang-orang yang ada di
hadapannya akan menjadi penting dalam prosesnya
memahami kehidupan dan takdir. Dia tidak akan pernah
bisa melupakannya.
"Tentu saja akulah yang harus berterima kasih, Salam.
Kau membantu Delisa banyak!"
"Tidak! Sungguh Delisa-lah yang membantuku banyak!"
Prajurit Salam menyeka hidungnya yang basah. Abi
membalas pelukan Salam lebih erat, meski tak mengerti apa
maksud kalimat Salam barusan.
Sophi menjabat tangan Abi. Abi mengucapkan terima
kasih. Mendoakan agar ia mendapatkan jodoh yang baik.
Sophi hanya menyeringai tersenyum. Seseorang?
Sersan Ahmed mengusap kepala Delisa untuk terakhir
kalinya. Prajurit Salam duduk dengan lututnya, memeluk
gadis kecil itu erat-erat. Saat memeluk Delisa, Salam
teringat anak semata wayangnya yang meninggal.
Meninggal dalam pelukannya. Matanya tak mampu lagi
menahan tangis. Dia mengusap matanya.
"Kenapa Om Salam menangis?" Delisa nyengir.
Salam tertawa lemah. Menyeka hidungnya sekali lagi.
"Idih, Om jorok deh!" Delisa menyeringai.
Salam tertawa kecil menerima protes Delisa.
"Om sedih karena kalau besok-lusa Delisa main bola
lagi, pasti Delisa kalah.... Kan Om nggak bisa bantu main
lagi-" Prajurit Salam pura-pura memukul lengan Delisa. Abi
menterjemahkan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kata siapa. Delisa pasti tetap menang!" Delisa buruburu
memotong suara Abi, menyeringai lebar.
Mereka tertawa lagi.
Sophi memeluk Delisa untuk terakhir kalinya. Lantas
beranjak pergi. Melambai. Siluet tubuh mereka hilang di
balik tenda-tenda barak penampungan.
Pagi itu, cepat sekali tenda-tenda marinir di sepanjang
pantai Lhok Nga dibongkar. Mobilisasi mereka taktis dan
efisien. Siangnya beberapa helikopter datang menjemput.
Dan sekejap, posko itu tidak bersisa apapun. Delisa tidak
mengerti soal kebijakan pemerintah yang membatasi tentara
asing di Aceh selama tiga bulan. Kalau ia paham, tentu
Delisa akan protes, karena semua itu menjauhkannya dari
orang-orang yang menyayanginya. Semua itu membuat ia
kehilangan lagi orang-orang yang memperhatikannya
selama ini. Tetapi pertemuan bukankah selalu memiliki
perpisahan.
Delisa teringat kak Cofi yang selalu menanyakan kabar
lewat Sersan Ahmed, rajin mengirimkan hadiah dari kapal
perang itu untuknya. Prajurit Salam yang rajin menemani
atau sekadar menontonnya bermain bola sore-sore. Sersan
Ahmed yang selalu mengusap kerudungnya. Ah mereka
kembali ke negaranya yang jauuuh. Entah kapan akan
sempat bersua lagi.
Ibu Guru Ani membunyikan lonceng masuk kelas.
Memecah lamunan Delisa. Istirahat pagi selesai. Abi juga
dari tadi sudah beranjak pergi melanjutkan pekerjaannya di
gardu listrik dekat sekolah darurat Delisa.
Delisa menarik nafas panjang. Setidaknya ia punya
cokelat besar yang membuat ia menelan ludah menatapnya.
Delisa lari buru-buru masuk tenda kelas. Hari itu, Sabtu, 26
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Maret 2005. Semua tentara kembali ke negeri-negeri jauh.
Tetapi hari itu tetap menyenangkan buat Delisa.
(Oo-dwkz-oO)
Di dalam kelas, Ibu Guru Ani tidak buru-buru
melanjutkan pelajaran mereka tadi pagi. Pelajaran
berhitung. Ibu Guru Ani malah berdiri di depan kelas
memperlihatkan amplop cokelat besar yang dilihat Delisa
waktu berpisah dengan kak Sophi, Sersan
Ahmed dan Prajurit Salam barusan.
"Anak-anak coba lihat ke dapan. Ibu Guru baru saja
mendapatkan surat buat kalian-"
Delisa segera berpikir, amplop itu pasti sebelumnya di
bawa oleh Sersan Ahmed. Sersan Ahmed kan sering sekali
membawa titipan dari manalah. Teman-teman Delisa mulai
ribut bertanya dari siapa. Ibu Guru Ani tersenyum.
Memperlihatkan sampul depannya.
"Dari anak-anak kelas 1 Elementary School Rose The
Elizabeth, London. Inggris" Ibu Guru Ani menterjemahkannya
keras-keras. Teman-teman Delisa
bertatapan antusias. Delisa menyeringai. Pasti dari negaranegara
jauh itu. Hari ini kenapa banyak sekali urusan yang
menyangkut negara-negara jauh itu.
"Untuk teman-teman kami, murid kelas 1 Sekolah Dasar
Lhok Nga dan sekitarnya." Ibu Guru membaca keras-keras.
Anak-anak tertib-diam mendengarkan. Menatap semakin
tertarik. Ibu Guru kemudian merobek bagian tepi amplop
cokelat yang memang tadi dibawa oleh Sersan Ahmed.
Surat itu tiba di Pusat Informasi Banda Aceh dua hari
lalu. Ada banyak surat serupa yang dikirimkan oleh anakanak
SD di seluruh dunia untuk korban tsunami di Aceh.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Surat-surat keprihatinan teman-teman sebaya mereka.
Surat-surat persahabatan yang tak mengenal batas geografis.
Ibu Guru Ani tersenyum mengeluarkan selembar kertas
dari amplop, lantas mulai membaca.
"Untuk teman-teman tersayang—
Ketika kami menonton di teve \berita itu, kami sungguh
sedih. Beberapa di antara kami bahkan ikut menangis.
Kami sedih sekali, bertanya pada //mam// & //dad//
mengapa semua itu harus terjadi. Tetapi mereka juga tak
bisa menjelaskan.
Kata berita, teman-teman kehilangan rumah, kehilangan
sekolah, bahkan kehilangan sahabat, dan anggota keluarga.
Kami tidak tahu bagaimana caranya agar membuat temanteman
tidak bersedih. Kami tahu semua itu pasti
menyakitkan.
Sehari setelah melihat berita itu, kami mengumpulkan
uang saku masing-masing. Ibu Guru yang menyimpannya.
Lantas mengirimkannya. Lewat transfer bank ke lembaga
sosial. Semoga itu membantu teman-teman.
Hanya itu yang dapat kami lakukan. Selain berdoa.
Semoga teman-teman selalu diberkahi Tuhan. Kami ingin
menjadi sahabat baru bagi teman-teman. Menjadi keluarga
baru bagi teman-teman. Meskipun kami tahu, kami tidak
akan pernah bisa menggantikan teman-teman lama kalian.
Menggantikan keluarga kalian yang sudah pergi selamanya.
Kami hanya ingin ikut merasakan. Ikut berbagi.
Salam hangat dari kami. Teman jauh kalian. Michelle,
Margareth, dan anak-anak kelas 1 Elementary School Rose
The Elizabeth. London. Inggris.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
NB: Bersama surat ini kami sertakan foto-foto dan
prakarya dari kami tentang Aceh. Oh-ya, kami ingin sekali
melihat foto-foto dan prakarya kalian-"
Ibu Guru Ani sambil tersenyum melipat surat tersebut.
Mengeluarkan banyak kertas lagi dari amplop cokelat besar
di tangannya. Anak-anak sudah maju ke depan.
Mengerubungi Ibu Guru Ani. Berebut melihat kertas-kertas
tersebut.
Ada foto-foto mereka di kelas yang bercat cerah. Wajahwajah
bule. Delisa teringat anak ibu-ibu yang dulu pernah
menangis di kuburan massal itu. Ada banyak kertas
bertuliskan puisi-puisi. Gambar-gambar dengan crayon 12
warna (Delisa ingat kak Zahra yang pintar menggambar).
Menyenangkan sekali melihat itu semua. Ibu Guru Ani
tersenyum menatap anak-anak yang masih riuh melihat
kertas-kertas itu.
"Kata Abi kita harus membalas surat orang-" Delisa
mendekati Ibu Guru Ani. Memikirkan sesuatu.
Ibu Guru Ani menoleh.
"Apakah kita akan membalas surat itu?"
Ibu Guru Ani tersenyum. "Tentu Delisa. Kita akan
membalasnya. Bagaimana kalau Delisa yang balas?"
"Yeee.... Delisa kan tadi cuma nanya, kenapa Delisa
yang malah disuruh," Delisa menyeringai. Memprotes. Ibu
Guru Ani hanya tertawa. Sekali lagi menunjuk Delisa.
Delisa nyengir, meski akhirnya mengangguk.
(Oo-dwkz-oO)
Sore selepas bermain bola di pantai. Delisa mulai
menulis surat balasan itu. Abi membantunya menterjemahkan.
Suratnya tidak panjang. Tidak juga pendek.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Hanya mengabarkan keadaan di Lhok Nga. Menceritakan
kelas mereka di tenda darurat. Menceritakan betapa
indahnya senja hari di pantai.
Ibu Guru Ani menyuruh Delisa mampir ke posko PMI
selepas pulang sekolah, tempat kak Ubai. Meminta
beberapa lembar foto anak-anak di depan tenda sekolah
darurat untuk disertakan dalam surat. Kak Ubai menyuruh
Delisa menunggu di meja, sementara dia mencetak foto-foto
itu dari komputer. Delisa baru tahu kalau kamera kak Ubai
beda dengan kamera Abi dulu. Tidak ada "klise"-nya. Kata
kak Ubai itu namanya kamera digital. Ah, entahlah. Delisa
hanya asyik melihat kak Ubai mencetak foto-foto itu. Keren
sekali melihat kertas yang sudah berwarna-warni keluar dari
sprinter namanya mirip dengan posisi bermain bolanya
dulu.
Teman-teman kelasnya tadi siang juga menyertakan
beberapa gambar dan prakarya lainnya. Riuh sekali.
Ah, urusan ini benar-benar tidak mengenal batas lagi.
Semuanya ikut membantu menyiapkan balasan surat
tersebut dengan riang. Padahal mereka kan tidak mengenal
siapa Margareth dan Michelle? Senang saja melakukan
semuanya. Dan itu tidak membutuhkan lagi penjelasan
mengapa.
(Oo-dwkz-oO)
16. Ibu k embal i!
Minggu pagi. Selepas shalat shubuh bersama Abi, Delisa
menyalin ulang surat tersebut ke kertas yang lebih bagus.
Sesore dan semalam kemarin Delisa baru
menyelesaikannya di atas kertas coretan. Sekarang baru
dipindahkan. Biar rapi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tidak keliru Ibu Guru Ani menunjuk Delisa yang
membalas surat Michelle dan Margaretha. Tulisan Delisa
memang bagus. Itu juga dipuji oleh kak Ubai beberapa
minggu lalu saat mereka belajar kaligrafi di meunasah.
Delisa berbakat menulis indah. Kata kak Ubai waktu itu,
Allah cinta sesuatu yang indah, "dan hal-hal yang indah
hanya bisa dihasilkan oleh cinta". Ah, Delisa tidak mengerti
betul kalimat terakhirnya. Kak Ubai terkadang mirip kak
Fatimah, suka ngomong yang aneh-aneh.
"Jangan-jangan malah bagusan tulisan-nya daripada isinya,
Delisa!" Abi yang sedang membaca buku tebal di kursi
sebelah tertawa menegur Delisa yang amat serius
menggurat huruf-demi-huruf di atas kertas.
Delisa menoleh. Nyengir. Mengusap ujung hidungnya
yang gatal. Melanjutkan menyalin.
"Eh, Bi, nanti Delisa mengirimkannya lewat apa ya?"
Delisa mengangkat kepalanya, bertanya.
"Kamu serahkan saja ke Ibu Guru Ani, biar Ibu Guru
yang mengirimkan-" Abi menjawab seadanya.
"Nanti Ibu Guru Ani juga mengirimkannya lewat apa
ya? Kan kantor pos belum buka.... Tenda tentara kapal itu
juga sudah pergi? Kan repot sekali sekarang-"
"Bisa dititipkan dengan kakak-kakak sukarelawan yang
kembali ke Banda Aceh kan, atau helikopter tentara sini....
Dari sana pasti banyak cara mengirimkannya-" Abi
menjelaskan lebih serius.
Delisa manggut-manggut sok-mengerti. Meneruskan
pekerjaannya. Hening. Hanya suara pensilnya yang
terdengar.
"Eh, Bi, nanti Delisa habis mengantarkan surat ini,
Delisa boleh main ya?" Delisa menyeringai. Mengangkat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kepalanya lagi. Teringat sesuatu. Jadwal rutin minggu
paginya.
Abi menoleh. "Memangnya kamu mau main ke mana?"
"Ada deh.... Delisa hanya main sekitaran sini kok!"
Delisa memasang wajah polosnya. Buru-buru menggeleng
saat ditatap mata menyelidik Abi.
Abi hanya tersenyum. Dia tahu, setiap minggu pagi
selama sebulan terakhir, Delisa selalu pergi sendirian ke
pemakaman massal itu. Berdiri di sana sendirian.
Meletakkan tiga tangkai bunga mawar biru. Menggurat
nama-nama kakak-kakaknya. Berbicara dengan kakakkakaknya.
Abi menghela nafas panjang. Kebiasaan "ganjil" itu
sejauh ini belum jadi masalah. Setidaknya kebiasaan itu
belum terasa mengganggu. Nanti seiring berjalannya waktu
semoga Delisa akan mengerti. Biarkan saja. Bukankah Abi
juga sering datang ke sana sendirian tanpa diketahui Delisa.
"B-o-l-e-h kan?" Delisa bertanya lagi.
Abi mengangguk. Kembali membaca. Delisa tersenyum
senang. Melanjutkan tulisannya. Hening.
(Oo-dwkz-oO)
Dan selepas menyerahkan surat ke Ibu Guru Ani di
barak penampungan (Ibu Guru Ani masih tinggal di sana),
Delisa melangkah riang menuju pemakaman massal
tersebut.
Letaknya lumayan jauh. Delisa harus berjalan kuranglebih
dua kilometer. Berjalan lurus ke arah mercu suar Lhok
Nga. Melewati puing-puing rumah. Melewati beberapa
rumah yang sedang dibangun seadanya. Melewati patok-
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
patok kayu pembatas tanah yang sekarang banyak
bertebaran.
Delisa melangkah dengan hati senang. Meski kurk di
lengan kanan tidak bisa membuatnya berjalan lebih cepat
dari yang ia inginkan. Pagi ini cuaca menyenangkan.
Burung camar melenguh dari kejauhan. Udara terasa segar
dan hangat. Angin berhembus memainkan anak rambut
Delisa (lagi-lagi kerudung itu ia sampirkan di leher, rambut
Delisa yang sudah tumbuh empat senti terasa gatal). Langit
dipenuhi awan putih laksana tumpukan kapas. Pagi yang
menyenangkan. Delisa bersenandung kecil. "Aisyah Adinda
Kita!" Lagu favorit kak Aisyah.
"Ada sepuluh aisyah/ berbusana muslimah// ada seratus
aisyah berbusana muslimah// ada seribu aisyah/ berbusana
muslimah// ada sejuta aisyah/ aisyah adinda kita//"
Satu jam kemudian Delisa tiba di hamparan gundukan
tanah tersebut. Lapangan luas kuburan massal. Sepi di sini!
Hanya desau angin pagi yang mengisi langit-langit
hamparan gundukan tanah kosong nan luas. Di
sekelilingnya semak belukar yang dulu hampir separuhnya
tercerabut atau terbenam lumpur gelombang tsunami
kembali menghijau. Beberapa ekor capung dan kupu-kupu
berter-bangan. Satu dua suara burung berkicau menambah
syahdu suasana. Tetapi secara keseluruhan tetap terasa sepi
di sini!
Delisa melangkah pelan menuju salah satu sisi lapangan.
Ia tidak tahu di mana letak kuburan kak Fatimah, kak
Zahra, dan kak Aisyah. Abi juga tidak tahu. Jadi Delisa
menganggap tempat ia dulu pertama kali menggurat nama
mereka-lah sebagai lokasi kuburan kakak-kakaknya. Di
sanalah nisan mereka. Nisan yang selalu hilang setiap
minggu pagi Delisa berkunjung. Dan ia harus
menuliskannya lagi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Delisa menyeringai meraih sebatang ranting di atas
semak. Jongkok. Baju putih berendanya terkena butiran
tanah. Delisa tidak memperhatikan. Sambil tangan
kanannya menyeka dahi yang berkeringat, Delisa menulis
nama kak Fatimah, kak
Zahra dan kak Aisyah di atas tanah. Pelan-pelan.
Sepenuh hati. Membuatkan nisan yang baru. Kemudian
meletakkan tiga tangkai mawar biru itu bersisian di dekat
nama masing-masing.
Berdiri. Menatap tulisan dan bunga tersebut. Tersenyum
lebar. Delisa menepuk-nepuk bajunya yang terkena debu.
Menatap lagi kuburan kak Fatimah, kak Zahra dan kak
Aisyah. Menghela nafas panjang.
Siap mengajak mereka berbincang.
"Kak Aisyah, kemarin Delisa dapat cokelat dari kak
Cofi-" Delisa berkata riang. Mengeluarkan cokelat yang
masih utuh dari saku celananya.
"Delisa belum makan.... Belum ada teman untuk berbagi.
Kalau Delisa makan sendiri pasti nggak habis! Kan sayang
kalau di makan separuh, separuhnya disimpan lagi.... Coba
ada kak Aisyah, Delisa pasti kasih potongan yang paling
besar...."
Diam lagi.
"Ah ya, kak Cofi sudah kembali. Juga Om Ahmad....
Om Salam. Kata Abi mereka pulang ke negaranya yang
jauuuuh! Ameraka, eh apa ya nama negaranya? Delisa
lupa-" Delisa manyun sebentar. Nama negara kok seperti
neraka?
"Ah ya, Delisa juga tadi pagi baru menulis surat untuk
teman kelas satu dari negara yang jauuuh juga. Inggris, nah
kalau yang ini Delisa ingat.... Abi yang membantu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mengartikannya. Ternyata bahasa Inggris itu susah....
Delisa mesti nulisnya satu persatu. Susah dieja...."
Diam lagi. Lebih lama.
"Kak Fatimah, tadi pagi Delisa bangun shubuh-nya cepat
sekali.... Langsung kebangun. Kak Aisyah kalau tadi ada di
rumah, pasti kalah deh bangunnya sama Delisa.... T-e-t-a-pi,
tetapi Delisa bingung-"
Diam. Udara pagi bertiup semakin kencang. Beberapa
ekor capung dan kupu-kupu terbang di sekitar Delisa.
"Delisa, D-e-l-i-s-a lagi-lagi lupa bacaan shalatnya....
Benar-benar lupa. Delisa tidak tahu kenapa.
Padahal kemarin Delisa sudah hafal doa i f t i t a h____
Tadi pagi lupa lagi. Padahal kemarin Delisa juga sudah
hafal bacaan sujud. Tadi pagi lupa lagi. Delisa bingung.
Kenapa ya?"
Delisa menyeringai. Mengusap ujung hidungnya yang
tidak gatal. Menghela nafas. Diam lama sekali. Urusan ini
pelan-pelan mulai mengganggunya. Semuanya terasa ganjil.
Delisa kan bukan anak bodoh. Menarik nafasnya sekali lagi.
Memikirkan hal lain yang juga tidak kalah penting.
"Kak Fatimah, maafkan Delisa, Delisa juga belum tahu
Ummi ada di mana, Abi juga belum-" Delisa berkata pelan.
"Apakah kak Fatimah, kak Zahra, kak Aisyah tahu di
mana Ummi?" Delisa bertanya lemah. Menghela nafas.
Memainkan kurknya di atas gundukan tanah. Mengguratgurat
entahlah.
Diam lagi. Urusan ini juga amat mengganggu Delisa. Ia
memang tidak banyak bertanya pada Abi tentang Ummi.
Tetapi ia rindu sekali dengan Ummi. Ya Allah, Delisa rindu
sekali dengan Ummi. Delisa ingin bertemu. Delisa bukan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sekadar ingin mengaku soal cokelat itu. Delisa benar-benar
ingin memeluk Ummi. Bercerita banyak hal. Menarik-narik
baju dan kerudung Ummi. Delisa rindu melihat Ummi yang
sedang menjahit. Delisa bahkan rindu cubitan Ummi kalau
ia lagi-lagi bandel pulang main kesorean. Ya Allah, Delisa
rindu semuanya. Delisa rindu sekali....
Mata Delisa mulai basah. Ia menangis. Kurk-nya
bergetar. Tubuhnya berguncang pelan. Kerudung birunya
yang tersangkut di leher melambai pelan di tiup angin pagi.
Lama sekali Delisa menangis tanpa suara.
Delisa rindu menatap beningnya wajah Ummi.
Semua ini benar-benar membuatnya "dewasa" lebih
cepat. Membuatnya tumbuh lebih awal. Semua ini sungguh
terlalu dini baginya. Memaksanya untuk berusaha mengerti
dan memahami lebih cepat. **
Delisa tergugu lebih lama lagi. Ia seperti bisa melihat
gurat wajah Ummi, wajah kak Fatimah, kak Zahra dan kak
Aisyah di atas gundukan tanah. Ia bisa melihat mereka
tersenyum manis. Seandainya ada Ummi di sini.
Seandainya ada Ummi yang membantu menjelaskan.
Semua urusan akan terasa lebih ringan. Delisa mengusap
matanya. Membuang ingus dengan kerudungnya (tuh kan,
Delisa itu juga jorok; tapi bisanya cuma menegur orang
lain).
Ternyata bukan hanya Delisa yang menangis di
pemakaman tersebut. Saat Delisa membuang ingus, ia
mendengar suara isak tertahan lain di dekatnya. Delisa
mengangkat kepala. Mengusap matanya sekali lagi.
Menoleh ke sumber suara tangisan itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
** Tetapi Ya Allah, Delisa haru 6 tahun. Kanak-kanak
yang kesehariannya seharusnya lebih banyak diisi dengan
bermain. Bukan masa-masa untuk bertanya. Pertanyaan
yang entah kapan ia akan mampu menjawabnya. Jikapun
ada jawaban entah kapan ia akan mampu memahaminya.
Jikapun ia bisa menerimanya, entah kapan ia bisa
menerimanya.
Teuku Umam!
Ada Umam berdiri sepelemparan batu darinya. Sama
seperti Delisa. Umam sedang menangis sendiri di ujung
lapangan. Sepertinya Umam tidak menyadari di sana ada
Delisa. Terus saja terisak. Delisa setelah memandang
sejenak, berpikir beberapa saat, menimbang-nimbang,
akhirnya memutuskan melangkah mendekat.
Suara kurk Delisa terdengar oleh Umam. Dia menoleh.
Amat terkejut. Buru-buru menghentikan tangisannya.
Mengusap matanya. Mereka berdua bersitatap. Delisa
nyengir, sudah ketahuan ini Umam nangis, cuek melangkah
semakin dekat. Lantas berdiri di sebelah Umam.
Umam hanya diam. Mukanya mengeras. Dia tidak suka
Delisa tahu dia baru saja menangis. Apalagi kalau besokbesok
Delisa sampai cerita dengan teman-temannya.
Delisa juga diam. Sedikitpun tidak memikirkan apa yang
dikhawatirkan Umam. Hanya menyeringai datar. Seekor
capung hinggap di kurk Delisa. Delisa tertarik
memperhatikan. Capung itu berwarna cokelat.
Delisa ingat sesuatu. Mengeluarkan batang cokelat dari
saku celananya. Membuka bungkusnya. Umam melirik
memperhatikan. Dia masih terkejut dengan kehadiran
Delisa, dan tidak tahu harus melakukan apa, meskipun baru
saja berpikir untuk mengancam Delisa agar tidak bercerita
ke siapa-siapa. Tadi Umam kesiangan. Seharusnya dia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
datang lebih pagi. Umam sama seperti Delisa, rajin
berkunjung ke pemakaman massal ini. Ah, siapa saja di
Lhok Nga sama seperti mereka, mengadu di pemakaman
ini. Meski tidak se-rutin yang Delisa lakukan.
"Untuk Umam!" Delisa menyerahkan separuh
cokelatnya ke Umam. Umam tetap menatap tak bergerak.
Menyeringai.
"Ambillah!" Delisa balas menyeringai.
Bersitatap sejenak. Akhirnya pelan tangan Umam
mengambilnya. Cokelat itu besar, dan terlihat lezat sekali.
Umam mengatakan terima kasih dengan suara lemah.
Delisa mengangguk kecil.
Mereka berdua menggigit potongan cokelat tersebut
hampir bersamaan. Delisa nyengir. Cokelat hadiah kak
Sophi selalu lebih enak dibandingkan cokelat hadiah ustadz
Rahman. Apalagi dibandingkan cokelat hadiah kakakkakak
di pos barak penampungan. Tetapi di kapal perang
itu, semuanya memang terasa jauh lebih enak. Delisa tanpa
merasa bersalah tega membandingkan hadiah-hadiah itu.
Lupa kalau dulu Ummi pernah berkata: Jangan pernah lihat
hadiah dari bentuknya. Lihat dari niatnya. Insya Allah
hadiahnya terasa lebih indah....
Mereka diam menghabiskan cokelat tersebut. Matahari
mulai meninggi, meski udara tetap terasa menyenangkan.
Cahaya matahari terhalang oleh awan putih tipis yang
memenuhi langit-langit Lhok Nga. Kicau burung mulai
terdengar ramai. Terbang menyelisip di antara semaksemak.
Delisa memasukkan kertas pembungkus cokelat ke
saku celana, nanti akan ia buang kalau ketemu kotak
sampah.
Kembali menatap ke gundukan tanah di hadapan
Umam.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kenapa tidak ada nama di sana?" Delisa bertanya.
Umam menoleh, tak mengerti. Nama apa?
Delisa tidak menunggu jawaban. Langsung menyambar
sebilah ranting. Jongkok. Kemudian seperti ia menulis
nama kakak-kakaknya tadi, Delisa menulis nama-nama
kakak Umam yang dikubur di sana. Delisa tahu, Umam
senasib dengannya. Lima kakak Umam meninggal karena
bencana air bah itu. Kata Abi kelima-limanya dikubur di
sini. Hanya Ummi Umam yang tidak tahu di mana
sekarang, sama seperti Ummi Delisa. Maka Delisa
menggurat kelima kakak cowok Umam.
Kelima nama itu tergurat rapi.
Delisa bangkit berdiri. Tersenyum senang melihat
pekerjaannya. Umam menatapnya. Bergantian menatap
nama-nama yang tergurat di tanah. Dia akhirnya mengerti
maksud Delisa tadi. Kenapa tidak ada nama di sana? Raut
muka Umam tiba-tiba berubah sedikit lebih menyenangkan.
Menyeringai datar.
"T-e-r-i-m-a kasih-" Umam berkata pelan. Memaksakan
untuk tersenyum lebih lebar. Delisa hanya balas
menyeringai. Menepuk-nepuk lututnya yang kotor oleh
tanah.
"Umam sering kesini?" Delisa bertanya.
Umam mengangguk. "Kamu?"
Delisa nyengir. Mengangguk.
"Delisa setiap minggu pagi ke sini. Delisa harus banyak
bercerita ke kak Fatimah, kak Zahra, dan kak Aisyah-"
"B-e-r-c-e-r-i-t-a?"
"Ya.... Bercerita apa saja agar mereka tahu apa yang Abi
dan Delisa kerjakan sekarang...." Delisa sok-tahu sok-
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
paham menjelaskan. Kepalanya mengangguk-angguk lucu.
Mukanya yang serius terlihat menggemaskan.
Meskipun begitu Teuku Umam tidak menter-tawakan
seperti biasanya. Umam mencatat penjelasan Delisa dengan
baik. Bercerita? Bukankah itu menarik sekali? Kenapa dia
tidak melakukan hal yang sama seperti Delisa. Bercerita?
Mengaku ke kakak-kakaknya soal uang belanja Ummi
yang dia curi hari Sabtu sebelum kejadian itu. Yang
membuat mereka ber-enam akhirnya dimarahi semalaman.
Mengaku ke kakak-kakaknya soal kenakalan Umam selama
ini. Dia yang merobek buku kak Tiro. Sengaja memecahkan
tugas keramik kak Umar. Menggembosi ban motor kak
Ubai. Ya, dia bisa mengaku banyak hal di sini. Dan kakakkakaknya
pasti akan mendengar. Memaafkan.
Teuku Umam menghela nafas lega. Dia juga bisa berjanji
kepada kakak-kakaknya kalau dia akan menurut dengan
Ummi sekarang. Berjanji tidak akan melawan lagi. Berjanji
sungguh-sungguh kalau diberikan kesempatan bertemu
dengan Ummi, Umam tidak akan nakal lagi. Umam akan
jadi anak yang baik. Umam menelan ludahnya. Berikrar
singkat.
Delisa tidak memperhatikan Umam yang sedang sibuk
berpikir. Umam yang menyeringai senang atas ?de Delisa.
Delisa duduk lagi di gundukan tanah, sibuk menggurat
bingkai di nama-nama kakak Umam. Memberinya lukisan
lima tangkai bunga mawar.
"Kamu nanti sore main bola?" Umam bertanya.
Memecah keheningan. Delisa mengangkat kepalanya.
Menghentikan tangannya. Mengangguk.
"Aku boleh ikut?"
Delisa berseru senang. Berdiri.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Asyik.... Umam mau main bola lagi!"
Umam tersenyum lebih lebar. Mengangguk. Ah, ternyata
sederhana sekali pemecahan masalahnya selama ini. Dan
semuanya tiba-tiba terasa melegakan.
Sejenak mereka sudah serius membicarakan main bola.
Melupakan banyak kesedihan itu. Mengingat-ingat Om
Salam yang dulu suka ikut bermain dalam tim Delisa.
Teman-teman Om Salam yang juga sering ikut main.
Teuku Umam sama sekali lupa, bukankah dia selama ini
benci sekali berbicara dengan anak cewek. Bukankah dia
selama ini lebih suka menjahili mereka. Menarik-narik
kerudung mereka. Menyembunyikan tas mereka di kelas.
Atau melempari mereka dengan pasir saat bermain di
pantai, seperti yang sering dia lakukan kepada Delisa.
Ah, orang selalu berubah setelah berbagai kejadian.
Pembicaraan mereka baru terhenti ketika tiba-tiba Teuku
Dien (Abinya Umam) muncul ter-gopoh di ujung jalan
menuju pemakaman massal tersebut.
"UMAM!" Teuku Dien berteriak kencang. Delisa dan
Umam menoleh. "U-M-A-M!"
Susah sekali melukiskan bagaimana raut muka Teuku
Dien. Muka itu bercahaya, muka itu sembab, muka itu
tertawa, muka itu menangis. Entahlah! Ada seribu perasaan
yang bercampur dari paras muka Teuku Dien. Delisa
menatap tidak mengerti.
"Umam!" Teuku Dien langsung memeluk Umam.
Umam menggeliat bingung dalam pelukan Abinya. Dia
sebenarnya risih dipeluk Abi di depan Delisa. Kan malu!
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Umam, Um-mi sudah ketemu...." terbata Teuku Dien
berkata. Matanya basah lagi. Teuku Dien melihat Delisa.
Saking harunya dia juga memeluk Delisa.
"Delisa, Um-mi sudah ketemu...." Teuku Dien berbisik
lemah. Lemah tapi amat bertenaga. Suara yang bahagia.
"Um-mi.... Ummi s-i-a-p-a?" Delisa keburu memotong
sebelum Teuku Dien atau Umam berbicara. Ikut menggeliat
dalam pelukan Teuku Dien. Tiba-tiba jantung Delisa
berdetak lebih kencang. Ummi?
"Ummi.... Ummi.... Sudah.... Ketemu, Delisa!"
Teuku Dien hanya bisa menyebutkan kalimat patahpatah
itu. Hatinya masih buncah oleh perasaan senang.
Berusaha mengendalikan nafasnya.
Hati Delisa juga buncah oleh perasaan. Nafasnya
memburu kencang. Mata hijaunya membulat. Muka
menggemaskan itu berbinar-binar.
"Ummi? U-m-m-i D-e-l-i-s-a? Sudah ketemu?" Delisa
bertanya serak. Akhirnya ia berhasil melepaskan pelukan
Teuku Dien.
U-m-m-i-n-y-a U-m-a-m sudah ketemu, Delisa.... Sudah
ketemu!" Teuku Dien menyambung kalimatnya, setelah ia
menghela nafas panjang mengendalikan diri beberapa detik.
Menjelaskan.
Delisa yang tadi buncah oleh perasaan senang,
jantungnya berdebar oleh pengharapan, tetap tidak
menyerah begitu saja oleh informasi itu. Memegang lengan
baju Teuku Dien kencang-kencang.
"Ummi.... U-m-m-i-n-y-a D-e-l-i-s-a bagaimana?" Mata
itu bertanya sejuta harap. Mata itu bertanya sejuta asa.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Teuku Dien tiba-tiba terdiam. Gagu oleh kesadaran yang
datang tiba-tiba. Bukankah semua ini terasa kontras sekali?
Ya Allah, Teuku Dien terpana menatap mata hijau Delisa
yang memandangnya sejuta harapan. Seolah-olah
kegembiraan yang baru saja dibawanya itu juga membawa
kegembiraan lainnya. Seolah-olah kegembiraannya tadi
menjanjikan kegembiraan pula buat Delisa.
"Ummi Delisa juga ketemu, kan?" Delisa bertanya sekali
lagi. Suaranya mendadak mencicit setelah melihat Teuku
Dien hanya terdiam. Diamnya Teuku
Dien jelas-jelas bukan pertanda baik. Jantung Delisa
berdetak lebih kencang. Sinar mata itu bersiap meredup.
Paras muka itu bersiap menegang.
Teuku Dien menggeleng lemah. "H-a-n-y-a.... Hanya
Um-mi Umam yang ketemu, sayang!"
Dan Delisa kaku seketika.
Serunai kesedihan mulai erdengar. Denting kebencian
mulai dipukul. Dupa pembangkangan mulai menyala.
(Oo-dwkz-oO)
Bukankah sudah dikatakan sebelumnya. Kecemburuan
itu bagai api yang membakar semak kering. Cepat sekali
menyala. Melalap apa saja di sekitarnya. Dan itulah yang
terjadi sesaat setelah Teuku Dien dengan wajah berbinar
mengajak Umam bersegera pulang dari pemakaman massal
tersebut menemui Umminya.
Ummi Umam ternyata di rawat di Medan. Beberapa hari
setelah terseret gelombang tsunami, Ummi Umam
diselamatkan oleh kelompok sukarelawan dari Medan. Di
bawa ke rumah sakit Medan. Dirawat di sana. Lama sekali
baru ketahuan karena Ummi Umam trauma
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berkepanjangan. Tidak bisa bicara menjelaskan. Hanya
diam menatap kosong di atas ranjang rumah sakit.
Ya Allah, Delisa juga hanya diam menatap kosong gurat
nama kak Fatimah, kak Zahra, kak Aisyah. Hatinya tibatiba
berubah kelam sekali.
Sekelam gelapnya malam. Ya Allah, hati itu berubah
menjadi mengerikan sekali. Hati Delisa mulai mengukir
kebencian. Hati Delisa mulai menggurat tifa
pembangkangan. Delisa mencabut begitu saja semua
kebaikan dalam hatinya; lantas menanam tinggi-tinggi
pohon permusuhan. Ada sejuta guntur dan halilintar dalam
kelam hati Delisa. Ada awan hitam yang mengambang
menakutkan di sana.
Bukankah Delisa sudah sabar ya Allah. Sabar untuk
tidak bertanya kepada Abi. Bukankah Delisa sudah sabar ya
Allah. Sabar untuk melewati ini sama seperti hari-hari
sebelumnya. Delisa sudah mencoba melakukan semua
seperti yang dulu sering dikatakan ustadz Rahman: anak
yang baik, adalah anak yang bisa membantu Abi dan
Umminya di kala susah. Ingatlah, anak yang baik doanya
selalu terkabul.
Apa yang tidak Delisa lakukan coba? Delisa tidak pernah
bertanya soal kenapa kakinya harus pincang? Delisa tidak
pernah bertanya kenapa ia harus cacat? Delisa tidak pernah
mengeluh. Delisa tidak pernah berkeberatan. Delisa tidak
pernah merajuk. Sedikitpun tidak!
Delisa juga tidak pernah bertanya tentang Ummi kepada
Abi, karena Delisa tidak ingin membuat Abi bersedih.
Delisa ingin jadi anak yang baik. Delisa membantu banyak
Abi. Membersihkan rumah. Mencuci pakaian. Dengan
menjadi anak yang baik, Delisa ingin agar doanya terkabul.
Delisa ingin agar bertemu lagi dengan Ummi. Bahkan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Delisa sama sekali tidak berkeberatan memakan masakan
Abi.
Apa yang tidak dilakukan Delisa? Apa lagi?
Tetapi lihatlah yang Delisa terima? Apa coba? Kau
malah mendatangkan Ummi Umam. Tidak Ummi Delisa.
Bukankah Umam tidak cacat sepertinya? Umam tidak
pincang sepertinya. Bukankah Umam anak yang nakal
selama ini? Jahil kepada Tiur? Jahil kepada teman-teman
yang lain? Bukankah Umam tak pernah mau membagi
makanannya? Malah sering melempari Delisa dengan pasir?
Semua ini sama sekali tidak adil! Delisa benci! Delisa
benci semuanya. Kenapa Umam yang kau berikan
Umminya? Kenapa bukan Delisa?
BENCI. DELISA BENCI SEKALI!!!
Semua ini bohong. Kata-kata ustadz Rahman bohong!
Kata-kata Abi bohong! Kata-kata Ummi bohong! Ibu Guru
Nur bohong! SEMUANYA BOHONG! Delisa sudah
berusaha jadi anak yang baik. Tetapi apa yang Kau berikan.
Kenapa Umam yang dapat? Kenapa tidak Delisa?
BOHONG! BOHONG!! BOHONG!!!
Delisa tergugu oleh kesedihan. Delisa terlempar-kan
dalam lingkaran mengerikan itu. Ketika perasaan
mengkungkung akal sehat. Ketika akal bermufakat dengan
hati. Ketika kebencian mengambil alih semua kendali
bagian tubuh Delisa untuk membangkang. Pengkhianatan
dari pasukan hatinya.
Maka Delisa menginjak-injak begitu saja guratan nama
kak Fatimah, kak Zahra, dan kak Aisyah. Delisa
menginjak-injak tiga tangkai bunga mawar biru itu hingga
lebur. Delisa jongkong. Meninju-ninju gundukan tanah itu.
Kalap oleh luka yang tiba-tiba menganga di hatinya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Hati Delisa berubah kelam. Mutiara itu mengutuk
semuanya. Lihatlah, ya Allah, gadis kecil itu baru enam
tahun. Tidak mengerti tentang semua perasaan itu. Tidak
paham tentang semua keputus-anMu. Gadis kecil itu hanya
mengerti satu hal. Mengapa Ummi Umam kembali!
Sedangkan mmi-nya tidak! Mengapa? Dan pertanyaan itu
cukup sudah untuk meruntuhkan seluruh tembok kebaikan
Delisa. Berguguran. Membuat hatinya mendidih.
Delisa menyambar kurknya. Lantas berlari menangis
dari pemakaman massal. Menjauh dari tempat
menyebalkan itu. Ingin hilang begitu saja dari semua
kutukan ini. Ingin lenyap dari semua kendengkian hatinya.
Baru sepuluh langkah. Ya Allah, tubuhnya yang limbung
berdebam jatuh. Sempurna menghantam gundukan tanah
merah. Kurknya bahkan memukul kepala Delisa.
Delisa menangis semakin keras. Bangkit tertatih-tatih.
Kakinya sakit sekali. Juga lengan tangannya. Badan dan
rambut ikalnya kotor oleh tanah. Kepalanya bengkak oleh
hantaman kurk. Teramat sakit. Tetapi lebih sakit lagi
hatinya. Lebih kotor lagi hatinya.
Delisa tertatih sambil menangis meneruskan larinya. **
(Oo-dwkz-oO)
Ya Allah, di mana rasa adilMu? Itu pertanyaan ke
sepuluh hamba
(Oo-dwkz-oO)
17. Ajarka n k am i art i ikh las!
Dan urusan pembangkangan ini berkembang di-luar
kendali Delisa. Langit mengambil alih semuanya. Pulang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dari pemakaman massal itu Delisa jatuh sakit. Sakit
mendadak begitu saja. Awalnya hanya meriang, menjelang
sore badan Delisa terasa amat panas. Demam. Bengkak di
kepalanya membesar. Delisa terkapar tak berdaya di atas
ranjang. **
Abi panik. Tidak ada angin, tidak ada hujan,
bagaimanalah bungsunya tiba-tiba demam seperti
"Engkau langsung menghukumnya. Delisa langsung
''direndam'' dalam panasnya bara pengampunan. Entahlah!
Baik alau tidak bagi Delisa.
Sedangkan banyak sekali orang-orang jahat yang kau
tunda penghukumannya. Orang-orang jahat yang kau
biarkan terta wa-ia wa. Bahkan kau ''berikan'' jalan untuk
dengan mudah melanjutkan bejat perangai mereka. Tengik
prilaku mereka. Kau berikan jalan agar apa yang mereka
lakukan malah terlihat baik di mata dunia. Ukuran
kehidupan yang kami optakan memang keterlaluan sekali
ya AHah. Kami malu jika berjalan ke tempat-tempat umum
tanpa alas kaki. Padahal apa salahnya? Kami justeru tidak
malu jika berdusta, kami tidak malu setelah melakukan
maksiat.
Ukuran pemahaman yang kami buat memang
keterlaluan sekali ya A/lah. Kami takut tidak memiliki
harta, kami cemas bila esok tak ada harapan menambah
pundi-pundi, sementara teman-teman kami sudah
sedemikian menterengnya. Padahal apa salahnya? Kami
justeru tidak malu membenarkan hal-hal keliru. Berkata, ah!
Bukankah itu sudah demikian peraturannya. Lump-sum.
Setrap perjalanan diberikan ongkos sekian. Habis tidak
habis ya segitu! Kami lupa, kalau ''peraturan manusia''
bilang demikian, apa lantas peraturanMu bilang sama?
Kami lupa, ukuran yang benar adalah ukuranMu. Bukan
ukuran yang sengaja kami ciptakan untuk menelikungMu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bukan permufakatan yang kami lakukan untuk membuat
peraturan-peraturan tersebut.
ini. Rusuh sepanjang sore mengompres kepala Delisa.
Melakukan apa saja yang bisa dia lakukan. Kacau. Abi
lebih banyak bingungnya daripada berpikir benar.
Andaikata ada Ummi, tentu Ummi tahu harus melakukan
apa sekarang. Mengeluh.
"Bagaimana, sayang. Apakah Delisa sudah merasa
baikan?" Abi bertanya cemas. Meraih kain kompres di atas
kepala Delisa. Panas. Kain itu panas sekali. Gemetar
telapak tangan Abi menyentuh dahi bungsunya.
Lebih panas dari satu jam lalu. Delisa hanya diam.
Nafasnya tersengal. Sebenarnya Delisa bisa ?menjawab
pertanyaan Abi dengan anggukan atau gelengan seperti
yang sering ia lakukan kalau dulu sakit dan Ummi bertanya.
Tetapi Delisa sedang benci hatinya. Hanya diam membisu.
Mengunci rapat bibirnya yang mengelupas.
"Apa sebaiknya Abi memanggil dokter ya?" Abi bertanya
ke langit-langit ruangan sambil mencelupkan kain kompres
ke dalam baskom air dingin.
"Tetapi malam-malam begini-" Abi memeras kain
tersebut. Bertanya lagi dalam sepi.
"Mungkin dokter posko PMI masih jaga, mungkin dr
Peter masih ada-" Abi meletakkan kain dingin tersebut di
dahi panas Delisa.
Bertanya sendiri, menjawabnya sendiri.
Dan lima belas menit kemudian, akhirnya tergo-poh Abi
menuju tenda sukarelawan PMI. Delisa ia titipkan dengan
tetangga sebelah rumah. Panik! Abi amat panik. Delisa
mulai kejang-kejang. Mencera-cau tak sadarkan diri. Mata
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
hijau Delisa mulai mendelik tinggal putihnya saja. Sungguh
mencemaskan melihatnya.
Setengah jam kemudian, dr Peter bersama Ubai datang.
Delisa terbaring kaku di atas ranjang. Matanya masih
mendelik menatap langit-langit ruangan. Nafasnya semakin
tersengal. Detak jantungnya mengencang. Delisa tidak
menjawab saat ditanya kak Ubai. Apalagi oleh dr Peter.
Bukan karena Delisa tidak mau menjawab. Tetapi karena
kesadarannya menurun, hampir habis. Delisa setengah
pingsan. Tubuhnya panas sekali. Seperti dibakar tungku
penggosongan.
"Bagaimana ceritanya bisa demam seperti ini, USMAN?"
dr Peter memeriksa panik kondisi Delisa. Ini serius sekali.
Abi menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tidak tahu.
Benar-benar tidak tahu. Sementara Ubai menyeringai,
menatap cemas tubuh Delisa yang sekali lagi kejang-kejang.
Tubuh mungil itu menggelinjang. Bibirnya membiru. Ya
Allah—
"Kita harus membawanya ke rumah sakit, Usman!
SEGERA!!" dr Peter berkata amat tegas. Dan tanpa
menunggu jawaban Abi, langsung meneriaki Ubai agar
menggendong tubuh Delisa.
Level kepanikan meningkat tajam. Abi mengeluh
menggigit bibirnya. Ya Allah, apa yang terjadi pada
bungsunya. Ubai sudah melangkah cepat membawa tubuh
lemah Delisa menuju mobil yang diparkir di halaman, dr
Peter sigap meraih stir kemudi. Menghidupkan mesin jeep
tuanya. Abi buru-buru masuk.
Dan tanpa ba-bi-bu dr Peter melajukan mobilnya.
Ngebut di jalanan sepi Lhok Nga.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Delisa semakin kejang dalam pangkuan Ubai. Matanya
mendelik tinggal putihnya. Ubai serasa memeluk sebongkah
batu yang baru diambil dari bara api.
Mobil itu melesat menuju rumah sakit darurat Lhok
Nga. Delisa langsung dibawa ke unit gawat darurat.
Beruntung, rumah sakit Lhok Nga, meski kondisi bangunan
masih menyedihkan, peralatannya memadai sekali.
Bantuan dari kapal induk.
Rusuh beberapa perawat menyambut Delisa.
Menyiapkan ruang UGD secepat mungkin, dr Peter
mengambil alih urusan sepenuhnya. Abi dan Ubai terpaksa
hanya berdiri diam menunggu cemas di lorong rumah sakit.
Urusan ini amat mengkhawatirkan.
Abi berkali-kali mendesah menyebut. Istighfar. Ubai
berusaha memegang bahu Abi, berkata-kata kalimat
bijak.Menenangkan. Tetapi bagaimanalah akan bijak dan
menenangkan kalimat itu, jika yang mengatakannya ikutan
cemas. Ikutan menelan ludah teramat khawatir.
Satu jam berlalu tanpa kabar dari ruang UGD.
Satu jam yang panjang pula buat Abi. Satu jam yang
setara dengan puluhan desah tertahan, duduk-berdiriduduk-
berdiri lagi, mengusap wajah, dan berkali-kali
mengeluh panjang mengharap kebaikanMu.
"Kalau Kau baik saat itu kepada Delisa ya Allah, maka
tak ada sulitnya Engkau akan baik pula saat ini-" Abi
mendesahkan doa. **
(Oo-dwkz-oO)
Satu jam kemudian dr Peter keluar dari ruangan UGD.
Melangkah pelan, mendekati Abi dan Ubai yang terduduk
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kuyu di atas kursi panjang. Tersenyum memegang bahu Abi
yang tepekur diam. Abi mengangkat kepalanya.
"B-a-g-a-i-m-a-n-a?" entahlah erangan itu lebih terdengar
cemas atau apa. Abi gemetar memegang lengan dr Peter.
Bertanya dengan mata amat gentar.
"Puji Tuhan, panasnya sudah mereda, Demamnya sudah
turun, Usman! Tuhan memang selalu bersama anak-anak."
dr Peter menyeringai riang.
** Bagaimanalah jadinya kalau Delisa tidak
terselamatkan? Ya Allah, apakah hukuman untuk
pembangkangannya seberat itu? Bukankah banyak mahkluk
ciptaanMu yang sepanjang hidupnya tak pernah menurut
ayat-ayatMu, tidak pernah melakukan kebaikan-kebaikan,
tetapi Kau biarkan mereka hidup dalam semua kenikmatan?
Bukankah banyak seka/i hambaMu yang culas, durhaka,
dan zalim. Sepanjang hidupnya begitu. Tak pernah Kau
hukum. Dan ketika di penghujung hidupnya mereka sedetik
saja insyaf dan bertobat, seketika Kau maafkan dosa-dosa
mereka.
Ya Allah, bukankah Delisa sebaliknya. Di penghujung
semua kebaikannya, ia membangkang kepadaMu. Hanya
sekali ini saja. Dan Kau langsung menghukumnya.
Bagaimanalah kalau ia tidak terselamatkan lagi? Bagaimana
mungkin berguguran semua kebaikan itu. Bukankah
pembangkangan ini bisa diterima.
Ya Allah, kami bodoh'. Kami sering tidak mengerti apa
maksud takdirMu. Lantas apakah itu sebuah
pembangkangan jika kami berkata TIDAK'. Apakah salah
jika Delisa juga berkata TIDAK'. Kau-lah yang
menciptakan bongkah perasaan itu. Dan kami lemah untuk
memahami berbagai perasaan tersebut. Teramat lemah.
Bantulah kami'.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Abi jatuh terduduk. MemujiMu. Matanya basah. Abi
tadi takut sekali. Semua kenangan itu kembali saat dia
duduk berdiam di lorong sepi ini. Abi gentar sekali.
Sedikitpun tidak bisa membayangkan apa yang akan
dilakukannya jika Delisa juga pergi. Pergi setelah semua hal
menyakitkan ini. Bukankah semua kehilangan ini sudah
amat menyakitkan. Sungguh akan semakin menyakitkan
jika bungsunya juga pergi.
Abi lirih mengucap syukur. Ubai tersenyum tipis meraih
bahu Abi. Membantunya berdiri.
"Kondisi tubuhnya sudah terkendali, tetapi Delisa masih
pingsan. Kalau kau ingin, kau bisa melihatnya sekarang,
Usman." dr Peter menyilahkan Abi masuk ke dalam
ruangan UGD. Tanpa diminta dua kali, Abi beranjak
melangkah pelan, diikuti Ubai.
Gemetar mendekati ranjang Delisa.
Lihatlah! Bungsunya terbaring lemah di atas ranjang
rumah sakit. Rambut ikal pirangnya yang sudah panjang
rebah di dahi. Muka itu pucat. Tubuh itu seperti habis
berkeringat banyak. Tubuh itu seperti baru keluar dari
tungku panas. Diperas. Salah seorang perawat tadi
mengganti baju Delisa. Sekarang gadis bungsunya tergolek
tak berdaya. Tetapi dr Peter benar, Delisa sudah bernafas
normal kembali. Detak jantungnya pelan berirama.
Abi menelan ludah, berdiri di samping ranjang. Gemetar
tangannya menyentuh kening Delisa. Dingin. Suhu tubuh
Delisa sudah normal kembali. Bungsunya terlihat begitu
tenang dan takjim tertidur. Malaikat kecilnya tidur
nyenyak. Ubai akhirnya melepaskan senyum riang, dr Peter
entah menuliskan apa di atas kertas, menyerahkannya pada
perawat. Abi hanya membelai pipi bungsunya. Lama
mereka terdiam.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sibuk dengan berbagai pikiran.
(Oo-dwkz-oO)
Dan Delisa juga sedang "sibuk".
Delisa sibuk mengejar kupu-kupu di taman indah
tersebut. Berlari kesana-kemari. Kupu-kupu itu indah sekali.
Jutaan warnanya. Taman ini juga indah sekali. Jutaan
bunganya. Ada pelangi yang silang-menyilang di langitlangit.
Jutaan warnanya.
Delisa tertawa-tawa menyibak bebungaan. Kupu-kupu
itu lincah. Susah ditangkap. Padahal Delisa hanya ingin
melihat mereka dari jarak dekat saja. Nanti-nanti pasti
dilepaskan.
Delisa tiba di depan gerbang taman tersebut beberapa
saat yang lalu. Tiba begitu saja. Dan kali ini Delisa bisa
melangkah. Bisa bergerak. Delisa bisa masuk ke dalam
taman. Maka masuklah Delisa. Masuk dengan riang.
Langsung disambut oleh pemandangan berjuta warna ini.
Lama sekali Delisa mengejar kupu-kupu tersebut. Tak
satu pun yang berhasil ia tangkap. Delisa sambil tertawatawa
akhirnya jatuh terduduk. Lelah. Kupu-kupu itu jauh
lebih gesit darinya. Bagaimana mungkin? Kalau begitu tidak
akan ada anak lain yang mampu menangkapnya.
Delisa nyengir memikirkannya sambil duduk men-jeplak
di atas rumput hijau yang lembut. Rambut pirangnya ditiup
angin lembut. Segar sekali. Apalagi Delisa habis keringatan
ini. Terasa sejuk. Delisa melepas kerudung dari lehernya.
Menyeka keringat di dahi dan leher. Dengan kerudung itu.
Semua ini menyenangkan. Semua ini terasa berbeda.
Tempat ini indah sekali. Di manakah?
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ketika Delisa masih sibuk melepas lelahnya, sibuk
berpikir menatap sekitar. Sibuk menghirup bersihnya udara.
Ada yang menyentuh bahunya. Lembut. Delisa sontak
menoleh.
U-m-m-i!
Ya Allah, Ummi yang menyentuh bahunya.
Ummi duduk jongkok di belakang Delisa. Mata Ummi
bening menatap bercahaya. Muka teduh Ummi mengukir
sejuta rasa sayang, sejuta kerinduan, sejuta perasaan.
"U-M-M-I! UMMI!!" Delisa buncah oleh rasa gembira.
Delisa tersengal oleh rasa senang. Delisa bangkit berdiri.
Lantas loncat keras sekali ke dalam pelukan Ummi. Saking
kerasnya loncatan itu, Ummi jadi jatuh terjengkang.
Ummi dan Delisa berpelukan sambil jatuh ke tanah.
Bergulingan di atas permadani rumput hijau. Ummi
tertawa.
Delisa lebih keras lagi tawanya. Menyeringai. Bangkit
dari atas tubuh Ummi. Membantu Ummi duduk kembali.
Ya Allah, Ummi! Ummi menemuinya.
Lama Delisa menatap wajah Ummi. Terdiam.
Seolah-olah tak percaya. Ummi juga ikutan memandang
wajah bungsunya.
Jemari tangan kanan Delisa terjulur. Lama Delisa
menyentuh pipi Ummi dengan jemarinya. Ummi yang
selalu ia rindukan. Ummi yang selalu terkenang. Sekarang
bertemu di sini. Lihatlah! Delisa bisa membelai lembut pipi
Ummi seperti dulu. Delisa bisa melakukannya. Delisa bisa
memandang wajah teduh Ummi. Delisa bisa menatap
beningnya mata Ummi. Semua ini sungguh nyata. Dan
demi kesadaran itu, Delisa tiba-tiba menangis. Tersedan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ada apa, sayang?" Ummi bertanya lembut, memegang
lengan Delisa yang terhenti menyentuh pipinya.
"Ummi.... U-m-m-i, Delisa rindu Ummi.... Delisa
rinduuuu sekali.... U-m-m-i, Delisa cinta Ummi karena
Allah!" Delisa berkata lemah. Delisa menguntai kata di
tengah sedu-sedannya.
Ummi tersenyum amat indah. Lantas sekali lagi
merengkuh Delisa erat-erat dalam pelukannya. Sungguh ya
Allah, kalimat bungsunya kali ini tidak dusta. Sungguh
kalimat ini teramat indah. Kalimat yang ihklas tanpa
pengharapan. Maka terimalah.... Gugurkanlah semuanya....
Gugurkan dosa sebatang cokelat itu! **
Sulit terbaca
** Mdldikdl AUl-sang pencdldl kebuiukdn, "leinbukd
buku idksdsdnyd. Me"ge|ud¦ kdn penghdpus 'dksdsdnyd.
Buluh Oud tetas hdii untuk "icnghdpus Oasd •lu. Dud belas
i*d ¦ I ld"9>l, seldid Oud belas <>bu Id h u« bu ini.
Mdkd be i p«<( Id i*, wdhdi pdid pembudi <ndks>dl. Be
¦ pikulan, wdhdi pd<d pembudi zdl><n yd "9 lingd" ld»gd"
"ie«gdinb«l hdk-hdk aid "g Id in.
Ydng dengdn 'o «g be i *d Id i Ah, sepd"jd"g kdini be ¦
bud I bdik, bekeijd bdik, sungguh-sungguh, "idkd udng saga
k <ndsuk keijd dkdn ieid>npuni! Aid u dengdn
sendng beikdldi Ah, sepdnjdng kd<ni ke<nbdli ke «!••
nidS>ng - RidS.ng, be ¦ bud I bdik, 3u ngg u ng-Su ngg u h,
"ldkd seniud Z>nd Idngdn, indld, ddn hdli 'n! dkdn
leidinpuni. Ydng ffiuadh sekdli 'niencuii* Hdklu keijd.
'Mencuii* hdk aidng Id'n. Aid u ddn d Id u Id in nyd.
Bdgd inid nd Id h kdfan dkdn beihdidp dffipundn,
seadngkdn Oasd sebdldng cakeldl Delsd "ie "1 bu lu h kd n
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dud beldS libu Idhun untuk "ie ng hd pusnyd. Sungguh
seniud
utusan in i se hd i usnyd membudi kild mdlu. Mdlu ddn
beipikii! Mdlu! Beipikii!
(Oo-dwkz-oO)
"Ummi, Ummi kemana saja selama ini?" Delisa
mensejajari langkah Ummi. Mereka berdua sekarang
berjalan bersebelahan mengelilingi taman sejuta warna
tersebut.
"Delisa rindu berat Ummi, ya?" Ummi mengelus rambut
pirang Delisa. Tersenyum menggoda. Delisa menganggukangguk
mantap menggemaskan, kan tadi sudah Delisa
bilang. Mata hijaunya berkerjap-kerjap.
"Delisa rinduuuuuuu sekali!" Delisa nyengir, berkata
riang dan keras sekali lagi. Memasang wajah sok-serius.
Ummi tertawa kecil.
"Ummi, Ummi apakah kak Fatimah, kak Zahra kak
Aisyah juga ada di sini?"
Ummi mengangguk riang.
"T-i-u-r.... Tiur juga ada di sini, Mi?"
"Ya.... Kakak-kakaknya Tiur, Ummi Tiur...."
"Wah ramai sekali ya, Mi." Delisa manyun berpikir
tentang sesuatu. Ummi hanya tersenyum. Terus melangkah.
Sekarang mereka melewati sebuah jembatan kayu.
Jembatan kecil yang melewati sebuah sungai.
Delisa melongokkan kepala melihat sungai tersebut.
"Ya ampun.... Itu airnya kenapa putih seperti susu, Mi?"
Delisa berseru norak, sambil berpegangan tubir jembatan.
"Itu memang susu, sayang!" Ummi menjelaskan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sambil untuk kesekian kalinya mengusap rambut pirang
Delisa.
Delisa terpana menatapnya. Nyengir semakin norak.
Delisa serasa ingin loncat saja dari sini. Akan
menyenangkan sekali mandi sekaligus minum dalam inang
air susu ini, Delisa menyimpul senyum bersiap loncat.
Tetapi urung karena Ummi memegang bahunya. Menunjuk
arah kejauhan.
Delisa menatap jauh ke ujung muasal sungai. Mata
hijaunya membulat. Di hulu, mungkin dua kali lemparan
batu Abi jaraknya, di sisi sungai susu tersebut, seseorang
melambaikan tangan. Delisa terkesiap.
"Mi.... Ummi, itu kan Ibu Guru Nur!"
Ummi mengangguk. Membalas melambai. Delisa
berseru senang. Ibu Guru Nur! Ibu Guru Nur membalas
lambaian Ummi. Delisa ikut-ikutan melambai ke arahnya.
"IBU GURU NUR!" Delisa kemudian malah berteriak
kencang-kencang. Mengagetkan burung-burung, kupu-kupu
yang ada di taman itu. Berter-bangan. Ah, Delisa kan tidak
tahu. Di sini kalian bisa mendengar suara orang meski
hanya berbisik. Di sini kalian bisa berpergian jarak jauh
walau hanya sekejap. Tidak ada jarak. Tidak ada waktu.
Tidak ada bentuk. Ummi tertawa kecil. Melanjutkan
langkahnya. Delisa buru-buru ngintil mengikuti.
"Ummi, Ummi.... Delisa ingin tinggal di sini!" Delisa
mengatakan kalimat itu riang sekali. Mukanya bercahaya.
Tangannya menggenggam baju Ummi kencang-kencang.
Dan entah mengapa, Ummi mendadak menghentikan
langkahnya. Diam. Menatap wajah Delisa dengan tatapan
amat serius. Kalimat barusan Delisa membuat gurat muka
Ummi berubah sekali.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ummi menggeleng tegas.
Delisa mengeluh dalam. Gelengan itu.
"Delisa mau tinggal di sini...." Delisa ngotot sekali lagi.
Lupa, bukankah selama ini kalau Ummi sudah menggeleng,
maka ia tidak akan pernah bisa tawar-menawar lagi.
"TIDAK! Delisa tidak bisa tinggal di sini!"
"TAPI DELISA INGIN! DELISA I-N-G-I-NM" Delisa
bandel mencengkeram baju Ummi.
"Delisa harus kembali, sayang, Delisa harus
menyelesaikannya!" Ummi tersenyum tipis menyentuh
bahunya. Sentuhan itu sugestif sekali. Membunuh semua
kengototan di hati Delisa. Seketika.
"Menyelesaikan apa?" Delisa sekarang terbata bingung.
"Delisa harus menyelesaikan hafalan bacaan shalat itu,
sayang. Delisa harus menyelesaikannya!"
Dan kalimat itu menutup pertemuan tersebut. Begitu
saja. Mata Delisa tiba-tiba silau. Perih. Delisa seketika
menutup matanya.
(Oo-dwkz-oO)
Lampu ruangan UGD menyilaukan mata Delisa. Lemah
Delisa mulai siuman. Tangannya juga lemah bergerak
menutupi matanya. Perih. Sekarang sudah pagi di Lhok
Nga. Itu berarti semalaman Delisa tidak sadarkan diri di
ruang UGD rumah sakit. "Delisa-"
Itu bukan suara Ummi. Itu suara Abi. Delisa membuka
matanya. Mulai terbiasa dengan cahaya lampu. Abi berdiri
di sebelah ranjang, bersama kak Ubai. Wajah Abi amat
kusut. Wajah kak Ubai juga kusut.
"D-i-m-a-n-a?" Delisa lemah bertanya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Delisa ada di rumah sakit-" Abi menyentuh jemari
Delisa.
Pelan Delisa bisa mengingat apa yang terjadi padanya.
Rumah sakit? Ah-ya ia tiba-tiba merasa tidak enak selepas
pulang dari pemakaman massal itu. Panas. Badannya terasa
panas sekali waktu itu. Abi kemudian repot mengompres
dahinya. Panas sekali. Hanya itu yang Delisa bisa ingat
kemudian. Sisanya terlupakan.
Kak Ubai mengambilkan segelas air buat Delisa.
Membantu meninumkannya. Delisa menyeringai saat air
itu membasahi kerongkongannya. Terasa menyenangkan,
dr Peter masuk dengan seragam putih. Tersenyum senang
melihat Delisa yang sudah siuman. Memeriksa tubuh
Delisa. Mengangguk-angguk. Bengkak di kepala Delisa juga
sudah menipis.
"Sudah sembuh, kemarin hanya demam biasa anak-anak.
Tetapi harus kuakui, panasnya memang keterlaluan sekali,
Usman. Kalau sudah lewat masa kritisnya semalaman,
Delisa sudah bisa dikatakan sembuh, meski beberapa hari
ini harus banyak istirahat." dr Peter menjelaskan. Abi
mengangguk mendengarkan.
Siang itu Delisa dipindahkan ke ruang rawat biasa. Abi
menemaninya sepanjang hari. Menyuapi Delisa makan.
Menceritakan potongan kejadian malam-malam saat Delisa
dibawa ke rumah sakit. Menghiburnya.
Kak Ubai sudah kembali ke tenda PMI tadi pagi. Delisa
masih banyak berdiam diri. Tidak, kebencian di hatinya
sudah jauh berkurang. Kebencian itu sudah dipanggang
oleh bara pengampunan. Bahkan Engkau menukarnya
dengan mimpi indah tersebut. Meskipun Delisa lupa kalau
ia baru saja bersua dengan Ummi dalam mimpinya. Karena
semua mimpi-mimpi itu selama ini langsung terhapus dari
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
memorinya. Mimpi itu seperti obat yang berlalu membasuh
hati Delisa. Masuk kemudian keluar lagi. Tidak
menyisakan apapun, selain ketenangan.
Delisa tentu saja masih ingat kejadian di pemakaman
massal kemarin. Wajah Umam yang amat senang saat tahu
Umminya kembali. Delisa juga ingat tabiatnya kemarin, Ia
yang malah sebaliknya amat benci saat tahu ternyata hanya
Ummi Umam yang ditemukan. Kebencian yang sekarang
Delisa malu mengingatnya. Bagaimana mungkin ia
menyimpan perasaan dengki seperti itu kepada Umam? Ah,
sekarang perasaan itu benar-benar sudah meleleh.
Bukankah ia seharusnya ikut senang. Ikut bergembira.
Umam kan temannya juga. Umminya Umam berarti
Umminya juga.
Delisa menghela nafas panjang. Ia semakin rindu Ummi.
Rindu ingin bertemu. Delisa rindu—
Ibu Guru Ani dan anak-anak sekolah tenda darurat
datang menjenguk. Ruangan itu jadi ramai. Semua hadir
kecuali Umam. "Umam sedang ke Medan, Delisa!" Ibu
Guru Ani menjelaskan singkat tanpa diminta. Hati-hati
untuk tidak menyebut soal Ummi-nya Umam. Ke anakanak
lain, yang Umminya juga belum ditemukan, Ibu Guru
Ani hanya menjelaskan seperti itu kalau ada yang bertanya.
Penjelasan itu sensitif sekali, kan? Bukan hanya untuk
Delisa.
Tetapi Delisa sudah tahu kenapa Umam ke Medan. Dan
ia tidak ingin bertanya lebih lanjut. Ah, sekali lagi,
bukankah Delisa harusnya senang dengan kabar itu. Ummi
Umam kan baik sekali kepadanya. Sering mengirimi Ummi
masakan rendang. Bahkan sudah menganggap Delisa anak
sendiri, karena anak-anaknya cowok semua. Delisa sering
diajak main lama sekali di rumah Umam (meski terkadang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Umam suka mengusir Delisa kalau Delisa masuk ke
kamarnya).
Koh Acan datang lebih sore lagi. Membawa martabak
Aceh. Sayang martabak itu langsung di sita oleh perawat
rumah sakit. Makanan sejenis itu belum boleh di makan
oleh Delisa. "Haiya, tapi Delisa bisa kan icip-icip dikit?"
Koh Acan ngotot kepada suster yang mengambil bungkusan
martabaknya, orang sudah susah-susah ini bawanya. Abi
hanya menyeringai dari kursinya. Delisa tertawa kecil.
Beberapa kakak-kakak sukarelawan lainnya juga datang
berkunjung ke kamar Delisa. Delisa senang sekali. Senang
mereka semua membawa hadiah.
Makanan. Buku-buku. Kakak-kakak yang di pos depan
barak penampungan itu malah datang dengan dua batang
cokelat. Dan Delisa buru-buru menyembunyikannya. Takut
di sita oleh perawat galak itu.
Bukankah sudah dikatakan sebelumnya, Delisa memang
ngetop di Lhok Nga. Kebiasaannya berkeliling dari satu
tenda ke tenda lain membuatnya dikenal. Apalagi melihat
tampangnya yang amat berbeda. Semua orang seperti
berkepentingan untuk menjenguknya. "Kabar sakitnya
Delisa menjadi //headline// kota Lhok Nga, Usman." itu
becandaan Wak Burhan. Delisa nyengir tidak mengerti apa
maksudnya.
Maka sepanjang hari hingga menjelang isya, Delisa jauh
lebih sehat. Semua kunjungan ini menyenangkan. Membuat
kelam di hatinya berguguran satu persatu. Mutiara itu
kembali terbasuh oleh air. Kembali cemerlang. Delisa
malah membenci gurat pembangkangannya kemarin.
Bingung kenapa ia begitu tega menyumpahi semunya.
Menginjak-injak guratan nama kak Fatimah, kak Zahra dan
kak Aisyah. Menginjak-injak tiga tangkai bunga mawar
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
birunya (yang padahal itulah bunga terakhir yang tersisa
dari pohonnya).
Delisa tidak mengerti kenapa berbagai "kutukan" itu
harus terucap dari bibirnya? **
?? Ah, bahkan nabi-nabi dan orang-orang terbaik
piUhanMu pan sering bertanya. Menuntut penjelasan.
Meminta pemahaman. Masalahnya mereka orang-orang
yang rstigamah. Orang-orang yang mampu membersihkan
hati dari bercak-bercak kemunafikan.
Sedangkan hamba ya AHah? rtamba jauh dari memadai
untuk berhak bertanya padaMu. Tetapi terimalah berbagai
pertanyaan, pengaduan, dan keluh-kesah ini. Ampunkan
jika terlalu dan tak pantas. Dan semoga dengan itu hamba
bisa berkesempatan mendapatkan remah-remah penjelasan.
Dan semoga dengan itu hamba bisa ikut merasakan sisa-sisa
pemahaman.
(Oo-dwkz-oO)
Selepas isya, kak Ubai datang lagi. Abi pulang sebentar
untuk mengambil pakaian ganti dan membenahi rumah
yang sudah ditinggal 24 jam. Abi menitipkan Delisa kepada
kak Ubai.
Kak Ubai tersenyum mengangguk mengantar Abi hingga
lorong rumah sakit, masuk kembali sambil terus menenteng
kameranya. Dan sejurus kemudian, kak Ubai lebih sibuk
memoto-moto Delisa yang terbaring lemah. "Biar Delisa
ada kenang-kenangan.... Kan tampang Delisa lucu sekali
kalau lagi sakit ini!" Kak Ubai hanya nyengir lebar saat
Delisa protes. Sakit-sakit gini malah dipotret. Pas sehatwalafiat
kak Ubai malah sibuk moto dedaunan. Meskipun
demikian, Delisa tetap menyeringai (maksudnya pasang
wajah action; sayangnya lebih mirip menyeringai).
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Puas memoto Delisa, Kak Ubai sambil nyengir lebar
menyeret kursi mendekati ranjang Delisa. Lantas
mengeluarkan selembar kertas dari balik rompinya.
"Ada surat buat Delisa-"
Surat? Mata Delisa langsung membesar. Tetapi kok tidak
ada amplopnya? Hanya selembar kertas? Kak Ubai
menjelaskan, surat itu datang lewat internet. Namanya
email. Mengirimkannya lewat komputer. Sama seperti
orang menelepon. Surat ini dikirimkan lewat kabel-kabel.
Satelit. Sampai seketika saat yang mengirimkannya
menekan tombol
//send//. Lantas orang yang menerimanya bisa mensprinter-
nya seperti foto-foto itu.
Kak Ubai menghela nafas panjang menjelaskan. Lima
belas menit. Bukan! Bukan karena Delisa susah mengerti.
Pertanyaan Delisa yang uniklah yang membuat urusan
jelas-menjelaskan ini menjadi /Aibet//.
"Eh, kalau begitu asyik dong.... Delisa bisa kirim
makanan seketika. Misalnya kirim martabak ke Inggris....
Lewat eternet-" Kak Ubai nyengir memutus penjelasan.
Buru-buru kembali ke topik permasalahan. Surat yang
sedang dipegangnya.
"Dari siapa?" Delisa bertanya. Pertanyaan normal.
Ubai tersenyum. "Dari Sophia!"
"K-a-k C-o-f-i?" Delisa bertanya riang. Ubai
mengangguk.
"Eh, kenapa kak Cofi titip-titip surat lewat kak Ahar?"
Delisa menghentikan keriangannya. Bertanya serius sekali.
Ubai melipat dahinya tidak mengerti.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kak Ubai pacaran ya sama kak Cofi?" Delisa manyun,
ringan sekali mengatakan itu. Kemudian tertawa-tawa kecil
atas ide yang baru saja dipikirkannya. Hanya becandaan
kecil standar Delisa.
Tetapi tidak bagi Ubai. Mukanya langsung memerah.
Lipatan dahinya musnah, berganti semu tersipu. Tiga bulan
terakhir, dia memang pernah bertemu dengan Sophi.
Sebenarnya hanya dua kali di Lhok Nga. Saat Sophi datang
menjenguk Delisa, dan saat Sophi berpamitan. Meski dua
kali, progress pertemuan itu cepat sekali. Ah sudahlah,
urusan ini kan urusan Delisa. Bukan cerita tentang Ubai.
"Eh.... Delisa jangan ngaco, deh!" kak Ubai buru-buru
menatap tajam Delisa yang duduk berbaring di atas bantalbantal.
Delisa yang terus-terusan nyengir malah semakin
manyun menggodanya.
Setelah beberapa saat membahas urusan "tak-penting"
itu, menjelaskan (yang sayangnya malah membuat Delisa
semakin banyak nyeletuk), kak Ubai akhirnya membacakan
surat itu.
Kak Cofi bertanya apa kabar. Delisa mengangguk, kabar
baik. Kak Cofi bertanya bagaimana sekolahnya. Delisa
bilang nilainya bagus-bagus. Main bolanya, tetap jadi kiper.
Surat itu panjaaang sekali.
Kak Cofi bahkan titip salam dari //mam// & //dad//
kak Cofi dari Virginia. Bilang mereka akan senang sekali
menjadi Ummi dan Abi buat Delisa. Bilang mereka ingin
sekali menyempatkan datang berkunjung ke Lhok Nga.
Mata Delisa langsung berbinar-binar. Itu berarti cokelat
yang banyak!
Dan yang lebih penting lagi, surat kak Cofi menyuruh
Delisa belajar menggunakan komputer. Belajar
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menggunakan eternet. Agar Delisa bisa berhubungan
dengan kak Cofi—//ceting//; ah Delisa lupa namanya.
Delisa mengangguk-angguk senang. Ia akan belajar. Kan di
dalam suratnya, kak Cofi menyuruh kak Ubai untuk
mengajarinya. Nanti setelah ia pulang dari rumah sakit ini
Delisa akan sering main ke posko kak Ubai.
Selesai. Surat itu selesai dibaca kak Ubai.
Meski panjang, hanya butuh sepuluh menit untuk
membacanya. Yang lama setengah jam berikutnya
dihabiskan oleh Delisa yang sibuk mendaftar isi surat
balasannya. Kak Cofi kan menyuruh kak Ubai untuk
membuatkan balasannya. Jadi Delisa mulai mendaftar apa
saja yang ingin diceritakannya. Kak Ubai menyeringai tipis.
Diam mendengarkan Delisa yang berbicara banyak.
Mendaftar kabar dan ceritanya.
Lima menit kemudian. Tanpa disadari Delisa, ia
memulai pembicaraan super-penting itu. Ia mulai
memasuki wilayah penjelasan yang selama ini ia cari.
Semua keriangan ini tanpa disadarinya membawa Delisa ke
persoalan yang selama ini disembunyikannya.
Jawaban atas pertanyaannya!
Jawaban atas urusan hafalan bacaan shalatnya. Yang
sebenarnya sederhana, tetapi terkadang karena
kesederhanaannya itulah banyak orang yang alpa.
"Bilang.... Eh.... Apalagi ya? Ah-iya, kak Ubai bilang ke
kak Cofi, Delisa belum hafal juga bacaan shalatnya....
Susah sekali... Su-" Kalimat Delisa terputus. Keceriaannya
hilang seketika. Hei! Ia tak sengaja mengungkapkan gumpal
permasalahan tersebut.
Kak Ubai yang tidak menyadari kalau permasalahan itu
serius bagi Delisa masih mengangguk-angguk saja.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Menunggu kelanjutan ucapan Delisa. Mengabaikan
ekspresi kelu Delisa di hadapannya.
Tetapi Delisa masih terdiam. Ya Allah, bukankah
sudah tiga bulan lebih ia berusaha untuk menghafal
kembali bacaan shalatnya. Tiga bulan lamanya! Dan
sedikitpun ia tidak mengalami kemajuan. Susaaaaah sekali.
Bacaan shalat itu menolaknya mentah-mentah.
Melemparkan semua yang telah ia ?afal tanpa ampun keluar
lagi dari memori otaknya.
Delisa diam semakin kelu. Berpikir. Sekarang masalah
ini benar-benar mengganggunya. Delisa harus bertanya. Ia
harus menemukan jawabannya. Bertanya—
"K-a-k A-z-h-a-r...." Delisa menelan ludahnya. Baiklah,
ia akan bertanya dengan kak Ubai. Tetapi kenapa pula
susah sekali untuk mengeluarkan pertanyaan ini.
Kak Ubai yang bahkan sampai pura-pura terkantuk
menunggu Delisa melanjutkan daftar pesanannya untuk
surat balasan ke Shopia menoleh. Tersenyum. Ya, ada apa?
"Kenapa susaaaah sekali?" Delisa bertanya datar.
Memasang raut muka sebiasa mungkin. Kak Ubai malah
menjadi "tidak biasa". Pertanyaan Delisa aneh. Sejak kapan
kalimat Delisa menggantung seperti ini.
"Susah apanya, Delisa?"
Delisa diam. Aduh, kan Delisa tidak mau kak Ubai tahu
semuanya.
"Kenapa Delisa sekarang susah sekali mengerjakan
seuatu!" Delisa nyengir senang dengan idenya. Sesuatu. Ia
kan tidak mesti menyebutkan hafalan bacaan shalat kan.
"Hm.... Memangnya Delisa lagi susah mengerjakan
apa?" kak Ubai bertanya santai. Menyelidik.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ada deh.... Pokoknya Delisa susaaah sekali
melakukannya!" Ah, kak Ubai kadang sama dengan kak
Aisyah nggak sensitif. Pokoknya jawab saja napa.
Beruntung sebelum Delisa semakin manyun, kak Ubai
menjawab pertanyaan itu dengan serius.
"Orang-orang yang kesulitan melakukan kebaikan itu,
mungkin karena hatinya Delisa.... Hatinya tidak ihklas!
Hatinya jauh dari ketulusan...."
"Tidak ihklas? Tidak ihklas bagaimana maksud kak
Ubai!" Delisa menelan ludahnya.
"Ya, misalnya kalau orang tersebut merasa terpaksa
melakukan sesuatu itu. Misalnya seperti Delisa yang
terpaksa disuruh Abi membersihkan rumah, atau apalah!"
"Nggak.... Delisa nggak pernah ngerasa terpaksa, kok!"
Delisa kencang menggelengkan kepalanya. Terpaksa
menghafal bacaan shalat?
"Kan tadi misal, sayang.... Atau bisa juga misalnya
seperti mengharap hadiah.... Mengharap imbalan... Orang
itu melakukannya bukan karena sesuatu yang lebih hakiki,
hmm maksud kak Ubai bukan karena sesuatu yang lebih
mulia. Bukan karena Allah. Orang itu tidak ihklas. Tidak
tulus. Hanya berharap hadiah, hadiah, dan hadiah! Dan
Allah menutup pintu-pintu kebaikan dari orang-orang
seperti itu."
Delisa tercenung seketika. Terdiam membatu.
Sungguh Delisa tidak mengerti apa maksud penjelasan
kak Ubai. Bukankah Delisa sudah ihklas menghafal bacaan
shalatnya. Tidak ada paksaan sama sekali. Delisa juga
sudah tulus menghafal bacaan shalat itu. Kan sama sekali
tidak ada hadiah yang dijanjikan? Tidak ada? Kecuali janji
sepeda dari Abi. Tetapi itu kan baru Abi bilang setelah ia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berhasil menghafalnya dulu. Janji hadiah sepeda itu baru
dikatakan Abi setelah ia banyak menghafal dulu.
Lantas di mana masalahnya? Delisa mengeluh kelu. **
(Oo-dwkz-oO)
** Urusan kalung itu benar-benar terlupakan. Terhapus
dari kepala Delisa hingga beberapa jam kemudian.
Terhapus dari memorinya hingga beberapa saat kemudian.
Terhapus hingga ketika Engkau akhirnya berbaik hati
mengirimkan penjelasan lewat cara yang paling disukai
Delisa. Ya Allah, apakah semua hambaMu pernah
mendapatkan kesempatan seperti itu? Apakah semua
hambaMu berhak atas sebuah penjelasan? Penjelasan yang
Kau kirimkan langsung dari aras y Mu. Bukan penjelasan
lewat buku-buku. Bukan penjelasan lewat orang-orang
/ainnya. Tsetapi penjelasan yang tiba di hati secara
langsung. Tercerna begitu saja, kemudian mengalir bersama
merahnya darah kami. Penjelasan tentang semua hidup dan
kehidupan ini.... Penjelasan atas semua pertanyaanpertanyaan
kami....
(Oo-dwkz-oO)
18. Ajarka n k am i art i memaham i!
Malam datang menjelang. Kak Ubai sudah lama pulang.
Abi datang menggantikannya berjaga. Dari rumah sakit ini
suara debur ombak tidak terdengar. Maka malam benarbenar
sempurna sepi. Lhok Nga jatuh lelap dalam mimpi.
Abi juga sudah lama tertidur. Di atas kursi dengan kepala di
atas ranjang, tergolek lemah di sebelah Delisa. Delisa juga
terlelap.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dua-pertiga malam. Waktu yang mulia. Waktu yang
dijanjikan dalam ayat-ayatMu. Dan Delisa sekali lagi
berkesempatan mendapatkan penjelasan dari langit.
Penjelasan tentang urusan hafalan bacaan shalatnya.
Penjelasan itu datang lewat mimpi. Mimpi terakhirnya
dalam semua urusan ini. Mimpi yang kali ini Delisa
diijinkan untuk mengingatnya. Mimpi yang sebenarnya
akan ia ingat selalu.
(Oo-dwkz-oO)
Delisa sibuk mengejar kupu-kupu di taman indah
tersebut. Berlari kesana-kemari. Kupu-kupu itu indah sekali.
Jutaan warnanya. Taman ini juga indah sekali. Jutaan
bunganya. Ada pelangi yang silang-menyilang di langitlangit.
Jutaan warnanya.
Delisa tertawa-tawa menyibak bebungaan. Kupu-kupu
itu lincah. Susah ditangkap. Padahal Delisa hanya ingin
melihat mereka dari jarak dekat saja. Nanti-nanti pasti
dilepaskan.
Delisa tiba di depan gerbang taman tersebut beberapa
saat yang lalu. Tiba begitu saja. Dan kali ini Delisa bisa
melangkah. Bisa bergerak. Delisa bisa masuk ke dalam
taman. Maka masuklah Delisa. Masuk dengan riang.
Langsung disambut oleh pemandangan berjuta warna ini.
Lama sekali Delisa mengejar kupu-kupu tersebut. Tak
satu pun yang berhasil ia tangkap. Delisa sambil tertawatawa
akhirnya jatuh terduduk. Lelah. Kupu-kupu itu jauh
lebih gesit darinya. Bagaimana mungkin? Kalau begitu tidak
akan ada anak lain yang mampu menangkapnya.
Delisa nyengir memikirkannya sambil duduk men-jeplak
di atas rumput hijau yang lembut. Rambut pirangnya ditiup
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
angin lembut. Segar sekali. Apalagi Delisa habis keringatan
ini. Terasa sejuk. Delisa melepas kerudung dari lehernya.
Menyeka keringat di dahi dan leher. Dengan kerudung itu.
Semua ini menyenangkan. Semua ini terasa berbeda.
Tempat ini indah sekali. Di manakah?
Ketika Delisa masih sibuk melepas lelahnya, sibuk
berpikir menatap sekitar. Sibuk menghirup bersihnya udara.
Ada yang menyentuh bahunya. Lembut. Delisa sontak
menoleh. U-m-m-i!
Ya Allah, Ummi yang menyentuh bahunya.
Ummi duduk jongkok di belakang Delisa. Mata Ummi
bening menatap bercahaya. Muka teduh Ummi mengukir
sejuta rasa sayang, sejuta kerinduan, sejuta perasaan.
"U-M-M-I! UMMI!!" Delisa buncah oleh rasa gembira.
Delisa tersengal oleh rasa senang. Delisa bangkit berdiri.
Lantas loncat keras sekali ke dalam pelukan Ummi. Saking
kerasnya loncatan itu, Ummi jadi jatuh terjengkang.
Ummi dan Delisa berpelukan sambil jatuh ke tanah.
Bergulingan di atas permadani rumput hijau. Ummi
tertawa. Delisa lebih keras lagi tawanya. Menyeringai.
Bangkit dari atas tubuh Ummi. Membantu Ummi duduk
kembali.
Ya Allah, Ummi! Ummi menemuinya.
Lama Delisa menatap wajah Ummi. Terdiam. Seolaholah
tak percaya. Ummi juga ikutan memandang wajah
bungsunya.
Jemari tangan kanan Delisa terjulur. Lama Delisa
menyentuh pipi Ummi dengan jemarinya. Ummi yang
selalu ia rindukan. Ummi yang selalu terkenang. Sekarang
bertemu di sini. Lihatlah! Delisa bisa membelai lembut pipi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ummi seperti dulu. Delisa bisa melakukannya. Delisa bisa
memandang wajah teduh Ummi. Delisa bisa menatap
beningnya mata Ummi. Semua ini sungguh nyata. Dan
demi kesadaran itu,
Delisa tiba-tiba menangis. Tersedan.
"Ada apa, sayang?" Ummi bertanya lembut, memegang
lengan Delisa yang terhenti menyentuh pipinya.
"Ummi.... U-m-m-i, Delisa rindu Ummi.... Delisa
rinduuuu sekali.... U-m-m-i, Delisa cinta Ummi karena
Allah!" Delisa berkata lemah. Delisa menguntai kata di
tengah sedu-sedannya.
Ummi tersenyum amat indah. Lantas sekali lagi
merengkuh Delisa erat-erat dalam pelukannya. Sungguh ya
Allah, kalimat bungsunya kali ini tidak dusta. Sungguh
kalimat ini teramat indah. Kalimat yang ihklas tanpa
pengharapan. Maka terimalah.... Gugurkanlah semuanya....
Gugurkan dosa sebatang cokelat itu!
Ummi dan Delisa lantas berjalan berkeliling taman indah
itu. Sama seperti mimpi semalam. Amat norak menatap
sungai berairkan susu, bahkan hendak loncat. Delisa
bertemu dengan Ibu Guru Nur. Lantas ketika Delisa bilang
ingin tinggal di sana, Ummi seketika menghardiknya.
"TIDAK! Delisa tidak bisa tinggal di sini!"
"TAPI DELISA INGIN! DELISA I-N-G-I-NM" Delisa
bandel mencengkeram baju Ummi.
"Delisa harus kembali, sayang, Delisa harus
menyelesaikannya!" Ummi tersenyum tipis menyentuh
bahunya. Sentuhan itu sugestif sekali. Membunuh semua
kengototan di hati Delisa. Seketika.
"Menyelesaikan apa?" Delisa sekarang terbata bingung.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Delisa harus menyelesaikan hafalan bacaan shalat itu,
sayang. Delisa harus menyelesaikannya!"
Delisa terdiam. Hafalan bacaan shalatnya? Ah-iya Tetapi
Delisa kan bisa menghafalnya di sini. Apa bedanya. Di sana
dan di sini! Sekali lagi Delisa bandel berpikir. Bersiap
menumpahkan pertanyaan berikutnya.
Tetapi, hei! Ummi mengambil sesuatu dari langit-langit
di antara mereka berdiri. Ummi meraih lembut udara
kosong di hadapan mereka dengan tangan kanannya.
Seperti sedang meraih seekor nyamuk yang terbang. Ummi
menggenggam udara itu, lantas pelan menyerahkan kepalan
tangannya ke arah Delisa. Delisa menatap bingung. Ummi
tersenyum. Menunjukkan kepalan tangannya. Lantas
membukanya pelan-pelan. Dalam sebuah gerakan lambat
yang mempesona—
Kemilau indah berwarna kuning menjuntai dari tangan
Ummi. Delisa menatap takjub. Cahaya itu amat
menggentarkan. Lebih indah dari senja di pantai Lhok Nga.
Dan ketika kepalan tangan Ummi sempurna terbuka, Delisa
mengenali benda tersebut. Sehelai kalung. Kalung yang
elok. Ada huruf D. D untuk Delisa.
Seketika Delisa ingat.
Seketika Delisa paham.
Seketika Delisa menyadarinya.
Ya Allah, apa yang telah ia lakukan selama ini. Ya Allah
apa yang telah ia perbuat selama ini. Ya Allah Delisa
sungguh tak tahu. Delisa sungguh tak paham sebelumnya.
Sungguh Delisa tidak mengerti sebelumnya. Dan sekarang?
Delisa tiba-tiba jatuh terduduk. Ia menangis. Semua
keburukan itu mengiang di kepalanya. Semua kemunafikan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang dilakukan olehnya selama ini ... menghantam kuatkuat
hatinya.
Ya Allah, Delisa jahat sekali.
J-a-h-a-t! Delisa tergugu mengakui.
Ia menipu Ummi hanya demi sebatang cokelat. Ia juga
dulu pernah menipu Abi. Menipu kak Fatimah. Kak Zahra.
Juga kak Aisyah. Ya Allah, Delisa juga sering menipu
Tiur.... Ustadz Rahman.... Ibu Guru Nur.... Delisa-lah yang
lebih jahat dibandingkan siapapun, juga dibandingkan
Umam.
Dan sekarang! Lihatlah! Delisa menipu Engkau ya
Allah. Berani sekali Delisa hanya menghafal bacaan shalat
itu demi seuntai kalung ini. Delisa menangis tergugu.
Kesadaran itu datang. Benar! Kak Ubai benar sekali! Pintupintu
kebaikan itu tertutup bagi orang-orang yang tidak
tulus. Terkunci bagi orang-orang yang tidak ihklas. Dan
Delisa benar-benar tidak ihklas. Tidak tulus. Semata-mata
hanya berharap hadiah.
Lama Delisa tertunduk. Tersedan.
Ummi duduk di hadapan Delisa. Menyentuh dagu
bungsunya. Lembut mengangkat kepala Delisa. Mata
Ummi bening menyapu bungsunya yang bersedih. Muka
Ummi teduh menatap bungsunya yang merasa amat
bersalah. Lihatlah, penyesalan yang belum terlambat selalu
terasa "indah"! Tidak mengenal batas. Tidak mengenal
ukuran.
Dan Ummi tersenyum amat elok.
"Tidak, sayang.... Kalung ini tetap akan menjadi hadiah
hafalan bacaan shalat dari Ummi.... Tetap akan menjadi
hadiah dari Ummi.... Sementara dari langit, Allah akan
menyiapkan hadiah yang lebih indah.... Hadiah yang lebih
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
baik dari bumi dan seisinya." Ummi mengelus lembut pipi
Delisa. Menghapus lemah bilur air mata di pipi kanakkanak
yang halus. Menghibur kesedihan di hati bungsunya.
Delisa menggeleng kuat-kuat. Saking kuatnya, bulir air
mata di pelepah mata Delisa terpercik ke tanah. Rambut
ikal pirangnya bergoyang-goyang.
"Delisa tidak ingin lagi kalung ini.... Delisa tidak ingin
lagi!" Delisa menangis tersedu.
"Delisa hanya ingin bisa shalat dengan baik... Delisa
hanya ingin mendoakan kak Aisyah. Mendoakan kak
Zahra. Mendoakan kak Fatimah. Delisa hanya ingin
mendoakan mereka dalam shalat....
"DELISA TIDAK INGIN LAGI KALUNG ITU!"
Delisa berteriak parau.
"Delisa hanya ingin hafal shalatnya! Delisa hanya ingin
berdoa agar Delisa selalu bersama Ummi dalam shalat....
Delisa hanya ingin itu.... Delisa hanya ingin shalat! Delisa
hanya ingin berdoa agar bisa bertemu Ummi...." Mata hijau
Delisa buncah oleh penyesalan. Buncah oleh pemahaman
yang tiba-tiba ditumbuhkan dalam hatinya.
Ummi tersenyum takjim. Mencium kening bungsunya.
"Dan Delisa akan mendapatkannya sayang," Ummi
berbisik seperti mengabarkan sebuah kabar baik, "Allah
akan menjadikan semua itu hadiah untuk Delisa.... Hadiah
hafalan bacaan shalat untuk Delisa. Delisa akan bertemu
dengan Ummi.... Suatu saat nanti!"
Ummi membelai rambut ikal-pirang Delisa.
"Oleh karena itu, Delisa harus kembali. Delisa harus
menyelesaikannya, sayang.... Delisa harus
menyelesaikannya di sana! Bukan di sini!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ummi beranjak berdiri. Menuntun Delisa berdiri. Lantas
dengan anggun, membimbing Delisa melangkah menuju
gerbang taman indah tersebut. Mengajak Delisa ke jalan
setapak di luar taman. Tempat dulu Delisa terbaring lemah
tak bisa bergerak.
Ummi mengajak Delisa kembali!
(Oo-dwkz-oO)
Delisa terbangun!
Terbangun sambil menangis. Mimpi itu nyata sekali.
Mimpi itu dekat sekali. Delisa mengeluh tertahan. Ummi?
Delisa mendesis lemah. Kalung itu! D untuk Delisa!
Ia sekarang bisa merangkaikan semua kejadian itu
menjadi sebuah penjelasan yang indah. Sebuah pemahaman
yang baik. Jawaban atas masalahnya. Menggabungkannya
dengan kata- kata kak Ubai tadi sore. Kata-kata Abi dulu.
Kata-kata ustadz Rahman di meunasah. Kata-kata Ibu
Guru Nur di kelas. Kata-kata Ummi barusan. Tidak!
Semuanya tidak bohong! Semuanya benar. Hanya Delisalah
yang tidak pernah mengerti. Hanya Delisa-lah yang
belum tahu selama ini. Karena Delisa lalai untuk
melihatnya.
Ia menyesal ya Allah. Delisa tersungkur di atas
ranjangnya. Penuh penyesalan. **
(Oo-dwkz-oO)
** Itu cemburuku yang ke-sekian. Gadis kecil itu baru 6
tahun. Tak mengerti hidup dan kehidupan. Tak paham mati
dan kematian. Umurku saat ini 26 tahun. Bergelimang
bangga dengan ilmu yang kudapatkan dari bangku
universitas ternama. Bergelimang bangga dengan berbagai
tulisan yang mungkin dibaca juta orang. Bergelimang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bangga atas semua pemahaman dangkal. Bergelimang
bangga atas semu itu.
Tetapi setelah sekian lama, tak pernah kudapatkan
hakikat penjelasan itu ya Allah? Tak pernah kudapatkan
hakikat jawaban itu? Sementara Delisa, gadis kecil enam
tahun itu kau berikan kesempatan yang luar biasa? Apakah
hati ini terlalu kotor ya Allah? Apa hati ini amat munafik?
Apa hati ini terlalu dangkal untuk menangkap
penjelasanMu. Semua penjelasanMu yang tergurat di bumi.
Terlukis di langit. Apakah hati ini terlalu lemah untuk
mengerti. Untuk memahami....
Bahkan setelah sekian lama, hati ini masih kuyu
bertanya: apa arti hidup dan kehidupan? Apa makna mati
dan kematian?
Catatan Penalist kisah ini secara konseptual berakhir
hingga di sini. Ketika sebuah pemahaman muncul. Ketika
sebuah pengertian datang. Tidak penting akan berakhir
seperti apa sebuah cerita. Tidak penting seberbeda apapun
jalan kehidupan yang kita pilih. Tidak peduli seberapa jauh
kalian dengan standar hidup yang diciptakan oleh manusia.
Semuanya sudah "selesai".
(Oo-dwkzoO)
19. Had iah hafa lan sha lat De lisa
Bacaan shalat itu seperti berbicara kepada Delisa.
Esok sorenya, dr Peter mengijinkan Delisa pulang. Di
antar oleh kak Ubai menumpang jeep tua. Abi tersenyum
riang sepanjang perjalanan. Meski tidak banyak bercerita
dan tertawa. Delisa sedikit bingung melihat perangai Abi.
Pasti ada yang disembunyikannya. Ternyata Abi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menyiapkan kejutan di rumah. Ada "pesta" penyambutan
kecil untuknya.
Ibu Guru Ani, teman-teman sekelasnya, Koh Acan, Wak
Burhan, kakak-kakak sukarelawan itu berkumpul di rumah.
Delisa nyengir senang. Ia sehat. Jauh dari cukup untuk
menghabiskan kue-kue dan manisan yang banyak terhidang
di atas meja kalau Kak Ubai tidak sibuk mengingatkannya.
Memang tidak ada uang receh yang dilempar, tetapi ini
sudah lebih dari menyenangkan.
Seorang kakak-kakak sukarelawan teman kak Ubai
menyerahkan sesuatu kepadanya. Bungkusan yang besar.
Yang lain berseru senang meneriaki Delisa agar
membukanya. Delisa tidak perlu dibilang dua kali.
Tangannya sudah merobek bungkus kotak besar tersebut.
Kaki palsu!
Kaki palsu dari dr Eli. Baru tiba di posko PMI tadi sore.
Seisi ruangan berseru senang sekali lagi. Beramai-ramai
menyemangati Delisa saat kakak-kakak perawat tadi
memasangkan kaki palsu tersebut ke kakinya. Delisa
nyengir senang sekali. Ah, kalau begini urusannya, ia bisa
lari lebih cepat. Posisi //striker// itu akan kembali jadi
miliknya. Delisa manyun sendiri membayangkan banyak
hal.
Dan sisa malam itu, esok paginya, hari-hari berikutnya
berjalan amat cepat bagi Delisa.
(Oo-dwkz-oO)
Bacaan shalat itu seperti berbicara kepada Delisa.
Delisa sibuk kembali ke sekolah. Sibuk membiasakan diri
berjalan dengan kaki palsunya, yang tidak sulit. Sibuk
mengaji TPA dengan kak Ubai. Sibuk bermain bola di
pantai Lhok Nga yang sudah bersih seperti sedia kala.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Berbagai tumpukan sampah itu sudah diangkut. Delisa
tetap menjadi kiper. "Kami tidak pernah punya kiper
sehebat Delisa!" itu bujuk teman-temannya. Delisa mengkal
sekali, mesti akhirnya mengalah. Ia kan juga menikmati
posisi tersebut. Meneriaki teman-temannya yang lamban di
depan.
Delisa juga sibuk belajar menggunakan eternet di posko
PMI kak Ubai, sekarang mereka pindah ke salah satu
gedung yang sudah selesai dibangun kembali. Juga
beberapa posko sukarelawan lainnya. Bekas sekolah Delisa
dulu juga sedang sibuk dibangun. Lebih besar dan lebih
bagus. Lhok Nga menggeliat pulih dengan berbagai
bangunan yang menyeruak dari petak-petak tanah kosong.
Lhok Nga menjemput perbaikan fisik yang akan
memulihkan keindahan kotanya.
Ternyata asyik sekali ceting itu! Delisa tidak hanya
"ngobrol" dengan kak Cofi, tetapi juga dengan dr Eli, juga
dengan mam & dad kak Cofi, Om Ahmed dan Om Salam,
meskipun yang terakhir disebut lebih banyak Delisa yang
"bicara" di layar komputer, Om Salam tetap sependiam
dulu. Dan Delisa juga ceting dengan Michelle &
Margaretha. Seru sekali! Apalagi saat kak Ubai memasang
kamera kecil di atas layar komputer. Web, apalah! Aduh,
Delisa nggak ingat namanya. Yang penting semuanya seru
dan keren.
(Oo-dwkz-oO)
Bacaan shalat itu seperti berbicara kepada Delisa.
Ini yang jauh lebih penting dari semuanya. Setelah
pulang dari rumah sakit tersebut, ketika Delisa kembali
membuka buku hafalan bacaan shalatnya. Kalimat-kalimat
bacaan shalat itu seperti berbicara kepadanya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Cepat sekali Delisa menghafalnya. Delisa bahkan
mendapatkan hadiah terindah dari semua penyesalan atas
tabiatnya selama ini. Delisa tidak menyadarinya sekarang.
Nanti! Suatu saat baru ia akan tahu. Pemahaman atas
berbagai bacaan shalat tersebut. Mengapa bacaan tersebut
harus demikian. Mengapa kalimatnya meski demikian.
Pemahaman yang ditanamkan langsung dalam hatinya.
Lepas satu minggu, Delisa sudah nyaris hafal
seluruhnya. Shalatnya jauh lebih nyaman. Shalatnya jauh
lebih khusuk. Delisa bisa berdoa lebih baik. Mendoakan kak
Fatimah, mendoakan kak Zahra, mendoakan kak Aisyah.
Mendoakan Ummi, di mana pun Ummi sekarang berada.
(Oo-dwkz-oO)
Sabtu sore, 21 Mei 2005. Kak Ubai mengajak kelas
mengaji TPA-nya belajar di luar. Mereka semenjak pulang
sekolah sudah berkumpul senang di depan meunasah. Kak
Ubai meminjam dua mobil dari posko PMI. Beramai-ramai
Delisa dan teman-temannya naik ke atas mobil tersebut.
Berdesak-desakan. Tetapi tetap bernyanyi senang sepanjang
perjalanan.
Hari ini kak Ubai mengajak mereka ke salah satu bukit
yang banyak terdapat di Lhok Nga. Enam kilo meter dari
sekolah Delisa. Di salah satu lapangan yang terdapat di
lereng bukit tersebut, mereka membuat lingkaran besar. Di
sanalah tempat mengaji TPA mereka hari itu.
Kak Ubai meminta mereka mengeluarkan ember berisi
pasir yang mereka bawa tadi siang. Delisa dan temantemannya
akan belajar menggurat kaligrafi di atas pasir
tersebut. Ember plastik ukuran biasa. Di dalamnya dipenuhi
pasir. Kak Ubai lebih suka mengajarkan kaligrafi di atas
pasir. Lebih mudah dihapus kalau terlihat jelek. Maka
ramai mereka menulis-menghapus-menulis lagi sepanjang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
siang itu. Masing-masing sibuk membandingkan guratan
kaligrafi satu sama lain. Kak Ubai berkeliling membantu
anak-anak.
Hari ini amat menyenangkan bagi Delisa. Rambut
pirangnya bergoyang-goyang saat telunjuknya menggurat
huruf di atas pasir embernya. Gigi tanggal Delisa sudah
tumbuh. Hanya semili. Putih. Membuat wajahnya yang
sedang serius menulis dengan mulut terbuka sedikit terlihat
menggemaskan. Urusan tulis-menulis beginian, Delisa
nomor satu. Kak Ubai saja hanya melewatinya. Tidak
berkomentar banyak melihat kaligrafi Delisa.
(Oo-dwkz-oO)
Satu jam setelah begitu banyak hapus-menghapus di atas
pasir tersebut, kak Ubai menghentikan pelajaran kaligrafi.
Adzan ashar terdengar dari kejauhan. Kak Ubai menyuruh
mereka mengambil wudhu. Didekat lapangan luas di kaki
bukit tersebut ada sebuah anak sungai kecil yang bening
airnya. Ke sanalah Delisa dan teman-temannya mengambil
wudhu.
Menggulung lengan dan celana seragam TPA mereka.
Kerudung Delisa sih sudah dari tadi dilepas. Kak Ubai
membentangkan tikar-tikar yang sudah disiapkan di atas
lapangan. Mereka akan shalat berjamaah. Kak Ubai
menjadi imamnya.
Delisa shalat. Semesta alam bersiap.
Itulah! Tanpa Delisa sadari, itulah shalat pertamanya
yang akan sempurna. Itulah shalat pertamanya yang
lengkap. Utuh. Tak lupa satu bacaan-pun. Tak lalai satu
gerakan-pun.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ustadz Rahman dulu pernah berkata, jangan tinggalkan
shalat yang lima, terutama shalat yang itu! Ashar? Tidak
ada yang tahu shalat yang mana itu!
Dan Delisa bersiap menjemput shalat itu.
Ketika kak Ubai di depan bersuara mantap mengangkat
tangan untuk takbir pertama. Delisa di belakang bergetar
mengikuti mengangkat tangannya. Bibir Delisa lembut
mendesahkan takbiratul-ihram.
"Allaahu-akbar."
Seribu malaikat turun dari arasy-Mu. Melesat
mengungkung bukit kecil tersebut. Seribu malaikat bersiap
menjadi saksi agung semua urusan ini. Jikalau kalian bisa
melihat malaikat-malaikat tersebut. Satu sayap-sayap
mereka saja niscaya sudah cukup membentang memenuhi
langit-langit. Menutup sempurna cahaya matahari.
Delisa takjim membaca doa iftitah. "Innashalati,
wanusuki, wa-ma-... wa-ma-... wa-ma-yah-ya, wa-ma-mati....
Tiba bibir Delisa di kata wa-ma-ma-ti, lautan bergolak
lembut. Angin bertiup mempesona. Gunung-gunung
bergetar lemah. Ujung-ujung pohon meliuk menunduk.
Dedaunan semilisik menyebut salam.
Delisa membaca al-fatihah. Delisa membaca surat
pendek. "Ar-ro-ai-tal-la-zi yu-kad-di-bu-bid-din. Pa-dja-likal-
la-ji ya-du'ul ya-tim...."
Tidak. Sungguh Delisa tidak pernah sendirian. Ia punya
teman lebih banyak dari dunia dan seluruh isinya. Juga
kanak-kanak lainnya di muka bumi ini! Mereka tidak
pernah sendirian.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Delisa turun untuk ruku. Delisa bangkit untuk i'tidal.
Kemudian tubuh Delisa meluncur untuk sujud. "Allaahuakbar".
Muka basahnya menyentuh tikar pandan. Telapak
tangan basahnya menyentuh tikar pandan. Delisa sujud
dengan sempurna untuk pertama kalinya. Delisa
menyambung sujud yang terputus oleh gelombang tsunami
itu. Delisa sujud—
Sungguh sebuah tahan penghambaan yang sempurna.
Delisa tidak ingat siapapun lagi saat sujud. Pikiran Delisa
satu! Delisa ingin khusuk. Maka arasy Allah bergetar.
Semburat cahaya indah itu membuncah langit. Selaksa
cahaya menakjubkan itu menggentarkan semesta alam.
Ya Allah, sungguh, kami tidak pernah memiliki! Kami
tidak pernah mempunyai! Engkau-lah yang maha memiliki.
Engkau-lah yang maha mempunyai. Ya Allah, bahkan diri
kami sendiri bukan milik kami!
Delisa bangkit dari sujudnya. Duduk di antara dua sujud.
Doa-doa keluar dari bibir mungilnya.
Delisa tidak terbolak-balik. Delisa bahkan membaca doa
itu dengan sempurna. Kalimat itu seperti berbicara
padanya. Delisa beranjak berdiri. Rakaat kedua. Membaca
al-fatihah. Membaca alam-nasrah! Tiba di janjiMu.
Takbir—.
Tiba di gerakan-gerakan shalat berikutnya. Tiba di
bacaan-bacaan shalat berikutnya. Hingga akhirnya lemah
suara Delisa menyebut salam. Syahdu salam itu terucap.
Seribu malaikat di atas bukit membalas ucapan salam
tersebut. Semesta alam ramai membalas ucapan salam
tersebut.
Dan Delisa entah mengapa terisak pelan. Delisa
menangis. Matanya basah. Ya Allah, Delisa akhirnya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menyadari kalau ia baru saja bisa mengerjakan shalatnya
dengan lengkap. Gadis kecil itu bahagia sekali. Untuk
pertama kalinya ia menyelesaikan shalatnya dengan baik.
Shalat yang indah. Delisa membaca dari awal hingga akhir
bacaan shalatnya. Tidak lupa! Tidak tertukar-tukar.
Delisa terisak. Lihatlah! Di sini tidak ada Ibu Guru Nur
yang akan memberikan piagam kelulusan. Di sini tidak ada
ustadz Rahman yang akan memujinya, lantas memberikan
sebatang cokelat. Tidak ada kak Fatimah yang akan
membanggakannya. Tidak ada kak Zahra yang akan
menyeringai senang menatapnya, kemudian entah
menempelkan apa di kamar mereka. Tidak ada kak Aisyah,
yang meskipun entah Delisa tidak tahu kak Aisyah akan
melakukan apa.
Dan di sini, tidak ada Ummi. Ya Allah di sini tidak ada
Ummi. Yang akan tersenyum senang melihat Delisa
menyelesaikan hafalan bacaan shalatnya. Yang akan
membelai kerudung birunya. Ya Allah, Delisa ingin Ummi.
Delisa ingin jumpa Ummi. Delisa rindu sekali. Teramat
rindu! Delisa ingin memeluknya!
Tidak! Delisa tidak ingin kalung itu. Delisa tidak ingin
semuanya. Delisa hanya ingin di saat pertama kalinya ia
baru saja menyelesaikan hafalan bacaan shalatnya, Delisa
ingin ada Ummi yang melihatnya. Delisa hanya ingin
memeluk Ummi. Kemudian berbisik di telinga Ummi.
Menyampaikan kabar bahagia ini. Ya Allah—
Kak Ubai merengkuh Delisa yang terisak. Teman-teman
lainnya memandang tak mengerti. Sibuk membenahi
pakaian shalat masing-masing. Kak Ubai juga tidak tahu
kenapa Delisa menangis. Yang kak Ubai tahu, muka Delisa
bercahaya. Kerudung Delisa bercahaya. Kerudung Delisa
bagai terbuat dari air. Mengalir ketika disentuh. Menembus
ujung-ujung jari.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Semua ini sungguh terasa mengharukan. Indah! Hari itu,
sore itu, waktu itu, penduduk langit mencatatnya dengan
baik.
(Oo-dwkz-oO)
Maha suci Engkau, ya Allah! Yang selalu menepati janji.
Cukuplah percaya dengan satu janjiMu, Maka kehidupan di
dunia ini akan terasa jauh lebih indah.... Semua akan terasa
jauh lebih indah.
(Oo-dwkz-oO)
Epilog:
Sore itu, 21 Mei 2005.
Delisa melanjutkan belajar menggurat kaligrafi di atas
pasir di dalam ember plastik. Kak Ubai mengajarkan
mereka menulis kata-kata Ummi! Dan Delisa menggurat
"wajah" Ummi di atas pasirnya.
Sore datang menjelang. Matahari senja pelan
menghujam bumi di ujung cakrawala. Dari atas lereng bukit
ini Delisa dan teman-temannya bisa melihat matahari
tenggelam di laut Lhok Nga di kejauhan. Jingga.
Saat mereka akan pulang. Delisa ingin mencuci kedua
tangannya yang kotor oleh pasir ke sungai kecil di dekat
lapangan tersebut. Kak Ubai membiarkan saja, meskipun
anak-anak yang lain cukup mengibas-ngibaskan tangannya.
Mereka bersiap-siap pulang. Memasukkan ember-ember
plastik ke dalam mobil. Melipat tikar. Membersihkan
sampah-sampah.
Delisa sedang menuju tempat pertemuannya. Ketika
Delisa patah-patah menuruni sungai kecil tersebut. Ketika
Delisa menyibak rambut ikal pirangnya yang menutupi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dahi. Ketika ujung jemari Delisa menyentuh sejuknya air
sungai. Ketika itulah. Seekor burung belibis terbang di atas
kepalanya. Memercikkan air di mukanya. Delisa
terperanjat. Mengangkat kepalanya. Menatap burung
tersebut yang terbang menjauh. Ketika itulah, Delisa
menatap sesuatu di seberang sungai yang lebarnya hanya
berbilang dua-tiga meter tersebut. Sesuatu di seberang.
Kemilau kuning. Indah menakjubkan memantulkan
cahaya matahari senja. Sesuatu itu terjuntai. Terjuntai di
sebuah semak belukar. Semak belukar itu juga indah.
Semak belukar liar itu sedang berbuah. Buahnya kecil-kecil.
Berwarna merah-ranum. Memenuhi seluruh
permukaannya.
Delisa gementar menyeberangi sungai. Celananya basah
hingga sepaha. Delisa gentar sekali. Ya Allah! Seuntai
kalung tersangkut. Seuntai kalung yang indah. Delisa serasa
mengenalinya. Ya Allah, ada huruf D di sana.
D untuk Delisa.
Delisa terkesiap.
Tidak! Bukan karena menatap kalung tersebut. Di sana.
Di atas semak belukar yang merah oleh buahnya. Di sana!
Delisa tidak terkesiap oleh kalung tersebut!
Kalung itu bukan tersangkut di dedahanan. Tidak
tersangkut di dedaunan. Kalung itu tersangkut di tangan.
Tangan yang sudah menjadi kerangka. Sempurna kerangka
manusia. Putih. Tulang-belulang. Utuh. Bersandarkan
semak belukar tersebut.
"U-m-m-i!" Delisa jatuh terjerambab ke dalam sejuknya
air sungai. Delisa buncah oleh sejuta perasaan itu. Delisa—
Ummi....
Dan seribu malaikat yang mengungkung bukit mengucap
namaMu.... Seribu malaikat yang mengungkung bukit
melesat ke atas langit.... Kembali!
Semua urusan sudah usai.
DAFTAR ISI
1. SHALAT LEBIH BAI K DARI TIDUR
2. KALU NG SEPARUH HARGA
3. JEMB ATAN KEL EDAI
4. DELISA CINTA UMMI K ARENA ALLAH
5. 26 DESEMBER 2004 ITU!
6. BERITA-BERITA DI TEVE
7. BU RUNG-BURUNG PEMBAWA BUAH
8. HIDA YAH ITU AKH IRNYA DATANG
9. MEREKA SEMUA PERGI!
10. KALU NG YANG INDAH ITU
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
11. PERTEMUAN
12. PULANG KE LHOK NGA
13. HARI-HARI BERLALU CE PAT
14. DELISA CINTA ABI KA RENA ALLAH
15. NEGERI-NEGERI JAUH!
16. IBU KE MBALI!
17. AJ ARK AN KAMI ARTI IKH LAS!
18. AJ ARK AN KAMI ARTI MEMAHAMI!
19. HADIAH HAFALA N SHALAT DELISA
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
1. Shalat lebi h ba ik d ar i t idu r
Adzan shubuh dari meunasah terdengar syahdu.
Bersahutan satu sama lain. Menggentarkan langit-langit
Lhok Nga yang masih gelap. Jangan salah, gelap-gelap
begini kehidupan sudah dimulai. Remaja tanggung sambil
menguap menahan kantuk mengambil wudhu. Anak lelaki
bergegas menjamah sarung dan kopiah. Anak gadis
menjumput lipatan mukena putih dari atas meja. Bapakbapak
membuka pintu rumah menuju meunasah. Ibu-ibu
membimbing anak kecilnya bangun shalat berjamaah.
"Asshalaatu'airummminannaum!"
Delisa menggeliat. Geli. Cut Aisyah nakal menusuk
hidungnya dengan bulu ayam penunjuk batas tadarus.
"Bangun! Bangun pemalas!" Aisyah bertambah jahil
demi melihat wajah polos Delisa. Menarik-narik baju tidur
Delisa yang kebesaran. Yang ditarik malah memukul lemah
tangan Aisyah. Kembali bergelung melanjutkan tidur; tidak
peduli.
"UMMI.... DELISA NGGAK MAU BANGUN!"
Aisyah berteriak kencang-kencang. Mengalahkan suara
adzan dari meunasah. Cut Zahra saudara kembarnya hanya
menyeringai datar dari belakang melihat kelakuan Aisyah.
Zahra baru keluar dari kamar mandi; mukanya basah oleh
wudhu.
"Ais, kamu memangnya nggak bisa bangunin Delisa
nggak pakai teriak-teriak apa?" Cut Fatimah masuk,
langsung melotot dari bawah daun pintu. Fatimah sudah
mengenakan mukena bagian bawah. Tangannya memegang
mukena bagian atas. Muka dan ujung rambutnya juga
basah oleh air wudhu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Yeee, Delisa jangankan digerak-gerakan kencangkencang,
speaker meunasah ditaruh di kupingnya saja, ia
nggak bakal bangun-bangun juga!" Aisyah membela diri.
"Suara kamu tuh juga ngelebihin sepuluh speaker
meunasah, tahu!" Fatimah melotot membesar sambil
melangkah mendekat, duduk di atas ranjang Delisa,
mengambil alih urusan.
Aisyah seperti biasa menyeringai sebal kepada Fatimah,
hidung dan bibir atasnya terangkat. Lucu sekali menatap
Aisyah menyeringai seperti itu. Turun dari atas tempat
tidur, beranjak mendekati Zahra yang berdiri
memperhatikan. Zahra berbalik mengambil mukena tidak
mempedulikan. Ah selalu begini kan setiap pagi? Ribut
membangukan Delisa.
"Delisa bangun, sayang.... Shubuh!" Fatimah, sulung
berumur lima belas tahun membelai lembut pipi Delisa.
Tersenyum berbisik.
"Delisa masih tidur, kak Fatimah...." Delisa men-ceracau
lemah, menggeliat menarik selimutnya.
"Aduh, orang tidur kok masih bisa ngomong:
'Delisa masih tidur, kak Fatimah...1" Fatimah tertawa
menggoda.
"Kak Fatimah ganggu saja.... Delisa masih ngan-tuk!"
Delisa bandel menarik bantal. Ditaruh di atas kepala. Malas
mendengar suara tertawa kak Fatimah.
"Nanti kak Fatimah gelitikin ya! Kalau nggak bangunbangun..."
Jari-jari Fatimah menjulur mengancam.
"Ya kak.... Gelitikin aja, kak!" Aisyah berseru senang.
Menyemangati. Kembali loncat ke atas ranjang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Delisa tak mendengarkan. Juga tak melihat jari-jari yang
mengancam itu (terutama jari-jari tangan Aisyah; mana
kukunya belum dipotong lagi).
"Benar ya...."
Delisa tetap tak bergeming.
"S-a-t-u, d—u—a, t—i—g—a!" Fatimah sambil
tersenyum mulai menggerayangi perut, ketiak, dan telapak
kaki adiknya. Aisyah merangkak mendekat, ikut
membantu; lebih ganas, tertawa lebih bahak.
"Ampun! Ampun!!" Delisa berteriak melempar bantalbantal.
Badannya bergerak bangun. Tangannya sembarang
menangkis tangan-tangan jahil itu. Fatimah sambil
menahan tawa memegang tangan Aisyah agar
menghentikan gelitikan. Delisa sudah terbangun, sudah
duduk nyengir.
Mata Delisa menatap merah; sayu setengah terpejam.
Mulutnya menguap. Pipinya mengukir ke-pulauan
nusantara. Tangannya mengacak-acak muka.
"Iya Delisa bangun nih!" sebal sekali suara Delisa
terdengar. Ia memandang kakak-kakaknya sirik.
"Kak Fatimah dan kak Aisyah jahat.... Bangunin Delisa
maksa!" gadis berumur enam tahun itu mengalah, beringsut
turun dari ranjangnya.
Fatimah ikut beranjak turun mengambil bantal-bantal
yang jatuh di lantai. Aisyah yang tetap tertawa senang
masih sempat-sempatnya iseng menjawil badan Delisa dari
belakang dengan bulu ayam penunjuk tadarus Ummi.
"Kak Fatimah!" Delisa berseru, tangannya menunjuk
Aisyah, mengadu masygul.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Aisyah hanya tertawa, memasang tampang tak berdosa.
Mengangkat bahu. Aisyah memang lagi senang-senangnya
mengganggu orang lain. Umurnya dua belas tahun, hanya
terpisah 23 menit dari kembarannya Zahra; kelas satu
madrasah tsanawi-yah negeri 1 Lhok Nga. Adiknya Delisa
memang terlalu jauh umurnya, berbeda enam tahun, jadi
kenakalan Aisyah terlalu dominan, tanpa perlawanan;
Delisa selama ini hanya bisa mengadu seperti itu.
"Aisyah jangan ganggu Delisa.... Lagian kamu kenapa
pula belum ambil wudhu?" Fatimah melotot. "Yeee, orang
kamar mandinya di pakai Zahra ini!"
"Itu Zahra sudah selesai dari tadi! Kamu kenapa nggak
dari tadi wudhu!" Fatimah menunjuk Zahra yang sudah
rapi, sempurna memakai mukena putihnya.
Aisyah hanya nyengir; kan tadi masih dipakai.
Ummi masuk dari bingkai pintu sudah mengenakan
mukena putih juga.... "Eh kenapa pada belum siap-siap?"
"Delisa lagi-lagi susah bangun...." Aisyah menjawab
sambil menyeringai, menunjuk Delisa.
"Tapi kamu kenapa pula belum ambil wudhu?" Ummi
bertanya. Pertanyaan yang sama dengan Fatimah. Aisyah
buru-buru kabur ke kamar mandi; kan gak mungkin
jawaban yang sama pula, jelas-jelas Zahra sudah selesai dari
tadi.
Sayangnya ia keduluan oleh adiknya. Ia tiba pas Delisa
menutup pintu kamar mandi. Aisyah seketika memasang
tampang sebal. Lagi-lagi meski ia yang bangun paling pagi;
tetap ia yang paling telat datang ke ruang keluarga tempat
shalat berjamaah.
(Oo-dwkz-oO)
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Lhok Nga menggeliat dalam remang. Cahaya matahari
menyemburat dari balik bukit yang memagari kota. Orangorang
sudah dari tadi kembali dari meunasah. Orang-orang
beranjak mulai mengukir hari. Yang berdagang pergi ke
pasar, membuka toko-toko. Yang bekerja di kantoran
mandi bersiap diri. Yang sekolah menyiapkan buku-buku
dan peralatan lainnya. Tetapi hari ini hari Ahad. Libur.
Lebih banyak yang menyiapkan aktivitas di rumah saja.
Tidak kemana-mana.
Ummi sedang mengaji; mengajari Cut Aisyah dan Cut
Zahra. Fatimah membaca Al Qur'an sendiri.
Tidak lagi diajari Ummu, Ah, kak Fatimah bahkan
setahun terakhir sudah khatam dua kali. Ini jadwal rutin
mereka setiap habis shubuh. Belajar ngaji dengan Ummi,
meskipun juga belajar ngaji TPA dengan ustadz Rahman di
meunasah.
Delisa sedang memegang Jus'amma-nya. Terbata-bata
mengeja alif-patah-a; Ia masih banyak menguap. Terkantukkantuk
menunggu giliran menghadap Ummi. Menyetor
bacaan yang sedang diejanya pelan-pelan.
“Cut Aisyah dan Cut Zahra kenapa pula lama sekali....
Kan sudah mau khatam juga, katanya tinggal dua jus
lagi...." Delisa menguap panjang.
Ah iya, kalau sudah khatam pertama kali, berarti besok
lusa pasti ada syukuran.... Delisa menyeringai senang. Ia
sedikit tersadarkan dari kantuknya. Kalau ada syukuran,
pasti ada uang receh yang dilempar.... Kan lumayan buat
beli manisan di sekolah.... Delisa sama sekali tidak
membaca alif-patah-a lagi; ia sibuk mengkhayal denang
senang.... Menguap lagi....
"Delisa!" Ummi memanggil. Delisa masih sibuk....
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Giliran kamu tuh!" Aisyah menjawil lengannya dengan
bulu ayam penunjuk tadarus. Tak sengaja bagian keras bulu
ayam menusuk lengan Delisa. Delisa meringis menahan
sakit, menyeringai marah. Siap mengadu ke siapa saja.
"Delisa!" panggilan Ummi mengekang pengaduannya.
Aisyah tertawa kecil, senang terselamatkan.
Delisa mendekati Ummi, membuka setorannya shubuh
ini. Ummi menunggu. Delisa membaca taawudz dan
bismillah pelan sambil memperbaiki kerudung birunya.
//"Alif-patah-ya-mati-ai, nun tanwin depan nan....
Ainan...."// Delisa memang masih pemula. Ia baru belajar
mengaji enam bulan terakhir, sejak mulai masuk kelas satu
sekolah ibtidaiyah dekat rumah. Kalau di TPA, ustadz
Rahman mengajar pakai Iqra. Di rumah Ummi mengajar
pakai Jus'amma.
Setorannya lancar. Delisa kan anak yang pandai. Tetapi
baru setengah jalan, Delisa mendadak berhenti, mengangkat
kepalanya.
"Ummi, kenapa ya Delisa selalu susah bangun shubuhshubuh?"
Ia bertanya sambil menguap. Teringat masalah
tadi; juga masalahnya selama ini, susah bangun.
"Yee... kamu nyetor dulu... entar nanyanya!" Aisyah
seperti biasa memotong dari belakang. Aisyah sudah
melipat mukenanya. Juga Zahra. Selesai menghadap
Ummi, berarti selesai pula mengajinya. Hanya Fatimah
yang masih mengaji dengan langgam merdu. Delisa
menoleh Aisyah sebal. Ibu mengabaikan Aisyah.
Tersenyum.
"Karena kamu sering lupa doa sebelum tidur kan?"
"Nggak.... Delisa nggak pernah lupa!" Delisa menjawab
cepat. Ngotot. Ibu tersenyum lagi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Emangnya kamu baca doa apa?" Aisyah nye-letuk dari
belakang.
"Eh... eh...." Delisa gelagapan.
"Ayo, kamu baca doa apa coba!" Aisyah menyeringai
lucu. Hidung dan bibir atasnya terangkat lebih tinggi.
"Ehh... Delisa bilang, b-i-l-a-n-g.... ya Allah, Delisa mau
bobo, dijaga ya.... B-e-g-i-t-u!" Delisa berkata pelan.
Mulutnya terbuka. Malu-malu.
Bahkan Fatimah ikut tertawa.
"Tuh kan, Ummi.... Delisa tuh paling malas disuruh
ngapal doa-doa...." Aisyah merayakan kemenangannya.
"Tapi... Tapi kata ustad Rahman doanya boleh pakai
bahasa Indonesia kok...." Delisa ngotot, melotot kepada
kakaknya. Aisyah hanya nyengir.
"Bisa kan Ummi? Bisa pakai bahasa Indonesia kan?"
Delisa menoleh, mencari dukungan. Ummi hanya
tersenyum. Mengangguk. Delisa bersorak senang.
"Tetapi doanya tetap nggak seperti itu kan, Delisa...." Ibu
menambahkan. "Kamu kan dikasih tahu artinya oleh ustadz
Rahman.... Nah kamu boleh baca seperti artinya itu.... Itu
lebih pas.... Atau kalau Delisa mau lebih afdal lagi, ya pakai
bahasa Arabnya! Entar bangunnya insya Allah nggak susah
lagi.... Ada malaikat yang membangunkan Delisa."
Delisa seperti biasa mengangguk-angguk cepat. Sokpaham.
Sok-mengerti. Mukanya yang lucu, terlihat
menggemaskan. Mukena bagian atasnya sudah agak lepas
ikatan belakang. Membuat rambutnya terlihat separuh.
Lebih lucu lagi memandangnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ummi menunjuk //juz'amma// lagi. Delisa
melanjutkan setorannya sejenak. Baru dua kata lanjut,
Delisa berhenti, mendongakkan kepala lagi.
"Ummi, tadi kak Aisyah baca shalatnya nggak keraskeras....
Delisa kan jadi nggak bisa ngikutin...." Ia teringat
sesuatu. Mengadu.
"Makanya kamu cepetan menghafal bacaannya.... Bikin
repot saja!" Aisyah memotong cepat, membela diri.
"Kak Aisyah cuma bisik-bisik gitu.... Gimana Delisa bisa
ngikutin!" Delisa menatap Ummi, berharap Ummi
memarahi Aisyah.
Sebenarnya Delisa ingin membalas olok-olok Aisyah
tadi.
"Lagian kalau Aisyah keras-keras, emang kamu dengar?
Kamu kan ngantuk sepanjang shalat tadi... //Qunut// aja
dia lupa, Mi! Kita-kita //qunut//, Delisa malah turun mau
sujud." sekarang malah Aisyah yang melapor.
Ummi hanya tersenyum tipis. Setiap shalat, Ummi yang
menjadi imam. Abi mereka bekerja jadi pelaut. Di salah
satu kapal tanker perusahaan minyak asing, Arun. Pulang
tiga bulan sekali. Delisa lagi belajar menghafal bacaan
shalat, nah sejauh ini Aisyah lah yang bertugas setiap shalat
untuk membaca lebih keras di belakang, agar Delisa bisa
meniru. Agar Delisa belajar lebih cepat. Tetapi selama dua
minggu terakhir, Delisa lebih banyak ngadunya, kak Aisyah
bacanya kepelanan.
"Delisa mau sekarang yang berdiri dekat Delisa, kak
Zahra saja! Atau kak Fatimah!" Delisa membujuk
Umminya, meminta perubahan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ya sudah.... Biar Zahra atau kak Fatimah sajalah.
Aisyah juga malas baca bacaan shalat keras-keras. Nggak
khusuk!" Aisyah menyeringai senang (ia sebenarnya senang
terbebaskan dari beban itu). Delisa juga ikut senang
mendengar kalimat Aisyah barusan. Menatap Ummi agar
membuat keputusan.
Ummi menggeleng. Tidak! Ummi memang sengaja
menunjuk Aisyah melakukan pekerjaan itu, agar Aisyah
lebih bertanggung-jawab atas adiknya.
Menggeleng tegas sekali lagi.
Demi melihat gelengan itu Aisyah dan Delisa mengeluh
bersama. Lagi-lagi Ummi menolak. Fatimah tertawa. Zahra
hanya memandang datar, ah, selalu begini, kan? Mereka
berdua saja yang nggak pernah cocok. Satu nggak pernah
merasa suara itu cukup keras, satu lagi nggak pernah
merasa suara itu cukup kedengaran.
Delisa melanjutkan setoran Jus'amma-nya dengan suara
mengkal. Lebih lamban dari sebelumnya.
Sejenak. Lagi-lagi mengangkat kepalanya.
"Satu lagi Ummi.... Kenapa kalau Delisa sudah baca doa
sebelum tidur, Delisa tetap saja ngantuk pas udah
bangunnya... Kata Ummi tadi Delisa pasti bisa bangun
lebih cepat dan nggak ngantuk lagi, kan?" Delisa
memikirkan fakta lainnya. Bertanya sambil menguap lebar.
"Kayak sekarang kan?" Aisyah yang sekarang duduk
membaca buku cerita nyeletuk jahil dari ujung ruang
keluarga. Tetapi tak ada yang memperhatikan Aisyah.
Fatimah sibuk menjelaskan sesuatu ke Zahra. Pelajaran
sekolah.
Ummi tersenyum memandang Delisa, "Itu karena kamu
nggak baca doa bangun tidur kan?" Delisa nyengir.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ah, sudahlah. Ummi nggak percaya deh kalau Delisa
bilang sudah baca. Delisa sungguh baca, kok.... Tapi ya
doanya dalam bahasa Indonesia, teks-nya juga sesuai
dengan versi Delisa sendiri... ya Allah, Delisa sudah
bangun, makasih ya!
(Oo-dwkz-oO)
Hari ini seperti yang dibilang sebelumnya adalah hari
Ahad. Jadi Delisa tidak sekolah. Juga kakak-kakaknya.
Keluarga Abi Usman memang bahagia. Apalagi yang
kurang? Empat anak yang salehah. Kehidupan yang
berkecukupan. Baik bertetangga dan bersahaja. Apa
adanya. Mereka tinggal di komplek perumahan sederhana.
Dekat sekali dengan pantai. Lhok Nga memang tepat di
tubir pantai. Pantai yang indah. Rumah mereka paling
berjarak empat ratus meter dari pantai. Komplek itu seperti
perumahan di seluruh kota Lhok Nga, religius dan
bersahabat.
Ummi sehari-hari bekerja menjahit, membordir dan
apalah pakaian pesanan tetangga. Abi seperti yang dibilang
sebelumnya bekerja di tanker perusahaan minyak. Setiap
tiga bulan baru kembali merapat di pelabuhan Arun.
Kemudian pulang ke Lhok Nga selama dua minggu,
sebelum balik lagi berlayar mengelilingi lautan. Terus saja
begitu sepanjang tahun, kecuali pas ramadhan dan lebaran.
Abi cuti panjang, satu bulan.
Fatimah tipikal anak sulung yang bisa diandalkan.
Umurnya 16 tahun. Meski masih kelas satu madrasah
aliyah, Fatimah bisa menggantikan peran Ummi dengan
baik, juga partner Ummi kalau Abi tidak ada di rumah
seperti sekarang, ikut menjaga adik-adiknya.
Cut Aisyah dan Cut Zahra meski kembar benar-benar
bertabiat bagai bumi-langit. Yang satu jahilnya minta
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ampun, yang satu kalem bin pen-diamnya minta ampun.
Tetapi mereka anak-anak yang baik dan penurut. Anakanak
yang cerdas.
Delisa si bungsu, berwajah paling menggemaskan. Ia
sungguh tidak terlihat seperti anak Lhok Nga lainnya. Beda
sekali dengan kakak-kakaknya. Rambut Delisa ikal
berwarna. Kulitnya putih-kemerah-merahan bersih.
Matanya hijau. Delisa lebih terlihat seperti anak-keturunan.
Meskipun itu tidak aneh, Ummi Delisa memang keturunan
Turki-Spanyol (meskipun itu jauh ke kakek-kakeknya
Delisa). Mungkin salah satu gen itu setelah terpendam
begitu lama akhirnya menurun ke Delisa.
Delisa juga punya hobi beda dengan anak-anak gadis
kecil di komplek perumahan mereka. Ia setiap sore lebih
suka main bola bersama teman-teman lelakinya
dibandingkan dengan kakak-kakak dan teman-teman
ceweknya. Mendingan main bola kan, daripada dijahilin
mulu kak Aisyah ini.
Delisa memang beda. Jadi terlihat amat lucu saat
memandang ia berada di tengah-tengah mereka. Berlari-lari
mengejar bola. Meskipun demikian, Delisa tetap tidak beda
dengan kebanyakan gadis kecil perempuan lainnya untuk
urusan tampang. Amat menggemaskan. Sungguh imut
wajahnya. Apalagi kalau ia sedang nyengir.
Satu lagi bedanya dengan anak-anak lain, Delisa anak
yang banyak bertanya. Meskipun sering bandel, Delisa
memiliki pola pikir yang beda dengan anak-anak seumuran.
Membuat orang dewasa di sekitarnya terkadang mendesah,
"Kok bisa?"
Delisa suka mengamati dan meniru-niru orang dewasa.
Mengingat detail dengan baik. Dan pandai sekali
menghubung-hubungkan sesuatu, entah itu berbagai
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kejadian, atau hanya kalimat-kalimat orang yang
didengarnya. Cara berpikir Delisa amat lateral. Ia berpikir
dengan cara yang berbeda.
//"In-na sha-la-ti, wa-nu-su-ki, wa-ma.... wa-ma.... wama...."//
Delisa kesulitan melanjutkan hafalan bacaan
shalatnya. Matanya terpejam. Tangannya menjawil-jawil
rambut keritingnya. "Wa-ma.... Waaa-, waaa, wa-ma...."
"Waaaa ma-cet nih ye!" Aisyah yang sedang bermain
gundu dengan Zahra tertawa kecil. Menyahut begitu saja.
"Kak Fatimah! Kak Aisyah gangguin lagi tuh!" Delisa
berteriak kencang.
Fatimah melempar Aisyah dengan dua biji jambu hijau.
Mereka berempat sedang duduk di bawah pohon jambu
yang sedang berbuah di sebelah rumah; masih kecil-kecil
sih. Hijau lucu-lucu, banyak yang berjatuhan; mungkin
bekas kelelawar semalam. Aisyah dan Zahra asyik bermain
gundu di atas balai-balai bambu. Fatimah duduk di samping
mereka, membaca buku "Taman orang-orang jatuh cinta
dan memendam rindu!" Delisa sih nggak tahu itu buku
apaan.
Delisa lagi sibuk duduk di ayunan pohon jambu yang
dibuatkan Abi dua bulan lalu pas pulang. Berayun-ayun
pelan, sambil menghafal doa iftitah. Delisa memang lagi
berjuang menghafal bacaan shalat minggu-minggu ini.
Setiap kesempatan yang ada, ia pasti menenteng-nenteng
buku hafalan bacaan shalatnya. Meski terkadang buku itu
hanya sekadar dibawa-bawa saja. Tidak dibaca. Setidaknya
ia kelihatan sibuk menghafal, dan Ummi tidak banyak
menengurnya.
"Kok kak Fatimah marah sih? Kan benar tuh! Waaa macet...."
Aisyah nyengir sebal. Membela diri. Tidak sensitif.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Fatimah melotot. Melempar lagi dua biji buah jambu
(Aisyah tertawa menghindar). Buji jambu itu mengenai
Zahra. Fatimah menyeringai, meneruskan bacaannya.
Delisa yang senang dibela kembali ke hafalannya.
//"In-na sha-la-ti, wa-nu-su-ki, wa-ma.... wa-ma.... wama
ma-ti.... Wa-ma yah-ya..."//
"Yee... salah. Kebalik tuh!" Aisyah nyengir;
mendapatkan bahan baru menggoda adiknya. Bacaan doa
iftitah Delisa tertukar urutannya.
Zahra menepuk lengan Aisyah. "Giliran Aisyah
sekarang!" Aisyah buru-buru melanjutkan permainan.
Delisa juga buru-buru melihat buku bacaan shalat di
tangannya. Eh iya, kebalik. Delisa nyengir menggemaskan.
"Kan nggak mungkin mati dulu, baru yahya.... Makanya
Delisa kalau menghafal ingat artinya! Jangan cuma dihafal"
Aisyah sok-dewasa, sok-paham menasehati.
Bagaimana pula adiknya akan tahu teknik menghafal
seperti itu? Mati berarti mati; yahya berarti hidup. Delisa
mana tahu artinya. Delisa baca arab-nya saja ribet minta
ampun, belum bisa; baru belajar.
Tetapi Delisa diam saja di olok seperti itu. Delisa justeru
sedang berpikir sendiri. Memikirkan olok-olok kak Aisyah
barusan.
Ya... di mana-mana mati pasti terakhir kan?Jadi dia
setelah wama-yahya.... Baru wama-mati. Menutup lagi
buku hafalan shalatnya.
//"In-na sha-la-ti, wa-nu-su-ki, wa-ma.... wa-ma.... wama
ma-yah-ya.... Wa-ma ma-ti..."//
Lancar! Delisa nyengir senang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Makasih ya kak!" Delisa berseru kepada Cut Aisyah.
Giliran Aisyah yang bingung! Terima kasih apanya?
(Oo-dwkz-oO)
Ummi keluar dari dalam rumah. Mengenakan kerudung
warna ungu. Bersiap hendak pergi ke pasar. Pagi Ahad,
jadwal belanja mingguan Ummi seperti biasa.
"Ih, Ummi kenapa pakai warna itu?" Fatimah yang apa
mau dikata meskipun bacaannya kelas berat tetaplah remaja
serba tanggung, segera berkomentar saat melihat warna
kerudung yang dipakai Ummi. Keberatan.
"Nggak pa-pa kan? Kerudung Ummi yang lain lagi kotor!
Yang tersisa tinggal ini...." Ummi memegang ujung
kerudung ungunya. Mematut penampilan sambil menatap
tak mengerti Fatimah.
"Ummi bisa pinjam punya Fatimah, kan! Warna apa
saja. Asal jangan warna yang ini. Sebentar ya, Fatimah
ambilin...." Fatimah buru-buru berdiri. Meletakkan
bukunya di atas balai bambu. Lari masuk ke dalam rumah
tanpa ba-bi-bu.
Ummi menatapnya bingung. Aisyah dan Zahra tak
peduli sibuk bertengkar tentang biji gundu yang entah bisa
menghilang kemana.
//"La-sya-ri-ka-la-hu...."// Delisa terus sibuk menghafal.
Fatimah keluar membawa kerudung berwarna putih.
"Emangnya kenapa, kalau Ummi pakai kerudung warna
ungu?" Ummi bertanya penasaran pada Fatimah sambil
menerima kerudung dari tangan sulungnya.
"Yeee, Ummi masak nggak tahu. Ungu itu warna janda!
Pertanda buruk!" Fatimah menjelaskan serius sekali.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Warna janda? Bahkan Delisa yang sedang menghafal
ikut tertawa. Apalagi Aisyah, langsung tertawa lebar. Ia
juga baru tahu. Ungu warna apa? Warna Janda? Ah, terus
kenapa?
Ummi nyengir. Berpikiran sama dengan Aisyah,
memangnya kenapa kalau warna janda? Tetapi menatap
gurat wajah Fatimah yang amat serius Ummi mengalah. Ya
sudahlah! Fatimah belakangan memang suka
mengomentari penampilan orang lain. Ummi saja sudah
tiga kali terpaksa berganti kostum selama sebulan ini pas
hendak ke pasar. Namanya juga ABG.
"Pemerhati pesyen!" Itu kata Aisyah sok-gaul sok-paham
pakai bahasa Inggris beberapa minggu lalu, sirik ngomel
kepada kak Fatimah yang hobi berkomentar tentang
pakaian teman-teman Aisyah yang bertamu ke rumah.
Ummi keluar lagi dari bingkai pintu, sudah berganti
kerudung. Fatimah tersenyum senang. Mengacungkan
jempol tangan. Kembali ke bacaannya.
"Delisa, kamu kok belum pakai kerudung?" Ummi
menegur Delisa, melangkah mendekat.
"Wa-bi-ja-li-ka.... U., u... Um-mi" Delisa menoleh
bingung ke arah Ummi. Ia menghentikan gerakan ayunan.
"Kamu kan ikut Ummi ke pasar sekarang!"
"Eh.... Nggak ah, Delisa menghafal saja hari ini!" Delisa
menggeleng buru-buru.
"Kamu harus ikut, sayang.... Ummi mau beli itu— i-t-u
tuh!" Ummi membuat bundaran dari jemari telunjuk dan
jempol dua tangannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Lingkaran kalung! Delisa menatap tak mengerti dua
kejap. Tetapi segera berteriak beberapa detik berikutnya.
Meloncat dari ayunan....
"UMMI MAU BELI KALUNG?" Delisa berseru senang.
"Kalung buat Delisa?" Delisa sudah mencengkeram baju
Ummi. Wajahnya yang lucu sungguh menggemaskan.
Rambut ikalnya yang pirang bergerak-gerak. Mata hijaunya
menyala.
Ummi mengangguk.
"Hore! ....Sebentar!" Delisa sudah melesat lari ke dalam
rumah. Meletakkan buku hafalan bacaan shalatnya
sembarangan. Menyambar kerudung kecil di atas meja.
Sambil lari, sambil jalan, Delisa mengenakan kerudung
itu apa-adanya. Belepotan. Ummi melangkah mendekat,
membantu membenahi kerudung biru bungsunya.
"Yeee, belum tentu juga Delisa hafal ini bacaan
shalatnya!" Aisyah nyengir menggoda sambil menjalankan
gundunya.
"Delisa pasti hafal!" Delisa berseru cuek. Tidak
mempedulikan Aisyah yang menyeringai ke arahnya.
"Delisa boleh pilih hadiah kalungnya sendiri kan? Seperti
punya kak Fatimah, punya kak Zahra, atau seperti punya
kak Aisyah kan!"
Ummi mengangguk. Sekarang malah Delisa yang
menyeret tangan Umminya keluar pekarangan rumah.
Semangat!
Mereka akan ke pasar Lhok Nga. Membeli kalung
hadiah hafalan bacaan shalat Delisa (di samping belanjaan
rutin mingguan Ummi lainnya). Kalung yang dijanjikan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ummi sebulan lalu. Kalung yang membuatnya semangat
belajar menghafal bacaan shalat minggu-minggu terakhir.
Kalung yang akan membawanya ke semua lingkaran
mengharukan cerita ini.
(Oo-dwkz-oO)
2. Kalung separuh ha rga
"Haiya, kalau begitu kalungnya separuh harga saja
Ummi Salamah!" Koh Acan tersenyum riang.
Pasar Lhok Nga ramai sekali. Sepanjang jalan tadi,
Delisa kencang memegang baju Ummi. Ia jelas tidak mau
kehilangan jejak kaki Ummi. Itulah yang tadi menjelaskan
kenapa Delisa pertama kali buru-buru menyeringai malas
saat diajak Ummi ke pasar.
Ia pernah tertinggal dari Ummi. Dan sepanjang pagi itu
Delisa berteriak-teriak mencari Ummi di seluruh pasar.
Panik. Takut. Delisa benar-benar takut dengan kata-kata
sendirian. Beruntung ada yang mengenali Delisa. Berbaik
hati mengantarnya pulang. Ummi juga waktu itu panik
sekali. Sempat-sempatnya lapor ke pos polisi pasar. Dicari
kemana-mana, eh tahunya yang di cari sudah makan siang
di rumah. Aisyah menggodanya sepanjang minggu.
Buronan polisi!
"Ah, nggak usah. Biar saya bayar penuh Koh Acan!"
Ummi menggeleng pelan. Tersenyum menolak.
"Tidaklah.... Kalau untuk hadiah hafalan shalat ini,
Ummi Salamah bayar separuh saja, haiya!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Delisa nyengir, menarik-narik baju Ummi, menatap tak
mengerti 'Ummi napa sih, mau dikasih setengah harga gak
mau, kan sayang.' Tetapi Ummi tidak memperhatikannya.
"Buat kamu kan.... Ah iya nama kamu Delisa kan? Anak
yang manis, " Koh Acan mengusap-usap kerudung Delisa.
Delisa tersenyum lucu. Semoga begitu malah gratis.
Mereka memang selalu ke sini kalau membeli perhiasan.
Sedikit di antara toko emas yang ada di Lhok Nga. Tadi
Ummi benar-benar membiarkan Delisa memilih sendiri
kalungnya. Sekarang tinggal membayar. Dan sepertinya
Koh Acan yang dari ujung rambut hingga ujung kaki China
tulen, berbaik hati untuk kesekian kalinya.
"Janganlah Koh. Saya jadi tidak enak hati.... Dulu waktu
Fatimah beli Koh Acan juga hanya mau dibayar separuh,
waktu Zahra dan Aisyah beli juga.... Kali ini biarlah Delisa
bayar penuh...." Ummi mengeluarkan dompet dari tas.
Mengambil uang seharga kalung tersebut.
"Nggak... Haiya, saya nggak mungkinlah pasang harga
mahal kalau buat hadiah hafalan shalat! Nggak
mungkinlah...." Koh Acan memperbaiki dupa di atas meja
pajangnya, tersenyum meyakinkan. Koh Acan 100%
Konghucu.
"Kata Abi Usman dulu, shalat itu kan untuk amm-mar
mak-rup na-khi mhung-khar-" Koh Acan kesulitan mengeja
ujung kalimatnya.
"Saya senang sekali anak-anak kecil belajar shalat.... Itu
berarti Lhok Nga akan jadi lebih baik kan.... Apalagi anakanak
Abi Usman dan Ummi Salamah sudah seperti anak
saya sendiri ini...." Koh Acan menggeleng tegas menatap
uang itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ummi memaksa menyerahkan uang penuh. Koh Acan
sebaliknya memaksa mengembalikan separuh-nya. Dan
Delisa dengan sukarela, dengan tampang menggemaskan
ringan-tangan menerima separuh uang itu dari tangan Koh
Acan.
Ummi menyeringai. Mendelik ke arah Delisa. Ingin
menyuruh Delisa mengembalikannya. Tetapi Delisa,
lihatlah, justeru menggenggam uang itu erat-erat. Ya
sudahlah! Seharusnya ia tadi pergi ke toko lain saja kalau
tahu begini.... Masalahnya mau ke toko mana lagi?
Suaminya kan selalu menyuruh dia belanja di sini. Koh
Acan sudah seperti kakak-adik dengan suaminya.
"Daaa Koh Acan! Khamsia...." Delisa menyeringai. Koh
Acan balas melambai tertawa lebar. Khamsia!
Mereka melanjutkan belanja lainnya.
"Kamu belajar darimana kata khamsia tadi?" Ummi
bertanya pelan kepada Delisa.
"Dari orang yang barusan belanja sebelum kita.... Orang
itu bilang begitu! Koh Acan juga bilang begitu. Delisa ikutikut
saja, memang artinya apa-an, Mi?" Delisa menjawab
sekaligus balik bertanya.
Ummi hanya menggeleng kecil, mengatakan artinya.
Delisa mengangguk-angguk sok-paham. Ah, besok ia juga
akan bilang begitu ke siapa saja kalau mau bilang terima
kasih. Kata-katanya lebih enak didengar.
Mereka diam selama sepuluh langkah berikutnya.
"Ummi.... Ummi, biar Delisa yang pegang kalungnya!"
Delisa menarik-narik baju Ummi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Biar Ummi saja!" Ummi menoleh menggeleng. Tetap
melangkah menuju toko kelontong tempat Ummi biasa
belanja.
"Ah, kalau begitu Ummi nggak percaya ama Delisa!"
Delisa menyeringai. Kalimat itu, sebulan terakhir
pamungkas sekali untuk membujuk Ummi.
"Bukan, sayang.... Kan kita sudah janji, kamu nggak
akan pegang kalungnya sebelum kamu hafal seluruh bacaan
shalat! Sebelum lulus dari ujian Bu Guru Nur." Ummi
berkata tegas.
"Yeee, Delisa kan cuma mau bantu bawain ini.... Kan
Ummi repot bawa barang belanjaan!" Delisa membujuk.
Kecewa, bujukan pertamanya tidak mempan.
Ummi tertawa kecil. Jelas-jelas tangannya tidak
memegang apa-apa, selain tas kecil. Mereka kan belum
belanja apa-apa.
"Biar Ummi yang bawa.... Lagian Ummi kan belum
bawa kantong plastik apapun, Delisa. Belum perlu dibantu."
"Yaaa, maksud Delisa entar pasti Ummi bawa banyak
barang belanjaan kan, jadi dari sekarang Delisa bantu bawa
kalungnya!" Delisa tak mau kalah. Maksa mencari
penjelasan lainnya. Menarik-narik baju Ummi. Ia jelas-jelas
bukan ingin membawa kalung tersebut, melainkan ingin
memakainya.
Ummi hanya menggeleng. Meneruskan langkah kakinya.
Benar-benar diluar dugaan cara berpikir bungsunya. Nanti?
Delisa buru-buru ngintil lagi; dengan tampang separuhkecewa,
separuh-takut ketinggalan.
Ah, Delisa kan hanya ingin merasakan memakai kalung
tersebut sekarang. Besok-lusa juga pasti jadi miliknya ini?
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
(Oo-dwkz-oO)
Kecemburuan itu bagai api yang membakar semak
kering. Cepat sekali menyala. Melalap apa saja di
sekitarnya. Dan itulah yang terjadi sesiang, sesore, dan
semalaman saat Delisa dan Ummi sudah pulang dari pasar
Lhok Nga.
Kecemburuan di dalam rumah itu.
Delisa dengan bangga memamerkan kalung itu (setelah
membujuk Ummi habis-habisan agar ia bisa
memperlihatkan kalung tersebut kepada kakak-kakaknya).
Kalung itu biasa saja sebenarnya. Kalung emas 2 gram.
Sama seperti milik Fatimah, Zahra, juga Aisyah. Yang
membuatnya berbeda, karena kalung itu diberikan
gantungan huruf. Huruf D.
"D untuk Delisa!" Delisa riang berseru (menirukan Koh
Acan tadi pagi).
Aisyah menatap sirik. Ia benar-benar cemburu. Kalung
milik Delisa jelas-jelas lebih bagus dibandingkan miliknya.
Kan nggak ada huruf A. A untuk Aisyah.
Aisyah diam saja sepanjang sisa sore. Ia hanya datar
melihat Fatimah, Zahra dan Delisa bermain bulu tangkis di
halaman rumput sebelah rumah. Harusnya permainan itu
berempat. Ganda. Fatimah berpasangan dengan Delisa
lawan Zahra dan Aisyah. Biar seimbang.
"Kakiku sakit!" Itu kata Aisyah pendek menolak ajakan
bermain. Lantas duduk di ayunan. Benci melihat Delisa
yang tertawa-tawa mengejar kok kesana-kemari. Bahkan
Aisyah tidak bergerak sedikitpun saat kok terjatuh dekat
kakinya. Ia kan bisa bantu lempar balik ke lapangan? Cuma
menggapai sedikit, kok bulu tangkis itu sudah bisa terambil
tangannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Fatimah menghela nafas melangkah mendekat
mengambil kok tersebut. Menyeringai sebal ke arah Aisyah.
"Kaki Aisyah segitu sakitnya ya? Sampai-sampai
ngambilin kok saja nggak bisa?"
Aisyah hanya menggerakkan hidung dan bibirnya.
Menyeringai tak peduli. Fatimah malah tertawa
melihatnya; urung melanjutkan omelan. Itu selalu lucu
dilihat. Permainan terus berlanjut hingga menjelang
maghrib.
Malamnya Aisyah yang duduk bersama Zahra juga
berdiam diri saat mengerjakan PR buat besok. Tidak
sedikitpun mengganggu Delisa yang terbata-bata terus
menghafal bacaan shalat di ruang belajar.
//"Su-bha-nal-lah rab-bi-yal a'-la wa-... wa-... wa....
bihamdih!"//
"Aduh itu kan bacaan buat sujud, Delisa!" Fatimah yang
juga sedang belajar bersama-sama menoleh. Tadi Delisa
bukankah baru saja membaca surat pendek, kemudian
takbir hendak ruku1.... Jadi harusnya ia kemudian baca
bacaan ruku1 kan. Bukan bacaan sujud.
"Eh, emang Delisa lompat langsung hafal bacaan sujud
kok! Entar-entar bacaan ruku'nya...." Delisa nyengir.
Padahal sungguh ia suka sekali ketukar-tukar menghafal
bacaan shalat tersebut.... Doa //iftitah// tadi saja ketukarketukar.
Apalagi ini. Bedanya cuma //a'la// dan
//azdhimi//. Delisa suka bingung mana bacaan ruku1,
mana bacaam sujud.
Fatimah menyeringai. Adiknya selalu saja bisa
menjawab pertanyaan orang. Meneruskan membaca
entahlah (bacaan kak Fatimah sekarang aneh-aneh; baca
buku-buku tebal; judulnya panjang-panjang; juga terkadang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
baca komik? Kalau Abi tahu kak Fatimah baca komik bisa
diomelin kan?)
Delisa mengulang lagi menghafal dari bacaan surat
pendek. Takbir. Kemudian bacaan ruku1 lagi.
//"Su-bha-nal-lah rab-bi-yal a... a... a____a'-la wa-biham-
dih!"// Aduh ketukar lagi kan?
Delisa nyengir. Fatimah menatapnya sambil tersenyum
tipis. Malas menegur lagi. Jawabannya juga pasti ngeles.
Delisa menoleh ke arah Aisyah. Maksudnya teramat
jelas.... Kalau tadi pagi kak Aisyah bisa kasih "tips" bagus
biar do'a iftitah-nya nggak ketukar-tukar, sekarang pasti bisa
kasih tips yang keren biar bacaan sujud dan ruku1 tak
ketukar-tukar.
Sayang yang ditoleh, sibuk belajar. Hening tak
mempedulikan kegiatan Delisa. Lebih hening dari pada
Zahra yang memang pendiam. Hanya goretan pulpennya
yang terdengar. Benar-benar diluar kebiasaan Aisyah yang
selama ini seperti minum obat menjahili Delisa. Bukan tiga
kali sehari, tetapi tiga kali setiap tiga puluh menit iseng.
Ummi sedang menjahit di luar. Suara mesin jahit juga
terdengar hingga ke dalam ruang belajar.
Delisa menarik nafas. Menggaruk-garuk rambut
pirangnya. Ia teringat hadiah kalung itu..... Indah sekali
kan! Delisa tersenyum senang. Ia harus hafal bacaan shalat
ini segera biar dapat kalung itu. HARUS!
Delisa malah sibuk membayangkan ia mengenakan
kalung itu sekarang. Manyun senyum-senyum sendiri.
Saking senangnya mengkhayal, Delisa lantas beranjak dari
kursi. Berlari-lari kecil menuju Ummi. Kakak-kakaknya
tidak memperhatikan. Sibuk dengan kegiatan masingmasing.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ummi, Delisa bisa lihat kalungnya sekali lagi?" Delisa
membujuk Ummi yang sibuk memotong kain.
Ummi menoleh. Menatap sebentar. Menggeleng tegas.
"Ah.... Delisa lihat bentar saja, kok...." Ummi
menggeleng lagi.
"Bener... sebentar saja!" Delisa mengacungkan dua
jarinya. Suer! Entah ia melihat dari mana gaya seperti itu.
Ummi tersenyum. Menggeleng sambil mengusap rambut
ikal Delisa yang pirang. Delisa mendesah kecewa. Ia kan
hanya pengin lihat sebentar saja, biar belajar menghafalnya
semangat. Ummi kalau sudah menggeleng susah dibujuk.
(Oo-dwkz-oO)
Dan ternyata kalung itu sakti sekali.
Esok shubuhnya Delisa bangun tepat muadzin di
meunasah baru membaca //"Allaahu-akbar!"// pertama
kali. Delisa menggosok matanya. Teringat kalungnya. Buruburu
turun dari atas ranjang. Menuju ke kamar mandi.
Yang justeru tidak bergeming sekarang adalah siapa lagi
kalau bukan Aisyah. Cemburu itu membakar apa saja.
Termasuk rekor bangun tidurnya.
"Aisyah bangun!" Fatimah pelan membangunkan.
Tidur semalaman justeru membuat hati Aisyah terbakar
lebih luas, lebih dalam. Ia mengibaskan tangan Fatimah.
Hatinya pagi ini teramat dongkol. Ia sebenarnya sudah dari
tadi bangun. Hanya saja malas sekali melihat Delisa ada di
dekatnya. Melihat Delisa turun dari ranjang dengan riang.
Mereka bertiga sekamar. Kak Fatimah punya kamar
sendiri.
Delisa kembali dari kamar mandi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kak Aisyah bangun!" Delisa iseng memercikkan
tangannya ke muka Aisyah. Aisyah menutup kepalanya
dengan bantal. Mengkal sekali.
"Bangun Ais.... Nanti kak Fatimah gelitikin Ion!"
Fatimah mengeluarkan senjata pamungkasnya. Delisa
berseru senang. Asyik, balas dendam. Meloncat ke atas
tempat tidur. Menyiapkan jari-jarinya (juga belum dipotong
kukunya). Tetapi sebelum kak
Fatimah menghitung, Aisyah sudah melempar bantal
duluan. Beranjak duduk.
Bersungut-sungut menatap kak Fatimah. Apalagi saat
menatap Delisa. Mukanya mengkal sekali. Aisyah dongkol
patah-patah turun dari tempat tidur.
Ibu masuk dari bingkai pintu, sudah mengenakan
mukena putih.... "Eh kenapa pada belum siap-siap?"
"Kak Aisyah bangunnya susah...." Delisa melapor sambil
nyengir, 100% meniru intonasi Aisyah kemarin shubuh saat
melaporkannya. Aisyah tambah mengomel dalam hati
mendengar suara Delisa, berjalan tersuruk-suruk menuju
kamar mandi. Sial! Di dalam ada Zahra.
(Oo-dwkz-oO)
Mereka tidak mengaji seperti biasa pagi ini.
Senin pagi. Itu berarti jadwal Abi menelpon setiap
minggu. Mereka duduk di ruang keluarga menunggu
telepon.
"Ummi, tadi kak Aisyah malah sama sekali nggak
bersuara pas shalat... Delisa kan jadi nggak baca apa-apa!"
Delisa yang duduk dekat Ummi melapor.
Aisyah yang sedang menunduk, menjawil-jawil ujung
kerudungnya diam saja. Tidak mempedulikan pengaduan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Delisa. Tabiatnya aneh sekali, biasanya ia langsung
membantah apa saja kalimat Delisa. Ummi menoleh ke
arah Aisyah, meminta penjelasan. Aisyah tetap tak
bergeming.
"Kamu kenapa, sayang?" Ummi bertanya kepada
Aisyah. Urung bertanya soal pengaduan Delisa. Aisyah
diam saja.
"Kamu sakit?" Ummi mendekat. Duduk sambil
memegang dahi Aisyah. Menggeleng, dahi itu tidak panas.
"Panas ya, Mi?" Delisa mendekat. Tangannya ikutan
hendak menyentuh dahi Aisyah. Sok-baik sok-perhatian
seperti biasa. Senyum-senyum.
Ya Allah, Aisyah reflek mengibaskan tangan adiknya.
Delisa mengaduh. Lumayan sakit. Fatimah yang sedang
membaca buku tebal lainnya menoleh. Zahra juga menoleh.
Suasana di ruang keluarga segera berubah. Menegang.
Ummi menatap Aisyah penuh tanda tanya. Sedikit marah.
"Kenapa tangan Delisa kamu kibaskan?"
Aisyah diam seribu bahasa. Ia semakin mengkal. Kan
sudah jelas! Ia nggak suka Delisa dapat kalung lebih bagus!
Ah, beginilah tipikal pencemburu. Merasa
permasalahannya sudah tersampaikan kepada orang lain
dengan merajuk tak jelas maksudnya. Jelas-jelas tidak ada
yang tahu kalau Aisyah sedang marah karena urusan
kalung itu. Aisyah kan belum bikin spanduk, baliho atau
karton demonstrasi. Aisyah belum memproklamirkan
kemarahan tersebut. Tetapi Aisyah merasa ia sudah
menjelaskan masalah dari mukanya yang sekarang mulai
memerah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Delisa mengurut-urut tangannya menjauh, duduk dekat
Fatimah sambil mengomel "Kak Aisyah jahat! Delisa kan
cuma pengin tahu panas atau nggak! Malah dipukul-"
Aisyah justeru menatapnya garang.
Ummi mengambil alih permasalahan.
"Ada apa Aisyah? Apa salah adikmu?" Suara Ummi
tegas. Menyelidik. Aisyah diam, mukanya semakin merah.
Ia hendak berteriak marah, bagaimana Ummi tidak tahu,
jelas-jelas ia tidak suka Delisa dapat kalung lebih bagus!
Telepon berdering.
Perhatian terpecah. Ummi bangkit dari duduknya. Sudah
jadi prosedur normal. Ummi yang pertama kali mengangkat
telepon dari Abi. Nanti baru mereka yang bergiliran
berbicara langsung dengan Abi.
"Assalammualaikum...."
Ummi sumringah sekali. Seperti biasa kalau berbicara
lewat telepon dengan Abi, Ummi bertingkah seolah-olah
Abi ada di depannya saja. Pernah Delisa bertanya "Ummi
kenapa sih senyum-senyum kayak gitu, kan Abi nggak lihat
kalau Ummi senyum...." Ummi hanya menjawab lembut
"Tapi Abi kan bisa merasakan kalau Ummi sedang
tersenyum.... Ah, Delisa nanti kalau kamu sudah besar
kamu bakal tahu, istri yang baik selalu bersikap sungguhsungguh
melayani suaminya...."
Delisa manyun. Akan butuh waktu lama sekali ia akan
mengerti kalimat Ummi itu. Lah sekarang saja umurnya
baru enam tahun.
Ummi entah membicarakan apa. Sepertinya banyak.
Mereka menyimak suara Ummi dengan baik, meski kadang
tak terlalu mengingat dan mengerti. Kadang Ummi terlihat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tersipu. Delisa memandang kakaknya Fatimah. Kak
Fatimah mengangkat bahu, nyengir. Dengarkan saja!
Sepuluh menit kemudian, Ummi menyerahkan telepon
ke Delisa.
//"Assalammualaikum//, Delisa....
//"Waalaikumussalam//, Abi kemarin Delisa ke pasarbeli-
kalung-untuk Delisa-buat hafalan shalat-kalungnya
bagus-ada huruf D-D untuk Delisa-ah iya Koh Acan baik
sekali-ah iya minggu depan-Delisa harus maju-praktekshalat-
depan Bu Guru Nur-Abi bantu doa ya-"
Bagai mitraliur Delisa menyampaikan berita (Delisa
buru-buru karena ingat kata-kata di teve itu; kalau pakai
listrik hemat-hemat. Gerakan hemat nasional. Jadi nelpon
juga harus hemat-hemat; ia mesti cepat-cepat
menyampaikan kabar).
Abi tertawa di seberang.
"Delisa ceritanya pelan-pelan!"
"Nggak-Delisa-mesti-buru-buru."
"Ah iya, nanti Abi juga kasih hadiah buat Delisa.
Sepeda!" Abi berkata lembut.
"Sepeda?... Beneran, ya! Abi janji, kan!" Mendengar
berita itu, Delisa tidak usah disuruh dua kali, kembali bicara
normal seperti biasa. Berteriak senang.
"Ya, nanti kita beli di pasar! Pas Abi pulang!" "Asyik....!
Delisa mau yang warna biru!" "Delisa boleh milih sendiri,
kok!" Delisa berjingkrakan. Kerudung birunya tersingkap.
Aisyah menatap semakin terluka dari atas kursi.
Giliran Fatimah berikutnya. Lima menit. Aduh, kak
Fatimah ngomong apa sih? Bahas buku-buku itu, bikin
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pusing! Ngomong apa gitu! Kan sayang pulsa kebuang
cuma buat nanya yang aneh-aneh.
Lima menit kemudian giliran kak Zahra. Nggak lama,
cuma dua menit. Zahra kan pendiam, jadi lebih banyak
mendengar nasehat Abi. Lebih banyak diamnya.
Mengangguk-angguk.
Giliran Aisyah. Va Allah, Aisyah mentah-mentah
menolak bicara. "Aisyah, ayo.... Abi nunggu nih!" Ummi
menatap tajam. Aisyah tetap tak bergeming.
"Aisyah-nya merajuk, Bi!" Ummi menjelaskan. Bicara
lagi beberapa menit. Memutus hubungan.
(Oo-dwkz-oO)
Dan sekarang Aisyah benar-benar mendapatkan
perhatian 100% dari Ummi.
Ummi mendekat. Duduk di samping Aisyah.
"Kenapa, Ais? Kamu kenapa menolak bicara pada Abi?"
Ummi bertanya tajam. Urusannya jauh lebih serius
dibandingkan dengan memukul tangan adiknya tadi.
Aisyah melotot menatap lantai.
"Ada apa?" Ummi memegang bahu Aisyah. Meminta
penjelasan! Pegangan itu mengeras.
Aisyah yang sedari tadi menahan marah; pecah sudah;
bukan! bukan menjadi marah benaran. Tetapi menangis.
Marah dan menangis itu satu jenis. Kalian akan menangis
jika saking marahnya. Menangis itu juga satu jenis dengan
senang. Kalian akan menangis jika saking senangnya. Dan
tentu saja menangis itu benar-benar satu jenis dengan sedih.
Kalian akan menangis kalau sedih.
Aisyah menangis terisak. Lah!
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ummi menghela nafas. Fatimah memandang bingung.
Zahra menyeringai, Ah seperti biasa, pasti merajuk nggak
jelas lagi! meskipun Zahra tidak tahu Aisyah merajuk
karena apaan. Delisa mendekat, juga bingung. Tetapi
sungguh hati Delisa bagai mutiara; seperti terlahir seperti
itu. Delisa memegang tangan kakaknya dengan lembut.
"Kak Aisyah kenapa menangis?" mata hijau Delisa
menatap wajah kakaknya yang berderai air. Menggemaskan
sekali melihat ekspresi muka Delisa. Polos bertanya.
Aisyah yang menangis tidak mengibaskan tangan itu.
Tidak juga menoleh ke arah Delisa. Hatinya kebas, jadi ia
tidak memikirkan hal lain kecuali kecemburuannya. Tidak
mendengarkan pertanyaan adiknya yang sok-perhatian.
"Ada apa, sayang-" Ummi mengelus rambut Aisyah.
"Bukankah.... Bukankah Ummi sudah tahu!" Aisyah
terbata memotong.
"Tahu apanya, Aisyah kan belum bicara...."
"Kenapa... kenapa Delisa...." Suara Aisyah patah-patah;
menunjuk Delisa di sampingnya. Mencoba menahan sedan.
"Kenapa apa?" Lembut Ummi bertanya.
"Kenapa Delisa dapat kalung yang lebih bagus! Kenapa
kalung Delisa lebih bagus dibandingkan dengan kalung
Aisyah... juga kalung Zahra.... Kalung kak Fatimah!" Jelas
sudah!
Ummi menghela nafas. Fatimah beranjak mendekat.
Delisa menatap tak mengerti. Lebih bagus apanya? Orang
Delisa kemarin pagi milih kalungnya sengaja mirip dengan
punya kak Aisyah.
"Kalungnya kan sama saja dengan punya Aisyah-"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tetapi punya Delisa ada hurufnya!" Aisyah memotong
Ummi cepat, ia masih tersedan. Berusaha mengelap ingus
dengan ujung kerudung.
Delisa menatap nyengir, "Idih, kak Aisyah jorok. Masak
ngelap ingus pake jilbab!" Delisa berseru jijik sambil
mengambil selembar tisu dari atas meja. Menyerahkannya
ke tangan Aisyah.
Aisyah menatap galak. Mengambilnya tetapi tidak
sedikitpun bilang terima kasih.
"Kamu tuh aneh, Aisyah.... Zahra saja nggak cemburu
kok Delisa dapat kalung lebih bagus.... Kak Fatimah juga
nggak! Lagian cuma beda huruf doang" Fatimah mendekati
adiknya. Mencoba membantu Ummi membujuk Aisyah.
Aisyah hanya diam. Iya juga kan? Tetapi ia buru-buru
membuang pendapat kak Fatimah. Diam.
"Ibu kan pernah bilang, sayang.... Jangan pernah lihat
hadiah dari bentuknya... Lihat dari niatnya... Abi kan juga
sering bilang, Kalau kamu lihat hadiah dari niatnya, insya
Allah hadiahnya terasa lebih indah.... Ah iya, bukankah
ustad Rahman juga pernah bilang: kita belajar shalat itu
hadiahnya nggak sebanding dengan kalung.... Hadiahnya
sebanding dengan surga...."
Aisyah masih menggeleng keras kepala.
"Memangnya Aisyah pas belajar shalat hanya agar dapat
kalung?"
Aisyah terdiam. Dulu sih ia memang berharap agar
dapat kalung. Kalau sekarang sudah banyak mengerti,
belajar shalat jelas-jelas bukan untuk dapat kalung saja.
Aisyah menggeleng pelan. Tetapi ada yang mengangguk
kencang-kencang. Delisa! Delisa tersenyum manyun, tanpa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dosa; jelas-jelas ia belajar shalat agar dapat hadiah kalung
dari Ummi.
Itu janji Ummi sebulan lalu. Meskipun tidak ada yang
memperhatikan tampang menggemaskan Delisa.
"Nah, kalau bukan untuk kalung, kamu nggak
sepantasnya cemburu dengan hadiah adikmu, kan? Ah iya,
besok-lusa kita kan bisa ke tempat Koh Acan lagi, masingmasing
nanti beli huruf untuk kalungnya.... F untuk
Fatimah, A untuk Zahra dan Aisyah-"
"U untuk Ummi.... A untuk Abi!" Delisa memotong. Ia
tidak tahu memangnya nama Ummi dan Abi seperti itu; itu
kan hanya panggilan. Fatimah ikut nyengir tertawa.
Aisyah tersenyum tanggung mendengar kalimat Ummi
(bukan melihat gaya Delisa yang sok-tahu tadi).
Kemarahannya berkurang. Cemburunya memudar. Ia akan
dapat huruf A. Tetapi ia masih ingat sesuatu.
"Tetapi kenapa Delisa dapat hadiah sepeda dari Abi?"
Ummi menghela nafas.
"Memangnya sepeda itu buat Delisa doang. Aisyah kan
bisa pinjam. Zahra juga bisa pinjam. Kak Fatimah juga bisa
pinjam.... Seperti tas kalian yang saling pinjam...."
Aisyah menyeringai lagi. Masuk akal sih.
"Nah kalau kamu mau ke sekolah pakai sepeda, sambil
bonceng Delisa.... Kamu mesti baca bacaannya keras-keras
pas shalat, biar adikmu bisa dengar. Biar ia shalat sambil
belajar. Semakin cepat adikmu bisa, kan nanti Abi bisa
langsung beliin saat pulang dua minggu lagi...."
Aisyah mengangkat hidung dan bibirnya. Menyeringai.
Tetapi bagaimana kalau Delisa tidak mau minjamin
sepedanya?
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Iya kak, entar Delisa kasih pinjem, deh!"
(Oo-dwkz-oO)
3. Jemba tan keledai
Delisa mengaduk-aduk lemari pakaiannya (yang
digabung dengan lemari pakaian Aisyah dan Zahra); tega
sekali ia membuat lipatan pakaian kakak-kakaknya porakporanda.
"Ummi! Baju ngaji Delisa kok nggak ada!" Delisa
berteriak sambil terus mengaduk.
"Kan Ummi sudah taruh di atas meja!" Ummi balas
berteriak. Ummi lagi di ruang depan. Membordir pesanan
ustadz Rahman.
"Eh iya!" Delisa nyengir. Buru-buru menuju meja
belajarnya. Meninggalkan isi lemari yang jungkir-balik.
Menemukan baju TPA berwarna biru. Delisa dengan cepat
mengenakan kerudung biru.
"Yaa, Ummi napa kerudungnya yang ini.... Delisa sering
gatal-gatal kalo pakai yang ini...." Delisa mendekati Ummi.
Menunjuk kerudung yang tengah dirapikannya.
"Itu karena kamu malas cuci rambut, sayang!" Ummi
terus konsentrasi pada bordirannya.
"Delisa juga sering kepanasan...." Delisa mendaftar
keluhan berikut.
"Kan kamu bisa lepas nanti kalau terasa panas!" Ummi
menjawab seadanya. Delisa tidak mendengarkan. Ia sudah
beranjak menuju pintu keluar.
"Eh, nanti Delisa langsung main ya, Mi!" Delisa
berteriak dari pintu depan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ummi mengangguk. Mana Delisa bisa lihat anggukan
Ummi? Ia sudah membuka pintu rumah. Ah, kalau Ummi
diam tidak-berteriak itu berarti oke.
"Daa Ummi; //assalamualaikum//!" Delisa berteriak
langsung lari. Ummi tersenyum menjawab salam Delisa
pelan. Bungsunya selalu begitu. Pamit selalu lari sambil
berteriak mengucap salam.
Delisa berlari-lari kecil. Kerudung birunya bergoyang.
Bukan sekadar karena gerak tubuhnya, tetapi juga karena
desir angin laut yang menerpa. Penghujung bulan akhir
tahun ini, angin laut bertiup lebih kencang. Udara lebih
lembab dari biasanya.
Delisa sudah terlambat. Tadi sepulang sekolah ia piket
dulu. Di sekolahnya memang begitu. Piket membersihkan
ruangan kelas dilakukan setelah pulang. Delisa masih kelas
satu, pulangnya pukul setengah sepuluh, sekolah
seperempat hari.
Sekarang sudah jam sepuluh lewat lima. Buru-buru
Delisa ke meunasah yang terletak dua ratus meter dari
rumahnya. Jadwal harian belajar mengaji TPA dengan
ustadz Rahman.
Kata ustadz Rahman, muslim yang baik selalu bisa
menghargai waktu. Delisa tidak tahu apa artinya
menghargai waktu; Yang ia tahu, saat ustadz Rahman
menjelaskan, itu berarti kita harus datang tepat waktu,
nggak boleh terlambat, Delisa berusaha datang tidak pernah
telat. Seperti sekarang, ia lari lebih cepat. Tasnya
bergoyang-goyang mengikuti irama tubuh. Dahi Delisa berkeringatan.
Suara anak-anak yang membaca Iqra terdengar dari
kejauhan. Delisa nyengir. Ya.... ia telat lagi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tiba di halaman meunasah setengah menit kemudian.
Buru-buru masuk ke muenasah. Ustadz Rahman
menatapnya.
"Delisa tadi piket....!" Delisa menjelaskan tanpa diminta.
Menyeka dahinya. Ustadz hanya tersenyum. Dia tahu
setiap hari Senin Delisa pasti datang terlambat. Semua anak
yang lain juga telat kalau lagi jadwal piket di sekolah.
Bedanya dengan Delisa; Delisa selalu berkepentingan
menjelaskan. Meskipun penjelasannya itu-itu juga.
"Tapi entar kalau Abi sudah pulang; Delisa nggak bakal
telat lagi...." Delisa berkata sambil mengambil rihal. Duduk
di sebelah ustadz. Posisinya.
Ustadz Rahman yang sejenak tadi sibuk mengawasi dua
puluh anak sepantaran Delisa yang sedang membaca Iqra
masing-masing; menoleh ke arah Delisa, bertanya lewat
tatapan. Tidak telat lagi?
"Karena Abi janji beliin Delisa sepeda! Hadiah hafalan
shalat Delisa! Jadi wuss... Delisa pasti nggak telat lagi!"
Delisa menyeringai bangga. Membuka iqra-nya.
"Memangnya Delisa sudah hafal bacaan shalatnya?"
Ustadz bertanya lembut, tersenyum. "B-e-l-u-m...." Delisa
menggeleng lucunya.
Ustadz Rahman tersenyum lagi.
Delisa mulai membaca Iqranya. Nanti seperti ngaji
dengan Ummi, ia juga akan nyetor dengan ustadz Rahman.
Tetapi ramai-ramai. Ustadz ngajar-nya serempak di papan
tulis. Kecuali yang sudah baca Al-Qur'an seperti kak Aisyah
dan kak Zahra. Baru ditartil satu persatu.
Ustadz Rahman umurnya sekitar 26 tahun. Lulusan
IAIN Banda Aceh.... Eh, Delisa lupa nama sekolahnya.
Panjang! Nggak sependek nama sekolah Delisa: Ibtidaiyah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Negeri 1 Lhok Nga. Ustadz Rahman baik. Mungkin yang
bisa ngalahin kebaikan ustadz Rahman hanya Umi, Abi,
Ibu Guru Nur, dan kak Fatimah. Kalau dibandingin dengan
kak Aisyah. Uuh, jauh baikan ustadz Rahman. Meski
ustadz sering galak ke anak-anak yang becandaan mulu di
dalam meunasah.
"Ustad, kenapa ya Delisa sering kebolak-balik?" Delisa
nyeletuk. Mengangkat kepalanya dari buku iqra di atas
rihal. Ingat sesuatu. Ustadz Rahman menatapnya? Kebolakbalik?
Oo, bacaan shalat.
"Biar nggak kebolak-balik kamu mesti menghafalnya
berkali-kali.... Baca berkali-kali.... Entar nggak lagi! Entar
pasti terbiasa." ustadz menjelaskan.
"Delisa sudah baca berkali-kali, kok.... Tetap saja
begitu!"
Ustadz tersenyum. Semua anak memang punya masalah
seperti ini kalau menghafal bacaan shalat. Terbalik-balik.
Bedanya dengan Delisa ya pertanyaan selanjutnya ini,
"Ustadz, emangnya nggak boleh baca kebolak-balik?"
Ustadz Rahman yang barusan melototin Teuku Umam
yang lagi iseng menjawil jilbab Tiur menoleh. Buru-buru
menjawab.
"Eh.... Nggak boleh, Delisa!"
"Kenapa nggak boleh? Kan semuanya tetap dibaca....
Lengkap!" Delisa memasang wajah seolah-olah ikut berpikir
serius. Pertanyaan itu juga serius sekali sebenarnya.
Ustadz Rahman menyeringai. Kan susah kalau dia mesti
jelasin shalat itu "ibadah besar". Jadi mesti sesuai dengan
tuntunan Rasul. Tidak boleh ada yang beda. Beda sedikit
bisa jadi bid'ah. Lah bid'ah itu apaan? Pasti Delisa bertanya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
balik. Dan urusan semakin kapiran. Bukan. Bukan ustadz
Rahman tidak mau menjelaskan panjang lebar. Tetapi
mengajari anak kecil seperti Delisa, harus ada tekniknya.
Atau kalau tidak, akan terjadi mall-praktek mendidik anakanak.
"Eh.... Kalau Delisa pakai kaos-kaki kebolak-balik
warnanya boleh nggak?"
"Boleh.... Boleh-boleh saja.... Delisa pernah kok!" Delisa
menjawab serius (ia memang pernah; maksudnya nggak
sengaja salah pasang; diketawain Cut Aisyah; tetapi kan
boleh-boleh saja).
"Eh.... Kalau Delisa pakai sepatu di kepala... Terus
kerudung di kaki bisa gak kebolak-balik begitu?" Ustadz
Rahman mencari analog lain. Menyesal dengan contoh
sebelumnya. Jelas-jelas dia sedang menghadapi Delisa.
Delisa sekarang terdiam. Berpikir. Kemudian nyengir.
Menggeleng pelan. Ustadz Rahman tersenyum. Delisa tidak
perlu penjelasan lebih lanjut. Ia selalu bisa mengambil
kesimpulan sendiri.
Delisa meneruskan membaca Iqranya.
Eh, tetapi ustadz kan belum jelasin bagaimana caranya
agar nggak kebolak-balik? Delisa hendak bertanya lagi.
Terlambat, ustadz Rahman sudah mengetuk papan tulisnya.
Tanda mereka akan beramai-ramai membaca Iqra.
Pertanyaan itu tersimpan dalam hati.
(Oo-dwkz-oO)
"Pernah ada sahabat Rasul, saking khusuknya shalat,
kalajengking besar menggigit punggungnya dia tidak
merasakan sama sekali.... Ya kalajengking besar...." Ustadz
Rahman menggambar kalajengking itu dengan gerakan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tangannya. Bersuara seperti capit kalajengking yang
menganga.
Anak-anak bergidik. Ustadz Rahman pintar bercerita.
Setiap habis membaca Iqra bersama-sama, biasanya ustadz
Rahman akan mengajari mereka banyak hal, selain
mengaji. Doa-doa harian; hafalan-hafalan surat; bernyanyi.
Favorit Delisa dan teman-temannya tentu saja "cerita".
Sekarang ustadz bercerita soal bagaimana khusuknya shalat
Rasul dan sahabat-sahabatnya.
"Kenapa dia nggak kerasa sakit; kan badannya jadi
bengkak?" Kalau anak lain bergidik, Delisa justeru
mengacungkan tangan bertanya. Memandang ingin tahu.
Ustadz Rahman menelan ludah.
"Eh, karena orang yang khusuk pikirannya selalu fokus.
Pikirannya satu! Misalnya Delisa lagi asyik main bola di
pantai. Pikirannya cuma satu kan, nendang-nendang bola.
Meski kaki misalnya keseleo sakit, Delisa tetap main. Meski
hujan-hujanan, Delisa juga tetap main. Bahkan dipanggil
Ummi, Delisa juga nggak mendengarkan, kan...."
Anak-anak lain tertawa. Delisa nyengir.
"Nah, jadi kalian shalat harus khusuk. Harus satu
pikirannya.... Andaikata ada suara ribut diseki-tar, tetap
khusuk. Ada suara gedebak-gedebuk, tetap khusuk. Jangan
bergerak. Siapa di sini yang kalau shalat di meunasah sering
gangguin temannya?"
Semua anak-anak menunjuk Teuku Umam yang jahil
tadi. Termasuk tangan Delisa. Ustadz Rahman tersenyum.
Teuku Umam hanya menyeringai galak.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mereka mendengarkan lanjutan cerita tersebut lima belas
menit lagi. Kemudian ustadz Rahman menutup pengajian
TPA mereka dengan membaca doa bersama. Keras-keras.
"Anak-anak sebentar!" Ustadz meminta perhatian temanteman
Delisa yang sibuk membereskan rihal dan tas
masing-masing. Bersiap pulang. Mereka menoleh.
"Besok kita libur!" Ustadz Rahman tersenyum
mengatakan itu. Mukanya riang; tidak seperti biasanya
kalau mengumumkan soal libur. Ustadz Rahman kan tidak
suka kata-kata libur.
"Hore!!" teman-teman Delisa lebih senang lagi.
Melanjutkan berbenah siap pulang.
"Memangnya ustadz mau kemana?" Delisa mendekat
bertanya, ia melepas kerudung birunya (tuh kan bener,
terasa panas!).
"Ke Meulaboh!"
"Ooo iya.... Ustadz mau nikah ya?" Delisa teringat
ucapan Ummi beberapa hari lalu. Bordiran pakaian Ummi
tadi pagi juga buat bawaan ustadz melamar.
Ustadz Rahman tersipu mukanya.
"Asyik! Pasti ada kenduri besar-besaran kan?" Delisa
berseru riang. Yang beginian memang hobinya. "Pasti ada
arak-arakan... uang receh yang dilempar... banyak
manisan!" Delisa menghitung semua hal menyenangkan
tersebut dengan jemarinya.
Ustadz hanya tersenyum mengangguk. Ah, pernikahan
mereka tidak akan semeriah itu, Delisa. Dia kan hanya guru
ngaji? Tetapi apa salahnya membuat Delisa senang.
Mengangguk bisa berarti banyak, belum tentu berbohong.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dan Delisa sudah melesat keluar meunasah bersama
teman-temannya, memberitahukan mereka tentang kabar
menyenangkan tersebut! Plus "bumbu- bumbu" kenduri
yang diharapkannya.
(Oo-dwkz-oO)
"Kamu nggak jadi main?" Ummi yang sedang
mengenakan mukena bertanya. Delisa masuk sambil
bersenandung.
Menggeleng. Tadi Delisa mau main, tetapi Tiur
mengajaknya pulang dari meunasah naik sepedanya. Jadi ia
ikut saja. Naik sepeda ini. Delisa meletakkan tasnya.
"Kalau begitu kamu shalat dzuhur bareng Ummi ya!"
Delisa mengangguk. Ke kamar mandi. Mengambil
wudhu. Memakai mukenanya pelan, melangkah mendekati
Ummi yang sudah menunggu.
Ummi membaca bacaan shalat keras-keras hingga
terdengar Delisa yang berdiri di sebelah kiri. Delisa tetap
saja ribet, meski suara Ummi lebih terdengar dibandingkan
suara kak Aisyah. Delisa pusing dengan kata-kata yang
sama. Apalagi pas duduk di antara dua sujud, //rab-bil-firli,
war-ham-ni, waj-bur-ni....// Kenapa pula kata-katanya
mesti mirip begitu? Mana depan, mana belakangnya?
Tetapi Delisa tidak banyak bertanya setelah shalat, ia
banyak berpikir sekarang. Pasti ada cara yang lebih baik
untuk menghafal bacaan-bacaan itu. Ia saja yang belum
tahu.
Setelah makan siang bersama Ummi, Delisa kembali ke
ayunan di bawah pohon jambu. Menenteng buku bacaan
shalatnya. Kata ustadz Rahman kan harus sering diulangulang.
Baiklah! Delisa akan mengulang-ulangnya. Tiga
puluh menit ia mencoba mengulang-ulang. Berkonsentrasi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Masalahnya otak Delisa sekarang bukan dipenuhi oleh
bacaan shalat, melainkan oleh "kalung" itu. Jadi Delisa
kebanyakan bengongnya. Mengkhayal. Satu jam kemudian.
Delisa menyerah untuk siang itu. Melipat buku bacaan
shalatnya. Masuk ke dalam lagi. Ummi masih sibuk
melanjutkan bordiran, nanti sore harus diantar ke rumah
ustadz Rahman. "Kak Aisyah dan kak Zahra kok belum
pulang ya, Mi?"
Harusnya jam segini mereka sudah pulang. Kalau
Fatimah memang pulang sorean. Jam setengah tiga.
Sekolahnya agak jauhan. Juga jam sekolah kak Fatimah
memang lebih lama.
"Mereka kan latihan tari Saman hari ini!" Ummi
menjelaskan tanpa melihat Delisa. Tangan Ummi lincah
menggerakan alat bordir. Delisa membuka mulut, ber-ooo.
"Delisa main ya, Mi!" Delisa yang bingung mau
melakukan apa terpikirkan ide pamungkasnya. Ia
sebenarnya bukan bingung mau melakukan apa. Ia
penasaran saja dengan hafalannya. Penasaran dengan
kalungnya. Kalau sudah begitu maka ia biasanya butuh
//refreshing// (meski Delisa tidak tahu apa arti kata itu, ia
pernah mendengarnya sekali; yang penting ia tahu mesti
main sebentar kalau bingung mau melakukan apa).
Ummi mengangguk. Delisa tidak melihatnya. Ia sudah
kabur lagi sambil beteriak mengucap salam.
(Oo-dwkz-oO)
Menuju lapangan sepakbola. Empat ratus meter dari
rumahnya. Lapangan itu persis berada di pantai Lhok Nga.
Siang ini udara teduh. Awan menggumpal di langit.
Menyenangkan berada di lapangan. Pasir di mana-mana.
Angin laut bertiup kencang. Burung camar melenguh ber-
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pekikan berterbangan di kejauhan. Suara ombak memecah
bibir pantai menambah suasana menyenangkan itu.
Sudah ada beberapa teman cowok Delisa yang sedang
menendang-nendang bola di sana. Delisa menggemaskan
berlari mendekat. Rambut ikal pirangnya tertiup angin laut,
bergoyang-goyang lucu. Kerudung biru itu sudah masuk
kantong celana panjangnya. Panas banget!
"Delisa ikutan ya!" Ia langsung masuk kerumunan.
"Nah jadi lengkap! Kamu masuk tim Teuku Umam
saja!" salah seorang temannya mendorong tubuh Delisa
bergabung dengan salah satu kerumunan anak lainnya.
Delisa menoleh ke arah tim Teuku Umam. Mengangguk.
Untuk urusan bola, Umam jagonya. Kalau urusan lain,
Delisa tidak akan pernah satu kelompok dengan Teuku
Umam. Raja jahil, sama seperti kak Aisyah; ratu jahil.
Sebenarnya, justeru karena Umam jago itulah maka
Delisa oleh teman-temannya digabungin ke sana. Biar
imbang.
Maka bermainlah mereka, tanpa wasit. Enam lawan
enam. Bola plastik itu diuber beramai-ramai. Delisa terlihat
beda sekali. Meskipun ia lumayan gesit. Lumayan pandai
menendang. Rata-ratalah. Apalagi ia kan anak cewek ini.
Delisa awal-awalnya dulu hanya ditaruh jadi kiper.
Tetapi ia protes mulu. Delisa benci hanya berdiri bengong
menunggu bola. Karena temannya sebal dengan protesnya
yang tak kunjung henti, dan juga banyaknya gol yang
masuk ke dalam gawangnya, Delisa dibiarkan mengambil
posisi yang paling ia inginkan. //Striker//.
Hari semakin sore. Matahari mulai beranjak turun. Satu
jam kemudian Tiur datang membawa sepedanya. Melambai
berteriak ke arah Delisa yang sedang berlari mengejar-
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ngejar bola. Delisa teringat sesuatu. Ah iya, ia kan tadi janji
mau belajar bersepeda dengan Tiur. Maka begitu saja
Delisa meninggalkan lapangan. Padahal permainan sedang
seru-serunya: 3-3. Teman-teman cowoknya berseru keki.
"Delisa mau belajar naik sepeda!" Delisa menjawab
pendek menjelaskan saat teman laki-nya menarik bajunya,
tak sensitif.
"Yaaa.... Kan jadi nggak lengkap timnya!" Teuku Umam
melotot ke arahnya, dia benar-benar keberatan Delisa
keluar sekarang; timnya bisa kalah untuk pertama kalinya.
Delisa cuek mendekati Tiur. Membiarkan Umam yang
marah.
Permainan terus dilanjutkan meski Teuku Umam
melempar Delisa dengan pasir. Tak masalah benar. Sepak
bola kan bisa dimainkan dengan formasi apapun. Yang
penting bahagia. Lari. Dan tendang. Tak ada yang peduli
soal menang atau kalah. Mungkin Teuku Umam saja yang
peduli soal menang-kalah sekarang.
Setengah jam berikut dihabiskan oleh Delisa belajar naik
sepeda. Ternyata tidak semudah main sepakbola. Delisa
sudah tiga kali jatuh berdebam di atas pasir.
Lututnya bahkan lecet (ia sih pakai digulung segala
celananya). Rambut ikal pirangnya penuh butiran pasir.
Tetapi Delisa tetap cuek. Tak kenal menyerah.
Berteriak-teriak agar Tiur tidak melepaskan
pegangannya. Tiur hanya tertawa-tawa di belakang. Bilang
"iya dipegang ini!" namun tangannya sibuk ngupil.
Satu jam kemudian, suara adzan ashar terdengar dari
meunasah. Delisa tetap belajar menaklu-kan sepeda Tiur. Ia
khusuk sekali. Benar-benar seperti yang dikatakan ustadz
Rahman tadi. Coba ia belajar menghafal bacaan shalatnya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
seperti ini, kan jauh lebih cepat urusannya. Tidak sepanjang
hari semata-mata membayangkan hadiah kalung itu.
Matahari bergerak menghujam bumi semakin rendah.
Jingga memenuhi langit. Indah. Angin bertiup lebih lembut.
Lapangan lebih ramai. Ramai oleh penduduk Lhok Nga
yang sedang berjalan menghabiskan sore setelah bekerjan
seharian. Menatap bentang cakrawala yang elok nian.
Burung camar berpekikan kembali ke sarang. Ombak
semakin kencang. Pantai terlihat menakjubkan.
Delisa sudah lima menit lalu duduk menjeplak di sebelah
Tiur. Badannya baret-baret. Memar di sana-sini. Tetapi ia
menyeringai senang. Setidaknya dua-tiga meter Delisa
sudah bisa jalan sendiri. Cepat sekali ia belajar; habis Delisa
teringat janji Abi! Ia mesti bisa belajar naik sepeda sebelum
Abi membelikannya sepeda.
Lima menit lagi Delisa beranjak pulang.
Tiba di rumah, Ummi ngomel! Delisa pulang ke-sorean.
"Mi, tadi Delisa belajar naik sepeda.... Nggak main kok...
belajar!" Delisa sok-serius berusaha menjelaskan;
memangnya dengan kata belajar semua urusan jadi
termaafkan. Delisa buru-buru mengambil handuk, bergegas
masuk ke dalam kamar mandi sebelum Ummi mencubit
perutnya.
Kak Aisyah dan kak Zahra belum kelihatan, pasti sedang
ngaji di meunasah, mereka jadwalnya memang sore. Kak
Fatimah sedang membantu Ibu membungkus pakaianpakaian
pesanan utsadz Rahman di ruang depan. Mandi
super-cepat.
Lima menit kemudian. Delisa dengan rambut basah;
pakaian bersih sudah bergabung di ruang depan.
"Ibu Guru Eli calon ustadz Rahman itu kan cacat, Mi!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Memangnya kenapa kalau cacat? Kamu kok ngomongin
aib orang, Fatimah?"
Fatimah dan Ummi lagi-lagi membicarakan hal-hal yang
tidak Delisa mengerti. Delisa duduk saja memperhatikan
mereka. Ia tiba-tiba demi melihat pakaian-pakaian yang
sedang disiapkan itu teringat kancing bajunya yang tadi
lepas waktu belajar naik sepeda bersama Tiur. Delisa buruburu
ke belakang, mengambil pakain kotornya. Meminta
benang dan jarum ke Ummi.
"Kamu mau ngapain?" Fatimah bertanya.
"Jahit kancing baju...." Delisa menyeringai.
"Aduh, pakaiannya kotor gini di bawa-bawa ke sini....
Jahitnya kan bisa besok-besok saja, kalau sudah dicuci!"
Fatimah merampas baju itu dari tangan Delisa.
Delisa nyengir. Orang mau jahit ini.... kan niatnya baik.
Kenapa nggak boleh? Ummi hanya tersenyum. Delisa
kembali duduk di atas kursinya. Memperhatikan. Lagi-lagi
tentang pembicaraan itu. Cacat. Nikah. Setia. Bahagia.
Sakinah. Ma... ma-wa... ma-wa-entahlah. Apa coba
maksudnya.
(Oo-dwkz-oO)
Malam datang menjelang. Mereka jamaah lagi shalat
maghrib. Kali ini kak Aisyah melakukan tugasnya dengan
baik dan benar. Bersuara keras-keras. Meski itu tidak
berpengaruh banyak buat kemajuan Delisa. Sepanjang
shalat ia hanya berpikir dua hal. Satu bagaimana agar dia
nggak kebolak-balik lagi. Dua ya kalung itu.
Mereka makan malam bersama.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tadi siapa yang ngacak-ngacak lemari pakaian?" Zahra
yang pendiam (tetapi pencinta ketertiban) bertanya pelan.
Semua mata memandang ke Delisa.
"Nggak kok.... Delisa cuma nyari pakaian ngaji doang!
Sama sekali nggak ngacak-ngacak." Delisa merasa tak
berdosa menyendok sayur bayam.
"Iya! Tapi kamu nyarinya kan bisa lebih pelan dikit?
Nggak mesti merusak lipatan pakaian yang lain, kan?"
Zahra menyeringai kepada Delisa.
Delisa mengangguk. Meski tidak berjanji. (Delisa
memang lebih respek dengan Zahra dibandingkan Aisyah;
mungkin karena Zahra pendiam; jadi seram saja berdebat
dengannya).
"Delisa tuh paling lupa untuk ngecek di atas mejanya
dulu, kalau nyari sesuatu!" Fatimah berkata datar.
Delisa diam saja. Iya sih!
"Jangan-jangan Delisa juga belum lihat meja belajar sore
ini?" Entah mengapa Aisyah bertanya tiba-tiba kepada
Delisa. Delisa menoleh, tidak mengerti. Yang lain tidak
memperhatikan.
"Kan kak Aisyah sudah taruh di atas meja habis pulang
latihan tari Saman tadi!" Aisyah berkata serius.
Delisa mengernyitkan dahi. Apanya yang ditaruh di atas
mejanya? Orang Delisa dari tadi memang nggak lihat-lihat
tuh meja. Tetapi ia turun dari kursinya. Menghentikan
makannya. Beranjak ke meja belajar. Penasaran. Di atas
meja itu ada selembar kertas. Jembatan Keledai. Itu
petunjuk cara menghafal shalat yang baik. Seperti
bagaimana agar bacaan ruku tidak ketukar dengan bacaan
sujud. Bagaimana agar bacaan di antara dua sujud tidak
kebolak-balik. Semuanya ada 'jembatan keledai'-nya. Cara
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menghafal dengan menganalogkan hafalan dengan urutan
huruf atau benda-benda menarik lainnya.
Delisa berteriak senang! Kertas ini menyelamatkannya!
Ia berlari ke meja makan lagi. Kertas itu yang buat Aisyah.
Tadi siang ketika di sekolah, Pak Guru Jamal bilang,
sungguh saudara-saudara kita akan menjadi tameng api
neraka. Maka berbuat baiklah kepada mereka. Sungguh
adik-kakak kita akan menjadi perisai cambuk malaikat.
Maka berbuat baiklah kepada mereka. Sungguh saudarasaudara
kita akan menjadi penghalang siksa dan azab
himpitan liang kubur. Maka berbuat baiklah kepada
mereka.
Aisyah ingat cemburunya. Ia amat malu sepanjang Pak
Guru Jamal menjelaskan. Ya Allah, Aisyah malu sekali.
Lihatlah, ia justeru mengganggu adiknya saat Delisa sedang
berjuang menghafal bacaan shalat.
Aisyah hampir menangis mendengar penjelasan Pak
Guru Jamal. Ia memang sering jahil kepada Delisa, tetapi
hatinya juga bagai mutiara.
Siang itu sambil menunggu latihan tari Saman, ia
membuat kertas petunjuk "jembatan keledai" itu.
"Terima kasih, kak Aisyah!" Delisa melompat, memeluk
kakaknya.
Aisyah hanya ber "hiss".... Risih juga mendapatkan
perlakuan seperti itu. Memang begitulah adiknya. Eksplosif.
Ummi t ersenyum senang. Fatimah menghela nafas lega.
Zahra hanya bergumam pendek: Ah, entar pasti berantem
lagi!
(Oo-dwkz-oO)
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
4. Delisa cin ta Umm i karena Allah
Waktu berjalan cepat. Senin-Selasa-Rabu langsung wusss
hari Sabtu. Bagi Delisa waktu juga bergerak cepat. Dengan
adanya jembatan keledai itu Delisa menghafal bacaan
shalatnya lebih cepat, lebih lancar. Memang masih bolong
di sana-sini, tetapi ibarat bangun rumah, sudah kelar 95%.
Hari-hari juga di isi pertengkaran Delisa dengan Aisyah
(benar kata Zahra; mereka berdua memang seperti itu; akur
satu jam, bertengkar sehari-semalam). Bermain bola di
pantai bersama geng Teuku Umam (yang selalu terpotong
setiap Tiur datang; Delisa sudah lancar bersepeda di pantai
sekarang. Tinggal praktek di jalan). Mengaji dengan ustadz
Rahman ("Ustad, katanya calon istri ustadz cacat, ya?" itu
tanya Delisa sehari setelah libur ngaji. Ustadz hanya
tersenyum; tidak berkata banyak, padahal kak Fatimah di
rumah berkomentar banyak sesore itu; yang juga dinasehati
banyak oleh Ummi).
Dan yang lebih banyak lagi, waktu banyak dihabiskan
oleh Delisa untuk membujuk Ummi agar mengijinkan ia
melihat kalung itu. "Delisa pengin pegang sebentar saja...!
Bener, sebentar! Suer deh, Mi!" Ummi hanya menggeleng
(karena jelas sekali maksud Delisa; mau memamerkan
kalung itu ke Aisyah yang baru saja menjahilinya; balas
dendam, biar kak Aisyah cemburu lagi).
Mereka shubuh itu kembali shalat berjamaah.
Sabtu pagi, 25 Desember 2004.
Rutinitas harian biasa. Delisa seminggu terakhir sudah
bisa bangun tepat waktu. Keributan kamar mandi berkurang
banyak. Aisyah juga melakukan tugasnya dengan baik dan
benar. Delisa juga tidak banyak protes.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Yang tidak rutin, sehabis shalat ketika Ummi memimpin
mereka berzikir. Delisa tiba-tiba maju ke depan. Merangkak
dengan mukena masih membungkus tubuhnya. Fatimah
melotot menyuruhnya duduk kembali. Tetapi Delisa tidak
peduli, tetap mendekati sajadah Ummi. Aisyah nyengir.
Zahra tak memperhatikan melanjutkan zikir meniru suara
Ummi.
Delisa duduk bertelekan lutut di belakang Ummi.
Kemudian pelan memeluk leher Ummi yang duduk
berdzikir di depannya.
"Ada apa, sayang?" Ummi menghentikan zikirnya,
menoleh menatap muka Delisa yang ada di bahu kanannya,
tersenyum.
Ya Allah, mata Delisa teduh sekali. Mukanya lembut
menatap Umminya. Muka keturunan dengan mukena putih
menghias wajahnya. Muka yang habis dibasuh wudhu.
Muka Delisa yang habis dibasuh sujud (meski Delisa lupa
lagi bacaan sujud tadi).
Muka yang habis dibasuh dengan dzikir. Muka itu
mempesona. Mata hijau Delisa mengerjap-ngerjap.
"Ada apa sayang?" Ummi menggerak-gerakkan
badannya. Seolah-olah akan menggendong Delisa dari
belakang. Tersenyum, menggoda Delisa. Fatimah menatap
menyeringai dari belakang. Zikir mereka terhenti. Aisyah
dan Zahra bertatapan satu sama lain.
Bibir Delisa menyimpul senyum. Matanya sedang
menatap beningnya bola mata Ummi. Berbisik.
"Delisa.... D-e-l-i-s-a cinta Ummi.... Delisa c-i-n-t-a
Ummi karena Allah!" Ia pelan sekali mengatakan itu. Kalah
oleh desau angin pagi Lhok Nga yang menyelisik kisi-kisi
kamar tengah. Tetapi suara itu bertenaga. Amat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menggentarkan. Terdengar jelas di telinga kanan Ummi.
Kalimat yang bisa meruntuhkan tembok hati.
Ummi Salamah terpana. Ya Allah, kalimat itu sungguh
indah. Kalimat itu membuat hatinya meleleh seketika.
Delisa cinta Ummi karena Allah.... Tasbih Ummi terlepas.
Matanya berkaca-kaca. Ya Allah, apa yang barusan
dikatakan bungsunya? Ya Allah darimana ia dapat ide
untuk mengatakan kalimat seindah itu. Tangan Ummi
gemetar menjulur merengkuh tubuh Delisa.
"U-m-m-i juga cinta sekali Delisa.... -U-m-m-i c-i-n-t-a
Delisa karena Allah!" Ummi Salamah terisak memeluk
bungsunya. Memeluknya erat. Fatimah di belakang
menghela nafas. Adiknya sungguh diluar dugaan.
Zahra terdiam menundukkan kepala.
Aisyah tersentuh. Ia beranjak merangkak mendekat ke
depan. Ikut memeluk Umminya dari belakang, berbisik
lemah, "Aisyah juga cinta Ummi...."
Zahra dan Fatimah ikut mendekat. Mereka berpelukan
erat. Berlima. Anak-anak gadis yang sale-hah, dengan
Ummi pemberi teladan. Bertangisan bahagia. Delisa
merangkul kakak-kakaknya, menangis tersedan.
Pagi itu, Sabtu 25 Desember 2004. Sehari sebelum badai
tusnami menghancurkan pesisir Lhok Nga. Sebelum alam
kejam sekali merenggut semua kebahagian Delisa.
Pagi itu sebilah cahaya menyemburat dari rumah
sederhana itu, menghujam langsung ke langit. Cahaya
kemilau menakjubkan. Cahaya yang menggentarkan arasy
Allah. Membuat penduduk langit ramai bertanya. Siapa?
(Oo-dwkz-oO)
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Lepas sekolah, Delisa berlarian pulang. Melempar
tasnya. Mengganti pakaiannya. Mencari baju mengajinya.
Lagi-lagi ia mengaduk-aduk pakaian di lemari. Mulutnya
terbuka, sudah mau berteriak bertanya pada Ummi,
teringat, oh iya ada di atas meja. Delisa buru-buru menuju
meja belajarnya. Melompat mengambil baju TPA-nya.
Ia ingat sesutau lagi. Entar kak Zahra pasti marah. Buruburu
merapikan kembali tumpukan pakaian dalam lemari
mereka. Ampun, malah semakin acak-kadut.
Delisa berteriak pamit mengaji kepada Ummi. Seperti
biasa mengucap salam jarak jauh. Hari ini Delisa berangkat
ngaji TPA semangat sekali. Ada hadiah yang hendak
ditagihnya. Tadi pagi kan sukses besar.
Sepanjang mengaji, Delisa juga tak sabar menunggu
pengajian TPA-nya usai; bahkan tidak memperhatikan
banyak saat ustadz Rahman sibuk bercerita tentang ihklas
dan tulus. Ikhlas dan tulus? Ah, Delisa tidak
mendengarkan. Ia sibuk membayangkan hadiah yang akan
ia dapat.
Ketika ustadz Rahman mengucap salam menutup
pengajian. Delisa langsung maju ke depan. Kerudung
birunya dilepas lagi. Gatal! Mulutnya juga gatal menagih
janji.
"Ustadz, Delisa sudah melakukan seperti yang ustadz
bilang dua hari yang lalu..."
"Yang mana?" ustadz bertanya sambil menghapus papan
tulis. Lupa!
"Yang bilang ke Ummi! Kan ustadz yang bilang: 'Nah
coba kalian katakan kepada Ummi masing-masing. Nanti
kalau Umminya sampai menangis, ustadz beri hadiah!',"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Delisa persis menirukan suara ustadz Rahman waktu itu.
Amat menggemaskan caranya meniru.
Ustadz Rahman tertawa. Dia ingat sekarang. Soal katakata:
Aku mencintai Ummi, karena Allah. Dia memang
bilang itu dua hari lalu. Menyuruh murid TPA-nya
mengatakan itu ke Ummi mereka masing-masing. Itu
sunnah rasul. Kalian bilang ke seseorang yang kalian cintai
karena Allah.
"Memangnya Ummi Salamah menangis?"
Delisa memandang dengan mata hijau berbinar-binar.
Bangga. Mengacungkan dua jempolnya. Top dah!
"Bahkan kak Fatimah, kak Zahra, kak Aisyah juga
ikutan menangis...." Delisa nyengir melaporkan.
Ustadz Rahman tertawa lagi. Sejauh ini tak ada anak
yang melapor sesukses Delisa. Atau mungkin anak-anak
lain malas melakukannya. Tetapi Delisa beda, ia selalu
merasa kalau sesuatu itu menarik untuk dikerjakan, pasti
akan dikerjakan sungguh-sungguh. Apalagi kalau ada
hadiahnya. Makanya tadi pagi dia benar-benar serius
melakukannya. Dan sukses besar!
Tangan Delisa menjulur menagih janji.
Ustadz Rahman tersenyum. Merogoh saku baju
kokonya. Dia memang menyiapkannya. Siapa tahu dua-tiga
hari ke depan benar-benar ada yang bisa melakukannya.
Dan ternyata benar kan? Tentu saja Delisa bisa
melakukannya! Ia bahkan bisa melakukan hal-hal yang
lebih seru lagi.
Delisa berseru senang. Ustadz Rahman memberikan satu
batang coklat besar. Hatinya riang. Delisa benar-benar lupa
kalau shubuh tadi, sebenarnya hatinya juga ikutan terharu.
Ia menangis benar-benar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Saat ia merangkak mendekati Ummi, saat ia memeluk
leher Ummi, ia memang masih men-skena-riokan banyak
hal. Tetapi saat menatap wajah teduh Ummi, bening
matanya. Menatap Ummi yang terisak. Bergetar
menyebutkan kalimat yang sama,
ia benar-benar bahagia; entah tidak mengerti kenapa.
Kalimat tadi shubuh itu benar-benar keluar dari hatinya.
Tidak ada pengharapan yang aneh-aneh. Apalagi soal
cokelat ini. Ah, Delisa lupa fakta tersebut. Lebih asyik
memasukkan batag cokelat tersebut ke dalam tasnya.
Delisa pulang ngaji naik sepeda Tiur lagi. Dibonceng.
Kak Aisyah dan Kak Zahra lagi-lagi belum pulang. Lagilagi
latihan tari Saman, "Kan mau pentas dua minggu lagi
di balai kota, Delisa kan mau nonton bareng Abi!" Ummi
menjawab datar, entah sedang sibuk mengerjakan pesanan
pakaian dari siapa.
Kak Fatimah juga belum pulang. Delisa seperti biasa
bingung hendak melakukan apa; akhirnya memutuskan
untuk melesat menuju ke lapangan. Bermain bola.
"Eh, kamu nggak menghafal lagi? Kan besok praktek
shalatnya?" Ummi mencegahnya.
"Delisa sudah siap kok...."
"Katanya masih ketukar-tukar dikit?"
"Besok sudah siap kok...." Delisa sudah kabur duluan.
Berteriak mengucap salam.
(Oo-dwkz-oO)
Hari ini benar-benar menyenangkan buat Delisa. Tadi
pagi di sekolah dapat ponten 9 buat ulangan matematikanya.
Ibu Guru Nur memujinya. Terus dapat hadiah cokelat
dari ustadz Rahman. Ustadz
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Rahman juga memujinya. Terus menang main bola lagi.
Delisa bikin dua gol. Masih kalah dengan Teuku Umam
sih, dia bikin tiga gol. Tapi mereka jadi menang 5-0. Dan
Teuku Umam jarang-jarang juga ikut memujinya.
Pas Tiur datang, mereka memutuskan untuk belajar
sepeda langsung di jalan. Dan Delisa lancar melakukannya.
Tidak gugup. Tidak takut. Ia juga dipuji Tiur. Jadilah ia
menghabiskan sepanjang sore dengan riang gembira.
Satu jam kemudian duduk menatap pantai Lhok Nga.
Bersebelahan dengan Tiur. Memegang ranting. Mengguratgurat
pasir yang basah.
"Abi-mu belum pulang?" Tiur bertanya pelan meningkahi
suara anak-anak yang masih bermain bola (anak-anak yang
lebih besar).
"Dua minggu lagi..." Delisa menjawab pendek. Ia
sekarang asyik memperhatikan lapangan bola. Ada kakak
yang memakai baju Ronaldo. Tangkas menggiring bola
(entar ia mau seperti itu! maksudnya seperti Ronaldo;
bukan seperti kakak itu).
"Asyik ya... Delisa masih punya Abi!" Tiur berkata
pelan. Menelan ludah. Kalimatnya lemah terdengar.
Delisa menoleh. Ah, tentu saja ia tahu, Abi Tiur sudah
lama meninggal. Katanya mati di hutan. Delisa tidak tahu
urusan pertikaian politik itu. Tidak tahu apa maksud GAM
dan lain sebagainya. Yang ia tahu waktu Abi Tiur
meninggal setahun silam ia juga ikut sedih. Benar-benar
sedih. Bagaimana mungkin kalian tidak akan sedih melihat
kesedihan teman sendiri?
Tiur jadi yatim (itu istilah dari ustad Rahman); teman
yang baik, berbuat dua kali lebih baik dengan temannya
yang yatim.... Itu juga kata-kata ustad Rahman.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kan Abinya Delisa bisa jadi Abinya Tiur?" Delisa
tersenyum manis. Muka itu sungguh tulus. Dan pernyataan
itu tidak mengada-ada. Meski Delisa jagonya mengada-ada.
Setiap kali Abi pulang, Tiur yang tiga rumah dari rumah
mereka, selalu mendapatkan hadiah, sama banyaknya
dengan hadiah Delisa (dan Delisa tidak protes seperti kak
Aisyah). Selalu ikut mereka bersama kemana-mana. Ummi
Tiur sudah tua dan sakit-sakitan. Kakak-kakaknya bekerja
serabutan, kurang memperhatikan adiknya.
Tiur tersenyum lemah. Menatap Delisa.
"Kamu rindu Abimu ya?" Delisa berkata sok-mengerti.
Rambut ikal pirangnya bergerak-gerak. Mata hijaunya
berkerjap-kerjap. Pantai semakin anggun. Angin berhembus
menyibak anak rambut Delisa.
Tiur mengangguk.
Mereka berdiam diri lagi. Delisa sibuk berpikir dalam
hati, ia jelas-jelas masih beruntung, meski rindu Abi,
Abinya setiap tiga bulan pulang membawa banyak oleholeh.
Lah Tiur?
Pulang-pulang Delisa diomelin Ummi lagi.
"Delisa kan belajar naik sepeda, Mi. Tanya Tiur deh!"
(Oo-dwkz-oO)
Mereka berkumpul malam itu di ruang keluarga. Malam
minggu, menonton teve. Ummi amat ketat kalau
menyangkut urusan nonton teve. Mereka hanya boleh
nonton di waktu-waktu tertentu, seperti malam minggu ini.
Karena mereka sudah terbiasa dengan aturan main tersebut,
mereka tidak banyak protes.
Kak Fatimah malah asyik membaca. Sama sekali tidak
tertarik dengan acara teve. Kak Aisyah dan kak Zahra juga
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
asyik membuat entahlah dari karton-karton. Ummi di atas
kursinya juga membaca sesuatu. Hanya Delisa yang sibuk
menonton (dan acaranya juga tidak ia mengerti).
Tadi ia hendak bergabung dengan Kak Aisyah dan kak
Zahra. Membantu mereka menggunting-gunting dan
menulisi karton itu, tetapi mereka mengusirnya. Apa sih
yang mereka kerjakan, sampai tega mengusir Delisa jauhjauh.
Delisa dongkol sekali balik ke depan teve.
Tiba-tiba telepon berdering.
Ummi beranjak. Mengangkat telepon.
"Waalaikumussalam, A-B-I!"
Semua kepala tertoleh. Bergerombol mendekati Ummi.
Abi yang telepon. Kenapa? Kan jadwalnya baru senin pagi
lusa, bukan malam minggu ini? Abi ternyata sengaja
menelepon buat menyampaikan taklimat atau 'kalimat
penyemangat' besok untuk Delisa.
"Tenang saja, Bi! Delisa sudah hafal kok!" Abi tertawa.
"Hadiah sepedanya jadi ya!"
Abi tertawa lagi.
Telepon bergiliran diserahkan ke yang lain. Kak Aisyah
minta maaf soal Senin lalu. Yang lain hanya nyengir
mendengarnya. Ummi menceritakan soal tadi pagi; soal
kalimat Delisa yang menyentuh; suara Ummi terdengar
terharu lagi. Abi dari ribuan kilometer sana menghela nafas
mendengarnya. Terdiam. Dia juga akan menangis kalau
ada di sana....
Lima belas menit kemudian Ummi menutup telepon,
persis berbarengan dengan seruan Aisyah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"INI COKELAT SIAPA?" Aisyah mengangkat tinggitinggi
cokelat milik Delisa yang tidak sengaja jatuh dari
sakunya saat mendekati Ummi.
"Punya Delisa... ITU PUNYA DELISA!" Delisa
melompat menyambarnya. Kapiran sekali urusan, kalau ia
tidak bisa segera merebutnya. Kak Aisyah kan suka iseng;
biasanya pasti nanya, "Mana buktinya kalau ini punya
Delisa?", "Mana saksinya?" Menyebalkan pokoknya.
Delisa berhasil merebutnya. Berlari mendekat Ummi.
Berlindung di belakang Ummi, khawatir kalau-kalau Aisyah
kembali merebut cokelatnya.
Aisyah menatap menyelidik.
"Kamu dapat cokelat dari mana?"
"Hadiah!"
"Hadiah siapa?"
"Ustadz Rahman!"
"Ngapain pula ustadz Rahman ngasih kamu hadiah
cokelat?" Aisyah menyelidik. Sebenarnya pertanyaan yang
salah, Delisa memang sering dapat hadiah dari ustadz
Rahman. Masalahnya, orang-orang yang berbuat kekeliruan
selalu saja merasa salah tingkah untuk menjelaskan. Begitu
juga dengan Delisa. Ia bingung menjawab pertanyaan
sesederhana itu.
"Ee...." Kalimat Delisa terhenti. Tidak mungkin cerita
kan? Apalagi Delisa baru saja melihat muka Ummi yang
terharu menceritakan kejadian tadi pagi dengan Abi pas
menelpon.
Tiba-tiba Delisa merasa bersalah sekali. Ia tiba-tiba
menyadari baru saja memanfaatkan Ummi hanya untuk
hadiah sebatang cokelat. Ya Allah—
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ayo hadiah apa?"
Delisa menelan ludah. Ia kan tidak bisa berbohong.
Tetapi akan lebih rumit kalau ia cerita sekarang. Pasti
dihabisin kak Aisyah. Ah, besok-besok kan masih ada
waktu. Delisa akan cerita deh... Tetapi besok-besok
ceritanya. Janji Delisa dalam hati sungguh-sungguh
(Sayangnya Delisa tidak tahu! Tidak ada lagi besok-besok
itu).
"Ehh, hadiah karena Delisa anak yang baik...." Delisa
ngarang menjawabnya. Tertawa kecil (men-tertawakan
idenya barusan; kan nggak bohong? Kalimat itu bermakna
banyak; sama seperti anggukan ustadz Rahman saat ditanya
soal acara pernikahannya). Aisyah tidak puas atas jawaban
itu. Mendekat dengan tatapan semakin mengancam.
Delisa buru-buru membuka cokelatnya. Memotongnya
sepertiga. Menyerahkannya pada kak Aisyah.
"Nih buat kak Aisyah!"
Suapan itu ternyata sukses. Ummi tertawa melanjutkan
membaca buku, memang sering sekali Delisa pulang bawa
hadiah dari ustadz Rahman. Kak Fatimah hanya
menyeringai tidak berkomentar. Zahra tak bergeming di
atas meja.
Aisyah mengambil potongan cokelat tersebut. Lantas
kembali ke atas meja. Melanjutkan pekerjaan rahasia
bersama Zahra. Entah menulis apa di atas karton-karton itu.
Zahra langsung menyambutnya dengan berbisik pelan,
"Eh itu warnanya harusnya biru, Delisa kan suka biru!"
(Oo-dwkz-oO)
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
5. 26 Desember 2 004 Itu!
Delisa bangun dengan semangat. Shalat shubuh dengan
semangat. Tadi bacaannya nyaris sempurna (kecuali sujud;
bukan ketukar, entah mengapa tiba-tiba Delisa lupa bacaan
sujudnya; sebelum ingat bacaannya Ummi sudah keburu
bangkit duluan dari sujud; empat kali sujud; empat kali
delisa lupa secara sempurna).
Tetapi Delisa mengabaikan fakta itu. Toh, nanti pas di
sekolah ia punya waktu banyak untuk mengingatnya. Kalau
belum ingat, ya jangan bangkit dulu dari gerakan sujud.
Delisa bersenandung lagu "Aisyah Adinda Kita" sambil
mengenakan seragam sekolahnya (Delisa hafal lagunya;
karena sering diputar kak Aisyah di kamar; mentangmentang
lagunya memakai nama kak Aisyah ini, itu
komentar Delisa dulu, terganggu dengan suara kaset yang
diputar itu-itu mulu).
Delisa semangat berangkat sekolah hari ini. Janji kalung
itu membuatnya sumringah. Tadi selepas shubuh Delisa
sempat memaksa Ummi untuk memperlihatkan kalung
tersebut, Ummi dengan tegas menolak lagi.
Ibu Guru Nur memang sengaja memindahkan praktek
shalat anak-anak kelas satu ibtidaiyah ke hari Ahad. Biar
anak-anak lebih rileks. Biar keluarga mereka ikut
mengantar. Lagian akan memakan waktu lama, sayang
dengan jadwal pelajaran reguler lainnya. Mereka bisa
menghabiskan hari minggu ini full untuk ujian hafalan
bacaan shalat anak-anak.
Anak-anak juga senang datang hari minggu itu. Mereka
sudah berjejer rapi di halaman sekolah. Rapi memakai
seragam. Meskipun hampir semua anak memasang
tampang cemas, sibuk menghafal sendiri-sendiri, berbisik
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sendiri-sendiri, khawatir lupa satu-dua bacaan saat maju
menghadap.
Ummi ikut mengantar Delisa. Hari ini sekolah ramai
oleh ibu-ibu. Umminya Tiur yang batuk-batuk juga datang.
Sekolah seperti ada acara kecil. Memang setiap tahun Ibu
Guru Nur membuat ujian praktek shalat ini menjadi "pesta
kecil" saja. Yang tidak ada, ya itu, lemparan uang receh
logam.
Saat Ummi dan Delisa berangkat tadi pagi. Cut Aisyah
dan Cut Zahra buru-buru memasang karton-karton itu di
depan rumah. Berwarna biru-biru-biru. Diberi hiasan birubiru-
biru. Fatimah tersenyum membacanya. Ah, mereka
berdua juga kakak-kakak yang baik!
Jam tujuh teng.
Anak-anak berebut masuk kelas. Ummi menunggu di
luar, berbincang dengan Ummi Tiur (menanyakan
kesehatannya; menjanjikan akan menyuruh Fatimah
mengantarkan sweater buat Ummi Tiur; Ummi Tiur batuk,
tersenyum lemah. Berpikir lemah, ah, Ummi Salamah
benar-benar berhati emas, pantas anak-anaknya demikian
pula).
Sementara di kelas, tegang sekali tampang anak-anak.
Masih berisik mencoba memanfaatkan sisa-sisa waktu.
Ibu Guru Nur mengambil daftar absen. Mulai
memanggil satu persatu anak-anak untuk membaca hafalan
shalatnya di depan kelas. Langsung praktek. Kelas terdiam
seketika.
Satu anak maju. Anak-anak melotot memperhatikannya.
Sama-sama tegangnya. Anak yang maju itu pertama-tama
gugup. Patah-patah. Ibu Guru Nur menenangkan. Pelanpelan
mulai lancar. Dua puluh menit kemudian kelar. Ibu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Guru Nur mengangguk. Lulus! Menyerahkan selembar
kertas. Anak itu berlari senang keluar dari kelas.
Menunjukkan kertas tersebut. Ummi-nya menyambut riang.
Kelas jadi riuh lagi.
Delisa menelan ludah. Ia gugup. Bagaimana kalau ia
tiba-tiba lupa bacaan shalatnya? Seperti mau sujud tadi
pagi. Ia kan tiba-tiba lupa begitu saja, Aduh bagaimana ini?
Satu anak lagi maju. Patah-patah juga. Lupa bacaan
ruku1. Bu Guru Nur membantunya. Patah-patah lagi.
Tetapi dia hafal hingga sisanya. Juga lulus! Delisa menarik
nafas lega. Gak pa-pa lupa sedikit tuh! Delisa menyeringai
senang. Otaknya langsung membayangkan kalung itu.
Kalung itu akan indah di lehernya. Urusan ini tidak sesulit
yang dibayangkannya.
Dua anak lagi maju. Dua puluh menit masing-masing.
Lulus dua-duanya! Suasana berubah semakin santai. Tidak
sulit!
Satu anak lagi maju. Nah yang ini benar-benar kacau.
Banyak lupanya. Ibu Guru Nur menggelengkan kepala.
Tidak lulus. Delisa menyeringai menenangkan diri, ia jauh
lebih baik dari anak barusan. Bersiap untuk maju.
"Alisa Delisa"
Delisa menggigit bibir. Maju ke depan.
"Kamu pasti bisa sayang, kan ponten matema-tika-nya
kemarin dapat 9. Tertinggi di kelas!" Ibu Guru Nur
menatapnya sambil tersenyum. Menenangkan Delisa yang
muka keturunan-nya sudah memucat. Jadi kentara
tegangnya dibandingkan teman-temannya yang lain.
Delisa senang dipuji. Ia tiba-tiba jauh lebih lega (Ibu
Guru Nur sungguh pintar membesarkan hati). Delisa pelan
menyebut taawudz. Sedikit gemetar membaca bismillah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mengangkat tangannya. Tangan itu bergetar meski suara
dan hati Delisa pelan-pelan mulai mantap. Va Allah, Delisa
siap untuk shalat yang sempurna untuk pertama kalinya
kepadaMu. Delisa siap melewati ujian praktek ini. Delisa
akan khusuk.
//"Allaahu-akbar!"// xSxS Seratus tiga puluh kilometer
dari Lhok Nga. Persis ketika Delisa usai ber-takbiratulihram;
Persis ucapan itu hilang dari mulut Delisa. Persis di
tengah luatan luas yang beriak tenang. Persis di sana!
LANTAI LAUT RETAK SEKETIKA. Dasar bumi terban
seketika! Merekah panjang ratusan kilometer.
Menggentarkan melihatnya. Bumi menggeliat. Tahan
kematian itu mencuat. Mengirimkan pertanda kelammenakutkan.
//"Allahu-akbar ka-bi-ra walham-dulillahi ka-si-ro....//
Ya Allah, terban itu seketika membuncah bumi. Tanah
bergetar dahsyat, menjalar merambat menggentarkan
seluruh dunia radius ribuan kilometer. Bumi bak digoyang
tangan raksasa. Dan.... Ya Allah, air laut seketika bagai
mendidih. Tersedot ke dalam rekahan tanah maha luas itu.
Tahan kematian semakin mengerikan. Aroma tragedi besar
menggantung di langit-langit samudera. Ratusan ribu
penduduk Aceh dan sekitarnya tidak tahu. Milyaran
penduduk dunia belum tahu! Tetapi seribu malaikat
bertasbih di atas langit Lhok Nga. Melesat siap menjemput.
//"Innashalati, wanusuki, wa-ma-... wa-ma-...wa-mayah-
ya, wa-ma-ma-ti____//
zSitZ Gempa menjalar dengan kekuatan dahsyat. Banda
Aceh rebah jimpa. Nias lebur seketika. Lhok Nga
menyusul. Tepat ketika di ujung kalimat Delisa, tepat ketika
Delisa mengucapkan kata wa-ma-ma-ti, lantai sekolah
bergetar hebat. Genteng sekolah berjatuhan. Papan tulis
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
lepas, berdebam menghajar lantai. Tepat ketika Delisa bisa
melewati ujian pertama kebolak-baliknya, Lhok Nga
bergetar terbolak-balik.
Gelas tempat meletakkan bunga segar di atas meja Bu
Guru Nur jatuh. Pecah berserakan di lantai, satu beling
menggores lengan Delisa. Menembus bajunya. Delisa
mengaduh. Ummi dan Ibu-ibu berteriak di luar. Anak-anak
berhamburan berlarian. Berebutan keluar dari daun pintu.
Situasi menjadi panik. Kacau-balau. "Gempa! Gempa!!"
Orang-orang berteriak diluar sana.
"Innashalati, wanusuki, wa-ma-... wa-ma-... wa-ma-yahya,
wa-ma-ma-ti....
xSxS Delisah gemetar mengulang bacaannya yang
terganggu tadi. Ya Allah, Delisa takut.... Delisa gentar
sekali.... Apalagi lengannya yang berdarah; membasahi baju
putihnya. Menyemburat merah. Tetapi bukankah kata
ustadz Rahman, sahabat Rasul bahkan tetap tak bergerak
saat shalat ketika punggungnya digigit kalajengking.
Bahkan salah satu sahabat rasul lainnya begitu tenang
shalat meski dua temannya baru saja dipancung, dan dia
juga akan dipancung setelah shalatnya. Mereka manusiamanusia
pilihan begitu khusuk kala menghadap kepadaMu.
Delisa ingin untuk pertama kalinya ia shalat, untuk
pertama kalinya ia bisa membaca bacaan shalat dengan
sempurna, Delisa ingin seperti sahabat Rasul... Delisa ingin
seperti itu. Delisa ingin khusuk, ya Allah.
Delisa bergetar melanjutkan bacaannya.
//"La sya-ri-ka-la-hu wa-bi-, wa-bi-, wa-bi-jalika-u-mir-tu
wa ana minal mus-li-min....//
jtSjtS Ketika Delisa tiba di kalimat ini. Tiba di
penghujung kalimat itu. Bagai dipukul tenaga raksasa. Air
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang tersedot ke dalam rekahan tanah tadi kembali
mendesak keluar. Kembali menghempas berbalik. Sejuta
laksa air laut segera menderu menerpa amat ganas, bagai
tangan-tangan raksasa menuju bibir-bibir pantai. Mendesis
mengerikan. Bergemuruh menakutkan. Tingginya tak
kurang sepuluh meter. Kecepatannya bagai deru pesawat.
Melibas apa saja.
//"Al-ham-du-lillahirabbil 'a-la-min. Ar-rah-ma-nir-rahim.
Ma-li-ki-yau-mid-din...."// xSxS Ibu Guru Nur yang
demi melihat Delisa tetap tak bergerak membaca hafalan
shalatnya, ikut tak bergerak di atas meja. Kelas sudah
hampir kosong. Ummi mencoba masuk ke dalam kelas.
Mencari Delisa. Tetapi gempa sudah reda. Kepanikan
sudah lewat. Delisa bungsunya tak kurang satu apapun
masih takjim membaca hafalan shalatnya. Ibu Guru Nur
juga masih duduk di atas kursi gurunya. Ummi menghela
nafas panjang menatapnya. Ia tiba-tiba merasa seperti
melihat ada kemilau indah dari kerudung bungsunya.
Ummi balik melangkah ke halaman sekolah, membantu
Ummi Tiur yang tadi terjatuh pas berlarian. Kekacauan
mulai terkendali. Meski, ya Allah mereka tak tahu,
kekacauan yang lebih besar siap menghantam.
//"Ih-di-nas-siratol-mus-ta-qim....."//
xSxS Seluruh isi perahu nelayan itu berseru panik saat
melihat lautan seperti ditinggikan puluhan meter begitu
saja. Perahu mereka yang puluhan kilometer dari bibir
pantai Lhok Nga mental oleh tenaga besar. Tidak
terjungkir, tidak berdebam terguling, tetapi mengerikan
sekali melihat ombak besar itu melewati mereka.
Menggentarkan menyaksikan tenaganya.
Mereka sedikitpun tidak berpikir, sejenak lagi gelombang
itu akan meluluh-lantakkan rumah-rumah mereka. Mereka
sudah terlampau pias. Menyaksikan deru ombak yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
semakin menjauh menjamah bibir pantai. Ombak itu
teramat tinggi! Ada yang tidak beres.
//"Ar-ro-ai-tal-la-zi yu-kad-di-bu-bid-din. Pa-dja-li-kal-laji
ya-du'ul... ya-du'ul... ya-du'ul____"// Delisa lupa
kelanjutannya.
Bu Guru Nur yang mulai reda dari tegangnya hendak
membantu. Delisa menggeleng-gelengkan kepalanya.
Kerudung birunya bergetar. Jangan! Jangan bantu! Delisa
bisa ingat kok.... Ya, jembatan keledai kak Aisyah.... Surat
itu kan tentang Tiur.... Tentang Tiur yang yatim... ah iya....
//"ya-du'ul-ya-tim..."//
Delisa menyeringai, tersenyum senang. Hafalan ini
mudah. Semua ini mudah. Asal ia tenang. Asal ia khusuk.
xSxS Gelombang itu sudah menyapu kota Banda Aceh,
dan sepanjang pesisir yang lebih dekat dengan muasalnya.
Orang-orang berteriak histeris. Tak bisa melakukan apapun
untuk menyelamatkan diri. Rumah bagai sabut yang
disaput air. Pohon-pohon bertumbangan bagai kecambah
tauge yang akarnya lemah menunjang. Tiang-tiang listrik
roboh tanpa ampun bagai lidi yang ditancapkan di pasir
basah. Mobil-mobil terangkat seperti mainan, dan orangorang
yang tidak beruntung terperangkap oleh arus kencang
mematikan. Menjemput maut.
//"Sub-ha-nal-lah-rab-bi-yala-dzi-mi wa-bi-hamdih...."//
Gelombang tsunami sudah menghantam bibir pantai
Lhok Nga. Orang-orang yang di pagi Ahad biasanya dudukduduk
menikmati hari di pasir pantai berteriak terperanjat.
Terkejut melihat betapa dahsyatnya ombak yang tiba. Plesir
mereka berubah menjadi tahan kematian. Terlambat,
gelombang itu menyapu lebih cepat. Tanpa ampun. Tanpa
pandang bulu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pohon kelapa bertumbangan. Lapangan bola Delisa
tersaput begitu saja. Tiang-tiang gawang itu ditelan ombak.
Gelombang terus menyapu bersih rumah-rumah di bibir
pantai; muenasah yang indah. Meunasah itu lebur seketika.
RumahMu ya Allah!
Terus bergerak mengerikan, mendekat ke sekolah Delisa.
Menyebar hawa maut tak terkirakan.
//"Sa-mi-al-la-hu-li-man-ha-mi-dah...."//
xSxS Gelombang itu menyentuh tembok sekolah.
Beberapa detik sebelumnya terdengar suara bergemuruh.
Juga teriakan-teriakan ketakutan orang di luar. Delisa tidak
melihat betapa menggentarkan saputan gelombang raksasa
itu. Delisa mendengar suara mengerikan itu. Tetapi Delisa
sedang khusuk. Delisa ingin menyelesaikan hafalan
shalatnya dengan baik. Ya Allah Delisa ingin berpikiran
satu. Maka ia tidak bergeming dari berdirinya.
Ujung air menghantam tembok sekolah. Tembok itu
rekah seketika. Ibu Guru Nur berteriak panik. Ummi yang
berdiri lagi di depan pintu kelas menunggui Delisa berteriak
keras.. .SUBH AN ALLAH! Delisa tidak mempedulikan
apa yang terjadi. Delisa ingin khusuk. Delisa ingin satu.
//"Rab-ba-na-la-kal-ham-du...."//
Tubuh Delisa terpelanting. Gelombang tsunami
sempurna sudah membungkusnya. Delisa megap-megap.
Ya Allah, ia selintas bisa melihat hadiah kalungnya.
Hadiah kalung itu sudah dekat. Ya Allah Delisa ingin terus.
Delisa ingin khusuk di shalat pertamanya yang sempurna.
Shalat yang ia hafal seluruh bacaannya.
Gelombang tsunami tanpa mengerti apa yang diinginkan
Delisa membanting tubuh Delisa keras-keras. Kepalanya
siap menghujam tembok sekolah yang masih bersisa. Delisa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terus memaksakan diri, membaca takbir setelah //i'tidal....
"Al-la-hu-ak-bar...."// Delisa harus terus membacanya!
Delisa tidak peduli tembok yang siap menghancurkan
kepalanya.
Tepat Delisa mengatakan takbir sebelum sujud itu, tepat
sebelum kepalanya menghantam tembok itu, selaksa cahaya
melesat dari arasy Allah. Tembok itu berguguran sebelum
sedikit pun menyentuh kepala mungil Delisa yang
terbungkus kerudung biru.
Air keruh mulai masuk, menyergap kerongkongan
Delisa. Delisa terbatuk. Badannya terus terseret. Ya Allah,
Delisa ditengah sadar dan tidaknya ingin sujud.... Ya Allah,
Delisa ingin sujud dengan sempurna.... Delisa sekarang
hafal bacaannya.... Delisa tidak lupa seperti tadi shubuh.
Ya Allah Delisa sungguh tidak lupa seperti empat kali
sujud shubuh tadi pagi. Delisa hafal. Gemetar jemari Delisa
hendak memberikan tanda ia ingin sujud.... Tetapi
terlambat, ia terlanjur pingsan. jtSjtS Tubuh Delisa
terlempar kesana-kemari. Kaki kanannya menghantam
pagar besi sekolah. Meremukkan tulang-belulang betis
kanannya. Delisa sudah tak bisa menjerit lagi. Ia sudah
sempurna pingsan. Mulutnya minum berliter air keruh.
Tangannya juga terantuk batang kelapa yang terserat
bersamanya. Sikunya patah. Mukanya juga dilibat pelepah
batang kelapa itu, menimbulkan baret luka di mana-mana.
Muka yang menggemaskan itu. Muka yang riang. Sekarang
lebam tak berbentuk lagi. Dua giginya patah seketika.
Darah menyembur dari mulutnya. **
zSitZ Ibu Guru Nur yang saat terlempar dari ruang kelas
sempat berpegangan pada sebilah papan, beberapa detik
melihat tubuh Delisa yang terseret di dekatnya. Ibu Guru
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
**Ya Allah... lihatlah'. Gadis kecil itu sungguh ingin
sujud kepadaMu... sungguh hanya ingin sujud kepadaMu
dengan sempurna untuk pertama kalinya. Tetapi sekarang
ia tak bisa melakukannya'.
Ya Allah, bukankah banyak sekali orang-orang jahat,
orang-orang munafik, orang-orang fasik yang bisa
semaunya melakukan hal-hal buruk di dunia ini. Engkau
sungguh tak menghalanginya'. Tetapi Delisa'. Ya Allah
Delisa justeru hendak sujud kepadaMu.... Hendak sujud'.
Kenapa Kau membuatnya pingsan sebelum ia sempat
melakukannya. Kenapa?Ya Allah, kenapa. Aku bertanya....
Aku butuh penjelasan.... Seribu malaikat bertasbih. Seribu
malaikat mengungkung langit lhok Nga. Turun enatap
semua itu. Dan mereka tidak melakukan apa-apa'.
*** Nur berseru panik demi melihat tubuh Delisa yang
muncul-tenggelam. Tersedak karena seruannya membuat ia
meminum air kotor lagi. Sambil menahan sakit badannya
yang setengah menit terakhir terhujam benda-apa-saja, Ibu
Guru Nur ber-takbir lemah "Allahu-akbar" mengayuh
tangannya sekuat tenaga mendekat. Tubuh itu mulai
tenggelam.
Ibu Guru Nur dengan sisa-sisa kekuatan yang ada
berjibaku mendekati tubuh Delisa. Mulutnya tersedak.
Meminum lebih banyak air lagi. Tapi ia tidak peduli.
Gemetar tangan Ibu Guru Nur menggapai. Sakit sekali,
tangan itu terhantam balok kecil. Ibu Guru Nur menggigit
bibir keras-keras. Ia harus berhasil menyentuh Delisa tepat
waktunya.
Tangan itu setelah kesekian kalinya panik mengadukaduk
air yang semakin gila menyeret, akhirnya berhasil
mencengkeram kerudung biru Delisa persis sebelum Delisa
sempurna tenggelam. Ibu Guru Nur menariknya kencangkencang.
Sekencang tenaganya bersisa.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kerudung Ibu Guru Nur robek entah dihantam apa saat
berusaha menarik tubuh Delisa. Tangannya berdarahdarah.
Ia setelah tersengal-sengal berhasil meletakkan
Delisa di atas papan. Tetapi ia segera menyadari sesuatu.
Papan itu terlalu kecil. Tidak muat untuk mereka berdua.
Tak akan mampu menampung dua nyawa. Papan itu pelan
mulai tenggelam.**
*** Tubuh Delisa mulai tenggelam. Tubuh Delisa mulai
menjemput kematiannya. Tubuh delisa-Ya Allah, lihatlah'.
Aku mohon.... Itu permohonanku yang pertama.
zSzS Ibu Guru Nur tidak sempat berpikir panjang. Saat
tubuh mereka berdua mulai perlahan tenggelam, Ibu Guru
Nur melepas kerudung robeknya. Mengikat tubuh Delisa
yang pingsan di atas papan sekencang yang ia bisa dengan
kerudung itu. Lantas sambil menghela nafas penuh arti,
bergetar tangan berlaksa maksud, gemetar bibir
memanggang makna, melepaskan papan itu dari tangannya
pelan-pelan, sebilah papan dengan Delisa yang pingsan
terikat kencang di atasnya.
"Kau, harus menyelesaikan hafalan itu, sayang.... Kau
harus menyelesaikannya!" Ibu Guru Nur berbisik sendu.
Menatap sejuta makna. Matanya meredup. Tenaganya
sudah habis. Ibu Guru Nur bersiap menjemput syahid.
Akhir yang indah baginya! **
Tubuh lemah Delisa terus terseret jauh gelombang
tsunami. Terikat di atas papan. Bersama ribuan orang
lainnya. Hari itu pagi Ahad, 26 Desember 2DD4. Penduduk
dunia mencatatnya!
Hari itu pagi Ahad, 26 Desember 2004. Penduduk langit
mencatatnya. Mencatat manusia- manusia terbaik....
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
** Ya Allah, padahal banyak sekali manusia, yang
katanya mahkluk terbaik ciptaanMu, bahkan memiliki
berjuta bilah papan yang bahkan cukup untuknya hidup
sejuta tahun.... Bilah papan yang tak pernah berbagi....
Bilah papan yang dimakan sendiri.... Demi nafsu dunia dan
cinta materi.... Tetapi lihat/ah, mereka hanya punya sebilah
papan. Hanya punya sebilah nyawa yang akan
diselamatkan.
** Seribu malaikat mengungkung langit lhok Nga
memuji namaMu ya Allah.... Seribu malaikat
mengungkung langit lhok Nga menyebut asmaMu ya
Allah.... tak pernah seperti itu semenjak Ibrahim a/ Pasai
memilih turun dari tahtanya. Meninggalkan seluruh
kenikmatan dunia demi berbagi di kerajaan Samudera
Pasai. Seribu malaikat mengucap salam untuk Ibu Guru
Nur.
(Oo-dwkz-oO)
6. Berit a-berita d i tev e
//"Mam, look!"// anak kecil berambut pirang,
mengenakan kaos putih polos, celana selutut, memakai
sepatu berkaos kaki berteriak memanggil ibunya.
Sebenarnya tak perlu-lah berteriak, mereka berdua duduk
bersama dalam ruang keluarga yang nyaman, terang
benderang.
Hiasan natal tergantung di mana-mana. Salju turun
lembut diluar. Pagi yang indah. Setelah semalaman
merayakan //christmas eve// yang tenang. Pohon cemara
kerlap-kerlip menambah nyaman ruangan tersebut. Kaos
kaki sinterklas tergantung di dinding, dipenuhi kotak-kotak
hadiah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sang ibu yang sedang membaca, menoleh. Melihat
anaknya yang terhenti menyusun balok-balok bangunan
(hadiah tadi malam juga). Ikut menatap teve, di mana
tangan anak tersebut tertunjuk.
Gempa berkekuatan 8,9 skala richter menghantam
bagian utara pulau Sumatera, Indonesia. Banda Aceh,
Sumatera Utara dan sekitarnya. Konfirmasi terakhir
mengatakan sekitar 3.000 orang meninggal. Tidak ada yang
tahu apakah korban akan bertambah atau tidak. Yang pasti,
gempa tersebut merupakan salah satu gempa terbesar yang
pernah terjadi di daerah tersebut. Bahkan di seluruh dunia.
Si Ibu menyeringai pelan. Pembawa acara News
Morning! CNN di layar teve pindah ke berita lainnya.
Berita itu mungkin biasa-biasa saja di salah satu
neighborhood sudut kota Helsinki, Finlandia tempat
rumahnya berada. Apalagi kejadian itu puluhan ribu
kilometer dari negara mereka. Tetapi istilah ujung pulau
Sumatera, Indonesia penting bagi keluarga itu. Banda Aceh!
Jangan-jangan! Si Ibu mendadak mendesis cemas.
Tergesa bangkit lantas berlari, gemetar menyambar gagang
telepon di atas meja. Bergetar menekan tombolnya.
Ketukan di tombol nomor pesawat telepon
bertransformasi menjadi perintah. Berubah menjadi kode
binari. Melesat melalui jaringan kabel optik kota Oslo.
Melesat menuju satelit melalui kubah pemancar. Lantas
dilemparkan ke atas samudera Indonesia. Tiba di satelit
palapa C-2. Turun menghujam ke bumi. Ke kota yang baru
saja remuk oleh bencana.
Telepon genggam suaminya bergetar. Bernyanyi riang.
Mendesiskan lagu "My way". Pelan, penuh tenaga. Bukan
hanya pholyponic, melainkan dengking lagu yang
sempurna.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sayang. Jemari itu sudah membeku. Tangan itu
tertimbun sampah dan lumpur. Muka bule itu sudah tak
dikenali. Hanya HP satelit yang water resistance itulah yang
menunjukkan kehidupan. Sisanya tidak. Tidak juga radius
puluhan kilometer dari tubuh membeku itu. Hening.
Kepedihan baru saja memanggang kota ini.
Dr Michael J Fox. Pakar sosiologi universitas ternama
Helsinki, Finlandia menjemput maut, saat melakukan
penelitian tentang struktur dan tingkah laku religius
masyarakat Banda Aceh dan Lhok Nga.
Mahal sekali! Mengingat dia membutuhkan tak kurang
enam bulan hanya untuk mendapatkan ijin ke Banda Aceh
dan Lhok Nga. Mahal sekali! Mengingat anaknya Junior
yang berumur enam tahun ringan kembali meneruskan
menyusun balok, tak tahu apa yang telah terjadi pada papanya,
baru tahun-tahun mendatang mengerti makna tentang
hilang dan kehilangan. Mahal sekali! Mengingat istrinya
berteriak panik, gemetar menghubungi siapa saja yang bisa
ia hubungi.
Mahal sekali! Mengingat seharusnya dia bisa saja
menghabiskan waktu perayaan natal bersama keluarga
tercinta tadi malam. Bukan malah menjemput maut di
negeri antah-berantah.
(Oo-dwkz-oO)
Musnah! Semuanya musnah. Benar-benar tak bersisa.
Masalahnya informasi menyebar amat lambat
dibandingkan gelombang tsunami yang meluluhlantakkan
semua. Informasi bergerak merangkak. Terpotong-potong.
Sore hari. Dunia masih menyeringai! Kabar gempa itu
seperti tak ada bedanya dengan bencana dunia lainnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Makan siang masih indah. Menyeruput teh sambil
mencelupkan roti tawar masih nyaman. Bercanda dengan
teman dekat masih menyenangkan. Tak ada yang perlu
dikhawatirkan. Bukankah gempa bumi dan bencana alam
lainnya sering melanda bumi belakangan. Topan di
Amerika. Banjir besar di China. Bahkan perang di
Afganistan dan Irak saja mereka santai-santai. Pembantaian
di Palestina dan Checnya mereka oke-oke saja.
Lagi pula Indonesia bukan negara penting.
Tetapi puluhan wartawan tetap melesat menuju lokasi.
Skala gempa itu tinggi! Ada yang tidak beres. Wartawan
yang masih tersisa di Banda Aceh dan sekitarnya berjuang
mengirimkan tragedi yang sesungguhnya. Apa daya. Apa
yang bisa digunakan lagi? Kehidupan kembali primitif. Tak
ada pemancar, tak ada telepon, tak ada listrik. Semuanya
tak ada.
Yang banyak di sini hanyalah kesedihan. Yang banyak di
sini hanyalah muka-muka kehilangan. Yang banyak di sini
adalah sisa-sisa kerusakan. Mayat! Bangunan hancur!
Pohon tumbang! Tumpukan sampah!
Malam hari. Berita pertama melesat. Gempa itu diikuti
gelombang tsunami! Kekhawatiran memuncak. Korban
tewas diperkirakan 15.000. Dunia mulai tersentak. Gambar
satelit ditayangkan teve-teve dunia yang memiliki teknologi
canggih.
Makan malam mulai tak menyenangkan. Akhir pekan
sekaligus akhir tahun yang indah terganggu. Mengernyitkan
dahi. Keprihatinan mulai menjalar.
Sungguh berita seperti itu saja sudah menggentarkan.
Tak ada yang menyangka ternyata jumlah korban sepuluh
kali lipat lebih menggentarkan. Bahkan tetap tidak ada yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tahu persis, jumlah korban enam bulan kemudian. Juga
hingga hari ini. Orang-orang mulai mengambil sikap!
(Oo-dwkz-oO)
"Kami harus berangkat ke Indonesia, Prof. Strout!" Istri
Michael J. Fox menahan tangis.
"Bersabar, Jinny! Tak ada yang bisa kita lakukan selain
menunggu!"
"Bagaimana aku bisa bersabar profesor! Menurut CNN
korban sudah mencapai 15.000, bahkan diperkirakan lebih!
Kita tidak tahu apa yang terjadi dengan suamiku! Telepon
satelitnya tidak pernah diangkat! Itu jauh lebih mengganggu
dibandingkan tidak ada nada panggil misalnya!" Istri
Michael mulai tidak terkendali.
Prof. Strour mengenggam lengannya. Menghela nafas
panjang. Berbisik berkali-kali. Sabar! Situasi ini sungguh
tidak terkendali. Dia juga sama sekali tidak tahu harus
melakukan apa, selain mendekap istri kolega terbaiknya.
Malam itu, di rumah dekat kampus universitas Helsinki
yang bermandikan lampu hias. Lampu-lampu perayaan
natal. Lampu-lampu perayaan tahun baru. Kesedihan
merambat tak pandang bulu. Kehilangan melingkupi tak
mengenal ampun. Meski sayangnya terkadang hanya
berbilang waktu singkat saja!
Manusia memang bebal soal belajar dari berbagai
kejadian.
(Oo-dwkz-oO)
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dan semuanya memang sungguh tak terkendali. Tak ada
yang mengerti harus melakukan apa 24 jam kemudian.
Indonesia bagai diguncang gempa berikutnya yang lebih
dahsyat. Kepanikan melanda di mana-mana. Anak-anak
perantauan Aceh dan yang berkepentingan lainnya berebut
mencari tahu. Apa yang sebenarnya terjadi di pagi hari
Minggu ketika hujan gerimis hampir membasuh seluruh
Indonesia. Apa yang terjadi di Banda Aceh dan sekitarnya.
Bandara dipenuhi orang-orang yang ingin mencari tahu.
Stasiun teve berebut mengirimkan orang-orang terbaik
mereka. Kecemasan melanda. Ketakutan muncul di manamana.
Desah nafas tertahan, terdengar bagai menghitung
waktu mundur kala menonton tayangan teve yang perlahan
mengerikan. Semakin lama volumenya semakin bertambah.
Semakin membesar.
(Oo-dwkz-oO)
Senin siang! Bencana itu semakin jelas. Angka korban
memang lambat bertambah. Tetapi itu urusan birokrasi.
Dunia sudah mendapatkan gambar-gambar! Dunia sudah
mendapatkan gambaran. Apa gunanya semua satelit itu.
Meskipun koran-koran nasional baru bergegas
menayangkan foto satelit itu beberapa minggu kemudian.
Gambaran itu bahkan separuh pun belum benar. Walau
separuh pun belum benar, cukup sudah untuk membuat
kaki kami lemas berdiri.
Teve-teve mulai menayangkan doa.
(Oo-dwkz-oO)
Orang-orang semakin jelas mengambil sikap.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
(Oo-dwkz-oO)
Panglima perang Indonesia mengontak negara-negara
sahabat. Bantuan harus segera dikirimkan. Apa saja yang
ada! Apa saja yang tersedia!
Di sana-sini memang masih terdapat keraguan. Masih
terdapat sisa-sisa kemunafikan. Masih terdapat gagap
bertindak. Tetapi itu hanya soal hitungan menit. Ketika
semua mulai jelas tersingkap. Hati itu luluh.... Entah besok
bisa jadi hitam menggumpal lagi, itu urusan lain!
Helikopter tempur berbagai negara, bantuan obat-obatan
militer negara-negara seberang melesat menuju ujung pulau
Sumatera. Sama cepatnya dengan ucapan belasungkawa.
Teve-teve mulai menggurat kesedihan di layar. Mulai
mendendang lenguh ratapan. Mulai memukul tifa luka
berenda air mata. Memilukan. Menatap potongan gambar
yang sebenarnya jauh dari lengkap. Video amatir menghias
profesional bingkai teve di rumah-rumah warga.
Makan siang sungguh tidak enak lagi! Sungguh
semuanya hancur. Sungguh semuanya musnah. Ya Allah,
kami tidak pernah melihat kehancuran seperti ini. Kota itu
tak bersisa, kota ini luluh lantak hanya meninggalkan
berbilang kubah masjid, kota itu menjadi coklat, kota ini tak
berpenghuni lagi. Kota ini! kota itu!
Kota-kota kami.
(Oo-dwkz-oO)
"Bangsa Amerika ikut berduka cita...." Bush Junior
berkata datar. Esoknya dia dicerca rakyat negerinya sendiri
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sebagai pemimpin negeri besar yang tidak tanggap dan tidak
peduli. Tetapi itu urusan mereka.
Urusan kita sekarang adalah di mana Delisa?
(Oo-dwkz-oO)
Di mana Delisa, wahai pemilik alam semesta?
(Oo-dwkz-oO)
Saat Bush berkata demikian....
Delisa justeru sedang bermimpi.
Ummi, Cut Fatimah, Cut Aisyah, Cut Zahra dengan
pakaian bercahaya menjemputnya di ujung taman indah.
Taman berjuta pohon, taman berjuta bunga, taman berjuta
warna. Ummi dan kakak-kakaknya bercengkerama riang.
Mereka berempat berjalan bergandengan. Tersenyum
menawan. Menjemput janji. Mereka berjalan di depan
Delisa menuju gerbang taman tersebut. Pakaian putih
mereka berkibar elok.
Burung-burung camar melenguh di sekitar mengiringi.
Cahaya matahari redup menyenangkan. Gerbang taman itu
indah sekali.
Delisa sedang duduk, saat mereka datang. Hei! Delisa
tidak bisa bergerak. Delisa tidak bisa berdiri. Dan mereka
berempat mengapa hanya berlalu begitu saja melewati
Delisa. Ummi, kak Fatimah, kak Aisyah, kak Zahra
melangkah menjauh, tidak menoleh. Bukankah mereka
akan menjemputku?
Delisa panik. Tidak! Bagaimana mungkin mereka hanya
lewat begitu saja di depannya. Lewat di depannya yang
sedang duduk di atas tepi jalan menuju gerbang taman
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tersebut. Tidak! Ia tidak ingin seperti di pasar Lhok Nga. Ia
tidak ingin tertinggal. Bagaimanalah ia akan mencari tahu
di mana mereka kalau ia sampai tertinggal.
Bukankah tidak ada siapa-siapa kecuali mereka di sini.
"UMMI!" Delisa berteriak kencang. Berusaha
menggerakan kakinya. Berusaha berdiri. Berusaha
merangkak dari tepi jalan tersebut.
Ummi tidak mendengar.
"KAK FATIMAH!" Delisa mulai panik. Bagaimana
mereka tak mendengarnya. Bagaimana mereka tak tahu
kalau aku tertinggal di belakang.
Kak Fatimah tidak mendengar.
"KAK ZAHRA!" Delisa semakin panik.
Kak Zahra sama sekali tidak mendengar.
Ya Allah, apa yang terjadi dengan semua ini. Delisa
takut. Delisa gentar. Delisa tak ingin ditinggal sendiri.
Kemanapun mereka akan pergi.... Delisa ingin ikut. Delisa
ingin ikut. Delisa meronta-ronta. Badannya tetap saja tak
bergeming. Apa yang terjadi dengan tubuhnya. Bagaimana
Delisa sedikitpun tidak bisa bergerak untuk menyusul
mereka.
"KAK AISYAH!" Delisa tersengal. Suaranya lebih dari
panik sekarang. Ia berteriak sekencang yang ia bisa.
Suaranya parau. Parau oleh tangisan. Parau oleh
kecemasan.
Dan kak Aisyah sedikitpun tidak mendengar.
Empat sosok indah itu hilang di bawah bingkai gerbang
taman indah. Meninggalkan Delisa yang terduduk di tepi
jalan. Sendiri! Begitu saja.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
(Oo-dwkz-oO)
"Putar kemudi!" Laksamana Jensen Hawk berkata
dingin. Raut mukanya menegang. Bibirnya berkedut-kedut.
Perintah itu bagai seribu kartu yang berdiri dideretkan di
atas meja, kemudian dirobohkan ujungnya. Langsung
rebah. Menjalar hingga ke ujungnya. Kapal induk John F.
Kennedy yang menggunakan reaktor nuklir sebagai bahan
bakarnya langsung berputar haluan. Ribuan kelasi dan
pasukan yang ada di atas kapal diberitahu. Bagai seribu
kartu yang roboh, perintah itu menjalar.
Perintah super-penting. Menuju ujung utara pulau
Sumatera.
Tak ada prajurit yang bertanya kenapa? Meski mereka
sebentar lagi akan tiba di rumah. Tak ada dengung
keberatan. Meski mereka sebentar lagi akan bertemu
dengan keluarga masing-masing. Meski mereka bersiap
libur setelah lama bertugas menjaga dunia.
(Oo-dwkz-oO)
Di mana Delisa?
Saat laksamana di Kapal Induk mengatakan kalimat
tersebut, Delisa sedang bermimpi bertemu Ibu Guru Nur.
Ibu Guru Nur datang mendekat. Melangkah tersenyum.
Mengelus kerudung biru Delisa. Mengusap air mata Delisa
yang jatuh berderai. Mendiamkan Delisa yang menyebut
lemah dan tersedan Ummi, kak Fatimah, kak Aisyah, dan
kak Zahra.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ibu Guru Nur datang dengan kerudung indah. Kerudung
itu bagai dari air. Kerudung itu sungguh bagai air. **
"Jangan menangis, sayang!" Ibu Guru Nur tersenyum.
Merengkuh Delisa dalam pelukan.
"D-e-l-i-s-a t-a-k-u-t!" Delisa terisak.
"Apa yang kau takutkan, anakku?" Ibu Guru Nur
menatap amat mempesona.
"Ummi, kak Fatimah, kak Aisyah, kak Zahra pergi...
Pergi... tak mengajak Delisa!"
** Ya Allah, aku pernah sekali melihatnya'. Jadikan ia
sebagai kerudung yang akan dipakai "perhiasan terbaikku".
Pinjamkan ia di atas kepala kekasih dunia-akheratku'.
"Mereka tidak ke mana-mana sayang...."
"Tetapi.... Tetapi Delisa takut s-e-n-d-i-r-i...."
Ibu Guru Nur mengusap pelan lengan Delisa.
Tersenyum lembut. Matanya bening menatap lamat-lamat.
"Kau memiliki lebih banyak teman dibandingkan seluruh
dunia dan seisinya, Delisa...."
Delisa menatap tak mengerti. Delisa menatap tak paham.
Bukankah ia jelas-jelas sendiri di depan taman indah itu.
Badannya tidak bisa bergerak. Tak bisa menyusul Ummi
dan kakak-kakaknya tadi. Bukankah tak ada siapa-siapa di
sini?
Ibu Guru Nur tidak menjelaskan lebih lanjut seperti
biasanya kalau di kelas Delisa menatap dengan ekspresi
yang sama seperti itu. Ibu Guru Nur hanya tersenyum lagi.
Mengusap kerudung biru Delisa lagi. Delisa terdiam.
Senyuman dan usapan itu menenangkan. Delisa perlahan
berhenti dari sedu sedannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Membalas tatapan Ibu Guru Nur. Menatap betapa
indahnya kerudung Ibu Guru Nur.
"Kerudung Ibu Guru Nur indah sekali!" Delisa berkata
lemah. Tangannya menyentuh kerudung itu. Bagai
mengalir di jemari. Bagai menembus ujung-ujung jari.
Ibu Guru Nur tersenyum.
"Ini kerudungmu sayang.... Ini kerudung yang kau
pinjamkan.... Kaulah yang membuat Ibu mendapatkan
kerudung seindah ini.... Ketahuilah, sayang, kau kelak akan
mendapatkan kerudung yang sepuluh kali lebih indah dari
kerudung ini.... Kau akan mendapatkannya. Kami semua
akan menunggumu...."
Ibu Guru Nur tersenyum. Mengelus kepala Delisa untuk
terakhir kalinya. Beranjak berdiri. Dan sebelum sempat
Delisa bertanya, atau apalah, Ibu Guru Nur sudah
melangkah menuju taman indah itu.
Delisa panik lagi. Ya Allah, Ibu Guru Nur mau kemana?
Delisa tidak ingin sendiri. Delisa tidak mau sendiri.
Bukankah Ummi, kak Fatimah, kak Aisyah, kak Zahra juga
sudah pergi meninggalkannya tadi?
"IBU GURU NUUUURM" Delisa berteriak parau.
Ibu Guru Nur tidak mendengarkan.
(Oo-dwkz-oO)
Elementary School Rose The Elizabeth. Tepat di jantung
kota London. Michelle dan Margaretha, kembar enam
tahun berdiam diri. Mukanya tertunduk takjim. Tangannya
merapat. Mata birunya terpejam. Seluruh isi kelas hening.
Tadi pagi sebelum mereka memulai pelajaran kelas satu.
Michelle dan Maragaretha berdiri di depan kelas.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Memimpin doa-doa. Berkata lemah.... "Untuk teman-teman
kami di Aceh.... Untuk teman-teman kami di
Indonesia....11
* * Ya Allah, bahkan mereka sekecil itu tahu apa yang
harus mereka lakukan'. Bahkan mereka sekecil itu tahu arti
ikut merasakan.... Ikut berbagi.... Ya Allah, sungguh ada
banyak sekali orang-orang yang bahkan tidak tahu buat apa
mereka hidup di dunia ini.... Tidak tahu Kau akan bertanya
banyak kelak di penghujung pengadilan. Tidak tahu kau
akan meminta seluruh pertanggung-jawaban kelak. Tidak
tahu semuanya pasti mendapatkan balas walau setitik d
jarah.
(Oo-dwkz-oO)
Di mana Delisa?
Delisa sedang bermimpi lagi ketika Michelle dan
Margaretha, kembar enam tahun berdiam diri. Ketika dua
muka kembar itu tertunduk memimpin do'a temantemannya.
Lewat di depan Delisa yang terduduk tak bisa bergerak:
Tiur, Ummi Tiur dan kakak-kakak Tiur.
"D-e-l-i-s-a!" Tiur tersenyum riang berlari memeluknya.
Ummi Tiur tidak batuk, tidak terlihat sakit. Ummi Tiur
amat sehat dan tersenyum bahagia. Kakak-kakak Tiur tidak
bertampang kusut seperti biasanya kalau mereka sedang
mengangkut barang-barang di pasar Lhok Nga. Wajah
mereka bahagia.... Meski tak secemerlang Ibu Guru Nur
tadi.
"Tiur akan bertemu Abi!" Tiur berkata riang.
"Tiur mau kemana?" Delisa menatap tak mengerti.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tiur akan bertemu Abi!" Tiur menunjuk gerbang taman
yang indah itu. Delisa tidak mengerti.
Ummi Tiur membimbing Tiur berdiri. Delisa baru
mengerti. Mereka akan pergi ke sana. Sama seperti Ummi,
kak Fatimah, kak Aisyah, kak Zahra, dan Ibu Guru Nur.
Delisa sekarang mengerti. Ia akan sendirian lagi.
Rombongan itu meneruskan langkahnya. Tiur berontak
semakin beringas. Membentak kakinya yang tak bisa
bergerak. Membentak badannya yang tak bisa bergerak.
"TIUR!" Delisa berteriak.
Tiur tidak mendengarkan.
"TIUUUR!"
Kakak-kakaknya juga tidak bergeming.
"Ya Allah.... Tiur, j-a-n—g—a—n p-e-r-g-i...." Delisa
menyebut namaMu dengan lemah. Suaranya habis sudah.
Dan sekali ini Ummi mendengarkan. Ummi Tiur
menghentikan langkahnya. Berbalik. Beranjak mendekati
Delisa.
Delisa tersedan, tangannya menggapai-gapai tubuh
Ummi Tiur yang mendekat lagi. "Ummi, Delisa ingin ikut!"
Ummi Tiur tersenyum. Menggeleng.
"Ummi, Delisa ingin ikut!"
Ummi Tiur beranjak duduk. Lembut mengelap air mata
Delisa. Mencium kening Delisa penuh makna. Berbisik
lemah.
"Delisa harus tinggal, sayang...."
"DELISA MAU IKUT!"
"Delisa harus menyelesaikan hafalan itu, saya-ng.,.."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"DELISA TIDAK MAU SENDIRIAN!"
"Kau memiliki lebih banyak teman dibandingkan seluruh
dunia dan seisinya, sayang!"
Ummi Tiur beranjak berdiri. Melangkah anggun menuju
gerbang taman indah itu. Delisa terperangah. Delisa
nelangsa. Delisa sendiri lagi.
(Oo-dwkz-oO)
SBY-JK tergesa memasuki ruang rapat istana. Rapat
kabinet super-mendadak. "Ini masalah serius! Kita harus
melakukan banyak hal...." Suara itu sayangnya terdengar
"biasa-biasa" saja!
Kemarin-lusa dia datang ke Banda Aceh, lengkap dengan
pakaian super-rapi. Disetrika. Seperti berkunjung atau
plesiran. Bagai anjangsana ke Dufan atau Taman Safari
atau entahlah.
Menyerahkan sekotak mie!
Memangnya kesedihan ini bisa ditukar dengan mie,
walau jumlahnya bisa ditumpuk memenuhi langit Aceh!
(Oo-dwkz-oO)
Delisa terbatuk pelan.
(Oo-dwkz-oO)
Abi Usman yang sedang bertugas di ruang mesin
sepanjang dua hari dua malam (mesin itu bermasalah lagi)
dihampiri teman negro-nya.
"Kamu sudah lihat berita sepanjang dua hari ini, buddy?"
Abi tersenyum. Menoleh. Menyeka tampangnya yang
belepotan oli dan sebagainya. Tidak mudah pekerjaannya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sebagai maintenance kapal tanker ini. Menatap negro itu
ramah. Menunjuk mesin yang sedikitpun tidak tahu apa
masalahnya sejak minggu pagi. Abi hanya beristirahat jika
malam tiba. Abi hanya bersitirahat saat jam makan dan
shalat datang. Dia benar-benar pekerja yang amanah!
"Ada gempa!" Wade, si negro menguap-me-ngantuk.
"Di mana?" Abi melanjutkan pekerjaannya. "Di Aceh!"
Abi menoleh. Semoga tidak serius. "Ada tsunami!"
"Di mana?" intonasi pertanyaan Abi mulai serius. "Di
Aceh!"
Abi mengucap innalillah untuk yang kedua kalinya.
Semoga tidak serius. Menghentikan pekerjaannya lagi. Abi
mulai tidak enak di hati.
"CNN bilang sudah 15.000 orang korbannya!"
Tidak perlu dua kali. Abi melempar kunci Inggris di
tangannya. Melesat menuju tangga menuju palka atas.
(Oo-dwkz-oO)
Delisa batuk untuk yang kedua kalinya.
(Oo-dwkz-oO)
Abi berseru tertahan menatap potongan gambar-gambar
itu! //SUBH AN ALLAH!//
Abi sudah tak bisa berpikir lagi. Dengan pakaian
kotornya, dengan lengan kotornya, sambil men-desiskan
nama Ummi, Delisa, Aisyah, Zahra, dan Fatimah, Abi
sudah berlari kencang-kencang menuju ruangan kepala
//maintenance//.
Dia harus pulang!
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tak ada yang tahu apa yang terjadi dengan istri tercinta,
dan empat malaikat kecilnya. Tak ada yang tahu.
Dia harus segera pulang!
(Oo-dwkz-oO)
Jemari Delisa gemetar. Bergerak kecil-kecil.
(Oo-dwkz-oO)
7. Burung-b urung pemb awa buah
Delisa tak bisa bergerak, kaki kanannya hingga ke betis
sempurna terjepit di sela-sela dahan semak. Tubuh
mungilnya terjerambab di atas semak belukar tersebut.
Badannya terbaring dengan bagian sebelah kiri menyentuh
tanah. Kaki kanannya menggantung tak berdaya.
Muka Delisa biru lebam, sekujur tubuhnya juga penuh
baret dan luka, sisa garutan pelepah pohon kelapa, rantingranting
pohon lainnya, benda-benda yang menghantam
tubuhnya sepanjang terseret gelombang tsunami, juga
semak-semak yang sekarang mencengkeram kaki kanannya.
Betis kanannya sungguh menyedihkan. Remuk. Darah
membeku menggumpal. Delisa nyaris telanjang. Seragam
sekolahnya robek besar di mana-mana, roknya lepas hanya
menyisakan celana dalam, itupun belepotan lumpur. Tubuh
itu meng-kerut kedinginan. Tubuh itu penuh biru lebam
oleh guratan luka. Sisa gelombang tsunami yang tak kenal
ampun enam hari lalu.
Kerudung birunya hampir terbelah dua. Tersangkut di
lehernya. Rambut pirang Delisa kotor dan semrawut,
dedaunan menempel seperti sarang burung. Tubuh itu sama
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sekali tidak mirip manusia lagi. Tubuh itu bengkak
mengerikan. Tetapi Delisa masih bernafas.
Delisa masih hidup. Terseret empat kilometer hingga ke
kaki bukit Lhok Nga. Tersangkut di semak-semak.
Siku kanan Delisa juga patah! Sempurna sudah, ia tidak
berdaya. Hanya menggantung terbaring. Dengan badan
sebelah kiri menyentuh becek tanah yang sudah mengering.
Sebelah kanan badannya terjepit semak-belukar.
Matahari siang memanggang tubuhnya!
Delisa lama hanya mengerjap-ngerjapkan mata. Hening.
Senyap. Tak ada siapa-siapa. Di tempatnya tersangkut,
harusnya banyak orang. Bukankah kaki bukit ini masih
bagian kota Lhok Nga? Tetapi tidak ada siapa-siapa. Sepi.
Bukankah di sini banyak rumah-rumah? Kenapa tinggal
puing reruntuhan kayu dan timbunan sampah. Pohonpohon
bertumbangan.
Kemanakah orang-orang.
Mata Delisa berkedip-kedip. Silau. Sinar terik matahari
mengembalikan panca inderanya. Delisa reflek
menggerakkan tangan kanannya. Ya Allah, sakit. Sungguh
sakit. Delisa meringis. Delisa menahan sesak. Sakitnya
lebih sakit dari suntikan dokter waktu ia demam dulu.
Lebih sakit juga dibandingkan saat bahunya di suntik
imunisasi di sekolahan.
Siku tangan kanannya, tak bisa digerakkan.
Tulang tangannya tak mau menurut perintah, menolak
mentah-mentah digerakkan dengan rasa sakit itu. Delisa
mencoba berdiri. Semuanya juga sakit. Bagaimanalah ia
bisa berdiri dengan tubuh lemah dan terjepit seperti ini.
Delisa menahan tangis. Sakit ini sungguh tak tertahankan.
Kalau ia tidak ingat dulu Ummi berkali-kali menasehatinya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
agar tak mudah menangis, dari tadi ia akan menangis.
Ummi?
Delisa tiba-tiba ingat Ummi. Ya Allah di mana Ummi.
Kepala Delisa berputar mencari. Di mana pula kak
Fatimah? Kak Zahra? Kak Aisyah? Di mana mereka?
Pelan kenangan itu kembali. Lambat Delisa mengingat
kejadian enam hari lalu. Delisa sama sekali tidak pernah
tahu, hampir seminggu ia sudah terjerambab di atas semakbelukar
tersebut. Sekolah! Ia di sekolah pagi itu. Ia, Ia
bukankah sedang menghadap Ibu Guru Nur menghafal
bacaan shalat.
Ibu Guru Nur?
Di mana Ibu Guru Nur sekarang? Delisa semakin
memaksakan kepalanya terus berputar. Di mana temanteman
sekelasnya. Bukankah ramai sekali? Anak-anak yang
sama sepertinya sedang menunggu dipanggil menghadap.
Ujian praktek shalat. Di mana Tiur, teman sebangkunya di
kelas?
Tiur?
Ya Allah, untuk yang satu ini Delisa tak perlu bersusah
payah mencarinya. Persis lima langkah di depannya, mayat
Tiur yang lebam terbaring begitu saja. Tertelentang
menghadap langit. Dan muka beku Tiur persis mengarah
kepada Delisa yang tersangkut. Muka itu tidak seburuk
muka Delisa yang lebam. Delisa dengan cepat bisa
mengenalinya. Mengenali mayat Tiur yang pucat tak
berdarah. Mayat Tiur yang terbaring mengerikan di
hadapannya.
Seketika Delisa mengeluh panjang. Keluhan gentar.
T-i-u-r? **
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Delisa gemetar menahan tangis. Ia takut. Ia takut sekali
menatap mayat Tiur. Memandang tubuh membeku teman
terbaiknya. Delisa berusaha menutup matanya. Justeru
muka pucat Tiur memenuhi benaknya. Delisa berusaha
menggeleng-gelengkan kepalanya, mengusir bayangan itu.
Justeru tubuh membeku Tiur semakin mencengkeram
pikirannya!
Delisa takut! Teramat takut.
Dan ia jatuh pingsan lagi.
(Oo-dwkz-oO)
Tiur keluar dari taman indah itu. Menggunakan
** Ya Allah, lihatlah'. Delisa haru enam tahun'. Delisa
bahkan belum mengerti makna mati dan kematian. Ya
Allah, lihatlah'. Delisa baru enam tahun'. Delisa bahkan
belum tahu makna derita dan penderitaan....
Banyak sekali ciptaanMu di dunia yang sungguh
bermewah-mewah dengan hidup. Lupa dengan makna mati
dan kematian, padahal mereka mengerti. Menciptakan
berjuta derita dan penderitaan bagi orang lain, padahal
mereka tahu-memahami. Tetapi mengapa Delisa yang
harus menyaksikan semua itu. Mengapa harus melalui mata
hijaunya yang bening kami harus mengerti ayat-ayatMu.
Mengapa ya Allah.... Aku sungguh tak mengerti....sepeda
bersayap putih. Lembut mendekat. Sepeda itu tidak
dikayuh. Sepeda itu bergerak seperti terbang. Delisa yang
tetap tak bisa bergerak di pinggir jalan menuju taman indah
menatapnya gembira. Berteriak senang!
"TIUR!" Akhirnya ada yang keluar dari taman indah itu.
Datang menjemputnya.
Tiur tersenyum. Lembut beranjak turun.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Delisa menggapai-gapai baju putih Tiur.
Tiur jongkok menyentuh sikunya. Tiur pelan menyentuh
betisnya. Menatap tersenyum. Menatap mempesona.
"Tiur tidak rindu Abi lagi, Delisa.... Tiur sudah bertemu
Abi, " Hanya itu yang dikatakan Tiur. Dengan suara riang.
Lantas kembali menaiki sepedanya. Dengan lembut sepeda
itu kembali melesat menuju gerbang taman indah.
Meninggalkan Delisa yang mulutnya terbuka lebar.
Kecewa. Begitu saja? Hanya mengatakan kalimat pendek
itu? Ia pikir Tiur akan memboncengnya masuk ke dalam
taman indah itu. Mengajaknya ke sana sambil menaiki
bersama sepeda bersayap tersebut. Ia pikir?
(Oo-dwkz-oO)
Mata Delisa berkerjap-kerjap. Delisa kembali siuman.
Malam sudah lama turun.
Dan hujan deras. Amat deras membasuh kota Lhok Nga.
Tubuh Delisa kuyup. Tubuh itu pucat kedinginan. Tubuh
itu gemetar menahan terpaan ribuan bulir air. Delisa
menolehkan kepalanya. Tubuhnya masih sakit digerakkan.
Ia melihat lagi mayat Tiur. Delisa masih takut. Tetapi apa
yang bisa ia lakukan sekarang? Lari? Tidak bisa!
Memejamkan mata? Percuma! Ini semua benar-benar
situasi yang tidak terelakkan.
Delisa benar-benar berada dalam situasi yang tidak
terelakkan. Dan seperti manusia-manusia terbaik
pilihanMu, situasi ini akan mendidiknya menjadi lebih baik.
Menjadi bersinar. Kejadian ini membuatnya cepat pulih.
Berpikir banyak hal meski tanpa disadari oleh Delisa
sendiri.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Malam sempurna gelap. Hanya halilintar yang berkalikali
menyambar membuat terang langit-langit Lhok Nga.
Dimanakah semua lampu itu? Dimanakah semua cahaya
terang-benderang Lhok Nga? Delisa ingat, jam begini ia
seharusnya sedang belajar bersama kak Aisyah, kak Zahra,
kak Fatimah di ruang tengah. Ummi menunggui sambil
menjahit pakaian pesanan tetangga.
Atau mereka duduk-duduk di balai bambu sambil
mendengar Ummi bercerita. Melihat purnama. Melihat
bintang-bintang. Melihat lampu-lampu Lhok Nga yang
indah. Ah iya, cerita Ummi belakangan sering Delisa tak
mengerti! Kak Fatimah selalu mendesak Ummi bercerita
tentang pertemuan pertama Ummi dan Abi dulu. Kan cerita
seperti itu tidak asyik buat Delisa. Mending Ummi cerita
tentang sahabat rasul, dongeng-dongeng atau apalah. Yang
penting bukan kalimat-kalimat aneh tentang "cinta"; atau
apalah tersebut.
Delisa ingat mereka setiap malam jam begini juga sering
duduk-duduk di kursi hangat. Duduk sambil mengemil.
Menggambar dengan dua belas warna crayon. Nonton teve
(hanya Delisa yang menonton). Atau belajar menjahit dan
menyulam bersama Ummi.
Apa yang sedang terjadi? Apa yang telah menimpa
dirinya. Delisa hanya ingat terakhir ia sedang menghafal
shalat di depan Bu Guru Nur. Gempa bumi? Bukankah
waktu itu tanah terasa bergetar. Papan tulis jatuh. Gelas
untuk menaruh bunga di meja Ibu Guru Nur pecah, dan
satu pecahan beling melukai lengannya. Suara-suara itu.
Keributan diluar. Kemudian air yang banyak. Air di manamana.
Mengepungnya. Menyeretnya. Entahlah! Ia lupa.
Delisa meringis. Ia lapar. Delisa teramat lapar. Sudah
enam-hari enam-malam perutnya kosong. Delisa juga tibatiba
merasa teramat haus. Kesadaran dan pulihnya panca
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
indera Delisa membuat perutnya mengirim sinyal ke otak
tak tertahankan.
Kemana pula ia harus mencari makanan. Tak ada meja
makan di sini. Tak ada Ummi yang bisa dimintai tolong.
Tak ada siapa-siapa. Gelap. Hanya hujan yang sempurna
membungkus tubuh menyedihkan itu.
Delisa entah apa sebabnya mulai menangis. Delisa
tersedu. Bibir biru itu mengeluarkan lenguh kecil.
Mengeluarkan dengking lemah. Delisa menyerah. Ia
menangis. Semua ini membuatnya takut.
Membuatnya bingung. Takut dan bingung itu dekat
sekali dengan menangis. Kalian akan menangis jika saking
takut dan bingungnya. Delisa tersedan panjang. **
Lama! Tak ada yang terjadi. Tak ada yang melihat.
Tak ada yang membantu.
Hingga kesadaran itu ditanamkan di kepala Delisa. *** "
Delisa pelan membuka mulutnya. Ia haus. Dan air yang
turun dari langit menjadi berkah baginya. Delisa minum.
Tanpa mengerti mengapa ia harus minum. Mengapa ia
harus membuka mulutnya. Pengertian itu datang begitu
saja. Delisa berhenti menangis. Bibirnya yang lemah
melahap berkah air dari langitMu. Mulut yang giginya
tanggal dua itu bergetar lemah. Kerongkongannya basah.
Kesegaran masuk ke sekujur tubuhnya. Membantu banyak.
Tetapi Delisa juga lapar! Kemanakah ia harus mencari
makanan? Kemana? Bukankah tak ada yang tersisa lagi di
sekitarnya. Tak ada siapa-siapa. Delisa mengeluh panjang
saking kosong perutnya.
Dan lima buah apel merah-ranum tergeletak begitu saja
di dekat tubuh Delisa. Rapi tersusun membentuk formasi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bintang. Paras Delisa menyeringai senang melihatnya.
Tangan kiri Delisa gemetar meraihnya. Masih sakit. Tetapi
ia pelan-pelan berhasil menggapainya. Sempurna sekali
letak lima buah apel tersebut. Tepat di ujung jangkauan
tangan kiri Delisa. Apel itu indah dan besar-besar. Dan
sungguh terasa lezat saat Delisa mengunyahnya. Mencair
begitu saja dalam mulut Delisa yang lemah. Apel itu entah
dari mana datangnya.
"Kau memiliki lebih banyak teman dibandingkan seluruh
dunia dan seisinya, sayang!" **
(Oo-dwkz-oO)
//MOVE... MOVE....//" Sersan Ahmed membentak.
Dua belas prajuritnya dengan gesit berlari tergesa ke atas
helikopter Super Puma yang mendesing.
Pengatur landing-take off landasan Kapal Induk John F.
Kennedy memberikan tanda. HIJAU! Sersan Ahmed
tangkas melompat ke atas helikopter terakhir kali. Pemuda
berusia 35 tahun. Lulusan terbaik pendidikan tamtama
marinir Amerika Serikat lima belas tahun silam. Pemuda
afrika kelahiran Boston. Sedikit di antara muslim yang
bertugas di gugus perang John F. Kennedy. Sersan Ahmed
mualaf setelah pertempuran badai padang pasir Irak dulu.
Baling-baling Super Puma semakin keras mende-
* Ya Allah itu cemburuku yang pertama'.
**Lihatlah ya Allah'. Gadis kecil itu sungguh sendirian.
Bukankah kuasaMu menjejak walau sekadar basah atau
keringnya setangkai jerami. Bukankah kuasaMu menggapai
walau jatuh-tidaknya setetes air di tengah hutan belantara
luas. Aku mohon- Bantulah engan tak terkira kasihMu-
Bantulah dengan tak terhitung sayangMu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
*** Ya Allah, sungguh mulia Engkau. Kau-lah yang
menanamkan semua kesadaran itu. Kami lahir tak bisa
melihat, kau buat melihat. Kami lahir tuli, kau buat
mendengar, kami lahir tak bergerak, kau buat melangkah,
kami lahir tak mengerti, kau tanamkan pengertian.
sing. Bergetar. Lantas melesat ke atas langit. Mantap
bergerak menuju area tugas mereka. Area penyisiran
mereka hari ini. Pagi itu, Minggu 2 Januari 2005, hari ke
tujuh setelah bencana menggetarkan dunia itu terjadi.
Langit Aceh bagai penuh oleh ribuan helikopter.
Sersan Ahmed dengan tampang dingin menatap tajam
seluruh anak-buahnya. Tugas mereka berbeda sekali hari
ini. Tidak menyerbu musuh. Tidak menghabisi benteng
kokoh pertahanan penjahat. Tidak juga meluluh-lantakkan
gedung-gedung yang dianggap sarang gembong narkoba.
Bahkan Sersan Ahmed tidak tahu bagaimana cara terbaik
menghadapi musuh mereka sekarang. Musuh mereka
adalah menyisir kota untuk mengevakuasi mayat;
menyelamatkan segera orang-orang yang masih bernafas.
Musuh yang menyedihkan, memilukan hati.
Satu setengah jam kemudian, pesawat itu menyentuh
salah satu lapangan di Lhok Nga. Mendarat. Membuat
debu di lapangan itu berter-bangan. Apa mau dikata, kota
tersebut sudah menjadi lapangan semua. Apa gunanya lagi
disebut salah satu lapangan? Tetapi itu benar-benar
lapangan.
Lapangan bekas sekolah Delisa.
Dua belas prajurit berloncatan gagah berani. Tampang
mereka akan beda sekali dibandingkan dengan penduduk
lokal kalau mendarat empat hari lalu. Wajah-wajah muda
bule. Wajah-wajah dengan garis, tekstur dan warna yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berbeda. Tetapi hari ini, tak ada yang peduli kenyataan itu.
Ada banyak hal yang lebih penting dipedulikan.
Tak banyak yang menyambut helikopter mendarat,
karena sisa penduduk kota Lhok Nga hanya segelintir.
Prajurit yang bertugas di atas helikopter segera melempar
kardus-kardus bantuan ke tangan-tangan yang terjulur
mendekat. Sementara Sersan Ahmed dan prajuritnya mulai
bergerak menyisir.
Tak banyak pula yang membantu pasukan marinir
tersebut. Posko sukarelawan baru dibuka beberapa hari
kemudian. Merekalah yang pertama tiba di Lhok Nga (juga
dibandingkan kamera teve nasional). Hanya penduduk
setempat yang selamat membantu mereka menyisir bekas
bencana. Tetapi penduduk selamat tersebut, lebih sibuk
mencari keluarga masing-masing.
Wajah-wajah cemas. Wajah-wajah meminta
pertolongan. Bukan sebaliknya. Sersan Ahmed menggigit
bibir. Dia terus membentak prajuritnya melakukan
penyisiran.
"CARI TERUS! KUMPULKAN MAYAT SEBANYAK
MUNGKIN! PERIKSA SELURUH TEMPAT!" Sersan
Ahmad galak menatap pasukannya yang begitu lamban.
Anak buahnya bergegas memanggul kantong-kantong
mayat.
Sore itu mereka mengumpulkan ratusan tubuh.
Sayangnya tak ada satupun yang ditemukan masih
bernafas. Tidak ada. Bagaimana mungkin keajaiban itu
ada? Lhok Nga hampir 80% musnah. Kalaupun ada yang
selamat, karena memang sedang
beruntung berada di manalah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Hari itu, penyisiran mereka masih satu kilometer dari
tubuh Delisa yang terpanggang.
(Oo-dwkz-oO)
Tubuh Delisa terpanggang oleh teriknya matahari.
Tubuhnya semakin mengenaskan. Air dan beberapa buah
apel memang mengisi perutnya dengan baik semalaman,
tetapi itu tidak cukup untuk mengurangi semua rasa sakit.
Menjelang sore, kaki kanannya sudah benar-benar tak
terasa lagi. Seperti tidak ada lagi di sana, saking kebasnya.
Matanya perih menahan panas seharian. Kerudung biru
yang sekarang ditutupkannya di atas dahi tidak membantu
banyak.
Delisa sudah lelah menangis. Air matanya sudah habis
sepanjang hari. Tujuh hari tujuh malam sudah ia terkapar.
Ia tidak takut lagi dengan mayat Tiur yang mulai
membusuk. Ia tidak takut lagi menatap sepinya kota. Tidak
takut lagi menatap gelapnya malam. Bahkan Delisa tidak
peduli dengan hujan deras yang selalu turun tiap malam.
Mengeriputkan badan kecilnya.
Ah, selalu begitu. Kejadian yang tak terhindarkan, selalu
mendidik manusia-manusia terbaikMu dengan cepat.
Kejadian itu selalu sementara. Pemahaman atas kejadian
itulah yang akan abadi.
Tadi pagi beberapa orang yang selamat melintas di
dekatnya. Delisa ingin berteriak memanggil. Sayang
bibirnya sudah lemah. Ia sudah tak mampu berteriak lagi.
Ia sudah terlampau lemah walau sekadar menggerakkan
kepala.
Menatap nelangsa orang-orang tersebut bergegas
menjauh darinya.
(Oo-dwkz-oO)
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Malam datang!
Hujan deras turun lagi.
Ya Allah, sungguh mengenaskan menyaksikan
pemandangan itu! Delisa membuka mulutnya. Mencoba
minum. Tetapi bibirnya sudah susah digerakkan. Mulutnya
lemah membuka. Jemari tangan kirinya pun sudah lemah
untuk menggapai lima buah apel yang entah dari mana
asalnya kembali utuh membentuk formasi bintang di
dekatnya. Delisa hanya menatap nelangsa apel-apel
tersebut.
Pelan-pelan sepanjang hari ini Delisa ingat apa yang
terjadi padanya. Ingat detail-detailnya. Tidak dalam bentuk
ingatan yang antara ada dan tidak. Ia benar-benar ingat
semuanya. Ingat malam sebelumnya Abi menelpon. Ingat
pagi-pagi ia dan Ummi berangkat menuju sekolah dengan
riang. Ingat Cut Aisyah dan Cut Zahra yang entah
sembunyi-sembunyi menempelkan apa di depan rumah saat
mereka berangkat.
"Ummi, apa yang ditempel kak Aisyah dan kak Zahra!"
Delisa bertanya saat mereka berada di ujung tikungan gang.
Ia sempat melihat mereka berdua menaiki kursi
menempelkan karton-karton bertulisan warna biru.
Hiasan-hiasan warna biru.
Ummi hanya mengangkat bahu! Menyeringai,
menggeleng pura-pura tidak tahu.
"Apa sih Ummi?" Delisa semakin penasaran.
Ummi hanya tersenyum. Mempercepat langkah. Delisa
terpaksa ngintil semakin cepat.
Delisa ingat ia sedang menghafal bacaan shalat saat
semuanya terjadi. Saat tubuhnya terseret derasnya air.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kemudian gelap, semuanya terasa gelap. Ia lupa dengan
apa yang terjadi berikutnya. Kemarin Delisa juga ingat
tentang ini, tetapi sekarang berbeda. Delisa tiba-tiba
menyadari sesuatu. Bibirnya gemetar. Ya Allah, Delisa
ingat.... Delisa harus menghadap Bu Guru Nur untuk
membaca seluruh bacaan shalat. Bukankah Delisa waktu itu
berusaha untuk shalat dengan khusuk. Tidak mempedulikan
suara-suara, tanah yang bergetar, juga air bah itu.
Delisa mau shalat sekarang. Delisa ingin menyetor
hafalan itu langsung kepadaMu. Delisa ingin melakukannya
sebelum semuanya terlambat.
Begitu saja, pikiran itu datang di kepalanya. Menuntun.
Delisa menggerak-gerakkan jemarinya. Delisa ingin
mengulang hafalan bacaan shalat itu. Di tengah-tengah
hujan deras ini. Langsung kepadaMu.
Gemetar bibir Delisa mengucap takbiratul-ihram. 7/Alla-
hu-ak-bar....//"
Dan Delisa seketika lupa kelanjutannya. Delisa lupa
harus membaca apa sekarang? Delisa lupa seperti apa kata
awal doa iftitah. Delisa benar-benar menatap kosong!
Ya Allah, Delisa sungguh lupa. Lupa begitu saja. Semua
kesedihan ini, semua pemandangan ini, semua kesakitan
ini, semua perasaan ini. Delisa lupa. Bagaimanalah jadinya?
semua hafalan itu seperti tercerabut begitu saja dari
otaknya. Tak berbekas sedikitpun. Delisa kelu
menyadarinya. Delisa terpana tidak mengerti. **
(Oo-dwkz-oO)
** Ya Allah, bahkan banyak sekali orang-orang yang
lalai, orang-orang yang fasik, orang-orang munafik, orangorang
jahat yang tak pernah lupa atas rencana-rencana jahat
mereka.... Tidak pernah terlupakan. Bagaimana Delisa yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
hendak shalat padaMu. Delisa yang dalam keadaan
sungguh mengenaskan, ingin shalat padaMu dengan
sempurna, dan Kau buat ia lupa.... Bagaimanalah kalau
esok-lusa ia tidak sempat lagi menyetor bacaan itu?
Ketika Delisa kelu menyadari fakta itu, ketika Delisa
terjebak oleh semua kebingungan, seribu malaikat sedang
menyiapkan istana indah untuknya di surga; terukir
namanya dengan huruf-huruf besar di pigura depan: Alisa
Delisa.
(Oo-dwkz-oO)
8. Hida yah itu a khi rn ya datang
Jam tujuh pagi. Super Puma itu melesat lagi dari kapal
induk. Sersan Ahmed semakin galak meneriaki prajuritnya.
Dia tahu, semua pemandangan kemarin sungguh
menggentarkan. Semua kota yang luluh-lantak itu sepuluh
kali lebih menekan dibandingkan pertempuran mereka
selama ini. Mayat-mayat yang bergelimpangan, tanpa
lengan, tanpa tangan, dan lain sebagainya seratus kali lebih
menakutkan dibandingkan mayat-mayat korban muntahan
peluru senjata mereka selama ini.
Memandang wajah-wajah tak berdaya yang selamat.
Wajah-wajah nelangsa. Penduduk kota Lhok Nga yang
dililit kesedihan. Mereka tidak saling mengenali. Tetapi raut
dan bentuk kesedihan sama di seluruh dunia. Universal!
Kesedihan tidak memerlukan perantara bahasa. Apalagi
kesedihan akibat bencana seperti ini. Semua itu menekan
dia dan prajurit-prajuritnya.
Sersan Ahmed menggigit bibir. Mereka harus
menemukan lebih banyak mayat lagi. Mungkin jika
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
beruntung satu-dua yang masih bernyawa. Meskipun itu
benar-benar sebuah keajaiban.
"Apa yang kau kunyah!" Sersan Ahmed bertanya tajam
kepada Prajurit Smith yang duduk tegang di depannya.
"P-e-r-m-e-n k-a-r-e-t, Sir!" Prajurit Smith menjawab
pendek. Menyeringai. Wajahnya terlihat berbeda sekali
dengan temannya. Ia tertekan dengan semua ini. Permen
karet itu membantunya.
Sersan Ahmed mendengus. Dia tahu apa yang dilakukan
Prajurit Smith. Dia tahu persis semua kebiasaan anakbuahnya.
Pertanyaan tadi hanya untuk membuat Smith
tetap fokus. Semua pemandangan ini pasti menggangu
Smith. Anakbuahnya yang baru enam bulan silam beruntun
kehilangan anak semata wayang dan istrinya di California.
Sersan Ahmed mengalihkan tatapan tajamnya dari muka
Prajurit Smith yang tegang, kembali memandang
pemukiman bawah sana yang hancur luluh. Sepanjang
pesisir menuju Lhok Nga, tak ada yang tersisa, hanya
kepedihan. Orang-orang yang menggapai-gapai ke udara
mengharap bantuan dilemparkan.
Orang-orang kelaparan.
Semua ini entah hingga kapan selesai.
(Oo-dwkz-oO)
Delisa siang itu pingsan untuk kesekian kalinya. Tenaga
Delisa sudah melemah, tak bersisa. Delisa sudah tidak
makan-minum lagi selama sehari, semalam. Bibirnya tak
bisa dibuka sama sekali. Semuanya sudah hampir selesai
baginya. Habis.
Matahari sekali lagi garang membakar tubuhnya. Tubuh
itu terpanggang sepanjang siang, setelah semalaman justeru
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kedinginan menggigil di hajar hujan deras. Tubuh itu
semakin menyedihkan. Luka di betis kanannya mulai
bernanah. Lebam biru di parasnya membesar. Tubuh Delisa
biru-mengeriput.
Sore datang menjelang. Cahaya matahari melembut,
tetapi itu tak membantu banyak. Delisa sudah hampir habis.
Kulitnya sudah kebas tak berasa.
Dua belas prajurit Sersan Ahmed juga sudah hampir
habis. Kelelahan. Lelah fisik dan lelah mental. Hanya suara
Sersan Ahmed yang masih garanglah membuat mereka
tetap bertahan. Mereka tadi pagi mendarat jauh dari bekas
lapangan sekolah Delisa. Menyisir kota Lhok Nga dengan
radius lebih jauh lagi.
Parjurit Smith sudah menghabiskan permen karet yang
kedua belas, itu permen karet terakhirnya. Dia gontai
mendekati semak-belukar itu. Lemah menatap semua
pemandangan menyedihkan ini. Bau bangkai menyeruak
hidungnya. Prajurit Smith mendekat. Mencari tahu
sumbernya.
Mayat Tiur!
Prajurit Smith menelan ludah melihat mayat Tiur yang
membusuk. Lemah melangkah mendekat. Menghela nafas.
Menyiapkan kantong mayat.
Saat itulah. Sudut mata Prajurit Smith tak sengaja
menangkap siluet pemandangan yang menggentarkan itu.
Menatap semak belukar yang sebenarnya kalau tak ada
semua ini terlihat amat menawan. Semak-belukar itu
sedang berbunga. Bunganya putih kecil-kecil. Indah.
Melingkupi dengan sempurna seluruh dedaunannya. Tetapi
bukan itu yang membuat Prajurit Smith seperti dipakukan
seketika di tanah. Tubuh yang tersangkut di semak-belukar
itulah yang membuat Prajurit Smith tak bisa bernafas.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mata Prajurit Smith membesar.
"JESUS CHRIST!" Smith mendesis menelan ludah.
Lututnya bergetar, ia sontak jatuh terduduk. Berdebam
lututnya menghantam tanah. Hatinya gentar seketika.
Matanya menatap tubuh Delisa yang tergantung.
Matanya menatap tubuh Delisa yang tergantung di
tengah-tengah semak belukar penuh oleh bunga-bunga putih
tersebut.
Ya Allah, tubuh itu bercahaya. Tubuh yang ditatapnya
bercahaya. Berkemilauan-menakjubkan. Lihatlah! **
(Oo-dwkz-oO)
** Itu cemburuku yang kedua, ya Allah'. Bahkan
perbuatan terbaikku tak pernah membuat seujung kuku
wajahku bercahaya.... Tak pernah. Tak pernah sedikitpun'.
Apakah hati ini begitu kotornya?
Apakah tak ada sisa kebaikan yang ada di hati ini agar
bisa menyinari jalan kebaikan bagi orang lain. Apakah
semuanya tinggal sebongkah daging yang hitam kelam?
Tanpa perasaan lagi?
Sersan Ahmed berlari menuju semak belukar tersebut.
Beberapa prajurit lainnya juga bergegas saat mendengar
teriakan lemah Prajurit Smith barusan, "Ada yang hidup,
//Sir//!"
Sersan Ahmed merekahkan dahan yang menjepit kaki
kanan Delisa. Yang lain buru-buru memegangnya agar
tubuh Delisa tidak terbanting ke tanah. Tubuh lemah Delisa
lantas di letakkan pelan-pelan di atas tanah. Tubuh yang
terlihat lebih mengenaskan dibandingkan mayat yang
mereka temukan sebelumnya. Beberapa prajurit lain
membuka kantong mayat, memasukkan mayat Tiur.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"TANDU!" Sersan Ahmed membentak.
Tergesa dua prajurit mengambil tandu di pendaratan
mereka tadi. Tak ada yang berpikir akan menemukan
korban selamat. Mereka hanya membawa kantong mayat
sepanjang penyisiran.
Langit merah. Malam segera menyergap Lhok Nga. Laut
begitu tenang. Burung camar melenguh kembali ke sarang
masing-masing. Tubuh Delisa akhirnya ditemukan. Tubuh
Delisa hati-hati dinaikkan ke atas tandu. Bergegas menuju
point pendaratan helikopter tadi pagi.
Helikopter Super Puma beberapa menit kemudian datang
mendarat sesuai dengan jadwalnya. Penjemputan.
Menerbangkan debu. Memedihkan mata. Terbirit-birit
prajurit yang memegang tandu membawa tubuh Delisa ke
atas helikopter.
"Smith, kembali!" Sersan Ahmed menegur Prajurit
Smith.
Yang ditegur masih terduduk di tanah. Tak bergerak
selama lima belas menit. Dan tetap tak bergerak meski
telinganya mendengar perintah Sersan Ahmed agar mereka
segera bergegas kembali ke kapal induk.
Pencarian hari ini selesai. Besok mereka akan kembali,
dengan kekuatan yang lebih besar. Membangun tendatenda.
Lokasi ini mungkin membutuhkan satu bulan lebih
hingga bersih disisir. Dan tetap saja akan ada mayat yang
tidak pernah berhasil ditemukan.
"SMITH!" Sersan Ahmed mendekat, memegang tegas
bahu anak buahnya yang masih terduduk. Membentaknya.
Smith menoleh. Mata itu penuh berjuta tanya.
(Oo-dwkz-oO)
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Helikopter Super Puma mendarat tergesa. Tandu dorong
rumah sakit sudah menunggu di pelataran pendaratan
Kapal Induk John F Kennedy. Dua suster berseragam putih
juga sudah menunggu. Berita itu cepat sekali sampai. Sersan
Ahmed melalui alat komunikasi helikopter segera
mengontak rumah sakit kapal induk.
Korban tsunami yang ditemukan hidup akan tiba di
kapal induk. Kondisi gawat darurat. Entah hidup entah
mati. Siapkan pertolongan pertama. Terburu-buru tubuh
Delisa dipindahkan dari tandu ke ranjang dorong. Segera
dibawa masuk ke dalam lift evakuasi. Meluncur cepat nonstop
ke lantai rumah sakit.
Dua dokter senior antusias segera menyambut.
Sepertinya perhatian semua penghuni kapal tercurah ke
Delisa. Beberapa kamera wartawan lokal dan manca negara
yang kebetulan sedang berada di Kapal Induk buas
memangsa tubuh terkulai Delisa. Lampu sorot kamera
berebut menerkamnya.
Tetapi ruang operasi segera ditutup.
Tubuh Delisa tergolek lemah di atas ranjang bedah,
berhadapan dengan puluhan peralatan medis super-canggih
yang coba membantu hidupnya. Semua dokter
mengerahkan kemampuan terbaik mereka. Suster-suster
berdiri tegang membantu. Dua belas jam ke depan tanpa
henti.
Sementara prajurit Smith sedang gemetar memasuki
kabinnya. Semua ini menimbulkan berjuta tanya!
(Oo-dwkz-oO)
Abi Usman berlari kesana-kemari cemas. Mulutnya tak
henti bertanya. Dia baru tiba di Banda Aceh, setelah
penerbangan dua belas jam langsung dari Toronto, Kanada.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sibuk bertanya apa ada kabar tentang Lhok Nga. Sibuk
bertanya apa dia bisa menumpang ke sana. Sibuk bertanya
apa ada data korban.
Saking sibuknya Abi, dia sampai tidak memperhatikan
layar televisi yang ada di Pusat Informasi Bakortanas
Kantor Gubernuran Aceh. Layar teve yang jelas-jelas
menayangkan bungsunya terkapar tak berdaya.
Si bungsu yang sedang bermimpi berdiri sendirian di
tengah taman nan luas tersebut. Taman penuh bunga
berjuta warna. Penuh kupu-kupu berjuta warna. Penuh
pelangi-pelangi berjuta warna. Dan Delisa baru saja bisa
menggerakkan tubuhnya.
(Oo-dwkz-oO)
Delisa dioperasi. Betis kaki kanannya yang sudah
membusuk diamputasi tanpa ampun. Siku tangan kanannya
di-gips. Masih bisa diselamatkan. Tubuhnya lemah sekali.
Tak ada yang bisa menjelaskan bagaimana tubuh selebam,
seluka, dan se-menyedihkan itu masih bisa bernafas.
Bertahan hidup.
Rambut ikal-pirang Delisa dipangkas. Delisa gundul
total. Luka-luka kecil di kepalanya dijahit. Muka lebamnya
di balsem tebal-tebal. Lebih dari seratus baret di sekujur
tubuhnya. Lebih dari dua puluh jahitan di sekujur
tubuhnya. Tubuh itu sekarang tergolek lemah. Berganti baju
pasien rumah sakit. Baju itu berwarna biru. Warna
kesukaan Delisa. Biru, warna lautan pantai Lhok Nga.
Dua-hari dua-malam sudah tubuh itu terkapar di atas
ranjang rumah sakit. Tak berdaya. Pingsan. Selang infus
berjejalan dengan berbagai belalai peralatan kedokteran
lainnya. Kondisinya tidak memburuk, tetapi tak kunjung
membaik, tetap seperti itu-itu saja, seperti setelah ia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ditemukan pingsan selama lima-hari lima-malam di semakbelukar
itu.
(Oo-dwkz-oO)
Malam ketiga ketika Delisa terbaring tak berdaya. Pukul
02.45. Dua pertiga malam. Waktu terbaik yang Engkau
janjikan. Prajurit Smith gentar melangkah masuk ke dalam
ruangan rawat Delisa.
Dia lemah membujuk suster yang masih terjaga di depan.
Dia hanya ingin melihat gadis itu sekali lagi. Dia ingin
menyampaikan berjuta pertanyaan. Semoga Tuhan di atas
mau menjawabnya setelah dia melihat wajah gadis kecil itu
sekali lagi. Suster yang berjaga menatap tak mengerti.
Tetapi membiarkan Prajurit Smith, demi melihat matanya
yang sembab. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Prajurit Smith paling hanya akan berdiri di sebelah
ranjang gadis kecil itu. Bukankah ia juga membiarkan saja
beberapa wartawan mengambil gambar Delisa beberapa
hari yang lalu. Bukankah menurut berita-berita di teve,
prajurit ini yang pertama kali menemukan tubuh Delisa.
Biarkan sajalah!
Bergetar tangan Prajurit Smith membuka pintu kaca.
Saat dia menatap sekali lagi tubuh Delisa. Saat dia
menatap sekali lagi wajah itu. Prajurit Smith untuk yang
kedua kalinya jatuh terduduk. Jatuh terduduk begitu saja.
Sekarang tidak berdebam, lebih mirip bak sehelai kapas
yang jatuh ke bumi.
"Oh, Jesus Christ...." Lirih dia menyebut.
Sungguh dia menduga akan mendapatkan lagi
pemandangan yang menggentarkan ini. Sungguh dia tahu,
dua hari lalu itu bukan halusinasinya. Bukan kekeliruan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
otaknya akibat lelahnya melihat kesedihan menggantung di
langit kota Lhok Nga. Bukan! Semua ini nyata.
Wajah ini sama bercahayanya dengan saat dia
melihatnya pertama kali. Bahkan lebih elok.
Prajurit Smith tergugu. Menangis. Mendekap mukanya.
Ya Tuhan, dia ingat anak semata wayangnya yang
meninggal karena kanker enam bulan lalu. Persis seumuran
dengan gadis kecil di hadapannya. Dia ingat istrinya yang
meninggal, dua bulan setelah anaknya pergi. Ya Tuhan,
pertanyaan-pertanyaan ini. Lihatlah, muka itu damai sekali.
Teduh bercahaya.
Pertanyaan-pertanyaan yang menggumpal itu pelanpelan
mulai mencair. Prajurit Smith mengerti. Mengerti
sudah. Semua pengingkarannya. Semua kebenciannya atas
takdir hidup. Semua kutukan atas musibah beruntun yang
menimpa keluarganya. Semua penolakannya!
Lihatlah, gadis kecil itu begitu damai. Wajahnya
menenangkan. Memberikan semua jawaban. Tak ada
gunanya menyesali semua takdir Tuhan atas anak dan
istrinya. Tak ada gunanya menyalahkan diri sendiri atas
kejadian tersebut. Apalagi sumpah serapah dan berbagai
kemarahan-kemarahan yang tidak jelas.
Lihatlah, gadis kecil ini menderita lebih banyak, tetapi
wajahnya teramat teduh. Gadis kecil ini sungguh menderita
lebih banyak dibandingkan dirinya, namun wajahnya
bercahaya oleh penerimaan. Pengertian itu datang kepada
Prajurit Smith. Pemahaman yang indah!
Hidayah itu akhirnya datang padanya.
Esok shubuh. Prajurit Smith akan mendatangi ruangan
mushalla yang terdapat di kapal induk itu. Patah-patah
dibimbing Sersan Ahmed mengambil wudhu. Lantas
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bergetar menahan tangis mengucap sahadat. Esok pagi
Prajurit Smith memutuskan untuk menjalani hidup baru.
Bukan soal pilihan agamanya, karena itu datang
memanggilnya begitu saja, tetapi lebih karena soal
bagaimana ia menyikapi kehilangannya selama ini.
Penerimaan yang tulus. **
(Oo-dwkz-oO)
** Ya Allah, bahkan wajahku tak pernah sedikitpun
menginspirasikan orang lain untuk berbuat baik. Tak
pernah sedikitpun mengilhami orang lain untuk berubah.
Lihatlah'. Sungguh aku cemburu- Bagaimana aku harus
menjelaskan semua kecemburuan ini. Cemburu kedua-ku?
Istana itu semakin indah buat Delisa....
Ada sejuta burung bul-bul di halamannya sekarang.
(Oo-dwkz-oO)
9. Mereka semua pergi !
Empat hari empat malam. Delisa belum menunjukkan
tanda-tanda akan siuman. Tetap terbaring tak bergerak di
atas ranjang. Hanya suara beep lemah peralatan medis di
sekitarnya yang menunjukkan Delisa masih bernafas
dengan baik. Masih ada kehidupan di sana.
Abi sekarang sedang melangkah patah-patah menuju
lokasi bekas rumah mereka. Abi tiba di Lhok Nga beberapa
menit lalu, setelah membujuk kesana-kemari akhirnya bisa
menumpang helikopter tentara tadi pagi dari Banda Aceh.
"Ya Allah, //Astagfirullah//!" Abi hanya bisa berkalikali
menyebut asmaMu. Semua pemandangan ini
menyedihkan. Menusuk-nusuk hatinya. Puing-puing
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
rumah, sampah bertumpuk tinggi. Pohon-pohon tercerabut.
Apalagi yang bisa diharapkannya. Keajaiban? Abi
menghela nafas panjang.
Tiba di lokasi bekas rumah mereka. Hanya tiang pondasi
setinggi mata kaki yang tersisa. Seluruh tembok musnah.
Lantai marmer putih terlihat bersih setelah diguyur hujan
tadi malam. Itulah yang menunjukkan kalau sepetak tanah
tersebut bekas rumahnya. Itulah yang membuat Abi
mengenali sepotong masa lalu mereka. Itu kamar Delisa,
Aisyah, dan Zahra. Itu kamar Fatimah. Itu kamar Ummi.
Itu ruang keluarga, itu dapur, itu kamar mandi—
Abi jatuh terduduk. Tergugu lama.
Cahaya muka lelaki berumur empat puluh tahunan itu
meredup. Parasnya yang seharusnya terlihat berwibawa dan
menyenangkan padam. Tubuh kekarnya bergetar. Abi
mengusap rambutnya yang hitam legam. Mendesah ke
langit-langit pagi Lhok Nga. Udara yang lembut. Angin laut
bertiup lemah memainkan anak rambut Abi.
Hanya batang jambu itu yang tersisa, meskipun tak
berbentuk lagi. Dahannya patah separuh. Daunnya robek di
sana-sini. Buahnya habis berguguran dihantam gelombang
air bah. Tetapi ayunan itu masih terikat sempurna. Ayunan
itu utuh. Bergerak-gerak ditiup angin pagi. Abi berdiri,
melangkah mendekatinya. Gemetar tangan Abi
menyentuhnya.
"Abi.... Abi ingin buat ayunan buat Delisa, kan?"
Bungsunya repot membantu membawa martil dan pakupaku.
"Yeee, bukan! Buat Aisyah ini!" Aisyah yang duduk di
atas balai bambu berteriak mengganggu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Abi.... Abi buat untuk Delisa, kan? Bukan buat kak
Aisyah-" Bungsunya menarik-narik baju Abi.
"Bukan! Buat Aisyah ini!" Aisyah tertawa, semakin
senang memperolok adiknya, Zahra dan Fatimah yang
duduk di atas balai bambu hanya nyengir. Ummi yang
sedang menyulam di dekat mereka menjawil kerudung
Aisyah.
Abi mengusap matanya yang basah.
Tergugu lama.
(Oo-dwkz-oO)
"Bagaimana kondisinya?" dr Eliza bertanya.
"Tidak ada kemajuan, dok!" suster Sophi menjawab
sambil mengembalikan peralatan pengukur tensi dan lain
sebagainya ke dalam kotak, dr Eliza menghela nafas
beranjak mendekat. Memeriksa berbagai data dari kertas
yang diberikan suser Sophi. Beranjak memeriksa tubuh
Delisa beberapa menit kemudian.
"Sudah lima hari lima malam.... ini akan sulit sekali!"
"Apakah dia akan baik-baik saja?" suster Sophi bertanya.
Mata hitam bundarnya berkerjap-kerjap. Sedikit cemas.
"S-e-m-o-g-a...." dr Eliza hanya tersenyum tipis.
Melangkah memeriksa kondisi ibu-ibu yang terbaring di
ranjang sebelah Delisa. Ibu-ibu itu dari Banda Aceh, tiba di
rumah sakit sehari setelah Delisa. Kedua kakinya juga
diamputasi. Tetapi ia sudah sadar. Kondisi tubuhnya jauh
lebih baik dibandingkan Delisa saat ditemukan. Meski
masih lemah dan trauma. Ibu-ibu itu hanya diam sepanjang
hari. Menatap kosong ke siapa saja yang mendekatinya.
Suster Sophi masih menatap wajah teduh Delisa yang
terbaring tak berdaya. Paras cantik suster Sophi menatap
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bersimpati. Gadis kecil ini sungguh tak beruntung. Suster
Sophi berdoa dalam hati. Menghela nafas sambil
memperbaiki kerudungnya. Kerudung?
Ya, Sophi satu di antara dua suster muslimah yang
bekerja di rumah sakit kapal induk itu. Ia kelahiran
Virginia, 25 tahun silam. Sudah tiga tahun bertugas di
gugus Kapal Induk ini. Keturunan Turki. Muslimah yang
baik. Ia juga suster yang baik. Ia yang meletakkan dua
boneka teddy bear di sebelah Delisa sekarang. Yang berdoa
setiap shalatnya agar Delisa segera sembuh. Meski ia sama
sekali tidak tahu siapa nama gadis kecil yang sedang
terbaring tak berdaya itu. Entah mengapa, suster Sophi
merasa dekat dengan Delisa. **
(Oo-dwkz-oO)
Sore datang menjelang. Di bekas rumah Delisa yang
hanya tinggal marmer putih dan pondasi semata kaki, Abi
masih tergugu panjang sepanjang hari. Menundukkan
muka. Meremas jemarinya. Koh Acan sedang berdiri di
depannya. Baru saja datang, langsung membawa berbagai
berita menyakitkan.
"Cut Aisyah mayatnya sudah ditemukan empat hari lalu,
bang Usman." Koh Acan berkata pelan.
Abi semakin tertunduk mengusap matanya.
"Mayatnya ditemukan sudah membusuk. Berpelukan
dengan Cut Zahra...." Bahkan suara Koh Acan hilang di
ujungnya. Menghela nafas panjang. Mereka terdiam lama.
** Dan memang begitulah, semua manusia yang masih
memiliki hati di dunia ini, akan selalu merasa dekat dengan
siapa saja yang kebetulan sedang tertimpa musibah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Matahari Jingga untuk kesekian kalinya menyinari senja
di Lhok Nga. Bedanya, minggu-minggu ini hanya
kesedihan yang menggantung di kota tersebut. Kesedihan
yang menyaput bersaman dengan air laut yang menjilat-jilat
pantai. Kesedihan yang menggumpal di bukit-bukit Lhok
Nga. Suara burung camar yang melenguh, semakin
menambah nuansa berduka.
"Apa lagi yang kau tahu?" Abi bertanya. Pertanyaan
yang menohok jantungnya. Dia bahkan takut dengan
pertanyaannya sendiri. Matanya memandang Acan lemah.
Tatapan yang sudah benar-benar pasrah dengan semua
kabar yang akan diberikan Acan. Tetapi Acan menggeleng.
"Hanya itu yang aku tahu, bang...." Koh Acan ikut
tertunduk sedih. Hanya itu? Haiya, itu saja cukup sudah
untuk membuat kesedihan sepanjang tahun.
Diam.
"Bagaimana kabar istrimu?" Abi memutus kesunyian.
Balik bertanya pelan.
Koh Acan tersenyum getir. Menahan tangis.
Menggeleng.
"Mayat Chi-bi sudah dikuburkan.... Tak ada yang
bersisa, bang.... Tak ada.... Toko itu musnah.... Keluarga
saya musnah, papa Liem, Tian Er, pembantu-pembantu di
toko. Entahlah apa yang akan aku lakukan sekarang-" Koh
Acan ikut tersedu.
Tertunduk. Abi mendesah tertahan mendengarnya.
Mereka diam lagi.
"Ah, padahal.... Padahal baru tiga minggu lalu-" Koh
Acan mendesiskan sesuatu. Abi mengangkat kepalanya.
Menatap Acan yang tersenyum getir mengingat sesuatu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Padahal.... Baru dua minggu lalu Delisa datang ke toko,
bang.... Bersama Ummi Salamah. Ia riang mencari
kalungnya, hadiah buat hafalan bacaan shalat. Mukanya
senang menatap kalung itu! D untuk Delisa, " Koh Acan
mendesis lemah-terluka. Koh Acan benar-benar sahabat
yang baik. Tidak mengeluhkan keluarganya, tidak
membicarakan masalah dirinya, malah teringat dengan
gadis bungsu Abi, keluarga yang sudah dianggapnya
sebagai kakak.
"Kalung...." Abi mendesah pendek. Seketika ingat
pembicaraannya dengan Delisa melalui telepon pagi itu.
Kalung itu dan Delisa entah di mana sekarang berada. Abi
mengusap rambutnya. Mengeluh dalam.
Terdiam lama lagi. **
** Semua kesedihan ini bahkan cukup untuk membuat
panglima perang paling perkasa sekalipun tertunduk
menangis. Semua kesedihan ini. Semua perasaan ini.
Sayangnya ketahui/ah wahai penduduk bumi, kesedihan
tidak mengena/ derajat kehidupan yang diciptakan
manusia. Kesedihan hanya mengena/ derajat kehidupan
yang Engkau tentukan. Kesedihan tidak pernah berkolerasi
dengan standar kehidupan manusia yang amat keterlaluan
cinta dunianya. Kesedihan hanya mengenal ukuran yang
Engkau sampaikan lewat ayat-ayatMu. Kesedihan
seseorang sungguh seharusnya kegembiraan baginya.
Kegembiraan seseorang boleh jadi hakikatnya kesedihan
terbesar baginya. Hanya untuk orang-orang yang berpikir....
(Oo-dwkz-oO)
"//Assalammualaikum//, Shopi, Ah-iya, kenalkan ini
Shopi, Prajurit Salam! Shopi, ini Prajurit Salam!" Sersan
Ahmed tersenyum ramah mengenalkan Prajurit Salam.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Malam itu selepas isya di ruang perawatan Delisa.
Sersan Ahmed dan Prajurit Salam (nama baru Prajurit
Smith) datang membesuk Delisa di rumah sakit. Sophi
mengenal baik Sersan Ahmed. Tidak banyak muslim di
kapal induk itu. Mereka mengenal satu sama lain.
Tersenyum mengangguk pada Prajurit Salam, mualaf
lainnya, desis Sophi riang dalam hati.
"Bagaimana kabarnya?" Salam bertanya datar. Menatap
gadis kecil yang terbaring tak bergerak di atas ranjang.
Salam menelan ludah. Di matanya, wajah itu masih tetap
bercahaya. Dan itu sekali lagi, sepanjang minggu ini
membuat hatinya selalu gentar.
"Dokter Eliza tidak banyak berkomentar, Yang pasti
mereka tidak tahu bagaimana membuatnya segera sadar...."
Sophi menjelaskan dengan suara prihatin.
Sersan Ahmed menggeleng. Ikut menatap prihatin wajah
yang masih lebam tersebut. Kesembuhan itu lambat sekali
datangnya.
"Tidak bisakah kepalanya diberikan kerudung?" Prajurit
Salam berkata datar. Dia risih menatap kepala botak Delisa
dengan barut-marut tambal-luka. Menyedihkan.
Sophi hanya tersenyum. Menggeleng. Akan mengganggu
selang dan berbagai belalai peralatan medis.
Bertiga diam lagi menatap tubuh lemah-Delisa.
Sementara ibu-ibu yang terbaring di sebelahnya hanya
menatap kosong mereka. Tidak bergerak, meski otaknya
berpikir banyak, ternyata selain perempuan ini, ada muslim
lainnya di sini, mereka tak jauh beda dengan ia, hanya
tekstur dan gurat wajahnya yang berbeda, sepertinya
mereka muslim-muslim yang baik!
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Fakta itu ternyata membuat ibu-ibu tersebut pelan-pelan
bisa kembali mengingat sesuatu. Apalagi kalau bukan
kembali mengingatMu, ya Allah. Ibu itu mulai menyadari
banyak hal. Ibu itu mulai ber-//istigfhar//. Dan itu
ternyata berguna untuk kesadaran Delisa nanti-nantinya.
(Oo-dwkz-oO)
Teuku Dien, tetangga terpisah sepuluh rumah Delisa di
Lhok Nga datang ke bekas rumah mereka. Malam semakin
larut. Abi yang masih saja duduk di sana mendesah pendek
saat Teuku Dien datang menyetuh bahunya. Mereka
berpelukan lama di bawah pohon jambu itu (Teuku Dien
adalah ayah Teuku Umam; masih terhitung saudara Abi).
"Cut Fatimah sudah dikuburkan tiga hari lalu,
Usman...." Teuku Dien menelan ludah. Memberitahukan.
Abi menunduk. Tak akan ada keajaiban itu. Tak akan
ada. Bagaimana mungkin dia masih berharap, setelah
melihat puing-puing ini? Tak akan ada yang selamat. Berita
dari Teuku Dien ini tak kalah menyedihkan, tetapi Abi
sudah lebih siap mendengarkan. Apalagi setelah mendengar
berita dari Koh Acan tadi pagi: kembarnya yang ditemukan
berpelukan. Kesedihan ini sudah menembus batasnya. Jadi
tidak akan ada bedanya lagi.
"Kalau begitu hanya tinggal Delisa dan Ummi...." Abi
mengusap mukanya. Berkata pelan. Tersenyum pahit.
"Kau sudah bertanya ke tenda marinir tentang kabar
mereka berdua, Usman?"
Abi menggeleng lemah. Dia sudah bertanya. Kemanamana.
Ke siapa saja. Tetapi siapa-yang-mengenal siapa?
Mayat-mayat itu buruk sekali kondisinya. Dan sudah
banyak yang buru-buru dikuburkan. Marinir itu tidak bisa
mengenali siapapun. Hanya penduduk lokal sini yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mengenali mayat-mayat tersebut. Itupun jika belum
terlanjur dikubur. Sayangnya marinir tersebut hanya
mengerti satu hal. Kuburkan sesegera mungkin, jika tidak
mayat-mayat yang mulai membusuk itu akan membuat
pengap langit-langit kota Lhok Nga.
"Berdoalah, semoga Delisa dan Salamah selamat,
Usman!"
Abi hanya tersenyum datar. Getir! Teuku Dien menepuk
bahunya sekali lagi.
Mereka berdiam diri.
"K-e-l-u-a-r-g-a-m-u?" Abi Usman bertanya pelan,
memecah kesunyian malam. Bulan separuh
bersinar terang di langit. Juga jutaan bintang. Seharusnya
pemandangan tersebut terasa menyenangkan.
Teuku Dien tersenyum pahit. Senyum yang sama dengan
Koh Acan kemarin. Senyum yang sama dengan sisa-sisa
penduduk Lhok Nga yang selamat lainnya. Senyum itu!
Hanya Umam anak bungsunya yang selamat. Istri, anakanaknya
yang lain hilang entah tak tahu rimbanya.
(Oo-dwkz-oO)
Malam beranjak semakin larut. Kembali ke ruang rawat
Delisa di Kapal Induk yang membuang sauh tiga puluh
kilometer dari bibir pantai ujung barat-laut pulau Sumatera.
Ibu-ibu di sebelah Delisa entah apa sebabnya, tiba-tiba
ingin shalat. Ia ingin shalat malam, tahajud. Kesadaran itu
datang begitu saja. Mungkin karena mendengar
pembicaraan Sersan Ahmed, Parjurit Salam dan suster
Shopi selepas isya tadi. Mungkin setelah menyadari bahwa
di mana-mana, ternyata terdapat hambaMu yang baik dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
selalu mengingatMu. Mungkin setelah menyadari banyak
hal.
Ibu-ibu itu ingin shalat malam.
Kondisi tubuhnya selain kaki yang terpotong, jauh lebih
sehat dibandingkan Delisa. Wajahnya tak selebam Delisa.
Tubuhnya juga tak seluka Delisa. Maka ibu-ibu itu dengan
mudah beranjak duduk bersandarkan bantal. Gemetar
tangannya pelan menepuk-nepuk seprai ranjang—
tayamum. Membasuh muka dan tangannya dengan debu.
Debu dan air itu dekat sekali. Sama-sama sebuah keniscayaanMu.
Diam sejenak. Menghela nafas. Lantas dengan tetap
bersandarkan bantal, ia memulai shalatnya.
Gemetar mengangkat tangan, takbiratul ihram.
Menghela nafas lagi. Terbata membaca doa //iftitah//.
Suaranya lemah mengisi langit-langit ruangan. Amat
lemah. Wajahnya masih tanpa ekspresi, tetapi matanya
mulai berair. Kesedihan melingkup hatinya. Doa
//iftitah// itu menyentuhnya. Menangis sejenak. Hanya
suara sedan lemah memenuhi ruangan mereka.
Meneruskan membaca Fatihah. Suasana terdengar semakin
sendu. Ibu-ibu itu lebih sering terhenti sekarang. Terisak.
Membaca surat pendek, alamnasroh! Ibu-ibu itu entah
mengapa memilih surat itu. Tiba di janjiMu itu, ia terdiam
lama. //Fainnakal 'usri yusro.// Sungguh setelah kesulitan
akan ada kemudahan!
Sungguh! Itu janjiMu yang tertoreh di atas kitab suci.
Sungguh tak ada keraguan di sana! Bagaimanalah orangorang
tak mempercayainya? Itu kata-kataMu. Janji dari
maha-pemegang janji!
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ibu-ibu itu gemetar menggerakkan tangannya, tanda
hendak ruku. Melanjutkan shalatnya. Membaca bacaan
ruku1 pelan. Menggerakkan tangannya lagi tanda hendak
//i'tidal//. //Samiallahuliman-hamidah.
Rabbanalakalhamdu//.
Dan sujud! Ibu-ibu itu akan sujud.
Saat bibir ibu-ibu itu gemetar menyebut:
//subhanallah rabbiyal a'la wabihamdih// .... Bacaan
sujud yang selama ini Delisa tak pernah mampu hafal.
Jemari Delisa tiba-tiba bergerak-gerak.
Ya Allah, Delisa ingin sujud, Delisa ingin menyambung
sujud yang terhenti itu. Delisa ingin sujud sempurna
padaMu. Berikanlah kesempatan kepadanya,
Dan Delisa pelan-pelan sadar.
(Oo-dwkz-oO)
** Ya Allah, Delisa harus tirus hidup.... Ia belum pernah
sujud yang sempurna.... Aku mohon demi hidup dan
kehidupan ini'.
(Oo-dwkz-oO)
10. Kalung yang inda h itu
Ibu-ibu di sebelah ranjang Delisa mengucap salam.
Shalat malamnya usai. Tahajud-nya sudah selesai. Ia
menangis tersedan. Tak ada yang perlu disesali. Bukankah
semua sudah terjadi. Tak ada yang bisa mengembalikan
waktu! Tidak ada yang bisa memutar ulang nasib, hidup
dan kehidupan. Ibu-ibu itu menghela nafas dalam.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dan ternyata ada yang menghela nafas juga di ruangan
itu.
Ia menoleh, melihat Delisa. Gadis kecil itu pelan-pelan
siuman. Suara nafasnya terdengar lebih keras. Mata Delisa
berkerjap-kerjap. Silau. Cahaya ruangan itu tidak terlalu
terang. Tetapi bagi Delisa yang hampir seminggu pingsan di
atas ranjang, ditambah dua minggu pingsan di semak
belukar itu, cahaya seperti apapun akan terasa
menyilaukan.
Delisa mengaduh. Sakit. Badannya terasa amat sakit.
Tetapi sepertinya ia tidak tergantung di atas semak-belukar
itu lagi. Tubuh sebelah kirinya tidak basah di atas becek
tanah terkena hujan deras. Ia tidak panas dipanggang tanah
mengering dan garangnya sinar matahari siang. Ia sekarang
berada di atas ranjang yang empuk. Di mana? Di
rumahnya? Bukankah kasurnya tidak sebesar ini?
Delisa menolehkan kepala ke sana-kemari.
Ibu-ibu itu juga menolehkan kepala. Tidak ke sanakemari,
melainkan ke samping ranjangnya, tangannya
menggapai tombol untuk memberitahu perawat yang
sedang berjaga.
"A-a-a....?" Delisa entahlah mau bilang apa. Suaranya
masih tersendat di tenggorokan. Menatap Ibu-ibu itu. Ibuibu
itu menyeka sisa air matanya. Tersenyum. Tidak
membalas seruan Delisa. Apalagi ia tidak mengerti apa
yang dikatakan Delisa barusan.
"A-a-a....11 Suara Delisa terdengar sekali lagi.
Suster Sophi yang kebetulan malam itu berjaga
terkantuk-kantuk di meja depan, terburu-buru masuk
ruangan setelah melihat lampu di meja jaganya berkedipkedip.
Kode dari tombol yang ditekan ibu-ibu tadi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Membuka pintu kaca ruang rawat Delisa. Dan mukanya
yang tadi amat cemas langsung menyungging senyum saat
menatap Delisa yang pelan terus menoleh kesana-kemari.
"Honey, kamu sudah siuman...." suster Sophi berseru
kecil, melangkah mendekat.
"A-a-a-a..." Delisa menatap suster Sophi. Suaranya tetap
belum terbentuk. Hanya matanya yang sempurna pulih
mengamati wajah orang yang mendekatinya sekarang.
Kerudung? Mbak-mbak ini berkerudung seperti kak
Fatimah. Seperti Ummi. Meski wajahnya sama sekali asing
bagi Delisa. Siapa ia? Delisa tidak mengenalinya.
Suster Sophi mengabaikan pertanyaan dari gesture muka
lebam Delisa. Buru-buru memeriksa seluruh layar hijau.
Selang dan belalai di tubuh Delisa. Mencatat entahlah.
Mengamati apalah. Tersenyum lagi. Lantas duduk di tepi
ranjang, menyentuh dahi Delisa lembut.
"Bagaimana perasaanmu sayang?" Sophi bertanya riang.
Semuanya membaik. Kesadaran ini membuat situasi gadis
kecil di hadapannya berubah drastis.
Namun Sophi mendadak terdiam. Bukankah urusan ini
akan sama saja dengan ibu-ibu di sebelah ranjang Delisa?
Mereka kan tidak mengerti bahasa satu sama lain.
Pertanyaannya tadi sedikitpun tidak dimengerti Delisa.
Delisa yang matanya mulai terbiasa oleh cahaya lampu,
masih menatap lamat-lamat wajah Shopi, tidak
mendengarkan Sophi barusan.
"D-i-m-a-n-a....?" Akhirnya Delisa bisa menyebut kalimat
yang utuh. Bukan erangan yang tersangkut di tenggorokan.
Shopi menelan ludah. Apa maksud pertanyaan itu?
Aduh, ia sedikitpun tak mengerti bahasa Indonesia.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"U-m-m-i...." Delisa mendesahkan kata lain.
Shopi tersenyum. Kalau yang satu ini ia mengerti. Ibu!
Gadis kecil ini memanggil ibunya. Sophi tersenyum riang.
Dan seketika terjadilah komunikasi yang ajaib itu. Delisa
dan Shopi berbicara satu sama lain. Tak mengerti masingmasing
bahasa, tapi bisa saling memahami.
"Kau ada di rumah sakit, sayang!"
"Kak Fatimah...."
"Kami menemukanmu.... Kau sudah pingsan selama
enam hari, sayang! Tetapi sekarang kau sudah sadar....
Kondisimu sekarang baik. Amat baik."
"Kak Zahra.....11
"Dan.... D-a-n kami terpaksa.... Maafkan aku, sayang.
Kami terpaksa mengoperasi kakimu.... Kami juga
memasang gips di lengan kananmu."
"Kak Aisyah...."
Suster Sophi dan Delisa sekarang bertatapan. Delisa
hendak menggerakkan tangan kanannya. Tak bisa. Tangan
itu terbungkus gips. Dan saat matanya melihat kaki
kanannya, kaki itu sudah terpotong sempurna hingga lutut.
Delisa menatap kosong. Ia tiba-tiba tidak bisa berpikir
lebih banyak lagi. Terhenti begitu saja. Setelah menyebut
nama Ummi, kak Fatimah, kak Zahra, dan kak Aisyah tadi,
ingatannya pelan-pelan kembali. Masalahnya ingatan itu
kembali bersama "sepotong" hati dan otak yang tertinggal.
Apalagi setelah melihat kakinya yang terpotong. Semua ini
terasa menyedihkan. Terasa memilukan. Mata Delisa mulai
basah ber-air. Sophi menelan ludah. Mengelus lembut bahu
Delisa.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Di mana ia sekarang? Ia jelas-jelas tidak berada di semak
belukar itu. Tidak terpanggang cahaya matahari. Tidak
diterpa hujan deras. Oh ya, jam berapa sekarang? Siangkah?
Atau malam? Di mana kota Lhok Nga-nya? Di mana?
Air....
"A-i-r____" Delisa tiba-tiba mendesis.
Shopi tahu kata yang satu ini. Ibu-ibu di sebelah ranjang
Delisa beberapa hari lalu juga menyebutkan kata itu. Shopi
buru-buru menjangkau gelas dan teko kaca di atas meja.
Mengisinya separuh. Dengan lembut mendekatkan gelas itu
ke bibir Delisa. Delisa menggeleng. Ia tidak haus.
Setidaknya itu yang ia rasakan sekarang.
Air di mana-mana. Air yang merekahkan tembok
sekolah. Air yang menyeret tubuhnya. Delisa ingat sikunya
terhantam pohon kelapa. Mukanya diparut pelepah pohon
kelapa. Betis kaki kanan! Betis itu menghantam pagar
sekolah. Ibu Guru Nur.... Di mana Ibu Guru Nur? Temanteman
sekelasnya? Tiur? Di manakah mayat Tiur yang
membeku? Delisa mengeluh dalam. Wajah Tiur yang putih
tak berdarah membayang di pelupuk mata.
Sophi mengembalikan gelas yang tidak disentuh bibir
Delisa. Menggeleng walau tetap tersenyum. Memperbaiki
posisi kepala Delisa agar Delisa bisa mengamati situasi
kamar lebih nyaman.
"I-n-i rumah sakit?" Delisa batuk kecil, bertanya lagi.
Sophi mengangguk (ia tidak tahu apa yang dikatakan
Delisa; hanya mengangguk saja). Delisa menatap selang
infus, berbagai belalai yang melilitnya. Menatap peralatan
rumah sakit. Terdiam. Di manapun ia sekarang. Semua ini
terasa menyedihkan. Semua ini terasa aneh. Dan yang lebih
penting lagi, semua perasaan yang tiba-tiba menohok-nohok
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
hatinya. Perasaan merasa sendirian. Dan Delisa benarbenar
sendirian.
(Oo-dwkz-oO)
Esok paginya.
dr Eliza amat semangat memeriksa Delisa. Tersenyum
hangat melihat semua data. Kesehatan fisik Delisa maju
sekali. Sophi bahkan sekarang membantu melepas belalaibelalai
itu—sudah tidak diperlukan. Delisa bahkan sudah
bisa beranjak duduk, dr Eliza mengusap kepala plontos
Delisa sebelum beranjak memeriksa ibu-ibu di sebelahnya.
Memuji Delisa anak yang pandai.
"Itu buatmu, sayang!" Sophi mendekat setelah dr Eliza
pindah ke ranjang sebelah, menunjuk boneka teddy bear.
Delisa menatap boneka itu. Meraihnya. Mema-tut-matut.
Tidak ada yang berwarna biru. Mengamatinya sebentar.
Meletakkannya kembali. Tidak ter- lalu berselera, meski
Delisa amat suka dengan boneka.
"Kamu hari ini mandi ya. Sebentar, kakak siapkan dulu."
Sophi melangkah keluar kamar, entah mengambil apa.
Delisa menoleh ke arah ibu-ibu di sebelahnya, dr Eliza,
setelah memeriksa singkat ibu-ibu itu, sudah keluar kamar
menyusul suster Sophi. Ibu-ibu itu hanya balik
memperhatikan Delisa. Diam, membalas pandangan
Delisa. Tersenyum lemah. Hanya itu.
Sophi kembali dengan membawa sebaskom besar air
hangat. Kain kering yang lembut. Handuk besar dan
pakaian ganti. Membantu Delisa hati-hati duduk
bersandarkan bantal-bantal. Melepas atasan baju Delisa.
Delisa menurut saja. Membiarkan jemari suster Sophi
bekerja.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sophi menelan ludah. Tubuh gadis kecil di hadapannya
menyedihkan sekali. Ia mengambil kain, mencelupkannya
dalam air hangat di baskom. Memerasnya. Kemudian
lemah penuh perasaan jemari Sophi mengelap punggung
Delisa yang penuh parut.
Sungguh menggentarkan menatap tubuh telanjang itu.
Sisa-sisa barut, jahitan luka panjang-panjang, lebam biru.
Sophi menghela nafas dalam senyap.
Hangat. Kain basah itu terasa hangat di badan Delisa.
Delisa menyeringai. Ini menyenangkan. Ternyata ini
maksudnya kakak-kakak ini dengan kata mandi tadi?
Jemari Sophi pelan mengelap bahu Delisa. Hati-hati agar
tidak menyentuh jahitan luka di sana. Sementara Delisa
menatap wajah Sophi. Memperhatikannya lamat-lamat.
Kakak-kakak ini baik sekali. Mukanya teduh seperti muka
Ummi. Wajahnya mirip seperti anak-anak Wak Burhan.
Kata Ummi dulu, anak-anak Wak Burhan itu memang
demikian. Wajah keturunan Arab. Jadi sepertinya kakakkakak
ini juga sama. Meski Delisa tidak tahu di mana
negara Arab itu berada. Mungkin Abi tahu, kan Abi pernah
pergi ke negara mana saja.
Sophi sekarang mengelap kepala Delisa. Yang sempurna
botak, juga penuh barut luka. Menelan ludah lagi.
Menghela nafas.
"Kakak siapa?"
Delisa tiba-tiba bertanya. Tangan Sophi terhenti.
Menatap Delisa yang menyeringai. Mulut Delisa terbuka,
dua giginya yang tanggal langsung menyeruak terlihat.
Sophi tak mengerti pertanyaan itu, tetapi menjawabnya
dengan benar tanpa sadar.
"Sophi!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Delisa mengangguk. C-o-f-i! Nama kakak ini ternyata
Cofi. Setidaknya itulah yang telinga Delisa dengar.
Sophi meneruskan membersihkan tubuh Delisa. Melepas
bagian bawahan pakaian Delisa. Di kaki kiri Delisa yang
utuh ada dua jahitan luka. Besar-besar. Sophi lebih lama
membersihkan bagian bawah tubuh Delisa. Mengganti
perban kaki Delisa yang diamputasi. Kemudian terakhir
mengeringkan tubuh Delisa dengan handuk besar. Handuk
ini besar sekali, seperti handuk Abi.... Delisa berpikir,
menyeringai.
"A-b-i...."
Sophi menoleh. Gadis kecil ini baru saja menanyakan
ayahnya. Sophi hanya tersenyum menggeleng. Tidak tahu
mesti bilang apa. Meneruskan mengganti pakaian Delisa.
Seragam pasien rumah sakit yang bersih. Biru. Delisa
menatap senang seragam itu. Setidaknya warna itu
membuatnya merasa tidak sendirian.
(Oo-dwkz-oO)
Dan dua hari kemudian, Delisa benar-benar tidak
sendirian.
Shopi selalu menemaninya. Meski itu bukan jadwal
piketnya. Gadis berumur 25 tahun itu menggantikan peran
Ummi, kak Fatimah, kak Aisyah, sekaligus kak Zahra
dengan baik. Juga teman yang baik.
"Kak Cofi...." Delisa selalu berseru senang setiap Sophi
masuk ke ruangan rawatnya. Dan pagi itu Delisa juga
berseru senang menyambut suster Sophi.
Hari ketiga setelah Delisa siuman. Lebam muka Delisa
mulai memudar. Luka-lukanya mulai mengering. Barutbarut
itu juga pelan-pelan terkelupas, digantikan kulit baru.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Masa-masa pertumbuhan kanak-kanak, fisiknya pulih lebih
cepat.
Sophi tersenyum mendekat. Membalas riang sapaan
Delisa (meski ia belum tahu siapa nama gadis kecil itu).
Hari ini Sophi tidak bertugas. Maka ia datang dengan
pakaian biasa. Bukan dengan seragam putihnya. Sophi
sekarang mengenakan kerudung biru; baju panjang, seperti
baju yang sering digunakan kak Fatimah. Sophi sengaja
memakai kerudung biru. Ia tahu Delisa suka dengan warna
biru. Delisa mengatakan warna itu berkali-kali sejak dua
hari lalu.
"Kakak bawa sesuatu untukmu!" Sophi melangkah
patah-patah mendekat. Dua tangannya tersembunyi di balik
badannya. Delisa menyeringai. Kak
Fatimah juga sering begitu dulu. Pasti tangan itu
menyembunyikan sesuatu. Kejutan.
"Tara...!" Sophi berseru kecil. Mengeluarkan benda
pertama. Berwarna biru! Kain! Kerudung kecil untuk
Delisa. Delisa tersenyum senang. Meraihnya dengan tangan
kiri.
"Dan... Tara...!" Sophi mengeluarkan benda kedua.
Cokelat! Sebatang cokelat besar. Delisa benar-benar
berteriak senang sekarang. Ibu-ibu di sebelah mereka
bahkan ikut tersenyum.
"COKELAT!" Delisa menyambarnya. Sophi tersenyum.
Duduk di tepi ranjang. Membantu memasangkan kerudung
di kepala botak Delisa. Manis sekali. Wajah gadis kecil di
hadapannya baru separuh pulih. Tetapi lihatlah! Ketika
kerudung itu terpasang di kepalanya, wajah itu seketika
berubah manis sekali!
Sophi menelan ludah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kakak bantu buka ya...." Sophi meraih cokelat itu.
Dengan satu tangan, Delisa tadi kesulitan membuka
bungkusnya.
"Kak Cofi potong saja separuhnya...." Delisa berkata
sambil tersenyum saat Sophi hendak menyerahkan lagi
cokelat yang sudah terbuka.
Sophi menggeleng tak mengerti (bahasanya). Tetap
meletakkan seluruh cokelat itu di tangan Delisa. Delisa
yang memotongnya. Awalnya kesulitan meski akhirnya
berhasil. Lantas menyerahkan potongan itu ke tangan
Sophi.
"Buat kak Sophi!"
Sophi tertegun. Ia mengerti sekarang. Gadis kecil di
hadapannya ternyata hendak berbagi. Sophi menelan ludah.
Tersenyum kaku menerima potongan itu. Va Allah, bahkan
Delisa di tengah situasi menyedihkan ini, reflek begitu saja
membagi cokelatnya.... Tulus berbagi....
Mereka berdiam diri. Dengan pikiran masing-masing.
Delisa menggigit cokelat itu. Cokelat ini membuat Delisa
ingat Ummi. Ingat ustadz Rahman. Bukankah Delisa belum
sempat menjelaskan kejadian shubuh itu kepada Ummi.
Delisa buru-buru memperbaharui janjinya, nanti kalau
ketemu Ummi, ia akan menjelaskan semuanya. Minta
maaf. Paling Ummi akan mencubit perutnya. Delisa
tersenyum senang dengan kemungkinan terburuk itu.
Sedikitpun tidak menyadari kemungkinan yang lebih buruk.
Sophi menggigit cokelat itu. Memandang wajah manis
Delisa di hadapannya. Wajah itu teduh sekali. Siapakah
nama gadis kecil ini? Sophi mendesah dalam hati. Di
manakah Abi-nya? Di manakah Ummi-nya? Di manakah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
keluarganya. Jangan-jangan, sama seperti penduduk Aceh
lainnya.
Sophi menghela nafas panjang. Ia sepanjang dua hari ini
selalu bertanya nama, alamat, dan data-data Delisa lainnya,
namun gadis kecil ini hanya mengangguk, menggeleng tak
mengerti. Ribet! Kalau sudah se-detail itu, cara komunikasi
mereka yang ajaib tidak jalan lagi. Jadi bagaimana ia harus
mendapatkan informasi sepenting itu dari Delisa?
Sophi hampir menghabiskan potongan cokelat-nya
(bahkan potongan miliknya lebih besar dibandingkan milik
Delisa), ketika tiba-tiba ia ingat sesuatu. Isian formulir. Ia
tidak bisa bertanya. Tetapi gadis kecil ini pasti pernah
melihat formulir seperti itu. Ia pasti bisa mengisinya.
"Sebentar, sayang!" Suster Sophi tiba-tiba berdiri. Delisa
mengangguk. Ia sudah mengerti gesture itu. Itu berarti kak
Cofi hendak keluar sebentar. Sophi buru-buru ke ruang jaga
rumah sakit. Meminta kertas dari suster yang berjaga di
depan.
Delisa menoleh ke arah ibu-ibu di sebelahnya.
"Aduh, Delisa lupa bagi Ummi cokelatnya...." Delisa
baru ingat. Menatap ibu-ibu itu. Ibu-ibu itu hanya
tersenyum. Diam. Sudah tiga hari Delisa siuman, tetapi tak
sepotong patah pun yang keluar dari mulut ibu-ibu tersebut.
Delisa sebenarnya banyak bertanya, meski ibu-ibu itu
menjawab hanya dengan senyuman.
Sophi kembali. Membawa selembar kertas isian formulir
rumah sakit. Menyerahkannya dengan pensil dan alas
papan. Delisa menatapnya. Memegang kertas itu. Ia tidak
mengerti apa maksudnya. Tetapi Delisa pernah melihat
formulir seperti ini. Ia pernah melihat kak Fatimah
mengisinya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ini namanya kertas pendaftaran. Kak Fatimah mau ikut
PMR, kak Fatimah mengisikan nama.... alamat... apa saja
tentang kak Fatimah!" Kak Fatimah menjelaskan waktu
Delisa bertanya.
"Ngapain pula kamu nanya-nanya.... Paling juga nggak
ngerti kak Aisyah jelasin ini!" Itu waktu Aisyah pulang
membawa kertas pendaftaran latihan tari Saman-nya.
Seperti biasa ribut dengan Delisa. Tetapi kak Zahra berbaik
hati menjelaskannya. Lebih detail dibandingkan penjelasan
kak Fatimah dulu.
Delisa menatap kertas tersebut, beralih memandang
Sophi. Sophi mengangguk. Membantu Delisa memegang
pensilnya dengan tangan kirinya (Delisa memang kidal
kalau menulis; meski normal saat melakukan pekerjaan
lainnya).
"Isilah, sayang!"
Delisa tak tahu apa arti kolom di sebelah kirinya.
//Name//? //Birthday//? //Sex//? //Address//? Ia
hanya ingat ucapan kak Fatimah dan kak Zahra, maka ia
sembarang mengisinya. Menulis namanya. Menulis alamat
rumah mereka. Menulis nama SD-nya. Menulis nama Abi
dan Ummi (walaupun yang ditulis ya "Abi" dan "Ummi").
Menulis nama kakak-kakaknya. Menulis nama Ibu Guru
Nur. Menulis nama ustadz Rahman. Menulis nama Tiur.
Bahkan menulis warna kesukaannya. Apa saja, hingga
semua kolom pertanyaan itu penuh hingga ke bawah.
Sekacau apapun urutan Delisa menulis. Semua informasi
itu berguna sekali. Sophi tersenyum senang melihatnya.
Segera siang itu juga, semua data itu bergabung dengan
ribuan data korban selamat lainnya di Pusat Informasi
Banda Aceh dan Lhok Nga.
(Oo-dwkz-oO)
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Malamnya, Sophi datang lagi. Sekarang bajunya yang
berwarna biru. Kerudungnya berganti putih. Sophi
membawa beberapa foto keluarganya di Virginia. Malam
ini ia akan bercerita banyak dengan gadis kecil itu. Meski
mereka berdua tidak saling mengerti, menyenangkan saja
berbincang dengan gadis kecil itu. Menyimak wajah
teduhnya. Menatap beningnya mata hijau itu.
"Kak Cofi!" Delisa berseru riang. Duduk dari baringnya,
bersandarkan bantal-bantal.
"Da-le-sia!" Sophi membalas tersenyum. Untuk pertama
kalinya bisa menyebut nama gadis kecil di hadapannya
(setelah melihat formulir isian tadi siang).
Sophi menyeret kursi ke dekat ranjang Delisa. Ia tidak
bisa menyebutkan nama Delisa dengan baik. Bukan
masalah besar. Delisa juga tidak bisa menyebutkan
namanya dengan baik kan. Bahkan ia berpikir, cara Delisa
menyebut namanya lucu sekali. Cofi? Seperti seseorang
dulu yang biasa memanggilnya. Ah!
Sophi memperlihatkan foto-foto tersebut. Delisa
mengerti, itu foto-foto keluarga kak Sophi. Delisa juga
punya foto-foto itu di rumah. Mereka dengan riang
membicarakan keluarga Sophi baru sekitar lima menit,
ketika tiba-tiba Sophi menyadari, ia sudah melakukan
kesalahan besar. Saat Delisa terdiam menatap salah satu
fotonya. Foto Sophi dengan Dad dan Mam di depan rumah
mereka, Virginia. Bukankah foto-foto ini malah membuat
Delisa teringat keluarganya.
Bagaimana mungkin ia tidak berpikir sebelumnya.
Bagaimana mungkin ia hanya berpikiran sependek itu,
semata-mata hanya ingin membuat Delisa senang. Delisa
justeru terdiam sekarang. Sophi merengkuh bahu Delisa.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kita pasti akan menemukan Ummi, Abi, kak Fatimah,
kak Zahra, dan kak Aisyah sayang...." Kalimat itu
sayangnya tidak terdengar seyakin raut muka Sophi yang
tersenyum tanggung. Tangan Sophi buru-buru hendak
menyingkirkan foto-foto itu.
Delisa tetap diam. Tetap memegang foto tersebut. Sophi
menelan ludah. Menahan tangannya.
Tidak! Delisa tidak sedih teringat Ummi, Abi dan kakakkakaknya.
Delisa sedang terdiam melihat leher kak Sophi di
foto itu. Itu foto Sophi tiga tahun silam. Sebelum ia
berjilbab. Di leher kak Sophi ada kalung. Kalung yang
indah. Ada huruf S. S untuk Cofi (?). Delisa berpikir. Bukan
berpikir soal tidak sinkronnya S dengan C. Ia berpikir
tentang sesuatu.
Kalung? Bukankah kosa kata itu selama ini teramat
penting baginya? Kalung? Bukankah kata itu benar-benar
penting baginya. Mengapa hilang begitu saja? Delisa lupa
apa maksudnya. Yang ia tahu, kalung milik kak Sophi
indah sekali, dan ia ingin punya yang seperti itu.
"Ada apa, Da-le-sia?"
Delisa menoleh. Jari telunjuknya menyentuh leher kak
Sophi di foto. Sophi mengernyit bingung? Gadis kecil di
sampingnya jelas-jelas tidak sedih mengenang keluarganya.
Ia sedang tertarik dengan leher Sophi di foto tersebut.
Delisa membentuk bundaran dari jari telunjuk dan
jempol tangan kirinya. "K-a-l-u-n-g...." Berkata dengan
mata hijau yang berkerja-kerjap.
Sophi mengerti. Kalung? Delisa melihat kalung di
fotonya. Sophi tersenyum. Menyingkap kerudung birunya.
Memperlihatkan lehernya. Kalung itu tergan- tung di sana.
S untuk Cofi. Indah sekali.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Gemetar tangan Delisa menyentuhnya!
Ia ingat banyak hal.... Delisa ingat hampir semua
kenangan itu. Tetapi tidak yang ini.... Ia lupa tentang
kalung itu! Kalung yang dibeli dari Koh Acan. Kalung yang
membuat kak Aisyah merajuk semalaman. Kalung emas 2
gram. Dengan huruf yang tergantung. D untuk Delisa.
Kalung hadiah hafalan bacaan shalatnya.
(Oo-dwkz-oO)
11. Pertem uan
Dan inilah gunanya daftar isian itu. Ketika siangnya
Sophi menyerahkan data tersebut ke Sersan Ahmed. Nama
Delisa seketika bergabung dengan daftar ribuan nama
lainnya yang selamat dari bencana tsunami dan sekarang
terpisah entah kemana.
Salah satu kertas itu di kirim ke barak marinir Lhok Nga.
Abi yang sekali lagi mencari informasi di tenda marinir
Kapal Induk kota Lhok Nga mendekat, mendongakkan
kepala amat tertarik saat Prajurit Salam menempelkan data
baru di papan pengumuman.
Mungkin saja ada nama Delisa di sana. Mungkin saja
ada nama Ummi di sana. Abi tidak pernah berhenti
berharap.
"D-e-l-i-s-a!" dan gemetar Abi menyebut nama yang
tertera di atas kertas tersebut. Sekejap kemudian reflek
memegang lengan Prajurit Salam yang masih menempelkan
data lainnya.
"Bagaimana saya bisa k-e-s-a-n-a? BAGAIMANA?" Raut
muka Abi menegang. Cemas, senang, khawatir, bersyukur
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dan entahlah perasaan apa lagi yang bercampur aduk dari
paras tegang mukanya.
Prajurit Salam menoleh, sama sekali tidak mengerti apa
yang dikeluhkan bapak-bapak di sampingnya. Salam hanya
tersenyum tipis, balik bertanya lewat senyuman itu.
"Delisa! Bagaimana saya bisa kesana?" Tentu saja Abi
lebih dari memadai bahasa Inggrisnya. Bertanya sekali lagi
dengan intonasi lebih terkendali. Menggunakan bahasa
yang dimengerti oleh Prajurit Salam.
"Eh, maaf.... Siapakah bapak?" Salam menyeringai.
Akhirnya mengerti pertanyaan itu. Menatap menyelidik.
"Saya.... Abi! Maksud saya.... Saya ayah-nya Delisa!"
Abi berkata terburu-buru; terbata-bata.
Salam menatap lamat-lamat. Mencerna. Bapak-bapak ini
ayah dari gadis kecil yang bercahaya itu? Berpikir lagi.
Kalau begitu? Hatinya seketika gentar. Beberapa detik
kemudian reflek kepala Prajurit Salam menunduk,
menggapai lemah tangan Abi di hadapannya. Mencium
takjim tangan Abi.
(Oo-dwkz-oO)
Pagi itu juga, Abi segera menumpang helikopter Super
Puma. Perjalanan satu setengah jam menuju kapal induk
yang membuang sauh di lautan Aceh terasa seperti satu
setengah abad. Hatinya buncah. Entah bagaimana dia bisa
menjelaskan semua kebahagiaan itu. Ya Allah, akhirnya
keajaiban itu ada.
Sersan Ahmed menjelaskan banyak. Detail. Semuanya.
Tetapi itu tetap tidak memadamkan berjuta pertanyaan di
hati Abi. Dia ingin segera memeluk bungsunya. Lihatlah!
Bungsunya pasti melewati semua ini dengan kesedihan
mendalam. Sendirian! Sendirian di kapal perang yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
penghuninya sama sekali tidak dikenalinya. Bungsunya
terlalu kecil untuk menghadapi kenyataan yang
menyakitkan ini.
Helikopter mendarat anggun di pelataran Kapal Induk.
Sersan Ahmed berjalan bergegas menuju pintu masuk di
pelataran pendaratan. Abi mengikuti setengah berlari.
Mereka berdua langsung melangkah ke lift evakuasi rumah
sakit.
Delisa saat itu sedang bermain bersama suster Shopi,
duduk bersandar di ranjangnya. Memegang dua boneka
Teddy Bear (sekarang diberikan pita biru). Tertawa
manisnya (Delisa menganggap dua Teddy Bear kembar itu
seperti kak Aisyah dan kak Zahra). "Yang ini wajahnya
mirip kak Aisyah, cerewet. Nah yang ini mirip kak Zahra,
pendiam." Sophi hanya tersenyum melihat gadis kecil di
hadapannya begitu riang bercerita dengan bahasanya.
Bermain boneka-bonekaan.
Pintu kaca terbuka hampir tak bersuara.
Sersan Ahmed tegap melangkah masuk.
Sophi menoleh sambil tersenyum. Berdiri menyambut.
Delisa ikutan menoleh sambil tangannya terus
memegang dua boneka tersebut.
Sersan Ahmed menyibak jalan ke samping. Abi Usman
seketika terlihat berdiri di bawah bingkai pintu. Menatap
dengan mata terbuka penuh mencari tahu. Di manakah
bungsunya?
Boneka teddy bear terlepas dari tangan Delisa. Dalam
gerakan lambat yang menggentarkan, Delisa berteriak....
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"A-B-IM A-B-IM" Delisa berseru-seru riang. Ia berontak
hendak bangkit. Loncat seperti biasanya dalam pelukan Abi
saat menyambut Abi pulang. Tapi bagaimanalah?
"D-e-l-i-s-a!" Abi mendesiskan nama. Melangkah
gemetar. Matanya sontak berkaca-kaca. Lihatlah!
Bungsunya dengan muka-merah merekah berbinar-binar
saking senang menyambutnya. Lihatlah, paras itu sama
sekali tidak bersedih. Menyambutnya amat riang. Seperti
menyambut Abi yang baru pulang setelah tiga bulan
berlayar. Muka itu seperti bercahaya saking riangnya.
Abi berdiri bergetar mendekati ranjang Delisa, gemetar
menjulurkan kedua tangannya.
Delisa tanpa menunggu, beringsut memeluk.
Berguguran sejuta pertanyaan itu. Delisa bahkan lebih
tegar dibandingkan dengannya. Bungsunya bahkan lebih
tabah dibandingkan dengannya. Tidak ada rona sedih di
sana.
"A-b-i____ A-b-i____" Delisa masih berseru-seru senang.
Kerudung birunya terlepas. Memperlihatkan kepala
botaknya. Abi menelan ludah. Melepas pelukan. Mengusap
lembut kepala Delisa. Memperhatikan seluruh tubuh
bungsunya.
"Kaki.... Kaki Delisa dipotong, Bi!" Delisa menyeringai.
Abi mengeluh.
"Gigi.... Gigi Delisa lepas dua, Bi!" Delisa membuka
mulutnya, nyengir.
Abi mengeluh semakin dalam.
"Siku.... Siku Delisa dibungkus, Bi!" Delisa
menunjukkan lengan kanannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ya Allah, Sersan Ahmed sudah memberitahukannya.
Namun pemandangan ini sungguh menyakitkan, teramat
menusuk hatinya. Dan yang lebih membuat hati Abi bagai
diaduk-aduk, lihatlah, Delisa ringan saja menyampaikan
semua berita itu. Tidak berkeberatan sedikitpun dengan
keputusanMu.
Abi memeluk Delisa sekali lagi. Mengusap matanya
yang mulai basah. Apapun itu, bungsunya ternyata selamat.
Keajaiban itu masih ada. Abi untuk kesekian kalinya
mengusap matanya yang semakin basah.
Ada tiga orang lain yang mengusap mata di sana. Sophi,
yang menggunakan tissu di atas meja. Sersan Ahmed yang
mendongakkan kepala (ia tidak ingin terlihat menangis).
Ibu-ibu itu, yang meski matanya menatap kosong, ikut
mengurai air mata haru.
"Kenapa kak Aisyah tidak ikut, Bi?" Delisa tiba-tiba
bertanya, memutus keheningan sesaat tadi. Abi terkesiap.
"Kenapa kak Zahra dan kak Fatimah juga tidak ikut
sekalian dengan Abi? Helikopternya nggak muat ya?"
Abi mengelus dadanya.
"Kenapa Ummi tidak ikut datang sekalian menjenguk
Delisa, Bi? Ummi menunggu di rumah ya?" Pertanyaan
Delisa muncul bagai tiga kali roket yang dihujamkan di
lokasi yang sama. Membuat lubang kesedihan menganga
semakin lebar.
Abi tertunduk. Bagaimana dia harus menjelaskan
semuanya? Rumah mereka yang tak bersisa. Aisyah, Zahra
dan Fatimah yang sudah pergi selama-lamanya? Ummi
yang entah hari ini ada di mana?
Sophi dan Sersan Ahmed juga terdiam. Saling pandang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Delisa mulai panik melihat raut muka Abi. Raut muka
itu tidak beres. Raut muka itu menimbulkan pertanyaan.
Dan Delisa siap meluncurkan puluhan pertanyaan lainnya.
"Abi.... Abi.... Ummi di mana?"
Abi Usman menelan ludah. Menggeleng. Dia tidak tahu.
"Abi.... Ummi di mana, BI?" Delisa mencengkeram baju
Abi dengan tangan kirinya. Suaranya mulai terdengar
cemas.
"Abi tidak tahu sayang!"
"Abi tidak tahu? Bagaimana Abi tidak tahu?" Delisa
benar-benar panik sekarang.
Abi hanya menggeleng lemah. Matanya menatap sendu.
"Ummi.... Ummi dimana, Bi?" pertanyaan Delisa
melemah demi melihat raut muka sedih Abi. Meski dengan
tatapan mata yang masih menyelidik, Delisa menelan ludah
dan menggigit bibirnya. Menunduk dalam-dalam.
Abi memaksakan tersenyum. Menggeleng sekali lagi
dalam diam. Mengelus kepala botak Delisa.
"Kak Aisyah.... Kak Aisyah di mana, Bi?" Delisa
mengganti pertanyaannya. Mengangkat kepalanya lagi.
Abi masih diam. Menghela nafas pajang. "Kak Aisyah su-
d-a-h p-e-r-g-i, Delisa!" 'Pergi ke mana? Kan nggak ikut
Abi sekarang?" Abi terdiam. "Pergi kemana, Bi?"
"Kak Aisyah sudah m-e-n-i-n-g-g-a-l!"
Kesunyian menggantung seketika di langit-langit
ruangan. Delisa menatap Abi dengan tatapan tak mengerti.
Mata hijaunya membulat. Tangan Delisa terlepas dari baju
Abi. Mukanya mengernyit menggemaskan. Meski mulai
ada denting kesedihan di sana.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kak Aisyah dan kak Zahra sudah dikuburkan seminggu
yang lalu, sayang.... Kak Fatimah juga sudah meninggal....
Kak Fatimah dikuburkan sehari setelah kak Aisyah dan kak
Zahra-" Lemah suara itu. Suara yang tak mengerti
bagaimana cara terbaik untuk menjelaskan. Tak bisa
menemukan cara lain untuk membuat bungsunya nyaman
mendengar semua kabar menyakitkan ini.
Delisa mulai paham. Delisa mulai mengerti. Ia tidak
mengerti makna mati dan kematian yang sesungguhnya.
Belum. Tetapi ia tahu, mati berarti pergi untuk selamanya.
Seperti Abi Tiur, yang tak pernah kembali. Ya seperti Abi
Tiur. Juga seperti mayat Tiur lalu. Dingin-membeku.
Kak Aisyah pergi untuk selamanya? Delisa menggigit
bibirnya. Hatinya entah mengapa tiba-tiba bagai ditusuk
sebilah sembilu. Membuat luka yang dalam-menganga.
Mencair. Luka itu mencair seketika, mengeluarkan air asam
yang memilukan. Air itu menerabas melewati tenggorokan
Delisa. Merambat ke mata hijaunya. Berkaca-kaca.
Kak Zahra juga pergi untuk selamanya? Delisa mulai
terisak pelan. Bagaimanalah ini? Bagaimanalah semua ini?
Kak Fatimah.... Kak Fatimah juga pergi untuk
selamanya? Delisa benar-benar menangis. Terse-dan.
Bagaimanalah? Itu sama saja Delisa ditinggal sendirian....
Abi ikut terisak pelan sekali lagi demi melihat Delisa
menangis. Memeluk bungsunya erat-erat. Sungguh semua
perasaan kehilangan ini menyakitkan. Sungguh semua
perasaan ini memilukan. Sungguh! **
(Oo-dwkz-oO)
** Maha suci Engkau ya Allah, yang telah menciptakan
perasaan. Maha besar Engkau ya Allah, yang telah
menciptakan ada dan tiada. Hidup ini ada/ah
penghambaan. Tarian penghambaan yang sempurna. Tak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ada milik dan pemilik selain Engkau. Tak punya dan
mempunyai selain Engkau. Tetapi mengapa Kau harus
menciptakan perasaan? Mengapa kau harus memasukkan
bongkah yang disebut dengan "perasaan" itu pada mahkluk
ciptaanMu? Perasaan kehilangan.... Perasaan memiliki....
Perasaan mencintai....
Kami tak melihat, Kau berikan mata; kami tak
mendengar, Kau berikan telinga; Kami tak bergerak, Kau
berikan kaki. Kau berikan berpuluh-puluh nikmat /ainnya.
Jelas seka/i, semua itu berguna! Tetapi mengapa Kau harus
menciptakan bongkah itu? Mengapa Kau letakkan bongkah
perasaan yang seringkah menjadi pengkhianat sejati dalam
tubuh kami. Mengapa?
"Air.... Air di mana-mana!" Abi diam.
"Delisa terseret. Delisa terminum air. Delisa batuk....
Kaki Delisa terkena pagar sekolah.... Air.... Air di manamana,
Bi."
Abi mengusap kepala bungsunya. Mencium kening yang
masih sedikit lebam. Delisa sedang menceritakan kejadian
itu. Lima belas menit setelah penjelasan Abi yang tidak
memuaskan tentang Ummi (meski kemudian Delisa tidak
bertanya lagi).
Delisa terdiam. Memainkan jemarinya.
"Maafkan Delisa, seharusnya Delisa mau belajar
berenang seperti yang Abi bilang waktu pulang tiga bulan
lalu!" Delisa menatap Abi-nya menyesal dalam.
Abi hanya tersenyum. Menggeleng. Lihatlah, bungsunya
justeru berpikir tentang fakta lain dalam urusan ini.
"Maafkan Delisa, Delisa juga belum hafal bacaan
shalatnya, Bi! Delisa belum hafal-" kelu Delisa mengatakan
itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Delisa benar-benar kelu. Tak mengerti.
Selama seminggu di rumah sakit, Delisa sebenarnya
sudah berusaha kembali untuk mengingat bacaan shalatnya.
Setiap kali melihat ibu-ibu di sebelahnya shalat, ia
memperhatikan. Tetapi ia lupa. Tidak sekata pun bacaan
yang ia ingat, kecuali takbiratulihram. Sisanya lenyap
begitu saja.
"Delisa waktu itu sedang menghadap Ibu Guru Nur...."
Delisa terdiam mencoba mengingat kejadian itu kembali.
Setiap kali mengingat detail, kepala
Delisa terasa berat.
"Ibu Guru Nur di mana?" ingatannya terpotong,
pertanyaan itu keluar lebih dahulu.
"Ibu Guru Nur sudah pergi!"
Delisa kelu sekali lagi. Teman-temannya? Tiur? Di mana
mayat Tiur?
"Juga Tiur dan Umminya, sayang. Kata Wak Burhan
mayat Tiur sudah dikuburkan.... Kakak-kakak Tiur...."
suara Abi hilang di ujung. Kesedihan menggantung ?sekali
lagi di langit-langit ruangan rumah sakit itu. Meski kali ini
tanpa air mata dan pelukan haru.
Hanya berdiam diri. Delisa sibuk memainkan jemarinya.
Abi menahan nafas. Memandang berkeliling, menyapu
lemah isi ruangan. Mencoba memikirkan hal lain.
Sophi beberapa saat kemudian kembali dari ruang jaga
depan, dengan segelas cokelat panas.
"Silahkan!" menyerahkan gelas tersebut kepada Abi. Abi
menerimanya sambil tersenyum, berterima-kasih. Sersan
Ahmed sudah dari tadi kembali ke posko tenda marinir
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Lhok Nga. Sophi yang mengantarnya keluar sambil
mengambil segelas cokelat panas tersebut.
"Ah-ya, Bi. Kak Cofi memberikan hadiah boneka untuk
Delisa!" Delisa menunjukkan kedua boneka itu. Abi
mengangguk. Sophi yang berdiri di sebelah Abi tersenyum.
"Sudah Delisa beri pita biru.... Agar sama dengan warna
kerudung Delisa.... Ah-ya, kalau ada kak Aisyah.... Yang
ini akan Delisa berikan buat kak Aisyah-"
Kalimat itu terputus. Digantikan ekspresi wajah Delisa
yang terdiam. Ah sudahlah, Delisa buru-buru mengganti
bahan pembicaraan lainnya. Membicarakan semua ini tidak
menyenangkan. Apalagi melihat raut muka Abi yang sedih.
Delisa benar-benar belajar cepat dari semua kesedihan ini.
(Oo-dwkz-oO)
Dan hari memang berjalan lebih cepat setelah berbagai
kesedihan yang menimpa. Sudah begitu kodratnya.
Masalahnya orang-orang lebih banyak terkungkung oleh
perasaan. Perasaan yang menipu hakekat waktu.
Tiga minggu sudah Delisa berada di rumah sakit
tersebut. Luka amputasinya sudah mengering, diganti
perban yang lebih tipis. Gips di lengan kirinya sudah
dilepas. Ibu-ibu di sebelah Delisa bahkan sudah pulang ke
Medan dua hari yang lalu (hanya di sana keluarganya yang
masih tersisa). Kondisi ibu-ibu itu membaik lebih cepat
dibandingkan Delisa.
Abi diijinkan menemani Delisa di rumah sakit selama
tiga minggu tersebut. Tinggal di salah satu kabin tamu.
Menemani gadis bungsunnya membaca buku. Menemani
bungsunya sepanjang hari. Bercerita banyak hal. Menebus
waktu-waktu ketika Delisa hanya terbaring sendirian. Suster
Sophi juga ikut menemani Delisa, seperti biasanya meski
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ada Abi di sana. Baik sekali Sophi membawakan berbagai
buku bacaan, yang dibaca oleh Abi. Salah satunya adalah
bacaan hafalan shalat.
Pertama kali Sophi menyerahkan buku-buku itu. Tangan
Delisa segera menyambar sembarangan. Kebetulan itu buku
hafalan shalat yang biasa ia tenteng-tenteng selama ini.
Dengan versi bahasa yang berbeda, meski lafal bahasa
Arab-nya sama.
Delisa melipat keningnya. Hidungnya mendengus.
Nafasnya terdengar lebih berat. Huruf-huruf itu aneh sekali
baginya. Tercenung. Bukankah Delisa dulu sudah pernah
membaca dan menghafalnya dengan baik. Kenapa sekarang
menjadi asing sekali? Bacaan-bacaan itu terlihat seratus kali
lebih rumit dari biasanya. Berpilin satu sama lain. Dan
Delisa terpana oleh kenyataan itu. Mata hijaunya membulat
tak mengerti.
"Ada apa sayang?" Abi bertanya lembut.
Delisa buru-buru menggeleng.
"Tentu saja Delisa bisa menghafalnya kembali.... Insya
Allah jauh lebih cepat sekarang.... Kan Delisa pernah
menghafal sebelumnya," Abi tersenyum melihat buku yang
dipegang Delisa. Delisa hanya mengangguk pelan.
Terdiam.
"Nanti seperti janji Abi dulu, Abi akan belikan sepeda
untuk Delisa, kalau sudah hafal...."
Delisa tersenyum getir. Mengangguk. Ia tidak sesenang
biasanya saat mendengar janji hadiah itu. Bukan apa-apa,
Delisa sungguh sedang bingung. Dan takut! Bukankah
kalian merasa ada yang salah ketika tiba-tiba entah
bagaimana caranya, separuh memori itu hilang begitu saja.
Bukankah kalian merasa takut saat ada sepotong fakta yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tersembunyi menyimpan tanda-tanya? Dan Delisa benarbenar
kehilangan memori soal hafalan bacaan shalat
tersebut.
Dua hari kemudian. Tulisan-tulisan itu tetap
memeningkan kepala Delisa. Delisa menyerah untuk
sementara waktu. Meletakkan buku tersebut di atas meja. Ia
sekarang juga sibuk dengan urusan lain. Kak Sophi
membantunya belajar berjalan menggunakan kurk. Delisa
mulai turun dari ranjang. Berjalan kesana-kemari. Patahpatah
menyesuaikan diri dengan alat bantu jalan tersebut.
Mengelilingi lantai rumah sakit.
Mengelilingi Kapal Induk (bagian-bagian yang hanya
diijinkan Delisa kunjungi). Sepanjang berlatih berjalan raut
muka Delisa semakin kusut. Delisa semakin bingung
dengan hafalan bacaan shalatnya.
(Oo-dwkz-oO)
12. Pulang k e Lhok Nga
Hari itu, enam minggu sesudah gelombang tsunami
menghantam Lhok Nga. Tiga minggu setelah Delisa
dirawat di rumah sakit Kapal Induk tersebut. Delisa
akhirnya diijinkan pulang. Ia sedang digandeng Abi
berjalan patah-patah di atas pelataran parkir menuju
helikopter Super Puma yang baling-balingnya mendesing
tajam, membuat Delisa meski memegang kokoh //kurk//-
nya sedikit terhuyung.
Suster Sophi, dr Eliza, dan beberapa perawat lainnya ikut
melepas di atas pelataran parkir kapal induk. Wartawan
teve nasional yang ngetop itu juga berada di sana (Delisa
hafal wajahnya dari jadwal menonton teve Ummi setiap
Sabtu malam, Najwa siapalah namanya).
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sersan Ahmed menyambut dari atas helikopter.
Kesulitan menggapai tubuh Delisa. Meloncat turun, lantas
menggendong Delisa menaiki Super Puma. Vang lain
tertawa saat melihat kurk Delisa tak sengaja melibat kaki
salah satu prajurit. Prajurit itu jatuh terjerambab di kursi
helikopter. Delisa menyeringai tipis, nyengir bilang
"//Sorry//!".
Helikopter segera melesat ke langit-langit lautan Aceh.
Delisa dan Abi kembali ke Lhok Nga. Pulang ke rumah.
Meninggalkan tempat yang tak pernah terbayangkan akan
pernah ia kunjungi dalam hidupnya. Meninggalkan Kapal
Induk tentara Amerika Serikat yang menggentarkan itu.
Kapal super-besar, super-canggih, dengan super-amunisi
yang konon bisa menaklukan sebuah negara.
Meninggalkan tempat yang meski berbeda dalam banyak
hal, sama dalam satu hal: menyimpan kebaikan.
Tergantung yang mengendalikan kebaikan dan keburukan
tempat tersebut.
Delisa senang sekali sepanjang pagi. Ia sudah tahu, Lhok
Nga hancur. Abi sudah cerita. Ia juga sudah tahu rumahnya
rusak. Abi sudah cerita. Tetapi kata-kata pulang selalu
menyenangkan bagi anak-anak mana pun, tak terkecuali
bagi Delisa. Ia rindu dengan semuanya. Apapun itu
bentuknya sekarang. Delisa rindu bermain di lapangan
bolanya. Delisa rindu mengaji di meunasah. Delisa ingin
kembali bersekolah. Apapun itu yang masih tersisa. Delisa
rindu.
Yang sama sekali tidak dipahami Delisa, semuanya
memang benar-benar hancur. Semuanya benar-benar
musnah. Tak ada yang tersisa. Tak secuil potongan yang
bisa memenuhi perasaan rindu Delisa. Dan itulah yang
ditemukannya saat helikopter Super Puma mendarat di
tenda marinir Lhok Nga.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Menatap kosong. Kotanya tak bersisa. Hanya lapangan
luas, dengan puing bangunan di sana-sini.
Abi yang berjalan di sisinya, menggenggam jemari
tangan bungsunya kencang-kencang. Delisa mendesah
tertahan, ngintil mengikuti langkah Abi.
Delisa benar-benar terdiam saat melihat sekolahnya. Tak
ada yang tersisa, kecuali semen tiang bendera setinggi mata
kaki. Tembok sekolah tak ada. Kursi-kursi. Meja-meja.
Delisa bahkan bingung menentukan di mana bekas kelasnya
dulu. Apalagi di mana kursi-mejanya dulu.
Meunasah itu juga musnah. Hanya menyisakan sepotong
pondasi di sudut-sudutnya. Delisa menelan ludah. Di mana
rihal-rihalnya? Di mana papan tulis? Sajadah-sajadah?
Tempat ini di tempat inilah ia belajar mengaji TPA dengan
ustadz Rahman. Ustadz Rahman? Delisa ingin bertanya
kabar ustadz Rahman kepada Abi, tetapi bibirnya
mendadak kelu. Delisa memutuskan diam. Ia enggan
mendengar kemungkinan berita buruk berikutnya. Besoklusa
mungkin saat situasi hatinya membaik, ia akan
bertanya. Abi meneruskan langkah menuju bekas rumah
mereka. Delisa mengikuti. Dan rumahnya benar-benar tidak
ada lagi.
Lama Delisa hanya duduk di atas ayunan. Tak bergerak.
Diam. Ya Allah, kenangan itu kembali semua di kepalanya.
Menusuk-nusuk hatinya. Ayunan itu sempurna terdiam
sekarang. Delisa tertunduk. //Kurk//-nya mengais-ngais
tanah di bawah ayunan. Abi sedang berbincang dengan
Koh Acan dan Teuku Dien di halaman. Tadi Koh Acan
sempat mendekatinya. Mengusap kerudungnya. Juga
Teuku Dien yang tersenyum senang melihatnya selamat.
Ikut membelai kerudung biru Delisa.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Delisa hanya tersenyum. Ia ingat Koh Acan orang yang
baik. Sering memberi Ummi separuh harga setiap belanja di
tokonya. Sayang, meski Delisa ingat banyak hal tentang
kebaikan Koh Acan, Delisa sempurna lupa tentang ia dan
Ummi membeli kalung buatnya hari Ahad itu. Delisa
benar-benar lupa kalau ia dulu paling suka berseru: D untuk
Delisa.
Delisa hanya tersenyum sekali lagi saat Koh Acan dan
Teuku Dien melambaikan tangan. Pamit pergi entah ke
mana. Tadi Delisa sempat menyeringai senang saat
mendengar kabar dari Teuku Dien, kalau Umam selamat.
Hanya itu kabar yang menyenangkan sepanjang pagi ini.
Sisanya buruk. Delisa menghela nafas panjang. Ah
setidaknya ia masih bisa bermain bola bersama Umam.
Delisa menghentikan guratan kurknya. Menyeringai tipis.
"Kita malam ini tidur di tenda darurat, sayang!" Abi
mendekatinya, selepas menyertai Koh Acan dan Teuku
Dien ke jalan kecil depan rumah. Delisa hanya diam. Ia
sedang ingat jembatan keledai kak Aisyah. Mungkin nantinanti
ia bisa minta Abi membuatkan satu untuknya.
Siang itu juga mereka mendatangi tenda darurat yang
terletak dekat tenda posko marinir. Mendapatkan selimut.
Beberapa potong pakaian ganti. Alat-alat mandi, dan
berbagai keperluan lainnya. Delisa menatap tenda-tenda
yang berjejer rapi tersebut. Ia berjalan-jalan menghabiskan
sisa sore sendirian. Sementara Abi entah mengurus apa di
posko depan bersama kakak-kakak yang mengenakan
seragam rompi.
Delisa mengenali satu-dua ibu-ibu yang sedang memasak
di dapur umum. Tetangga mereka dulu. Dan ibu-ibu yang
juga mengenalinya itu satu persatu memeluknya saat Delisa
mendekat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sabar... anakku! Allah akan membalas semua kesabaran
dengan pahala yang besar!"
Delisa tidak mengerti mengapa mereka melakukannya.
Meski ia tahu, kalimat itu sering diajarkan ustadz Rahman.
Delisa hanya tersenyum nyengir dalam pelukan.
Memperlihatkan giginya yang tanggal dua. Ibu-ibu itu
semakin terharu melihatnya. Delisa buru-buru meneruskan
langkahnya, sebelum badannya sakit dipeluk kencangkencang
lagi oleh mereka. Kan badan ibu-ibu ini nggak
selangsing Ummi.
Delisa juga bertemu dengan beberapa temannya. Ayahayah
mereka yang selamat di tenda-tenda lain. Tadi Delisa
juga bertemu dengan Umam di depan salah satu tenda.
Sedang duduk melamun. Delisa mendekat. Saling
bertatapan. Delisa menyeringai, tersenyum. Umam hanya
diam. Matanya keruh memandang. Parasnya keruh.
Ekspresi mukanya keruh sekali. Umam juga kehilangan
seluruh keluarga, kecuali Abinya.
"Aku boleh main kan meski pakai kurk ini?" Delisa
nyengir mendekat, berdiri di depan Umam.
Umam menatapnya tak mengerti. Delisa menyeringai
semakin lebar. Menendang-nendangkan kaki kirinya yang
masih utuh. Umam menelan ludah. Main bola.
Mengangguk lemah. Lantas berdiam diri lagi.
Delisa urung untuk melanjutkan pembicaraan. Ia
memutuskan untuk meneruskan langkah kakinya;
sepertinya Umam tidak ingin diganggukan kak Fatimah
dulu sering marah-marah kalau ia tidak mau diganggu,
Delisa malah banyak nanya-nanya.
Delisa meneruskan berkeliling. Di posko terdepan, salah
seorang penjaganya, kakak-kakak berwajah seperti Koh
Acan, berpeci putih, berompi cokelat memberikan hadiah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sebatang cokelat padanya, batang cokelat yang kecil. Tetapi
Delisa tertawa riang menerimanya.
V/Khamsia//....!" Delisa nyengir. Teman kakak-kakak
itu yang berjaga di posko tersebut bahkan ikut tertawa.
Bagi Delisa kehidupan sudah kembali. Bagi Delisa
semua ini sudah berlalu. Bagi Delisa hari lalu sudah tutup
buku. Ia siap meneruskan kehidupan. Tak ada yang perlu
dicemaskan. Tak ada yang perlu ditakutkan. Delisa siap
menyambung kehidupan; meski sedikit pun ia belum
mengerti apa itu hakikat hidup dan kehidupan.
(Oo-dwkz-oO)
Sore pertama Delisa di Lhok Nga. Abi Usman masih
sibuk entah mengurus apa soal bekas rumah mereka.
Berbincang banyak dengan Sersan Ahmed dan Prajurit
Salam. Dengan kakak-kakak di posko tenda darurat.
Dengan siapalah. Bertanya soal transfer rekening bank.
Delisa malas mendengarnya.
Delisa sekarang meneruskan napak tilasnya berjalan ke
lapangan bola mereka. Pasir itu masih sama. Burungburung
camar itu masih sama. Memang di sana-sini porakporanda,
banyak sampah dan puing-puing bertumpukan.
Tetapi ini tetap lapangannya yang dulu. Lapangan yang
menyenangkan.
Matahari sore menghujam bumi. Jingga. Delisa berdiri
dengan kurk di tangan kanan menatap cakrawala elok di
kejauhan. Kerudung birunya dilepas, diikat di leher. Angin
sore memainkan rambutnya yang mulai tumbuh tipis.
Delisa menyeringai lebar.
Sama! Tak ada yang berbeda di sini.
Delisa menikmati sore dengan perasaan jauh lebih lega.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
(Oo-dwkz-oO)
Abi pulang maghrib-maghrib ke tenda. Delisa sedang
menunggunya. Mereka mengambil jatah makan malam di
dapur umum. Untuk urusan logistik dan lain sebagainya,
pos tenda darurat mereka jauh lebih beruntung
dibandingkan puluhan ribu pengungsi Aceh lainnya. Tenda
mereka mendapatkan suplai yang cukup dari tentara
Amerika.
Air bersih juga tidak menjadi masalah, marinir itu
membawa alat penyuling air. Obat-obatan dan berbagai
kebutuhan lainnya tersedia lebih dari cukup.
Malam itu Delisa untuk pertama kalinya merasakan tidur
beramai-ramai di tenda pengungsian. Beralaskan tikar
plastik seadanya. Abi memberikan sleeping bag kepadanya
(dipinjamkan Sersan Ahmed tadi sore). Tetapi Delisa lebih
nyaman tidur apa adanya. Biar seperti kemping waktu itu.
Mereka kan sering membuat tenda-tendaan bersama Abi
di depan rumah. Tidur di sana. Dan Delisa selalu ribut
dengan kak Aisyah. Berebut tempat di tenda kecil tersebut.
Belum lagi kak Fatimah yang entah juga ikut-ikutan
menyebalkan setiap kali mereka kemping di depan rumah.
Kalau kak Aisyah dan kak Fatimah sekarang ada, pasti
tidak akan berebut lagi. Tenda ini kan besar sekali. Meski
mereka ramai, tetap saja terasa lega.
Malam semakin beranjak matang. Delisa tidak bisa tidur.
Tadi selepas Abi shalat isya, Delisa membuka tas yang
dibawanya dari Kapal Induk. Mengambil buku hafalan
bacaan shalatnya. Mencoba mulai menghafal. Sama saja.
Tulisan-tulisan itu tetap rumit. Seolah-olah menolak
mentah-mentah otak Delisa untuk memahaminya.
Delisa menghela nafas. Lelah ia mengulang-ulang
kalimat pertama doa iftitah. Semakin diulang, semakin
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
lupa. Delisa kemudian memutuskan berhenti. Memasukkan
buku itu kembali dalam tas. Duduk termenung.
Abi sudah tertidur. Tadi sempat membujuk Delisa untuk
tidur. Delisa hanya menjawab iya, sebentar lagi. Lantas
meneruskan membaca. Abi memutuskan untuk
membiarkan Delisa (berpikir tidak pada tempatnya
memaksa Delisa tidur dalam kondisi seperti ini, lagi pula
Delisa sedang belajar).
Delisa menatap sekitar tenda besar yang lengang. Debur
ombak di bibir pantai bahkan bisa terdengar dari sini.
Terasa menyenangkan. Berirama indah. Semua penghuni
tenda sudah tertidur. Tetapi tidak Teuku Umam. Umam
sama seperti Delisa, duduk di seberang sana. Tetap terjaga.
Melamun. Delisa menarik nafas. Memutuskan untuk tidur.
Tidak mungkin kan Umam punya masalah yang sama
dengannya? Kesulitan menghafal bacaan shalat?
(Oo-dwkz-oO)
Shubuh pertama kembalinya Delisa ke Lhok Nga.
Delisa terbangun pas muadzin di salah satu tenda darurat
mengucapkan takbir pertama. Bangun begitu saja kata-kata
Ummi dulu benar sekali, meski Delisa tidak menyadarinya:
nanti akan ada malaikat yang membangunkan Delisa.
Ia melihat Abi beranjak keluar dari tenda. Abi hendak
mengambil wudhu di keran air yang dibuatkan oleh
marinir. Delisa melipat selimutnya, meraih kurknya, lantas
berjalan tersuruk-suruk keluar tenda.
Entah mengapa shubuh ini Delisa ingin shalat. Ia ngintil
patah-patah berjalan dengan kurknya mengikuti Abi ke
halaman barak penampungan. Abi hanya menguap
membiarkan Delisa mengambil wudhu di keran sebelahnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Beberapa bapak-bapak dan ibu-ibu juga meng-antri ambil
wudhu. Abi dan Delisa kembali ke tenda. Mereka akan
shalat berjamaah di tenda tersebut. Abi menjadi imam. Ada
beberapa bapak-bapak lainnya berdiri di depan, termasuk
Teuku Dien. Di barisan belakang, Delisa berdiri bersama
dua ibu-ibu dan satu kakak-kakak seumuran kak Fatimah.
Shubuh itu. Ketika sebagian besar mahklukMu masih
terlelap. Lihatlah, dengan muka basah oleh wudhu Delisa
shalat kepadaMu. Delisa hanya bisa membaca //takbiratulihram//.
Itu saja. Lantas ia lupa bacaan yang lainnya.
Inilah shalat pertamanya sejak sujud yang terputus oleh
gelombang tsunami tanpa ampun itu.
"Yeee, makanya belajar! Emangnya boleh shalat nggak
pakai bacaan!" Kak Aisyah menggodanya saat Delisa mulai
ikut-ikutan shalat bersama Ummi. Delisa hanya nyengir,
menarik mukena Ummi meminta pertolongan dari tatapan
nakal kak Aisyah.
"Shalatlah! Kalian tetap bisa shalat meski tak mengerti
bacaannya. Meski tak tahu bacaannya. Allah lebih dari
mengerti.... Allah mendengarkan.... Allah akan melihat!
Allah-lah yang menciptakan bahasa-bahasa, bagaimana
mungkin ia akan kesulitan untuk mengerti-" Itu kata ustadz
Rahman waktu Delisa mengadukan kak Aisyah.
Maka Delisa shalat. Shalat tanpa beban. Shalat karena
Delisa ingin shalat. Ia rindu suasana shalat yang
menyenangkan. Ia memang selalu terkantuk-kantuk dulu
saat berjamaah dengan Ummi, tetapi shalat shubuh
sebenarnya selalu menyenangkan baginya.
Maka Delisa shalat. Tanpa membaca apapun. Karena
tak ada kak Aisyah yang membaca keras-keras di
sebelahnya. Delisa hanya bergerak mengikuti Abi di depan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Delisa hanya bisa itu. Dan Delisa tidak peduli. Ia hanya
ingin shalat.
Saat Delisa tiba di sujud pertama. Saat dahinya yang
basah menyentuh sajadah. Saat telapak tangannya yang
basah menyentuh sajadah. Selarik cahaya indah menembus
tenda darurat itu. Seberkas cahaya menggentarkan
menerabas ke atas langit. Berkemilauan begitu terang,
begitu menakjubkan. Menghujam ke atas. Penduduk langit
bertasbih. Arasy-Mu bergetar. Cahaya itu keluar dari tubuh
Delisa.
(Oo-dwkz-oO)
Siangnya Delisa sekali lagi lebih banyak menghabiskan
waktu berkeliling tenda darurat. Berkeliling di sepotong
kota Lhok Nga yang ia kenali. Memperhatikan marinir
yang bersama-sama mendirikan meunasah darurat. Sersan
Ahmed yang memimpin renovasi itu sempat mendekati
Delisa yang berdiri. Mengelus rambut Delisa, kemudian
memberikan hadiah kaca mata hitam yang sedang dipakai
Sersan Ahmed.
Kaca mata itu kebesaran. Tetapi Delisa senang
memakainya. Membuat ia gagah seperti para marinir
tersebut. Prajurit dan sukarelawan lainnya tertawa melihat
Delisa yang seperti mandor bangunan berdiri mengawasi
mereka bekerja.
Sersan Ahmed juga menyampaikan pesan lainnya ke Abi
yang ikut membantu mendirikan meunasah itu. dr Eliza
sedang mengusahakan kaki palsu untuk Delisa. Delisa
mendekati Abi dan Sersan Ahmed yang berbincang serius
saat istirahat dzhuhur. Delisa tidak mengerti sepatah pun,
meski ia senang saja mendengarkan Abi berbincang dengan
marinir itu dalam bahasa Inggris. Sepertinya keren sekali!
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Delisa nyengir, berikrar dalam hati, nanti ia akan belajar,
biar bisa ikutan.
Delisa juga memperhatikan beberapa rombongan
sukarelawan yang setiap hari bermunculan di Lhok Nga.
Wajah mereka berbeda sekali dengan penduduk Lhok Nga.
Ah, bukankah wajah Delisa juga terlihat berbeda. Delisa
sekali lagi menyeringai berpikir banyak hal.
Delisa sudah tidak terlalu kesulitan dengan kurknya,
bahkan ia sudah bisa berlari-lari kecil. Lincah. Tak pernah
merasa terbebani dengan alat bantu tersebut. Delisa setelah
lelah berjalan ke sana kemari bahkan ikut bekerja.
Membantu dapur umum. Membantu membawa barangbarang.
Membantu membereskan tenda. Ia belajar banyak.
Ia sekarang mengerti tentang melipat pakaian. Semua
situasi ini mengajarkan banyak hal kepadanya. Dan Delisa
melaluinya tanpa banyak bertanya. Hanya tersenyum riang.
Meunasah itu berdiri kokoh sore harinya. Masih
seadanya. Tetapi itu jauh dari memadai di tengah-tengah
situasi darurat seperti ini. Delisa tersenyum senang
melihatnya. Meskipun setiap kali memandang meunasah
itu, Delisa ingat ustadz Rahman?
Sore harinya, Abi mengajak Delisa jalan-jalan di
sepanjang pantai. Menatap matahari yang mulai tenggelam.
Mereka berjalan bersisian. Kadang Delisa memukul-mukul
ombak yang menyentuh kakinya dengan kurk. Tertawa
senang.
"Delisa ingin main bola, Bi!" Delisa memegang lengan
Abi. Mengalihkan perhatian dari tawa senangnya barusan.
Abi hanya mengangguk. Besok dia akan mencari bola
plastik, mungkin marinir itu punya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kapan Delisa bisa sekolah, Bi?" Delisa bertanya lagi.
Nah yang ini pertanyaan sulit. Abi menggeleng, bahkan
saat itu pemerintahan SBY-JK saja tak bisa menjawabnya
pasti.
"Abi, kenapa Umam sekarang sering berdiam diri ya?
Tidak mau Delisa ajak main?" Delisa bertanya lagi.
"Mungkin dia masih sedih!" Abi mengusap kerudung
Delisa. Menjawab seadanya.
Delisa mengangguk sok-paham, sok-mengerti.
"Memangnya sedih kenapa, Bi?" bertanya lagi.
"Mungkin Umam rindu Ummi-nya-" jawaban yang
keliru. Abi menelan ludah. Buru-buru menunjuk cakrawala
di kejauhan.
Tetapi Delisa tidak bereaksi banyak. Ia hanya diam.
Delisa juga rindu sekali dengan Ummi. Tetapi entah
bagaimana ia tahu dan mengerti, Delisa merasa pertanyaanpertanyaannya
tentang Ummi justeru akan membuat Abi
semakin bersedih. Delisa tak ingin melihat kesedihan di
muka Abi lagi, seperti di Kapal Induk dulu waktu ia
menjejali Abi dengan pertanyaan tersebut. Maka Delisa
memutuskan untuk tidak banyak bertanya lagi tentang
Ummi, juga tentang kak Fatimah, kak Zahra, dan kak
Aisyah.
"Bagaimana hafalan shalatMu, sayang?" Abi bertanya
setelah mereka terdiam lama.
"S-u-s-a-h, Bi!" Delisa menjawab pendek sambil
menyeringai. Sebenarnya ia ingin menjawab: benar-benar
susah, Bi! Tetapi sudah kelihatan sekali makna kata susah
tersebut dari dahi Delisa yang terlipat tiga.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Abi hanya mengusap kerudung Delisa. Menarik nafas
panjang. Hari-hari ke depan mereka juga akan susah. Abi
sudah menelepon kapal tanker itu, bilang ambil cuti tak
terbatas. Dia sama sekali tidak punya ide akan seperti apa
masa depan yang akan mereka jalani. Tidak mungkin Abi
kembali kerja di sana. Delisa akan sendirian.
Kalau dia tidak bekerja di sana, apa yang bisa
dikerjakannya di sini? Hanya meratapi semua puing-puing
masa lalu? Menangis di atas bekas-bekas kenangan yang
tersisa? Abi menarik nafas lebih dalam.
Delisa yang memperhatikan Abinya ikut menarik nafas
dalam. Orang dewasa itu rumit ya? Sering berpikiran yang
aneh-aneh. Memandang matahari tenggelam yang indah ini
saja, Abi kok menghela nafas panjang, Delisa nyengir.
(Oo-dwkz-oO)
Esok sorenya. Di kuburan massal itu.
"Yang mana kuburan kak Fatimah, Bi?" Delisa
memandang lapangan tersebut. Bingung. Kuburan kok
seperti ini. Lebih besar dibandingkan lapangan bola Delisa
di pinggir pantai. Mana tidak ada nisan dan tulisan
petunjuk lainnya lagi.
Abi menggeleng, menggenggam erat-erat jemari Delisa.
"Tidak tahu, sayang!"
Delisa terdiam. Tadi siang saat Abi bilang hendak
mengajaknya ke kuburan kak Fatimah, kak Zahra, dan kak
Aisyah, yang muncul dibenaknya adalah kuburan-kuburan
lazim seperti biasanya. Bukan lapangan nan luas di
hadapannya sekarang. Delisa bingung mau meletakkan di
mana tiga tangkai mawar biru di tangannya (bunga itu dulu
ditanam Ummi di halaman rumah Delisa; kembali
berbunga setelah meranggas dihajar air bah).
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Abi tidak tahu yang mana kuburannya sayang....
Mereka menguburkan semuanya di sini.... Dalam satu
lubang yang besar.... Kak Fatimah, kak Zahra, kak
Aisyah.... Tiur, Ummi Tiur, kakak-kakak Tiur.... Ibu Guru
Nur-" Abi menelan ludah. Terhenti. Daftar itu akan panjang
sekali kalau diteruskan.
Delisa menunduk. Meletakkan bunga-bunga dan
kurknya di tanah. Duduk menjeplak begitu saja.
"Kalau sebanyak itu, berarti kak Fatimah, kak Zahra,
dan kak Aisyah tidak akan kesepian di sana, Bi-"
Abi menggigit bibirnya. Tersenyum pahit mendengar
kalimat "ringan" bungsunya.
"Di sana ramai sekali, ya Bi.... Justeru Delisa yang
sendirian di sini! Tidak ada siapa-siapa, kecuali Abi...."
Abi ikut duduk di sebelah Delisa. Menghadap timbunan
tanah di lapangan luas tersebut. Memegang bahu Delisa
lembut. Bungsunya entah mengapa tiba-tiba menangis
pelan. Mata Delisa sembab dan tersedu lemah.
Delisa sungguh tidak sedih dengan kepergian mereka.
Delisa tidak sedih karena itu. Delisa sudah mengerti soal
itu. sama mengertinya saat Abi Tiur pergi dulu. Delisa tibatiba
menangis, karena ia baru saja menyebutkan kata
sendirian. Ia mengerti benar kata tersebut. Maka mata
Delisa mulai berkaca-kaca. Delisa takut sendirian. Delisa
tidak suka dengan kata-kata tersebut. Tetapi Delisa tidak
ingin menangis di depan kak Fatimah, kak Zahra dan kak
Aisyah, maka Delisa berusaha mengusap matanya.
Berusaha tetap terkendali. Diam tertunduk.
Setelah lama terdiam, Delisa ingat sesuatu. Nisan?
Lemah jemari tangan kiri Delisa menggapai sebilah
ranting yang tergeletak di depan kakinya. Lantas pelan-
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pelan Delisa menggurat-gurat tanah di hadapannya.
Menulis nama-nama: kak Alisa Fatimah, kak Alisa Zahra,
kak Alisa Aisyah....
Abi menghela nafas panjang melihat apa yang dilakukan
putri bungsunya. Delisa sedang menandai makam mereka.
Delisa membuatkan nisan yang indah dari guratan tangan
tersebut. Delisa kemudian menancapkan tiga bunga mawar
biru tersebut. Abi menghela nafas sekali lagi.
Dan mereka ternyata tidak sendirian di sana. Ada yang
juga tiba-tiba menghela nafas panjang.
Abi menoleh. Di samping mereka, berjarak dua puluh
langkah. Istri Michael J. Fox dengan Junior sedang berdiri
menahan tangis. Mereka mengenakan baju hitam-hitam.
Istri Michael J. Fox mengenakan kerudung putih.
Menggenggam tangan anaknya erat-erat. Ia-lah yang
menghela nafas panjang barusan. Berusaha mengusir tangis
yang siap meledak dari kerongkongannya.
Mereka baru tiba di Banda Aceh dari Helsinki, Finlandia
kemarin sore. Tadi pagi langsung kemari. Tidak seperti Abi
dan Delisa, mereka sama sekali tidak tahu di mana Michael
J Fox dikuburkan. Bahkan tidak tahu apakah suaminya
sudah meninggal atau belum. HP satelit suaminya
ditemukan prajurit marinir Kapal Induk lima minggu silam.
Mati, kehabisan baterai. Dan mereka sama sekali tidak
mengenali yang mana mayat Michael J Fox. Ada banyak
mayat yang sudah membusuk di sekitar HP tersebut.
Marinir di posko tenda hanya menyarankan mereka
datang ke pemakaman massal jika hendak berdoa. Siapapun
yang meninggal di Lhok Nga, hampir semuanya dikubur di
sini. Itu berarti kemungkinan besar Michael J Fox juga ada
di sana.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Abi dan Delisa memandang istri Michael J Fox dan
anaknya. Orang-orang asing! Mereka bersedih sama seperti
Abi dan Delisa. Kalau begitu pasti ada kerabat mereka yang
tidak selamat dari bencana itu. Mereka pasti tidak tahu
yang mana kuburan orang yang mereka cari. Juga sama
seperti Abi dan Delisa. Abi menghelas nafas panjang.
Semua pemandangan ini amat menyedihkan. Semua
kesedihan ini benar-benar tidak mengenal batas.
Delisa entah mengapa berdiri. Membawa ranting yang
masih tergenggam di tangan kirinya. Mendekati istri
Michael J Fox dan anaknya patah-patah. Jemari tangan
kanannya menggamit lemah baju hitam istri J Fox saat tiba
di sebelahnya.
"S-i-a-p-a yang meninggal?" Delisa bertanya dengan mata
hijaunya. Istri J Fox menoleh sambil menyeka air mata.
Tidak menyangka akan ada yang menegurnya di negeri
antah-berantah ini. Tidak menyangka akan ada yang
menyapanya saat ia sedang berdoa untuk suaminya yang
entah berada di mana. Istri J Fox memandang wajah
menggemaskan Delisa. Bekas luka yang belum hilang, gigi
tanggal dua. Tetapi wajah gadis kecil di sebelahnya
bertanya tulus meski ia sama sekali tidak mengerti apa yang
diucapkannya barusan.
Abi melangkah mendekat. Tersenyum getir memandang
Delisa. Entahlah apa yang akan dilakukan Delisa dengan
menegur orang asing ini, dia tidak pernah bisa menduga apa
yang sedang direncanakan bungsunya. Membantu,
mengulang pertanyaan Delisa dalam bahasa Inggris.
Istri J Fox menatap Abi dan Delisa sesaat. Bingung
dengan pertanyaan tersebut. Ada urusan apa gadis kecil di
depannya bertanya soal siapa yang pergi?
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Michael J Fox!" akhirnya ia menjawab lemah. Tidak
mengerti apa yang sebenarnya diinginkan Delisa yang
sekarang menyeringai berjuta makna.
Delisa terbata mengeja ulang nama itu. Menganggukangguk.
Lantas duduk begitu saja. Menggurat pelan nama
tersebut di atas timbunan tanah. Dengan huruf yang besarbesar
Maekel J Pok
Delisa bangkit berdiri. Tersenyum manis ke arah istri J
Fox. Menunjuk guratan tersebut. Nisan!
"Dia sekarang bersama kak Fatimah, kak Zahra, kak
Aisyah, Tiur, Ibu Guru Nur, dan yang lainnya.... Di sana
pasti ramai sekali!" Delisa menyeringai ringan. Abi
menterjemahkannya terbata-bata, terharu. Bagi Delisa
urusan kehilangan ini sederhana sekali. Ia membuatkan
nisan untuk orang yang sama sekali tidak dikenalnya.
Istri J Fox seketika juga mengerti apa maksudnya. Ia
tidak mengenal nama-nama yang diucapkan Delisa. Tetapi
ia tahu apa yang hendak disampaikan Delisa. Ia paham apa
yang telah dikerjakan Delisa. Kalimat itu sederhana, tetapi
menjelaskan semuanya. Di sana pasti ramai sekali! Istri J
Fox jatuh terduduk dengan lututnya. Kedua tangannya
gemetar terjulur, lantas memeluk Delisa erat-erat.
Menangis.
Anak ini jelas kehilangan lebih banyak dibandingkan ia.
Anak ini jelas kehilangan nama-nama itu. Kehilangan
rumah, sekolah, teman-teman, tempat bermain dan
segalanya. Tetapi lihatlah, gadis kecil ini menganggap
semua kepergian itu dengan sederhana. Benar-benar
sederhana. Tidak ada penolakan. Tidak ada
pengingkaran—
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Delisa hanya nyengir menerima pelukan tersebut.
(Oo-dwkz-oO)
13. Har i-har i be rlalu c epat
Selama enam minggu kemudian Abi memutuskan untuk
membangun kembali rumah mereka. Dengan bahan
bangunan apa adanya. Hanya berdinding bata merah tanpa
diplester, beratap seng bekas reruntuhan. Abi dibantu
Sersan Ahmed dan pasukannya, serta penduduk Lhok Nga
setempat mengerjakan rumah tersebut seharian.
Ternyata itulah yang dulu dibicarakan Abi dengan
mereka. Teuku Dien, Koh Acan, dan beberapa penduduk
lain juga melakukan hal yang sama seperti Abi. Bergotong
royong. Tetapi penduduk Lhok Nga yang benar-benar
kehilangan semuanya tetap bertahan di tenda darurat. Abi
jauh lebih beruntung masih memiliki tabungan. Kapal
tanker itu juga memberikan pesangon utuh kepada Abi, plus
sumbangan rekan-rekan kabinnya.
Abi memang memutuskan pindah sesegara mungkin dari
barak penampungan. Tempat itu tidak buruk, tetapi semua
kesedihan yang menggantung di kerongkongan ini
membutuhkan banyak aktivitas agar pelan-pelan bisa
terlupakan. Kehidupan baru harus dimulai, dan menempati
rumah sendiri walau seadanya menjadi tonggak awal yang
baik. Itu penjelasan Abi ke Delisa. Delisa hanya manggutmanggut
lantas bertanya, "Perasaan di rumah baru kita
nggak ada tonggak-nya, Bi?"
Abi juga memutuskan berhenti dari kapal tanker.
Sekarang mengerjakan banyak hal di sini. Tidak jauh
dengan pekerjaan Abi dulu. Membantu sukarelawan yang
mengurusi gardu listrik, alat pemancar, mesin-mesin umum
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dan lain sebagainya. Bahkan Abi resmi menjadi
sukarelawan di salah satu lembaga bantuan internasional
yang datang ke Lhok Nga. Mengenakan rompi kuning
mereka.
Delisa juga mengerjakan banyak hal. Dua minggu
setelah kembali ke barak penampungan, sekolah, mengaji,
dan lain sebagainya memang belum pulih kembali. Delisa
lebih banyak mainnya. Lebih banyak berjalan kesanakemari,
menjadi pengamat yang baik. Pemerhati sekaligus
komentator. Atas tingkah Delisa itulah, ia ngetop sekali di
sepotong kota Lhok Nga. Siapa yang tidak mengenal
Delisa? Gadis kecil manis memakai //kurk//. Suka
nyeletuk dan jahil berkomentar.
Dan kabar baiknya bagi Delisa, setelah memasuki bulan
ketiga, sekolah darurat akhirnya dimulai. Di tenda-tenda.
Mereka belajar menghampar seadanya. Tidak ada
seragam sekolah. Tidak ada buku-buku pelajaran. Apalagi
bangku-bangku dan meja belajar. Yang bagus di kelas itu
hanya papan tulisnya. Kata Ibu Guru Ani papan tulis itu
namanya //whiteboard//. Menulisnya pun pakai spidol.
Bantuan dari tenda marinir. Prajurit Salam yang
mengantarkannya.
Ibu Guru Ani adalah satu-satunya guru SD Delisa yang
selamat. Dulu Ibu Guru Ani mengajar kelas enam. Delisa
kasihan sekali melihat Ibu Guru Ani sekarang, terpaksa
mengajar semua anak-anak. Mulai dari kelas satu hingga
kelas enam. Tetapi karena anak-anak yang selamat tidak
banyak, kelas itu digabung jadi satu, meskipun kelasnya jadi
terlihat amat ganjil. Masak Delisa harus sekelas dengan
kakak-kakak yang sudah duduk di kelas enam?
Delisa mulai belajar berhitung. Belajar menulis,
menggambar, bernyanyi, dan semua kegiatan yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menyenangkan dulu. Delisa ingat ponten matematikanya
yang sembilan. Sekarang pun Delisa tidak kesulitan
melanjutkan sekolahnya. Masih sama seperti dulu. Terasa
menyenangkan, meski dengan situasi seadanya. Delisa
tidak berkeberatan, ia riang berangkat setiap pagi menuju
sekolah darurat itu.
Yang sulit dan memberatkan bagi Delisa sekarang adalah
hafalan bacaan shalatnya. Sulit sekali. Padahal pengajian
TPA mereka juga sudah dimulai. Kak Ubai, salah seorang
sukarelawan dari Jakarta mengambil inisiatif memulai
pengajian buat anak-anak di meunasah darurat. Delisa
mengaji setiap sore sekarang. Pengajian mereka juga
digabung, hanya sekali sehari. Sore sebelum Ashar! Jadi
Delisa tidak perlu buru-buru pulang selepas bel sekolah. Ia
tidak akan terlambat.
Kak Ubai benar-benar kakak yang baik. Kata kak Ubai,
dia sukarelawan Palang Merah Indonesia. Delisa tidak
paham benar soal nama tersebut nama PMI itu mirip seperti
kegiatan sekolah yang diikuti kak Fatimah dulu. Yang ia
tahu kak Ubai rajin memakai rompi yang ada lambang
"tambah" berwarna merah. Pokoknya keren. Kak Ubai
umurnya sama dengan ustadz Rahman. Baiknya sama.
Tingginya sama. Cakepnya sama. Apalagi jenggot-tipisnya.
Sama lucunya.
Kak Ubai juga jago bercerita. Pandai bernyanyi dan
pintar menjelaskan. Yang berbeda dengan ustadz Rahman,
kak Ubai suka menenteng kamera ke mana-mana. Delisa
sering menemani kak Ubai berjalan di sepanjang kota Lhok
Nga. Di sepanjang pantai saat matahari terbenam. Di ganggang.
Di mana saja. Dan kak Ubai selalu memoto tempattempat,
orang-orang, benda-benda dan entahlah yang
mereka temui sepanjang perjalanan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Lucu sekali, kadang kak Ubai cuma moto daun, moto
tong sampah, moto tiang-tiang pondasi atau barang-barang
kecil lainnya. Kenapa pula kak Ubai mesti moto barangbarang
"tak berguna" itu. Kan mending moto Delisa ini.
Tapi kak Ubai cuma tertawa kecil ketika Delisa
menanyakan hal tersebut. Ah, orang dewasa memang
terkadang aneh cara berpikirnya. Delisa manyun.
Dengan jadwal mengaji sore hari di meunasah, "hobi
pamungkas" Delisa bermain bola menjadi berkurang. Ia
hanya bisa bermain bola satu jam selepas mengaji. Tetapi
itu tidak jadi masalah. Lebih dari cukup. Dengan kurk di
lengan kanan, Delisa meneruskan hobi menyenangkan
tersebut.
Awalnya kurk di tangan amat mengganggu. Lama-lama
ia terbiasa. Lagipula posisi Delisa sekarang berubah seratus
delapan puluh derajat. Ia tidak perlu banyak bergerak.
Delisa menjadi kiper. Pertama-tama ditunjuk temantemannya
menjadi kiper, Delisa bencinya minta ampun.
Tak pernah membayangkan posisi barunya "hanya" sebagai
kiper.
"Semua pemain sama pentingnya, Delisa. Kan
pertandingan nggak jalan kalau tidak ada kiper?" Abi
menjelaskan malam itu saat Delisa mengadu. Keberatan
saat tadi sore teman-temannya kompak memaksa ia
menjadi kiper.
"Kata siapa nggak bisa jalan? Tetap bisa jalan kok, Bi.
Kita dulu pernah kok main nggak pakai kiper.... Pokoknya
Delisa nggak mau jadi kiper. Kan hanya berdiri saja, nggak
ngapa-ngapain...." Delisa ngotot, menyeringai.
Abi menelan ludah. Benar juga, siapa bilang main bola
mesti ada kipernya? Tetapi bagaimana mungkin Delisa bisa
jadi striker dengan kurk di tangan. Repot.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tapi siapa bilang kalau kiper kerjanya hanya berdiri
saja. Nggak ngapa-ngapain. Delisa bisa maju juga, kan....
Nggak ada yang melarang kiper maju ke depan?" Abi
tertawa kecil menjelaskan. Dia tidak punya argumen lain
untuk meredakan keberatan Delisa, jadi sembarang saja.
Memakai balik logika Delisa.
Dan penjelasan itu ternyata betul-betul di masukan ke
hati oleh Delisa. Esok sorenya, saat ia main lagi dengan
teman-temannya di lapangan pasir tersebut, Delisa dengan
"ihklas" menjadi kiper.
Dan ia berubah menjadi kiper yang nyentriknya minta
ampun. Delisa ikut-ikutan maju saat permainan dimulai.
Ribut sekali pertandingan tersebut. Teman-teman satu
timnya berteriak-teriak menyuruh Delisa kembali ke bawah
tiang bambu gawang mereka. Sedangkan teman-teman
lawan timnya ribut memprotes ulah Delisa. Kan Delisa
nggak boleh pegang-pegang bola persis di tengah-tengah
lapangan. Mentang-mentang ia kiper.
Tetapi bagi mereka, sepak bola adalah permainan.
Urusan itu selesai dengan sendirinya. Yang penting
pertandingan tetap dilanjutkan. Tak masalah Delisa mau
maju sampai ke mana pun. Paling Delisa repot sendiri pas
ada serangan balik. Dan malamnya Delisa nyengir senang
bercerita pada Abi soal pertandingan tadi sore.
(Oo-dwkz-oO)
"Kamu nggak sarapan?" Abi bertanya kepada Delisa
yang sudah siap berangkat sekolah.
"Delisa kenyang, Bi!" Delisa menyambar buku-buku
sekolahnya (buku-buku itu baru tiba di sekolah tenda
darurat mereka. Kak Ubai dan beberapa kakak-kakak
sukarelawan PMI lain yang mengantarnya dua hari lalu).
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Abi Usman meletakkan nasi goreng itu ke atas meja
(satu-satunya benda yang ada di ruang depan). Rumah
sederhana mereka hanya terdiri dari tiga kamar. Ruang
depan, ruang tengah, dan ruang belakang. Isinya cuma
kursi, meja, kasur dan beberapa peralatan rumah sederhana
lainnya.
Bukan itu! Delisa bukan tidak lapar. Tetapi masakannya!
Sudah seminggu terakhir Abi mencoba memasak sendiri.
Tidak tergantung lagi dengan makanan dapur umum "Tidak
selamanya dapur umum ada, Delisa" itu penjelasan Abi saat
dia memutuskan mulai memasak sendiri di rumah. Dan
selama tujuh hari terakhir ini, sayangnya masakan Abi
ternyata jauh dari enak. Hambar! Tak berbentuk!
"Kamu benar-benar kenyang?" Abi menyeringai.
Menyelidik. Delisa buru-buru mengangguk-angguk.
Matanya mengerjap-ngerjap menggemaskan. Delisa bahkan
mengangkat tangannya. Mengacungkan dua jari. Suer.
Memang kenyang.
"Masakan Abi nggak enak ya?" Abi bertanya, tertawa.
Akhirnya menyadari kebohongan Delisa. Ikut menjawiljawil
nasi goreng di atas piring plastik tersebut.
Delisa mendekap mulutnya. Tertawa. Mengangguk.
Mereka berdua tertawa.
"Ya sudah.... Abi juga kenyang, kok!" Abi menumpuk
piringnya. Delisa nyengir. Bangkit berdiri.
"Delisa berangkat, assalammualaikum!" Delisa sudah
loncat. Kebiasaan lamanya. Pamit sambil lari.
"Eh, tunggu sayang!" Abi buru-buru mengikuti.
Delisa berhenti, menoleh.
"Memangnya Abi mau kemana?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Dapur umum, sama seperti Delisa...." Abi menjawab
rileks. Menjajari langkah Delisa. Delisa nyengir. Mereka
berdua tertawa lagi.
(Oo-dwkz-oO)
Bagi Abi Usman, kehilangan ini tidaklah sesederhana
seperti kehilangan Delisa. Delisa cukup menjadi Delisa saja.
Tetapi Abi terpaksa sekaligus menjadi Ummi, kak Fatimah,
kak Zahra, dan kak Aisyah bagi Delisa. Abi harus
mengurusi berbagai pernak-pernik kebutuhan Delisa dan
dirinya sendiri. Dan salah satunya yang meskipun sepele
namun mendesak tentu urusan masak-memasak tadi.
Delisa sebenarnya tumbuh lebih dewasa dua bulan
terakhir. Delisa jauh lebih bertanggung-jawab. Ia membantu
Abi menyapu rumah. Mencuci piring. Bahkan sudah bisa
mencuci pakaian dan belajar menyetrika. Delisa juga tidak
banyak berseru meminta tolong. Dengan sendirinya
pengertian itu datang kepadanya. Delisa selalu mengerjakan
sendiri apa yang bisa ia kerjakan. Termasuk urusan
menyiapkan pakaian mengajinya.
Tetapi tetap saja semua ini tidak sederhana bagi Abi.
Apalagi dengan kejadian yang semuanya serba mendadak.
Membuatnya canggung bersikap. Gagap bertindak. Abi
mesti belajar semuanya dari awal. Belajar dengan hati yang
masih terbelenggu kesedihan. Belajar dengan pemandangan
sisa-sisa masa lalu menyakitkan di sekitar.
Delisa tidak tahu itu. Delisa sama sekali tidak menyadari
beban pikiran Abi. Apalagi soal Abi yang suka shalat
malam-malam mengadu kepadaMu. Delisa hanya
berpikiran sederhana. Kalau bisa dikerjakan sendiri, tidak
perlu merepotkan Abi. Dan Delisa sekarang sudah melesat
ke tenda darurat kelas sekolahnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tenda darurat itu sepagi ini ramai sekali. Lebih ramai
dari biasanya. Ada kakak-kakak yang membawa karduskardus.
Tidak ada bel masuk. Ibu Guru Ani hanya
berteriak. Dan mereka bergegas masuk ke dalam tenda.
Sekarang sudah ada bangku-bangkunya sejak seminggu
lalu. Delisa seperti biasa duduk di depan.
Dan pagi itu juga berubah menyenangkan bagi mereka.
Kakak-kakak itu ternyata membawa kardus-kardus berisi
seragam sekolah, tas, dan peralatan sekolah lainnya.
Mereka tak sabar menunggu di meja, saat kakak-kakak
tersebut mulai mengeluarkan dan membagikan barangbarang
tersebut.
"Nah, sekarang baju dan celananya kalian pakai dulu....
yang kekecilan atau kebesaran bisa tukar!" Ibu Guru Ani
tersenyum di depan tenda.
Tanpa diperintah dua kali, mereka segera rusuh
membuka bungkus plastik tersebut. Menarik keluar seragam
baru. Melapis baju seadanya dengan baju merah-putih.
Hanya Teuku Umam yang tidak antusias. Umam diam saja
di pojokan kelas. Lamban membuka kantong plastiknya.
Ibu Guru Ani bahkan perlu membantunya. Delisa
menyeringai. Ia lupa mulu untuk bertanya ke Umam.
"Umam kenapa masih suka diam saja ya, Bi?" Itu
pertanyaan Delisa dua minggu yang lalu.
"Kenapa nggak Delisa tanya saja? Seperti waktu Delisa
sering bicara dengan Tiur...." Abi menyarankan itu, setelah
mereka berbincang beberapa saat kemudian.
Nanti-nanti ia akan bertanya, Delisa berikrar dalam hati.
Sekarang ia lagi sibuk. Sibuk dengan bungkusan plastik di
hadapannya. Delisa maju ke depan. Ia tidak membawa baju
atau roknya. Seragamnya pas. Delisa membawa tasnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ibu Guru Ani, Delisa bisa tukar dengan warna biru?"
Kakak-kakak yang berdiri di depan menoleh ke arah
Delisa. Sebelum Ibu Guru Ani menjawab, kakak-kakak itu
ringan tangan sudah menukarnya. Delisa tersenyum riang.
//Khamsia//!"
(Oo-dwkz-oO)
Sorenya Delisa berjalan cepat dengan kurk di lengan.
Menuju meunasah darurat. Ia memakai seragam mengaji
TPA-nya. Tas biru baru itu sudah tersampir di punggung.
Delisa riang menuju meunasah. Sepanjang hari ini
semuanya terasa menyenangkan.
Anak-anak sudah ramai saat Delisa tiba di sana. Entah
sedang mengerubungi apa. Berteriak-teriak
riang. Bukankah seharusnya mereka duduk rapi mulai
membaca Iqra?
Saat Delisa melepas sandalnya di depan, meletakkannya
berjejer rapi di halaman meunasah. Tiba di bawah bingkai
daun pintu, Delisa akhirnya tahu apa yang teman-temannya
sedang kembungi. Di sana, di sana ada ustadz Rahman.
Duduk di sebelah kak Ubai.
Delisa seketika buncah oleh rasa gembira. Mukanya
memerah. Matanya mengerjap-ngerjap. Menggemaskan.
Saking saking cepatnya berusaha melangkah mendekati
ustadz Rahman, tubuh Delisa limbung kiri-kanan.
"USTADZ!!" Delisa berseru riang. Keras sekali. Dua
langkah sebelum tiba, sayangnya ia benar-benar jatuh.
Kurknya tersangkut tikar pandan meunasah.
Utsadz Rahman sigap menyambarnya. Menahan tubuh
Delisa agar tidak jatuh benaran. Delisa nyengir. Nafasnya
sedikit tersengal. "Ups, maaf, ustadz!" Delisa menyeringai.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ustadz Rahman tersenyum. Meskipun hatinya terharu
sekali. Lihatlah! Delisa begitu eksplosif menyambutnya.
Delisa begitu tulus memanggil namanya. Ustadz Rahman
menelan ludah. Ya Allah, gadis kecil kesayangannya
ternyata cacat sekarang. Ia memakai kurk. Dan itulah yang
membuatnya terjatuh saat tergesa mendekatinya tadi.
Gadis kecilnya tersenyum riang, sama sekali tidak
memperhatikan wajah ustadz Rahman yang terharu.
Mulutnya membuka menyeringai, memperlihatkan dua
giginya yang tanggal. Ustadz Rahman semakin tersentuh.
Lihatlah! Delisa sama sekali tidak merasa keberatan dengan
semua ini. Ia masih sama seperti dulu. Riang tak berubah.
Ustadz Rahman menghela nafas. Delisa ternyata jauh lebih
memahami semua kejadian ini dibandingkan dirinya.
Murid yang selama ini ia bimbing tentang makna menerima
jauh lebih bisa menerima kenyataan ini dibandingkan
dirinya.
"Ustadz kemana saja sih?" Delisa mulai menyiapkan
rentetan pertanyaan. "Delisa bahkan mulai berpikir yang
tidak-tidak, loh, " Mata hijau Delisa berkerjap-kerjap.
Ustadz Rahman menelan ludah.
"Ustzad kemana saja?" Delisa sekali lagi bertanya sambil
menggenggam koko ustadz Rahman kencang-kencang.
"Meulaboh-" Ustadz Rahman menjelaskan pendek.
"Ah iya, pernikahan itu.... Jadinya kapan, ustadz?"
Delisa menyeringai senang. Ingat dengan uang receh yang
dilempar. Ingat manisan yang akan banyak terhidang. Kuekue.
"Kapan? Kapan, ustadz?" Delisa bertanya semakin riang.
Ustadz Rahman terdiam. Lihatlah, gadis kecilnya begitu
ringan menyikapi semua ini. Sedangkan dia hampir tiga
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bulan lamanya berkutat dengan kenyataan yang
menyakitkan itu. Lelah membujuk hatinya untuk berdamai.
Lelah menghela kesedihan yang tak kunjung henti setiap
kali ia memutuskan untuk kembali ke sini.
Ustadz Rahman menggeleng.
"Nikahnya tidak jadi, Delisa?"
"Kenapa? Kenapa nggak jadi ustadz?"
Ustadz Rahman diam.
"Kenapa ustadz?"
"Kenapa nggak jadi nikahnya?"
"Aduh, Delisa kan ingin lihat ustadz menikah!" Delisa
berkata tanpa jeda dalam satu tarikan nafas. Ustadz
Rahman tersenyum pahit. Menatap datar langit-langit
meunasah. Semua ini amat menyakitkan baginya. Karena
Ibu Guru Eli sudah pergi selamanya, Delisa. Pergi bersama
gelombang tsunami itu. Itu berarti tidak akan pernah ada
pernikahan. Tidak akan ada sama sekali, Delisa!
Delisa terdiam mendengar penjelasan itu. Kak Ubai yang
duduk di samping ustadz Rahman menghela nafas. Anakanak
yang tadi mengerubungi mereka beberapa sudah
mengambil rihal masing-masing. Tidak terlalu
memperhatikan pertanyaan Delisa. Sibuk mengomentari tas
baru masing-masing.
"Ustadz akan ngajar kita lagi, kan?" Delisa menyeberang
ke pertanyaan lainnya. Ia sedih mendengar penjelasan
ustadz Rahman tadi, jadi malas melanjutkan bertanya
tentang Bu Guru Eli. Delisa benar-benar sedih. Meskipun
separuh kesedihan itu timbul karena prospek tidak akan ada
manisan, kue-kue dan uang receh yang dilempar dari
kendurian ustadz. Baru separuhnya lagi karena menatap
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
raut muka ustadz Rahman yang biasanya penuh kebaikan
sekarang terlihat tersenyum getir.
Seperti wajah Abi kalau Delisa suka nanya tentang
Ummi.
Ustadz Rahman menggeleng. Dia tidak akan bisa
kembali ke Lhok Nga. Hatinya selalu kebas setiap berjalan
di sepanjang jalan kota Lhok Nga. Mengingat-ingat
kenangan masa lalu yang indah. Hatinya sakit sekali setiap
berjalan di sepanjang pantai Lhok Nga. Mengingat-ingat
kalau dia seharusnya sekarang justeru berjalan mesraberdua
dengan belahan hatinya.
"Kenapa ustadz tidak ngajar kita lagi?"
Ah, Delisa tidak akan paham arti kehilangan "cinta".
"Kenapa, ustadz? Delisa kan mau bertanya banyak hal....
Delisa mau bertanya tentang hafalan bacaan shalat....
tentang cokelat itu-" Delisa mengernyit. Ia benar-benar
hendak bertanya soal itu. "
Selama ini ia tidak pernah bertanya dengan Abi, kak
Ubai atau Ibu Guru Ani. Ia tidak pernah merasa nyaman
membicarakannya. Saat melihat ustadz Rahman tadi,
Delisa segera merasa akan mendapatkan tempat bertanya
yang baik. Tetapi sekarang ustadz Rahman justeru kembali
sekaligus hendak berpamitan pergi dengan mereka.
"Ustadz akan kembali ke Banda Aceh, Delisa!" ustadz
Rahman memegang lembut bahu Delisa.
"Aduh, bagaimana jadinya...." Delisa sok-dewasa berseru
cemas. Cemas dengan masalahnya.
Kak Ubai dan ustadz Rahman tertawa melihat raut muka
Delisa yang bingung-berkeberatan dengan kalimat ustadz
barusan. Masalahnya mereka berdua memang tidak tahu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
masalah itu bagi Delisa tiga bulan terakhir terasa serius
sekali.
Delisa bingung hendak bertanya kepada siapa? Dan
pembicaraan itu selesai tanpa kesimpulan bagi Delisa.
Ustadz Rahman akan kembali ke Banda Aceh. Keputusan
itu sudah bulat. Ustadz akan menjadi dosen diperbantukan
di sekolahnya dulu. Delisa hanya manyun masygul
mendengar penjelasan ustadz. Mendingan ngajar Delisa ini,
kan? Daripada ngajar kakak-kakak mahasiswa.
Saat ustadz Rahman keluar dari meunasah, Delisa baru
sadar ternyata ustadz juga cacat seperti ia. Ustadz Rahman
pincang. Berjalan dengan kurk. Delisa tidak ingat kalau ia
juga berjalan dengan kurk. Delisa justeru ingat Ibu Guru
Eli.
"Bukankah Ibu Guru Eli calon istrinya ustadz Rahman
itu pincang, Mi?" Itu kata kak Fatimah dulu. Dan Ummi
menasehati kak Fatimah sepanjang sore.
Delisa menelan ludah. Entahlah apa semua maksudnya
ini.
(Oo-dwkz-oO)
Sepanjang pulang dari pengajian TPA Delisa berpikir
banyak hal. Tentang pertanyaannya tadi dengan ustadz
Rahman. Delisa akan bertanya ke siapa soal hafalan shalat
dan cokelat itu?
Urusan menghafal bacaan shalat itu pelik bagi Delisa.
Susah. Susaaaaaah sekali. Guratan huruf Arab itu
menolaknya mentah-mentah. Delisa sudah sebulan terakhir
selepas isya selalu menenteng buku hafalan bacaan
shalatnya. Membacanya berulang-ulang. Malam ini jika ia
berhasil hafal doa //iftitah//. Besoknya ia seketika lupa
begitu saja. Seperti rekaman kaset yang dihapus. Delisa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
benar-benar bingung. Belum lagi penyakit bolak-baliknya
yang kembali semakin parah.
Memang tidak ada deadline ujian untuk menyetor
hafalan bacaan shalatnya seperti dengan Ibu Guru Nur
dulu. Tetapi Abi sering menanyakan tentang itu. Dan
Delisa hanya menjawab "sedikit lagi". Padahal Abi juga
sudah membuatkan jembatan keledai seperti yang dulu
dibuatkan Abi.
Delisa sebenarnya sekarang tak pernah absen ikut shalat
maghrib, isya, dan shubuh bersama Abi. Bangun pagi
bukan masalah besar baginya. Tetapi shalat Delisa tidak
pernah sempurna. Tidak pernah lengkap. Bacaannya
kebolak-balik, bahkan lupa sama sekali. Abi tidak seperti
Ummi atau kak Aisyah, Abi tidak membaca bacaan
shalatnya keras-keras. Kecuali pas al-Fatihah dan surat
pendek. Jadi selama shalat, Delisa hanya melakukan
gerakannya saja.
Ustadz Rahman dulu mungkin benar, kita bisa shalat
tanpa membaca bacaannya. Tetapi nggak mungkin kan
sepanjang tahun Delisa hanya bisa gerakan shalat saja.
Shalatnya tidak akan pernah sempurna. Tidak sama dengan
shalat rasul dana sahabat-sahabatnya. Tidak akan khusuk
seperti yang dulu sering diceritakan ustadz.
Urusan ini benar-benar membuat Delisa bingung.
Urusan cokelat sebenarnya tidak terlalu membebani
Delisa lagi. Ia sudah mengaku kepada kak Aisyah, kak
Zahra, dan kak Fatimah. Ia memberikan pengakuan itu
ketika sendirian datang ke pemakaman massal. Menggurat
nama-nama kakaknya. Meletakkan tiga tangkai bunga
mawar biru. Lantas terbata mengaku soal cokelat tersebut.
Itu kebiasaan Delisa belakangan ini. Setiap minggu pagi
pergi ke pemakaman massal.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi Delisa kan belum mengaku kepada Ummi.
Bagaimanalah urusannya? Sedangkan Ummi hingga hari ini
tidak tahu entah berada di mana? Ia harus mengaku ke
mana?
Delisa menghela nafas. Melepas kerudung birunya.
Kerudung yang ini sama saja dengan miliknya dulu.
Membuat rambutnya panas dan gatal. Tiba di rumah, Abi
belum kembali dari gardu listrik (Abi entah memperbaiki
gardu yang mana hari ini). Delisa mencari kunci rumah di
bawah keset.
Masuk ke dalam. Meletakkan tas dan kerudung. Lapar.
Perutnya lapar! Delisa memutuskan masak sebungkus mie.
Menyeringai menghidupkan kompor minyak. Ia jauh dari
pandai kalau hanya urusan memasak mie instan. Bahkan
lebih pandai dibandingkan Abi, hihi!
(Oo-dwkz-oO)
14. Delisa cin ta Ab i karena Allah
Sore ini pantai Lhok Nga ramai. Tentara Amerika juga
banyak datang menghabiskan sore. Bercampur dengan
penduduk setempat dan sukarelawan lainnya. Sebagian
besar dari mereka hanya duduk-duduk memandang
indahnya senja. Menikmati angin laut yang mengusap
muka lembut. Sebagian lain menikmati berkejaran dengan
ombak yang menggulung tubir pantai. Busanya beriak
menjilat-jilat kaki. Tertawa bahak ketika salah seorang dari
mereka terjatuh. Membuat kuyup sekujur badan dibasuh
gulungan air. Beberapa lagi bermain lempar-lemparan buah
kelapa tua yang jatuh.
Delisa seperti biasa bergabung dengan teman-temannya.
Bermain bola. Tidak ada yang berbeda dengan sore-sore
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sebelumnya. Kecuali mereka sore itu lagi-lagi kekurangan
satu orang. Delisa //celingukan// mencari teman yang bisa
diajak bergabung. Ada Umam di pinggir lapangan. Duduk
di atas pelepah tua pohon kelapa yang jatuh. Mengguratgurat
pasir di hadapannya.
Delisa melangkah mendekati Umam dengan
/Aurk//.
"Main, yuk!" Delisa mengajak.
Umam mengangkat kepalanya. Menatap Delisa sejenak.
Menggeleng.
"Kita kurang satu-" Delisa menunjuk ke tengah
lapangan. Delapan temannya menatap dari sana, berharap
ia berhasil membujuk Umam.
Umam hanya diam.
"Kan nggak seru kalau nggak lengkap!"
Umam tetap diam. Berpikir, bukankah dulu Delisa yang
paling sering membuat tim mereka tidak lengkap. Kabur
begitu saja pas pertandingan lagi seru-serunya.
"Tim kita kalah mulu sekarang-"
Umam tetap diam.
"Meskipun kalau Umam ikut main belum tentu juga tim
kita jadi menang-" Delisa menyeringai, tertawa kecil.
Umam menyeringai. Percuma dia tetap tak bergeming
dengan becandaan Delisa. Delisa menarik nafas mengkal
kembali ke lapangan, bersiap untuk bermain tak imbang
empat-lawan-lima. Bola plastik diletakkan di tengah-tengah.
Prajurit Salam dan teman-temannya entah dari mana
melangkah mendekati tepi lapangan saat mereka bersiap
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
melakukan kick-off (ini istilah Delisa; ia dapat setelah
menonton siaran langsung sepak bola di teve).
Salam menawarkan diri bergabung dengan tim Delisa
biar lengkap. Ribut sejenak. Tim lawan Delisa protes, sama
sekali nggak adil; jelas-jelas Prajurit
Salam lebih besar dibandingkan mereka. Tetapi lima
menit kemudian pertandingan tetap dilangsungkan.
Sepuluh lawan sepuluh. Marinir itu bergabung semua. Dan
ramai sekali lapangan kecil tersebut.
Lebih ramai lagi saat Delisa semakin ngaco jadi
kipernya.
Tentara Amerika itu tidak terlalu serius bermain. Kan
nggak mungkin seserius itu menghadapi anak-anak umur 6-
7 tahunan. Tetapi pertandingan itu menyenangkan. Prajurit
Salam berkali-kali pura-pura kena tekel. Jatuh berdebam di
atas pasir. Berser-seru minta pinalti. Juga pura-pura
menendang bola ke arah yang salah padahal tinggal
selangkah di depan gawang lawan ini. Hingga iseng sekali
memindahkan tiang bambu gawang Delisa entah kemana.
Anak-anak hanya tertawa memegang perut melihat Delisa
bingung mencari gawangnya pas balik mundur dari maju
ikut menyerang.
Rusuh sekali.
Sore semakin matang. Derai tawa anak-anak bermain
bola ditingkahi oleh penonton yang ramai duduk di pinggir
lapangan terdengar dari kejauhan. Jingga menyemburat di
pantai Lhok Nga. Ombak semakin sering memecah bibir
pantai. Burung camar melenguh menambah indah suasana.
Tiga bulan setelah bencana tsunami itu. Tiga bulan
setelah banyak kehilangan akibat air bah itu. Lhok Nga
menjelma menjadi kota antar-bangsa. Kembali merajut
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
masa depannya. Tumbuh dengan bangunan-bangunan baru.
Warna-warna baru. Hingga petak-petak tanah baru.Tetapi
Lhok Nga tidak akan pernah kehilangan semangat
bersahabat, kekeluargaan dan kesederhanaannya. Lhok Nga
tidak akan pernah kehilangan spirit religiusnya. Lhok Nga
masih yang dulu!
(Oo-dwkz-oO)
"Bi, tadi Delisa bikin satu gol-" Delisa menyeringai
senang. Duduk di meja makan.
Abi meletakkan masakannya di atas meja. "Bukannya
kamu kiper?"
"Memangnya kiper nggak bisa bikin gol," Delisa nyengir.
Kan Abi dulu yang memberikan saran?
Abi tertawa. "Tapi kamu kebobolan berapa?"
Delisa ikut tertawa. Tidak menjawab. Malu! Tadi tuh
benar-benar rusuh mainnya. Golnya banyak sekali. Lagian
Prajurit Salam bukannya bantuin ia jadi back bertahan,
malah menyembunyikan gawang mereka.
Makan malam yang menyenangkan. Kecuali
masakannya. Abi belum ada kemajuan sama sekali.
Hambar. Tidak berasa. Abi niatnya masak sayur //capcai//
dengan lauk ikan. Tetapi rasanya seperti ketukartukar.
Bentuknya juga. Delisa menyeringai. Setelah
beberapa sendok, mereka berdua saling bertatapan.
Abi menghela nafas. Meletakkan piring nasinya.
Tersenyum.
"Kamu mau martabak?"
Delisa nyengir, langsung mengangguk-angguk senang.
Mereka segera meninggalkan meja makan. Makan di
luar. Bukan di dapur umum. Koh Acan sudah membuka
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
toko daruratnya tidak di pasar; tetapi dekat barak
penampungan. Koh Acan tidak berjualan perhiasan
sekarang. Dia berjualan makanan. Martabak Aceh! Ke
situlah Abi dan Delisa menebus masakan hambar tadi.
(Oo-dwkz-oO)
Lama Abi dan Delisa menghabiskan malam di lapak
Koh Acan. Makan martabaknya sih sebentar, paling
setengah jam. Yang lama berbincangnya. Ada Sersan
Ahmed yang mengirimkan hadiah buku untuk Delisa dari
kak Sophi. Dan Abi entah membicarakan apa dengan
Sersan Ahmed. Tertawa-tawa, bilang tentang "tiga bulan",
"tentara asing harus pulang", "ada-ada saja" dan sejenisnya.
Meski tidak mengerti, Delisa asyik menyimak.
Tiba di rumah Delisa langsung tidur di kamar tengah.
Sudah ada ranjang kecil di dalamnya. Abi seperti biasa tidur
di atas kursi ruang depan. "Abi bisa tidur di mana saja,
Delisa. Namanya juga darurat, kan?" itu penjelasan Abi
dulu, saat Delisa berkeberatan tidur di ranjang, tetapi Abi
tidur di kursi atau di atas tikar pandan.
Malam sudah sempurna. Gelap, bulan menyabit hilang
ditelan awan gelap. Hening, hanya debur ombak terdengar
berirama di tubir pantai. Lhok Nga terlelap.
Dan dari sebagian hambaMu, ada yang tetap terjaga.
Mengingat Mu.... Bersimpuh mengadu kepa-daMu, wahai
yang menerima semua pengaduan. Menangis kepadaMu,
wahai yang paling berhak menerima tumpahnya air mata.
Meminta petunjuk kepadaMu, wahai yang memiliki semua
pertanda. Meminta penjelasan kepadaMu, wahai yang
memiliki rahasia langit, bumi, dan di antara kedua-duanya.
Abi! Abi masih terjaga.
Abi sedang tertelungkup di ruang tengah. Abi tidak bisa
tidur selepas dari lapak Koh Acan. Itulah yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dilakukannya saat matanya tak mau terpejam lagi di malam
hari. Shalat Tahajud. Ketika semua kenangan itu kembali.
Ketika semuanya balik menerabas deras hati yang
sebenarnya mulai tertata.
Muka Abi basah oleh wudhu dan air mata. Sajadahnya
basah. Basah oleh sebuah pengaduan. Ya Allah, berat sekali
semua urusan ini. Dia kehilangan istri yang salehah dan
anak-anak tercinta. Dia kehilangan lebih dari separuh
kehidupannya. Kehidupan yang dia pupuk begitu lama.
Kehidupan yang menjanjikan banyak kebahagiaan. Tetapi
musnah sekejap begitu saja.
Dan lihatlah, dia harus membesarkan Delisa sendirian
sekarang. Gadis kecil yang cerdas, banyak bertanya, amat
menggemaskan, namun harus tumbuh menatap masa depan
dengan melewati semua hal menyakitkan ini. Gadis kecil
yang jauh dari pantas menjalani kehidupan seperti ini.
Ya Allah, amanah itu berat sekali. Dia harus menjadi
Abi, Ummi, kakak, sekaligus teman untuk
Delisa. Jangankan untuk urusan yang lebih rumit, soal
memasakan makanan yang halal dan //thayib//-pun dia
tidak bisa. Masakan yang //thayib// ya Allah! Dan dia tak
kunjung bisa berdamai dengan semua perasaan kehilangan
ini. Tak kunjung bisa melupakan semuanya. Lemah.
Hatinya lemah sekali. Sering tertelungkup mengadu
kepadaMu. Mengadu semua penderitaan yang tak kunjung
berubah menjadi angin sejuk.
Lihatlah! setiap hari, hanya bertemu dengan wajahwajah
sisa kesedihan bencana itu. Setiap hari, hanya
menambah daftar kehilangan. Semua ini terasa berat. Berat
sekali! Abi menyeka air matanya. Berusaha menahan isak
tangis. Ia tidak ingin mengganggu Delisa yang sekarang
lelap tertidur.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Hening lagi. Keheningan ini mengembalikan semua
kenangan itu. Teringat, bukankah dulu saat-saat seperti ini
dia sering tahajud bersama Ummi. Berdoa berdua bersama
Ummi. Dia dulu punya teman seiring-seperjalanan
membesarkan anak-anak. Mempunyai teman untuk berbagi
keluh kesah. Sungguh, dialah yang lebih banyak bersandar
di bahu istrinya, dibandingkan sebaliknya. Abi rindu
Ummi. Abi rindu mendengar suara menenangkan Ummi
kalau dia sedang menghadapi masalah. Rindu menatap
wajah bening Ummi. Abi benar-benar rindu. Tangisan itu
tak kuasa ditahan, mulai mengeras.
Semuanya kenangan indah bersama Ummi kembali
bagai desing peluru. Hari-hari pertama pertemuan mereka
dulu. Janji-janji pernikahan.
Rencana-rencana merajut masa depan. Bahkan Abi
teringat kalimat-demi-kalimat nasehat pengantin barunya
dulu. Ingat wajah Ummi yang tersenyum bahagia saat ia
membaca akad. Wajah teduh istrinya pelan menggurat di
atas sajadahnya. Tersenyum. Abi tergugu.
Bukankah hari-hari seperti ini, saat Abi pulang selama
dua minggu dulu Abi sering shalat bersama Fatimah,
Zahra, dan Aisyah. Berkali-kali melotot ke arah Aisyah
yang jahil mengganggu Delisa. Abi rindu Aisyah, senakal
apapun ia. Dan Aisyah semenjak kecil memang sudah
senakal itu. Abi ingat, Aisyah paling suka menaiki
punggungnya. Pernah Aisyah naik ke punggung Abi, pas
dia sedang sujud. Maka lama sekali Abi tidak bangkitbangkit,
menunggu Aisyah yang baru berumur tiga tahun
turun dari punggungnya.
Abi rindu berbincang dengan Fatimah soal buku-buku
itu. Fatimah yang akan menjadi pujangga besar! Itulah yang
berkali-kali Abi katakan kalau tak mampu lagi menjawab
pertanyaan sulungnya. Mengusap kerudung sulungnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Abi rindu Zahra yang pendiam. Yang mukanya teduh.
Yang selalu memiliki rencana. Pasti Zahra menyiapkan
sesuatu di pagi Delisa menyetor bacaan hafalan shalat itu.
Pasti Zahra menyiapkan sesuatu, meski Abi tak tahu. Abi
benar-benar rindu anak-anaknya. Wajah ketiga gadisnya
ikut menggurat di atas sajadah, tersenyum bersama Ummi
memandang Abi. Abi membalas tersenyum. Senyum getir
memilukan.
Sekarang dia hanya bersama Delisa menyambung semua
kisah. Bungsunya yang bagai mutiara. Berat sekali dia harus
membesarkannya sendirian. Abi mengusap air mata.
Delisanya yang tidak pernah mengeluh tentang kakinya.
Tidak pernah bertanya lagi tentang di mana Ummi. Delisa
yang terus menjalani kehidupan tanpa bertanya mengapa
semua itu harus terjadi. Menghiburnya dengan banyak
celetukan. Menghela sedihnya dengan muka riang
menggemaskan. Sungguh, dialah yang banyak terbantu oleh
Delisa. Bukan sebaliknya.
Abi menangis semakin dalam. Tetapi suara tangisan Abi
tidak sendirian sekarang.
Berdua!
Delisa sudah terbangun. Dia mendengar ada yang
menangis di ruang depan. Menyingkap kain selimutnya,
lantas dengan mata setengah tertutup, pipi mengukir
kepulauan, mulut menguap, melangkah malas-terhuyung
menuju ruang depan.
Delisa melihat Abinya yang sedang menangis. Abinya
yang tertunduk di atas sajadah. Delisa tidak mengerti apa
yang terjadi pada Abi. Delisa tidak tahu. Yang ia tahu
hatinya meleleh seketika. Hatinya sempurna mengukir
berjuta perasaan yang tak ia pahami. Menyemburat
menembus kerongkongannya. Menerabas matanya. Delisa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ikut menangis. Delisa seolah-olah bisa merasakan apa yang
sedang Abi pikirkan. Delisa merasakan.
Delisa bergetar melangkah. Lantas memeluk leher Abi
dari belakang. Mata hijaunya yang teduh dibuliri air bening.
Mata hijaunya berkerjap-kerjap menatap basah.
Abi menoleh. Sedikit terkejut. Buru-buru mengusap air
matanya. Dia tidak ingin terlihat menangis di depan
bungsunya. Menatap raut muka Delisa. Tersenyum.
"Maafkan Abi. Kamu jadi terbangun-" Abi mengangkatangkat
pundaknya. Membuat tubuh Delisa yang memeluk
dari belakang seperti diayun-ayunkan.
"Abi sedang a-p-a?" Delisa bertanya sambil ikutan
mengusap matanya. Bertanya lemah.
Abi hanya diam.
"Abi ingat U-m-m-i, ya?"
Abi tersenyum. Diam.
"Abi ingat kak Fatimah, ya?"
Abi memainkan pundaknya, tubuh Delisa terayun pelan.
"Abi ingat kak Zahra, kak Aisyah, ya?"
Abi masih memainkan pundaknya.
"A-b-i," Delisa berkata lemah. Tersendat. Ia ingin
menangis lagi. Abi menoleh, menghentikan ayunannya.
Menatap wajah bungsunya yang begitu dekat dari
mukanya.
"Abi.... A-b-i.... D-e-l-i-s-a c-i-n-t-a Abi karena Allah!"
Kalimat itu meluncur saja dari mulut Delisa. Meluncur dari
hati Delisa tanpa tertahankan. Tercipta tanpa pengharapan
imbalan sebatang cokelat. Mengalir dari kemilau hati yang
tiada tara. Kalimat itu sebenarnya lemah, disertai sedu-
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sedan pula, tetapi cukup sudah untuk menghancurkan
tembok hati membeku terbesar yang pernah ada.
Abi tergagap. Ya Allah, gadis kecilnya mengatakan itu.
Abi seketika tergugu diam. Bungsunya baru saja
mengatakan kalimat indah itu. Kalimat yang diceritakan
Ummi dulu. Kalimat yang melelehkan semuanya. Gemetar
Abi meraih tubuh Delisa. Menatap mata hijau teduh itu.
Menatap Delisa yang memamerkan giginya yang tanggal
dua. Abi gentar sekali.
"Abi juga cinta Delisa.... A-b-i juga cinta Delisa karena
Allah!" Bergetar bibir Abi menguntai suara.
Hanya itu yang bisa dia katakan. Hati Abi terlanjur
meleleh oleh perasaan haru. Abi memeluk Delisa erat.
Matanya basah lagi. Menangis. Semua perasaan ini. Semua
kenyataan ini. Semua kejadian-kejadian ini. Lihatlah,
bungsunya benar-benar mengajarkan hakikat cinta yang
sebenarnya. Mengajarkan hakikat perasaan yang seutuhnya.
Ketika semuanya tumbuh hanya karenaMu, ketika
semuanya terjadi hanya karenaMu. Lama Abi dan Delisa
menangis-berpelukan. **
** Engkaulah alasan semua kehidupan ini. Engkaulah
penjelasan atas semua kehidupan ini. Perasaan itu datang
dariMu. Semua perasaan itu juga akan kembali kepadaMu.
Kami hanya menerima titipan. Dan semua itu ada sungguh
karenaMu....
Katakanlah wahai semua pecinta di dunia. Katakan/ah
ikrar cinta itu hanya karenaNya. Katakanlah semua
kerinduan itu hanya karena Allah. Katakanlah semua getarrasa
itu hanya karena Allah. Dan semoga Allah yang maha
men-cinta, yang menciptakan dunia dengan kasih-sayang
mengajarkan kita tentang cinta sejati.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Semoga Allah memberikan kesempatan kepada kita
untuk merasakan hakikatnya.
Semoga Allah sungguh memberikan kesempatan kepada
kita untuk memandang wajahNya. Wajah yang akan
membuat semua cinta dunia layu bagai kecambah yang
tidak pernah tumbuh. Layu bagai api yang
(Oo-dwkz-oO)
15. Negeri-neger i jauh !
Tahajud Abi malam itu membuat Delisa mengerti satu
hal. Delisa memutuskan untuk memakan habis apa saja
yang Abi masak. Meski dengan muka menyeringai. Meski
dengan mata mengerjap-ngerjap. Meski dengan hidung
meringis. Lagipula, belakangan masakan Abi mulai ada
rasanya. Terlalu pedas. Terlalu asin. Dan terlalu lainnya.
Abi hanya tertawa kecil ketika Delisa mulai "memuji-muji"
masakannya.
Hari berjalan tanpa terasa. Masalahnya ketika semuanya
terasa mulai nyaman dan menyenangkan, perubahanperubahan
selalu saja terjadi. Mau atau tidak, perubahan
selalu sebuah keniscayaan.
Beberapa hari kemudian saat Delisa sedang asyik
berkejaran di depan sekolah tenda daruratnya. Ibu Guru
Ani sambil memegang amplop cokelat besar memanggilnya
kencang-kencang. Ada Abi di sana. Juga ada suster Sophi,
Sersan Ahmed dan Prajurit Salam di depan tenda. Mereka
bertiga tersenyum menyambut Delisa. Abi berjalan di
belakang.
Delisa tidak mengenakan kerudungnya. Panas.
Rambutnya yang baru tumbuh dua senti jingkrak ke atas.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Delisa lebih mirip anak laki dengan gaya rambut seperti itu,
meski tetap terlihat menggemaskan dengan mata hijaunya.
"KAK COFI!" Delisa tersenyum senang, berlari
menghambur ke arah Sophi.
"Da-lie-sa!"
Sophi jongkok memeluk Delisa. Sersan Ahmed
mengusap rambut Delisa sambil tertawa datar. Sementara
Prajurit Salam hanya tersenyum mengangguk. Muka itu
selalu bercahaya baginya. Termasuk saat sedang main bola
sekalipun.
"Mereka akan pergi, sayang-" Abi tiba-tiba memecah
kesenangan pelukan Delisa dan Sophi, menjelaskan.
Sekarang atau nanti Abi mesti menjelaskan urusan ini ke
Delisa. Jadi lebih baik sekarang saja. Tidak perlu ditundatunda.
Delisa menatap kak Sophi mengernyit tak mengerti.
Yang ditatap mengangguk. Membenarkan perkataan Abi.
"Sudah tiga bulan, sayang. Seluruh tentara asing harus
kembali-" Sophi tersenyum. Abi membantu menjelaskan
lagi.
"Pergi k-e-m-a-n-a?" Delisa bertanya bingung.
"Pulang ke negara mereka. Amerika. Jauuuh. Seperti
yang Abi pernah tunjukkan lewat peta-peta!" Abi
tersenyum.
Mereka akan pulang?
Kak Cofi akan pergi. Juga Sersan Ahmed dan Prajurit
Salam. Ia tidak terlalu akrab dengan Sersan
Ahmed, ia hanya tahu bapak-bapak ini sering
menjenguknya di rumah sakit dulu. Juga sering
memberinya hadiah, termasuk kaca mata hitam itu. Juga
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sering menemani Abi entah bicara apa. Delisa suka
mengamati mereka bicara. Tetapi tidak suka dengan cara
Sersan Ahmed membentak-bentak anak buahnya. Galak.
Kalau Prajurit Salam ia akrab, bapak-bapak yang ini
sering menemaninya bermain bola. Meski tak banyak bicara
dengannya. Hanya menegur. Tetapi apapun bentuk
hubungan mereka, kalau mereka akan pergi itu
menyedihkan. Delisa menghela nafas panjang menatap
ketiganya bergantian.
Delisa mengerjap-ngerjapkan matanya. Kata-kata pergi
selalu membuatnya tidak nyaman. Pergi dan sendirian amat
dekat maknanya. Delisa merasa perutnya mulas seketika.
"Tetapi kenapa kak Sophi harus pergi? Memangnya ada
yang melarang kak Sophi di sini-" Delisa menyeringai siap
berdebat dengan siapa saja.
Abi menghela nafas, "Tidak ada yang melarang, Delisa.
Tetapi rumah kak Sophi bukan di sini. Kak Sophi harus
melanjutkan tugasnya. Seperti Abi yang sering berpergian
tiga bulan. Nanti-nanti kak Sophi kan bisa ke sini lagi."
Berbohong. Tetapi itu bohong putih. Dusta yang diijinkan.
Delisa menyeringai ke arah kak Sophi. Mengklarifikasi.
Kak Sophi tersenyum mengangguk.
"Kak Sophi berjanji akan selalu mengirim surat, sayang-"
Sophi memegang bahu Delisa, berkata lemah
"Mengabarkan banyak hal.... Ah, lihatlah,
bahkan bekas luka di wajahmu sama sekali tidak bersisa-
"
Sophi mengalihkan pembicaraan. Sibuk memeriksa bekas
jahitan di muka dan dekat leher Delisa. Delisa juga sedang
sibuk berpikir. Memikirkan kata-kata Abi dan kak Sophi
barusan. Memikirkan kenapa dunia ini harus besar
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bentuknya. Orang-orang harus terpisah oleh jarak.
Bukankah asyik sekali kalau dunia ini hanya sebesar kota
Lhok Nga? Bisa saling kunjung-mengunjung setiap hari?
"Kamu ambil ini sayang-" Sophi mengulurkan
genggaman tangan kanannya. Membuka pelan-pelan
genggaman tersebut. Sebuah benda melingkar indah
ditimpa cahaya matahari pagi ada di telapak kak Sophi.
Kalung milik kak Sophi. S untuk Cofi.
Delisa seketika menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak.
Ia tidak menginginkan kalung tersebut. Bukan karena ia
tidak menyukainya, ia amat suka, kalung kak Cofi indah
sekali. Delisa sedang sedih memikirkan kata pergi.
Memikirkan kemungkinan ia tidak akan bertemu lagi
dengan kak Cofi, meski kak Sophi sudah berjanji. Semua ini
membuat Delisa kehilangan selera dengan kalung tersebut.
Lagipula Delisa belakangan selalu merasa tidak nyaman
jika berbincang, melihat, apalagi memegang benda yang
bernama kalung. Delisa masih sempurna lupa tentang
kalung hadiah hafalan bacaan shalatnya. Tetapi Delisa
merasa ada yang aneh setiap kali ia melihat kalung. Setiap
kali ada yang menyebut-nyebut tentang kalung. Aneh saja
rasanya. Ada yang terputus dalam ingatannya! Dan itu
ganjil sekali.
"Ambillah, sayang...." Sophi membujuk.
"Nggak! Delisa nggak mau," Delisa menggigit bibirnya.
Menatap Abi meminta untuk menjelaskannya pada kak
Cofi.
Sophi menyentuh tangan Delisa. Memaksa memasukkan
kalung tersebut dalam genggaman Delisa. Delisa
menggeleng-gelengkan kepalanya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bukankah kok Cofi dulu bilang, kalung ini hadiah
spesial dari seseorang.... Delisa tidak mau kalung kak Cofi.
S untuk kak Cofi! Bukan untuk Delisa-" Delisa menggerakgerakkan
kepalanya. Berusaha mengepalkan tangannya
kencang-kencang. Menolak. Sersan Ahmed tertawa melihat
tingkahnya.
Abi menjelaskan kalimat Delisa barusan kepada Sophi.
Sophi terdiam. Ah, kalau begitu ia tidak akan berhasil
membujuk Delisa menerima kalung tersebut. Ya, Delisa
benar, kalung ini hadiah spesial dari seseorang. Tetapi ia
ingin sekali Delisa yang mengenakannya. Seseorang itu
tidak akan kembali. Seseorang itu tidak akan keberatan jika
Delisa yang memakainya sekarang. Sophi tersenyum tipis,
memasukkan kalung tersebut ke saku bajunya. Menyeka
keringat di dahi.
Mengeluarkan sesuatu yang lain dari sakunya.
"Kalau yang ini, Delisa pasti tak keberatan kan?"
Sekarang Delisa berseru senang. Sebatang cokelat yang
besar untuknya. Ia tidak perlu ditawari dua kali. Segera
menyambarnya, seolah-olah ada tangan panjang kak
Aisyah yang kapan saja siap merebutnya dari belakang.
Sersan Ahmed tertawa lebih lebar.
"Baiklah, Pak Usman, kami harus segera kembali ke
Kapal Induk-" Sersan Ahmed menjabat tangan Abi erat.
Bahkan berpelukan sejenak.
Prajurit Salam juga memeluk Abi erat.
"Sekali lagi terima kasih, Salam!" Abi berbisik. Abi tahu
dari cerita Sersan Ahmed kalau Salam-lah yang
menemukan Delisa tersangkut di semak itu. Tetapi yang
Abi tidak ketahui, cerita setelah itu. Cerita Prajurit Salam
yang mualaf.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Akulah yang harus banyak berterima kasih, Abi!"
Prajurit Salam menelan ludahnya. Dia mulai terharu.
Bagaimanapun tempat ini akan menjadi penting dalam
catatan kehidupannya. Orang-orang yang ada di
hadapannya akan menjadi penting dalam prosesnya
memahami kehidupan dan takdir. Dia tidak akan pernah
bisa melupakannya.
"Tentu saja akulah yang harus berterima kasih, Salam.
Kau membantu Delisa banyak!"
"Tidak! Sungguh Delisa-lah yang membantuku banyak!"
Prajurit Salam menyeka hidungnya yang basah. Abi
membalas pelukan Salam lebih erat, meski tak mengerti apa
maksud kalimat Salam barusan.
Sophi menjabat tangan Abi. Abi mengucapkan terima
kasih. Mendoakan agar ia mendapatkan jodoh yang baik.
Sophi hanya menyeringai tersenyum. Seseorang?
Sersan Ahmed mengusap kepala Delisa untuk terakhir
kalinya. Prajurit Salam duduk dengan lututnya, memeluk
gadis kecil itu erat-erat. Saat memeluk Delisa, Salam
teringat anak semata wayangnya yang meninggal.
Meninggal dalam pelukannya. Matanya tak mampu lagi
menahan tangis. Dia mengusap matanya.
"Kenapa Om Salam menangis?" Delisa nyengir.
Salam tertawa lemah. Menyeka hidungnya sekali lagi.
"Idih, Om jorok deh!" Delisa menyeringai.
Salam tertawa kecil menerima protes Delisa.
"Om sedih karena kalau besok-lusa Delisa main bola
lagi, pasti Delisa kalah.... Kan Om nggak bisa bantu main
lagi-" Prajurit Salam pura-pura memukul lengan Delisa. Abi
menterjemahkan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kata siapa. Delisa pasti tetap menang!" Delisa buruburu
memotong suara Abi, menyeringai lebar.
Mereka tertawa lagi.
Sophi memeluk Delisa untuk terakhir kalinya. Lantas
beranjak pergi. Melambai. Siluet tubuh mereka hilang di
balik tenda-tenda barak penampungan.
Pagi itu, cepat sekali tenda-tenda marinir di sepanjang
pantai Lhok Nga dibongkar. Mobilisasi mereka taktis dan
efisien. Siangnya beberapa helikopter datang menjemput.
Dan sekejap, posko itu tidak bersisa apapun. Delisa tidak
mengerti soal kebijakan pemerintah yang membatasi tentara
asing di Aceh selama tiga bulan. Kalau ia paham, tentu
Delisa akan protes, karena semua itu menjauhkannya dari
orang-orang yang menyayanginya. Semua itu membuat ia
kehilangan lagi orang-orang yang memperhatikannya
selama ini. Tetapi pertemuan bukankah selalu memiliki
perpisahan.
Delisa teringat kak Cofi yang selalu menanyakan kabar
lewat Sersan Ahmed, rajin mengirimkan hadiah dari kapal
perang itu untuknya. Prajurit Salam yang rajin menemani
atau sekadar menontonnya bermain bola sore-sore. Sersan
Ahmed yang selalu mengusap kerudungnya. Ah mereka
kembali ke negaranya yang jauuuh. Entah kapan akan
sempat bersua lagi.
Ibu Guru Ani membunyikan lonceng masuk kelas.
Memecah lamunan Delisa. Istirahat pagi selesai. Abi juga
dari tadi sudah beranjak pergi melanjutkan pekerjaannya di
gardu listrik dekat sekolah darurat Delisa.
Delisa menarik nafas panjang. Setidaknya ia punya
cokelat besar yang membuat ia menelan ludah menatapnya.
Delisa lari buru-buru masuk tenda kelas. Hari itu, Sabtu, 26
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Maret 2005. Semua tentara kembali ke negeri-negeri jauh.
Tetapi hari itu tetap menyenangkan buat Delisa.
(Oo-dwkz-oO)
Di dalam kelas, Ibu Guru Ani tidak buru-buru
melanjutkan pelajaran mereka tadi pagi. Pelajaran
berhitung. Ibu Guru Ani malah berdiri di depan kelas
memperlihatkan amplop cokelat besar yang dilihat Delisa
waktu berpisah dengan kak Sophi, Sersan
Ahmed dan Prajurit Salam barusan.
"Anak-anak coba lihat ke dapan. Ibu Guru baru saja
mendapatkan surat buat kalian-"
Delisa segera berpikir, amplop itu pasti sebelumnya di
bawa oleh Sersan Ahmed. Sersan Ahmed kan sering sekali
membawa titipan dari manalah. Teman-teman Delisa mulai
ribut bertanya dari siapa. Ibu Guru Ani tersenyum.
Memperlihatkan sampul depannya.
"Dari anak-anak kelas 1 Elementary School Rose The
Elizabeth, London. Inggris" Ibu Guru Ani menterjemahkannya
keras-keras. Teman-teman Delisa
bertatapan antusias. Delisa menyeringai. Pasti dari negaranegara
jauh itu. Hari ini kenapa banyak sekali urusan yang
menyangkut negara-negara jauh itu.
"Untuk teman-teman kami, murid kelas 1 Sekolah Dasar
Lhok Nga dan sekitarnya." Ibu Guru membaca keras-keras.
Anak-anak tertib-diam mendengarkan. Menatap semakin
tertarik. Ibu Guru kemudian merobek bagian tepi amplop
cokelat yang memang tadi dibawa oleh Sersan Ahmed.
Surat itu tiba di Pusat Informasi Banda Aceh dua hari
lalu. Ada banyak surat serupa yang dikirimkan oleh anakanak
SD di seluruh dunia untuk korban tsunami di Aceh.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Surat-surat keprihatinan teman-teman sebaya mereka.
Surat-surat persahabatan yang tak mengenal batas geografis.
Ibu Guru Ani tersenyum mengeluarkan selembar kertas
dari amplop, lantas mulai membaca.
"Untuk teman-teman tersayang—
Ketika kami menonton di teve \berita itu, kami sungguh
sedih. Beberapa di antara kami bahkan ikut menangis.
Kami sedih sekali, bertanya pada //mam// & //dad//
mengapa semua itu harus terjadi. Tetapi mereka juga tak
bisa menjelaskan.
Kata berita, teman-teman kehilangan rumah, kehilangan
sekolah, bahkan kehilangan sahabat, dan anggota keluarga.
Kami tidak tahu bagaimana caranya agar membuat temanteman
tidak bersedih. Kami tahu semua itu pasti
menyakitkan.
Sehari setelah melihat berita itu, kami mengumpulkan
uang saku masing-masing. Ibu Guru yang menyimpannya.
Lantas mengirimkannya. Lewat transfer bank ke lembaga
sosial. Semoga itu membantu teman-teman.
Hanya itu yang dapat kami lakukan. Selain berdoa.
Semoga teman-teman selalu diberkahi Tuhan. Kami ingin
menjadi sahabat baru bagi teman-teman. Menjadi keluarga
baru bagi teman-teman. Meskipun kami tahu, kami tidak
akan pernah bisa menggantikan teman-teman lama kalian.
Menggantikan keluarga kalian yang sudah pergi selamanya.
Kami hanya ingin ikut merasakan. Ikut berbagi.
Salam hangat dari kami. Teman jauh kalian. Michelle,
Margareth, dan anak-anak kelas 1 Elementary School Rose
The Elizabeth. London. Inggris.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
NB: Bersama surat ini kami sertakan foto-foto dan
prakarya dari kami tentang Aceh. Oh-ya, kami ingin sekali
melihat foto-foto dan prakarya kalian-"
Ibu Guru Ani sambil tersenyum melipat surat tersebut.
Mengeluarkan banyak kertas lagi dari amplop cokelat besar
di tangannya. Anak-anak sudah maju ke depan.
Mengerubungi Ibu Guru Ani. Berebut melihat kertas-kertas
tersebut.
Ada foto-foto mereka di kelas yang bercat cerah. Wajahwajah
bule. Delisa teringat anak ibu-ibu yang dulu pernah
menangis di kuburan massal itu. Ada banyak kertas
bertuliskan puisi-puisi. Gambar-gambar dengan crayon 12
warna (Delisa ingat kak Zahra yang pintar menggambar).
Menyenangkan sekali melihat itu semua. Ibu Guru Ani
tersenyum menatap anak-anak yang masih riuh melihat
kertas-kertas itu.
"Kata Abi kita harus membalas surat orang-" Delisa
mendekati Ibu Guru Ani. Memikirkan sesuatu.
Ibu Guru Ani menoleh.
"Apakah kita akan membalas surat itu?"
Ibu Guru Ani tersenyum. "Tentu Delisa. Kita akan
membalasnya. Bagaimana kalau Delisa yang balas?"
"Yeee.... Delisa kan tadi cuma nanya, kenapa Delisa
yang malah disuruh," Delisa menyeringai. Memprotes. Ibu
Guru Ani hanya tertawa. Sekali lagi menunjuk Delisa.
Delisa nyengir, meski akhirnya mengangguk.
(Oo-dwkz-oO)
Sore selepas bermain bola di pantai. Delisa mulai
menulis surat balasan itu. Abi membantunya menterjemahkan.
Suratnya tidak panjang. Tidak juga pendek.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Hanya mengabarkan keadaan di Lhok Nga. Menceritakan
kelas mereka di tenda darurat. Menceritakan betapa
indahnya senja hari di pantai.
Ibu Guru Ani menyuruh Delisa mampir ke posko PMI
selepas pulang sekolah, tempat kak Ubai. Meminta
beberapa lembar foto anak-anak di depan tenda sekolah
darurat untuk disertakan dalam surat. Kak Ubai menyuruh
Delisa menunggu di meja, sementara dia mencetak foto-foto
itu dari komputer. Delisa baru tahu kalau kamera kak Ubai
beda dengan kamera Abi dulu. Tidak ada "klise"-nya. Kata
kak Ubai itu namanya kamera digital. Ah, entahlah. Delisa
hanya asyik melihat kak Ubai mencetak foto-foto itu. Keren
sekali melihat kertas yang sudah berwarna-warni keluar dari
sprinter namanya mirip dengan posisi bermain bolanya
dulu.
Teman-teman kelasnya tadi siang juga menyertakan
beberapa gambar dan prakarya lainnya. Riuh sekali.
Ah, urusan ini benar-benar tidak mengenal batas lagi.
Semuanya ikut membantu menyiapkan balasan surat
tersebut dengan riang. Padahal mereka kan tidak mengenal
siapa Margareth dan Michelle? Senang saja melakukan
semuanya. Dan itu tidak membutuhkan lagi penjelasan
mengapa.
(Oo-dwkz-oO)
16. Ibu k embal i!
Minggu pagi. Selepas shalat shubuh bersama Abi, Delisa
menyalin ulang surat tersebut ke kertas yang lebih bagus.
Sesore dan semalam kemarin Delisa baru
menyelesaikannya di atas kertas coretan. Sekarang baru
dipindahkan. Biar rapi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tidak keliru Ibu Guru Ani menunjuk Delisa yang
membalas surat Michelle dan Margaretha. Tulisan Delisa
memang bagus. Itu juga dipuji oleh kak Ubai beberapa
minggu lalu saat mereka belajar kaligrafi di meunasah.
Delisa berbakat menulis indah. Kata kak Ubai waktu itu,
Allah cinta sesuatu yang indah, "dan hal-hal yang indah
hanya bisa dihasilkan oleh cinta". Ah, Delisa tidak mengerti
betul kalimat terakhirnya. Kak Ubai terkadang mirip kak
Fatimah, suka ngomong yang aneh-aneh.
"Jangan-jangan malah bagusan tulisan-nya daripada isinya,
Delisa!" Abi yang sedang membaca buku tebal di kursi
sebelah tertawa menegur Delisa yang amat serius
menggurat huruf-demi-huruf di atas kertas.
Delisa menoleh. Nyengir. Mengusap ujung hidungnya
yang gatal. Melanjutkan menyalin.
"Eh, Bi, nanti Delisa mengirimkannya lewat apa ya?"
Delisa mengangkat kepalanya, bertanya.
"Kamu serahkan saja ke Ibu Guru Ani, biar Ibu Guru
yang mengirimkan-" Abi menjawab seadanya.
"Nanti Ibu Guru Ani juga mengirimkannya lewat apa
ya? Kan kantor pos belum buka.... Tenda tentara kapal itu
juga sudah pergi? Kan repot sekali sekarang-"
"Bisa dititipkan dengan kakak-kakak sukarelawan yang
kembali ke Banda Aceh kan, atau helikopter tentara sini....
Dari sana pasti banyak cara mengirimkannya-" Abi
menjelaskan lebih serius.
Delisa manggut-manggut sok-mengerti. Meneruskan
pekerjaannya. Hening. Hanya suara pensilnya yang
terdengar.
"Eh, Bi, nanti Delisa habis mengantarkan surat ini,
Delisa boleh main ya?" Delisa menyeringai. Mengangkat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kepalanya lagi. Teringat sesuatu. Jadwal rutin minggu
paginya.
Abi menoleh. "Memangnya kamu mau main ke mana?"
"Ada deh.... Delisa hanya main sekitaran sini kok!"
Delisa memasang wajah polosnya. Buru-buru menggeleng
saat ditatap mata menyelidik Abi.
Abi hanya tersenyum. Dia tahu, setiap minggu pagi
selama sebulan terakhir, Delisa selalu pergi sendirian ke
pemakaman massal itu. Berdiri di sana sendirian.
Meletakkan tiga tangkai bunga mawar biru. Menggurat
nama-nama kakak-kakaknya. Berbicara dengan kakakkakaknya.
Abi menghela nafas panjang. Kebiasaan "ganjil" itu
sejauh ini belum jadi masalah. Setidaknya kebiasaan itu
belum terasa mengganggu. Nanti seiring berjalannya waktu
semoga Delisa akan mengerti. Biarkan saja. Bukankah Abi
juga sering datang ke sana sendirian tanpa diketahui Delisa.
"B-o-l-e-h kan?" Delisa bertanya lagi.
Abi mengangguk. Kembali membaca. Delisa tersenyum
senang. Melanjutkan tulisannya. Hening.
(Oo-dwkz-oO)
Dan selepas menyerahkan surat ke Ibu Guru Ani di
barak penampungan (Ibu Guru Ani masih tinggal di sana),
Delisa melangkah riang menuju pemakaman massal
tersebut.
Letaknya lumayan jauh. Delisa harus berjalan kuranglebih
dua kilometer. Berjalan lurus ke arah mercu suar Lhok
Nga. Melewati puing-puing rumah. Melewati beberapa
rumah yang sedang dibangun seadanya. Melewati patok-
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
patok kayu pembatas tanah yang sekarang banyak
bertebaran.
Delisa melangkah dengan hati senang. Meski kurk di
lengan kanan tidak bisa membuatnya berjalan lebih cepat
dari yang ia inginkan. Pagi ini cuaca menyenangkan.
Burung camar melenguh dari kejauhan. Udara terasa segar
dan hangat. Angin berhembus memainkan anak rambut
Delisa (lagi-lagi kerudung itu ia sampirkan di leher, rambut
Delisa yang sudah tumbuh empat senti terasa gatal). Langit
dipenuhi awan putih laksana tumpukan kapas. Pagi yang
menyenangkan. Delisa bersenandung kecil. "Aisyah Adinda
Kita!" Lagu favorit kak Aisyah.
"Ada sepuluh aisyah/ berbusana muslimah// ada seratus
aisyah berbusana muslimah// ada seribu aisyah/ berbusana
muslimah// ada sejuta aisyah/ aisyah adinda kita//"
Satu jam kemudian Delisa tiba di hamparan gundukan
tanah tersebut. Lapangan luas kuburan massal. Sepi di sini!
Hanya desau angin pagi yang mengisi langit-langit
hamparan gundukan tanah kosong nan luas. Di
sekelilingnya semak belukar yang dulu hampir separuhnya
tercerabut atau terbenam lumpur gelombang tsunami
kembali menghijau. Beberapa ekor capung dan kupu-kupu
berter-bangan. Satu dua suara burung berkicau menambah
syahdu suasana. Tetapi secara keseluruhan tetap terasa sepi
di sini!
Delisa melangkah pelan menuju salah satu sisi lapangan.
Ia tidak tahu di mana letak kuburan kak Fatimah, kak
Zahra, dan kak Aisyah. Abi juga tidak tahu. Jadi Delisa
menganggap tempat ia dulu pertama kali menggurat nama
mereka-lah sebagai lokasi kuburan kakak-kakaknya. Di
sanalah nisan mereka. Nisan yang selalu hilang setiap
minggu pagi Delisa berkunjung. Dan ia harus
menuliskannya lagi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Delisa menyeringai meraih sebatang ranting di atas
semak. Jongkok. Baju putih berendanya terkena butiran
tanah. Delisa tidak memperhatikan. Sambil tangan
kanannya menyeka dahi yang berkeringat, Delisa menulis
nama kak Fatimah, kak
Zahra dan kak Aisyah di atas tanah. Pelan-pelan.
Sepenuh hati. Membuatkan nisan yang baru. Kemudian
meletakkan tiga tangkai mawar biru itu bersisian di dekat
nama masing-masing.
Berdiri. Menatap tulisan dan bunga tersebut. Tersenyum
lebar. Delisa menepuk-nepuk bajunya yang terkena debu.
Menatap lagi kuburan kak Fatimah, kak Zahra dan kak
Aisyah. Menghela nafas panjang.
Siap mengajak mereka berbincang.
"Kak Aisyah, kemarin Delisa dapat cokelat dari kak
Cofi-" Delisa berkata riang. Mengeluarkan cokelat yang
masih utuh dari saku celananya.
"Delisa belum makan.... Belum ada teman untuk berbagi.
Kalau Delisa makan sendiri pasti nggak habis! Kan sayang
kalau di makan separuh, separuhnya disimpan lagi.... Coba
ada kak Aisyah, Delisa pasti kasih potongan yang paling
besar...."
Diam lagi.
"Ah ya, kak Cofi sudah kembali. Juga Om Ahmad....
Om Salam. Kata Abi mereka pulang ke negaranya yang
jauuuuh! Ameraka, eh apa ya nama negaranya? Delisa
lupa-" Delisa manyun sebentar. Nama negara kok seperti
neraka?
"Ah ya, Delisa juga tadi pagi baru menulis surat untuk
teman kelas satu dari negara yang jauuuh juga. Inggris, nah
kalau yang ini Delisa ingat.... Abi yang membantu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mengartikannya. Ternyata bahasa Inggris itu susah....
Delisa mesti nulisnya satu persatu. Susah dieja...."
Diam lagi. Lebih lama.
"Kak Fatimah, tadi pagi Delisa bangun shubuh-nya cepat
sekali.... Langsung kebangun. Kak Aisyah kalau tadi ada di
rumah, pasti kalah deh bangunnya sama Delisa.... T-e-t-a-pi,
tetapi Delisa bingung-"
Diam. Udara pagi bertiup semakin kencang. Beberapa
ekor capung dan kupu-kupu terbang di sekitar Delisa.
"Delisa, D-e-l-i-s-a lagi-lagi lupa bacaan shalatnya....
Benar-benar lupa. Delisa tidak tahu kenapa.
Padahal kemarin Delisa sudah hafal doa i f t i t a h____
Tadi pagi lupa lagi. Padahal kemarin Delisa juga sudah
hafal bacaan sujud. Tadi pagi lupa lagi. Delisa bingung.
Kenapa ya?"
Delisa menyeringai. Mengusap ujung hidungnya yang
tidak gatal. Menghela nafas. Diam lama sekali. Urusan ini
pelan-pelan mulai mengganggunya. Semuanya terasa ganjil.
Delisa kan bukan anak bodoh. Menarik nafasnya sekali lagi.
Memikirkan hal lain yang juga tidak kalah penting.
"Kak Fatimah, maafkan Delisa, Delisa juga belum tahu
Ummi ada di mana, Abi juga belum-" Delisa berkata pelan.
"Apakah kak Fatimah, kak Zahra, kak Aisyah tahu di
mana Ummi?" Delisa bertanya lemah. Menghela nafas.
Memainkan kurknya di atas gundukan tanah. Mengguratgurat
entahlah.
Diam lagi. Urusan ini juga amat mengganggu Delisa. Ia
memang tidak banyak bertanya pada Abi tentang Ummi.
Tetapi ia rindu sekali dengan Ummi. Ya Allah, Delisa rindu
sekali dengan Ummi. Delisa ingin bertemu. Delisa bukan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sekadar ingin mengaku soal cokelat itu. Delisa benar-benar
ingin memeluk Ummi. Bercerita banyak hal. Menarik-narik
baju dan kerudung Ummi. Delisa rindu melihat Ummi yang
sedang menjahit. Delisa bahkan rindu cubitan Ummi kalau
ia lagi-lagi bandel pulang main kesorean. Ya Allah, Delisa
rindu semuanya. Delisa rindu sekali....
Mata Delisa mulai basah. Ia menangis. Kurk-nya
bergetar. Tubuhnya berguncang pelan. Kerudung birunya
yang tersangkut di leher melambai pelan di tiup angin pagi.
Lama sekali Delisa menangis tanpa suara.
Delisa rindu menatap beningnya wajah Ummi.
Semua ini benar-benar membuatnya "dewasa" lebih
cepat. Membuatnya tumbuh lebih awal. Semua ini sungguh
terlalu dini baginya. Memaksanya untuk berusaha mengerti
dan memahami lebih cepat. **
Delisa tergugu lebih lama lagi. Ia seperti bisa melihat
gurat wajah Ummi, wajah kak Fatimah, kak Zahra dan kak
Aisyah di atas gundukan tanah. Ia bisa melihat mereka
tersenyum manis. Seandainya ada Ummi di sini.
Seandainya ada Ummi yang membantu menjelaskan.
Semua urusan akan terasa lebih ringan. Delisa mengusap
matanya. Membuang ingus dengan kerudungnya (tuh kan,
Delisa itu juga jorok; tapi bisanya cuma menegur orang
lain).
Ternyata bukan hanya Delisa yang menangis di
pemakaman tersebut. Saat Delisa membuang ingus, ia
mendengar suara isak tertahan lain di dekatnya. Delisa
mengangkat kepala. Mengusap matanya sekali lagi.
Menoleh ke sumber suara tangisan itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
** Tetapi Ya Allah, Delisa haru 6 tahun. Kanak-kanak
yang kesehariannya seharusnya lebih banyak diisi dengan
bermain. Bukan masa-masa untuk bertanya. Pertanyaan
yang entah kapan ia akan mampu menjawabnya. Jikapun
ada jawaban entah kapan ia akan mampu memahaminya.
Jikapun ia bisa menerimanya, entah kapan ia bisa
menerimanya.
Teuku Umam!
Ada Umam berdiri sepelemparan batu darinya. Sama
seperti Delisa. Umam sedang menangis sendiri di ujung
lapangan. Sepertinya Umam tidak menyadari di sana ada
Delisa. Terus saja terisak. Delisa setelah memandang
sejenak, berpikir beberapa saat, menimbang-nimbang,
akhirnya memutuskan melangkah mendekat.
Suara kurk Delisa terdengar oleh Umam. Dia menoleh.
Amat terkejut. Buru-buru menghentikan tangisannya.
Mengusap matanya. Mereka berdua bersitatap. Delisa
nyengir, sudah ketahuan ini Umam nangis, cuek melangkah
semakin dekat. Lantas berdiri di sebelah Umam.
Umam hanya diam. Mukanya mengeras. Dia tidak suka
Delisa tahu dia baru saja menangis. Apalagi kalau besokbesok
Delisa sampai cerita dengan teman-temannya.
Delisa juga diam. Sedikitpun tidak memikirkan apa yang
dikhawatirkan Umam. Hanya menyeringai datar. Seekor
capung hinggap di kurk Delisa. Delisa tertarik
memperhatikan. Capung itu berwarna cokelat.
Delisa ingat sesuatu. Mengeluarkan batang cokelat dari
saku celananya. Membuka bungkusnya. Umam melirik
memperhatikan. Dia masih terkejut dengan kehadiran
Delisa, dan tidak tahu harus melakukan apa, meskipun baru
saja berpikir untuk mengancam Delisa agar tidak bercerita
ke siapa-siapa. Tadi Umam kesiangan. Seharusnya dia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
datang lebih pagi. Umam sama seperti Delisa, rajin
berkunjung ke pemakaman massal ini. Ah, siapa saja di
Lhok Nga sama seperti mereka, mengadu di pemakaman
ini. Meski tidak se-rutin yang Delisa lakukan.
"Untuk Umam!" Delisa menyerahkan separuh
cokelatnya ke Umam. Umam tetap menatap tak bergerak.
Menyeringai.
"Ambillah!" Delisa balas menyeringai.
Bersitatap sejenak. Akhirnya pelan tangan Umam
mengambilnya. Cokelat itu besar, dan terlihat lezat sekali.
Umam mengatakan terima kasih dengan suara lemah.
Delisa mengangguk kecil.
Mereka berdua menggigit potongan cokelat tersebut
hampir bersamaan. Delisa nyengir. Cokelat hadiah kak
Sophi selalu lebih enak dibandingkan cokelat hadiah ustadz
Rahman. Apalagi dibandingkan cokelat hadiah kakakkakak
di pos barak penampungan. Tetapi di kapal perang
itu, semuanya memang terasa jauh lebih enak. Delisa tanpa
merasa bersalah tega membandingkan hadiah-hadiah itu.
Lupa kalau dulu Ummi pernah berkata: Jangan pernah lihat
hadiah dari bentuknya. Lihat dari niatnya. Insya Allah
hadiahnya terasa lebih indah....
Mereka diam menghabiskan cokelat tersebut. Matahari
mulai meninggi, meski udara tetap terasa menyenangkan.
Cahaya matahari terhalang oleh awan putih tipis yang
memenuhi langit-langit Lhok Nga. Kicau burung mulai
terdengar ramai. Terbang menyelisip di antara semaksemak.
Delisa memasukkan kertas pembungkus cokelat ke
saku celana, nanti akan ia buang kalau ketemu kotak
sampah.
Kembali menatap ke gundukan tanah di hadapan
Umam.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kenapa tidak ada nama di sana?" Delisa bertanya.
Umam menoleh, tak mengerti. Nama apa?
Delisa tidak menunggu jawaban. Langsung menyambar
sebilah ranting. Jongkok. Kemudian seperti ia menulis
nama kakak-kakaknya tadi, Delisa menulis nama-nama
kakak Umam yang dikubur di sana. Delisa tahu, Umam
senasib dengannya. Lima kakak Umam meninggal karena
bencana air bah itu. Kata Abi kelima-limanya dikubur di
sini. Hanya Ummi Umam yang tidak tahu di mana
sekarang, sama seperti Ummi Delisa. Maka Delisa
menggurat kelima kakak cowok Umam.
Kelima nama itu tergurat rapi.
Delisa bangkit berdiri. Tersenyum senang melihat
pekerjaannya. Umam menatapnya. Bergantian menatap
nama-nama yang tergurat di tanah. Dia akhirnya mengerti
maksud Delisa tadi. Kenapa tidak ada nama di sana? Raut
muka Umam tiba-tiba berubah sedikit lebih menyenangkan.
Menyeringai datar.
"T-e-r-i-m-a kasih-" Umam berkata pelan. Memaksakan
untuk tersenyum lebih lebar. Delisa hanya balas
menyeringai. Menepuk-nepuk lututnya yang kotor oleh
tanah.
"Umam sering kesini?" Delisa bertanya.
Umam mengangguk. "Kamu?"
Delisa nyengir. Mengangguk.
"Delisa setiap minggu pagi ke sini. Delisa harus banyak
bercerita ke kak Fatimah, kak Zahra, dan kak Aisyah-"
"B-e-r-c-e-r-i-t-a?"
"Ya.... Bercerita apa saja agar mereka tahu apa yang Abi
dan Delisa kerjakan sekarang...." Delisa sok-tahu sok-
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
paham menjelaskan. Kepalanya mengangguk-angguk lucu.
Mukanya yang serius terlihat menggemaskan.
Meskipun begitu Teuku Umam tidak menter-tawakan
seperti biasanya. Umam mencatat penjelasan Delisa dengan
baik. Bercerita? Bukankah itu menarik sekali? Kenapa dia
tidak melakukan hal yang sama seperti Delisa. Bercerita?
Mengaku ke kakak-kakaknya soal uang belanja Ummi
yang dia curi hari Sabtu sebelum kejadian itu. Yang
membuat mereka ber-enam akhirnya dimarahi semalaman.
Mengaku ke kakak-kakaknya soal kenakalan Umam selama
ini. Dia yang merobek buku kak Tiro. Sengaja memecahkan
tugas keramik kak Umar. Menggembosi ban motor kak
Ubai. Ya, dia bisa mengaku banyak hal di sini. Dan kakakkakaknya
pasti akan mendengar. Memaafkan.
Teuku Umam menghela nafas lega. Dia juga bisa berjanji
kepada kakak-kakaknya kalau dia akan menurut dengan
Ummi sekarang. Berjanji tidak akan melawan lagi. Berjanji
sungguh-sungguh kalau diberikan kesempatan bertemu
dengan Ummi, Umam tidak akan nakal lagi. Umam akan
jadi anak yang baik. Umam menelan ludahnya. Berikrar
singkat.
Delisa tidak memperhatikan Umam yang sedang sibuk
berpikir. Umam yang menyeringai senang atas ?de Delisa.
Delisa duduk lagi di gundukan tanah, sibuk menggurat
bingkai di nama-nama kakak Umam. Memberinya lukisan
lima tangkai bunga mawar.
"Kamu nanti sore main bola?" Umam bertanya.
Memecah keheningan. Delisa mengangkat kepalanya.
Menghentikan tangannya. Mengangguk.
"Aku boleh ikut?"
Delisa berseru senang. Berdiri.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Asyik.... Umam mau main bola lagi!"
Umam tersenyum lebih lebar. Mengangguk. Ah, ternyata
sederhana sekali pemecahan masalahnya selama ini. Dan
semuanya tiba-tiba terasa melegakan.
Sejenak mereka sudah serius membicarakan main bola.
Melupakan banyak kesedihan itu. Mengingat-ingat Om
Salam yang dulu suka ikut bermain dalam tim Delisa.
Teman-teman Om Salam yang juga sering ikut main.
Teuku Umam sama sekali lupa, bukankah dia selama ini
benci sekali berbicara dengan anak cewek. Bukankah dia
selama ini lebih suka menjahili mereka. Menarik-narik
kerudung mereka. Menyembunyikan tas mereka di kelas.
Atau melempari mereka dengan pasir saat bermain di
pantai, seperti yang sering dia lakukan kepada Delisa.
Ah, orang selalu berubah setelah berbagai kejadian.
Pembicaraan mereka baru terhenti ketika tiba-tiba Teuku
Dien (Abinya Umam) muncul ter-gopoh di ujung jalan
menuju pemakaman massal tersebut.
"UMAM!" Teuku Dien berteriak kencang. Delisa dan
Umam menoleh. "U-M-A-M!"
Susah sekali melukiskan bagaimana raut muka Teuku
Dien. Muka itu bercahaya, muka itu sembab, muka itu
tertawa, muka itu menangis. Entahlah! Ada seribu perasaan
yang bercampur dari paras muka Teuku Dien. Delisa
menatap tidak mengerti.
"Umam!" Teuku Dien langsung memeluk Umam.
Umam menggeliat bingung dalam pelukan Abinya. Dia
sebenarnya risih dipeluk Abi di depan Delisa. Kan malu!
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Umam, Um-mi sudah ketemu...." terbata Teuku Dien
berkata. Matanya basah lagi. Teuku Dien melihat Delisa.
Saking harunya dia juga memeluk Delisa.
"Delisa, Um-mi sudah ketemu...." Teuku Dien berbisik
lemah. Lemah tapi amat bertenaga. Suara yang bahagia.
"Um-mi.... Ummi s-i-a-p-a?" Delisa keburu memotong
sebelum Teuku Dien atau Umam berbicara. Ikut menggeliat
dalam pelukan Teuku Dien. Tiba-tiba jantung Delisa
berdetak lebih kencang. Ummi?
"Ummi.... Ummi.... Sudah.... Ketemu, Delisa!"
Teuku Dien hanya bisa menyebutkan kalimat patahpatah
itu. Hatinya masih buncah oleh perasaan senang.
Berusaha mengendalikan nafasnya.
Hati Delisa juga buncah oleh perasaan. Nafasnya
memburu kencang. Mata hijaunya membulat. Muka
menggemaskan itu berbinar-binar.
"Ummi? U-m-m-i D-e-l-i-s-a? Sudah ketemu?" Delisa
bertanya serak. Akhirnya ia berhasil melepaskan pelukan
Teuku Dien.
U-m-m-i-n-y-a U-m-a-m sudah ketemu, Delisa.... Sudah
ketemu!" Teuku Dien menyambung kalimatnya, setelah ia
menghela nafas panjang mengendalikan diri beberapa detik.
Menjelaskan.
Delisa yang tadi buncah oleh perasaan senang,
jantungnya berdebar oleh pengharapan, tetap tidak
menyerah begitu saja oleh informasi itu. Memegang lengan
baju Teuku Dien kencang-kencang.
"Ummi.... U-m-m-i-n-y-a D-e-l-i-s-a bagaimana?" Mata
itu bertanya sejuta harap. Mata itu bertanya sejuta asa.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Teuku Dien tiba-tiba terdiam. Gagu oleh kesadaran yang
datang tiba-tiba. Bukankah semua ini terasa kontras sekali?
Ya Allah, Teuku Dien terpana menatap mata hijau Delisa
yang memandangnya sejuta harapan. Seolah-olah
kegembiraan yang baru saja dibawanya itu juga membawa
kegembiraan lainnya. Seolah-olah kegembiraannya tadi
menjanjikan kegembiraan pula buat Delisa.
"Ummi Delisa juga ketemu, kan?" Delisa bertanya sekali
lagi. Suaranya mendadak mencicit setelah melihat Teuku
Dien hanya terdiam. Diamnya Teuku
Dien jelas-jelas bukan pertanda baik. Jantung Delisa
berdetak lebih kencang. Sinar mata itu bersiap meredup.
Paras muka itu bersiap menegang.
Teuku Dien menggeleng lemah. "H-a-n-y-a.... Hanya
Um-mi Umam yang ketemu, sayang!"
Dan Delisa kaku seketika.
Serunai kesedihan mulai erdengar. Denting kebencian
mulai dipukul. Dupa pembangkangan mulai menyala.
(Oo-dwkz-oO)
Bukankah sudah dikatakan sebelumnya. Kecemburuan
itu bagai api yang membakar semak kering. Cepat sekali
menyala. Melalap apa saja di sekitarnya. Dan itulah yang
terjadi sesaat setelah Teuku Dien dengan wajah berbinar
mengajak Umam bersegera pulang dari pemakaman massal
tersebut menemui Umminya.
Ummi Umam ternyata di rawat di Medan. Beberapa hari
setelah terseret gelombang tsunami, Ummi Umam
diselamatkan oleh kelompok sukarelawan dari Medan. Di
bawa ke rumah sakit Medan. Dirawat di sana. Lama sekali
baru ketahuan karena Ummi Umam trauma
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berkepanjangan. Tidak bisa bicara menjelaskan. Hanya
diam menatap kosong di atas ranjang rumah sakit.
Ya Allah, Delisa juga hanya diam menatap kosong gurat
nama kak Fatimah, kak Zahra, kak Aisyah. Hatinya tibatiba
berubah kelam sekali.
Sekelam gelapnya malam. Ya Allah, hati itu berubah
menjadi mengerikan sekali. Hati Delisa mulai mengukir
kebencian. Hati Delisa mulai menggurat tifa
pembangkangan. Delisa mencabut begitu saja semua
kebaikan dalam hatinya; lantas menanam tinggi-tinggi
pohon permusuhan. Ada sejuta guntur dan halilintar dalam
kelam hati Delisa. Ada awan hitam yang mengambang
menakutkan di sana.
Bukankah Delisa sudah sabar ya Allah. Sabar untuk
tidak bertanya kepada Abi. Bukankah Delisa sudah sabar ya
Allah. Sabar untuk melewati ini sama seperti hari-hari
sebelumnya. Delisa sudah mencoba melakukan semua
seperti yang dulu sering dikatakan ustadz Rahman: anak
yang baik, adalah anak yang bisa membantu Abi dan
Umminya di kala susah. Ingatlah, anak yang baik doanya
selalu terkabul.
Apa yang tidak Delisa lakukan coba? Delisa tidak pernah
bertanya soal kenapa kakinya harus pincang? Delisa tidak
pernah bertanya kenapa ia harus cacat? Delisa tidak pernah
mengeluh. Delisa tidak pernah berkeberatan. Delisa tidak
pernah merajuk. Sedikitpun tidak!
Delisa juga tidak pernah bertanya tentang Ummi kepada
Abi, karena Delisa tidak ingin membuat Abi bersedih.
Delisa ingin jadi anak yang baik. Delisa membantu banyak
Abi. Membersihkan rumah. Mencuci pakaian. Dengan
menjadi anak yang baik, Delisa ingin agar doanya terkabul.
Delisa ingin agar bertemu lagi dengan Ummi. Bahkan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Delisa sama sekali tidak berkeberatan memakan masakan
Abi.
Apa yang tidak dilakukan Delisa? Apa lagi?
Tetapi lihatlah yang Delisa terima? Apa coba? Kau
malah mendatangkan Ummi Umam. Tidak Ummi Delisa.
Bukankah Umam tidak cacat sepertinya? Umam tidak
pincang sepertinya. Bukankah Umam anak yang nakal
selama ini? Jahil kepada Tiur? Jahil kepada teman-teman
yang lain? Bukankah Umam tak pernah mau membagi
makanannya? Malah sering melempari Delisa dengan pasir?
Semua ini sama sekali tidak adil! Delisa benci! Delisa
benci semuanya. Kenapa Umam yang kau berikan
Umminya? Kenapa bukan Delisa?
BENCI. DELISA BENCI SEKALI!!!
Semua ini bohong. Kata-kata ustadz Rahman bohong!
Kata-kata Abi bohong! Kata-kata Ummi bohong! Ibu Guru
Nur bohong! SEMUANYA BOHONG! Delisa sudah
berusaha jadi anak yang baik. Tetapi apa yang Kau berikan.
Kenapa Umam yang dapat? Kenapa tidak Delisa?
BOHONG! BOHONG!! BOHONG!!!
Delisa tergugu oleh kesedihan. Delisa terlempar-kan
dalam lingkaran mengerikan itu. Ketika perasaan
mengkungkung akal sehat. Ketika akal bermufakat dengan
hati. Ketika kebencian mengambil alih semua kendali
bagian tubuh Delisa untuk membangkang. Pengkhianatan
dari pasukan hatinya.
Maka Delisa menginjak-injak begitu saja guratan nama
kak Fatimah, kak Zahra, dan kak Aisyah. Delisa
menginjak-injak tiga tangkai bunga mawar biru itu hingga
lebur. Delisa jongkong. Meninju-ninju gundukan tanah itu.
Kalap oleh luka yang tiba-tiba menganga di hatinya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Hati Delisa berubah kelam. Mutiara itu mengutuk
semuanya. Lihatlah, ya Allah, gadis kecil itu baru enam
tahun. Tidak mengerti tentang semua perasaan itu. Tidak
paham tentang semua keputus-anMu. Gadis kecil itu hanya
mengerti satu hal. Mengapa Ummi Umam kembali!
Sedangkan mmi-nya tidak! Mengapa? Dan pertanyaan itu
cukup sudah untuk meruntuhkan seluruh tembok kebaikan
Delisa. Berguguran. Membuat hatinya mendidih.
Delisa menyambar kurknya. Lantas berlari menangis
dari pemakaman massal. Menjauh dari tempat
menyebalkan itu. Ingin hilang begitu saja dari semua
kutukan ini. Ingin lenyap dari semua kendengkian hatinya.
Baru sepuluh langkah. Ya Allah, tubuhnya yang limbung
berdebam jatuh. Sempurna menghantam gundukan tanah
merah. Kurknya bahkan memukul kepala Delisa.
Delisa menangis semakin keras. Bangkit tertatih-tatih.
Kakinya sakit sekali. Juga lengan tangannya. Badan dan
rambut ikalnya kotor oleh tanah. Kepalanya bengkak oleh
hantaman kurk. Teramat sakit. Tetapi lebih sakit lagi
hatinya. Lebih kotor lagi hatinya.
Delisa tertatih sambil menangis meneruskan larinya. **
(Oo-dwkz-oO)
Ya Allah, di mana rasa adilMu? Itu pertanyaan ke
sepuluh hamba
(Oo-dwkz-oO)
17. Ajarka n k am i art i ikh las!
Dan urusan pembangkangan ini berkembang di-luar
kendali Delisa. Langit mengambil alih semuanya. Pulang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dari pemakaman massal itu Delisa jatuh sakit. Sakit
mendadak begitu saja. Awalnya hanya meriang, menjelang
sore badan Delisa terasa amat panas. Demam. Bengkak di
kepalanya membesar. Delisa terkapar tak berdaya di atas
ranjang. **
Abi panik. Tidak ada angin, tidak ada hujan,
bagaimanalah bungsunya tiba-tiba demam seperti
"Engkau langsung menghukumnya. Delisa langsung
''direndam'' dalam panasnya bara pengampunan. Entahlah!
Baik alau tidak bagi Delisa.
Sedangkan banyak sekali orang-orang jahat yang kau
tunda penghukumannya. Orang-orang jahat yang kau
biarkan terta wa-ia wa. Bahkan kau ''berikan'' jalan untuk
dengan mudah melanjutkan bejat perangai mereka. Tengik
prilaku mereka. Kau berikan jalan agar apa yang mereka
lakukan malah terlihat baik di mata dunia. Ukuran
kehidupan yang kami optakan memang keterlaluan sekali
ya AHah. Kami malu jika berjalan ke tempat-tempat umum
tanpa alas kaki. Padahal apa salahnya? Kami justeru tidak
malu jika berdusta, kami tidak malu setelah melakukan
maksiat.
Ukuran pemahaman yang kami buat memang
keterlaluan sekali ya A/lah. Kami takut tidak memiliki
harta, kami cemas bila esok tak ada harapan menambah
pundi-pundi, sementara teman-teman kami sudah
sedemikian menterengnya. Padahal apa salahnya? Kami
justeru tidak malu membenarkan hal-hal keliru. Berkata, ah!
Bukankah itu sudah demikian peraturannya. Lump-sum.
Setrap perjalanan diberikan ongkos sekian. Habis tidak
habis ya segitu! Kami lupa, kalau ''peraturan manusia''
bilang demikian, apa lantas peraturanMu bilang sama?
Kami lupa, ukuran yang benar adalah ukuranMu. Bukan
ukuran yang sengaja kami ciptakan untuk menelikungMu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bukan permufakatan yang kami lakukan untuk membuat
peraturan-peraturan tersebut.
ini. Rusuh sepanjang sore mengompres kepala Delisa.
Melakukan apa saja yang bisa dia lakukan. Kacau. Abi
lebih banyak bingungnya daripada berpikir benar.
Andaikata ada Ummi, tentu Ummi tahu harus melakukan
apa sekarang. Mengeluh.
"Bagaimana, sayang. Apakah Delisa sudah merasa
baikan?" Abi bertanya cemas. Meraih kain kompres di atas
kepala Delisa. Panas. Kain itu panas sekali. Gemetar
telapak tangan Abi menyentuh dahi bungsunya.
Lebih panas dari satu jam lalu. Delisa hanya diam.
Nafasnya tersengal. Sebenarnya Delisa bisa ?menjawab
pertanyaan Abi dengan anggukan atau gelengan seperti
yang sering ia lakukan kalau dulu sakit dan Ummi bertanya.
Tetapi Delisa sedang benci hatinya. Hanya diam membisu.
Mengunci rapat bibirnya yang mengelupas.
"Apa sebaiknya Abi memanggil dokter ya?" Abi bertanya
ke langit-langit ruangan sambil mencelupkan kain kompres
ke dalam baskom air dingin.
"Tetapi malam-malam begini-" Abi memeras kain
tersebut. Bertanya lagi dalam sepi.
"Mungkin dokter posko PMI masih jaga, mungkin dr
Peter masih ada-" Abi meletakkan kain dingin tersebut di
dahi panas Delisa.
Bertanya sendiri, menjawabnya sendiri.
Dan lima belas menit kemudian, akhirnya tergo-poh Abi
menuju tenda sukarelawan PMI. Delisa ia titipkan dengan
tetangga sebelah rumah. Panik! Abi amat panik. Delisa
mulai kejang-kejang. Mencera-cau tak sadarkan diri. Mata
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
hijau Delisa mulai mendelik tinggal putihnya saja. Sungguh
mencemaskan melihatnya.
Setengah jam kemudian, dr Peter bersama Ubai datang.
Delisa terbaring kaku di atas ranjang. Matanya masih
mendelik menatap langit-langit ruangan. Nafasnya semakin
tersengal. Detak jantungnya mengencang. Delisa tidak
menjawab saat ditanya kak Ubai. Apalagi oleh dr Peter.
Bukan karena Delisa tidak mau menjawab. Tetapi karena
kesadarannya menurun, hampir habis. Delisa setengah
pingsan. Tubuhnya panas sekali. Seperti dibakar tungku
penggosongan.
"Bagaimana ceritanya bisa demam seperti ini, USMAN?"
dr Peter memeriksa panik kondisi Delisa. Ini serius sekali.
Abi menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tidak tahu.
Benar-benar tidak tahu. Sementara Ubai menyeringai,
menatap cemas tubuh Delisa yang sekali lagi kejang-kejang.
Tubuh mungil itu menggelinjang. Bibirnya membiru. Ya
Allah—
"Kita harus membawanya ke rumah sakit, Usman!
SEGERA!!" dr Peter berkata amat tegas. Dan tanpa
menunggu jawaban Abi, langsung meneriaki Ubai agar
menggendong tubuh Delisa.
Level kepanikan meningkat tajam. Abi mengeluh
menggigit bibirnya. Ya Allah, apa yang terjadi pada
bungsunya. Ubai sudah melangkah cepat membawa tubuh
lemah Delisa menuju mobil yang diparkir di halaman, dr
Peter sigap meraih stir kemudi. Menghidupkan mesin jeep
tuanya. Abi buru-buru masuk.
Dan tanpa ba-bi-bu dr Peter melajukan mobilnya.
Ngebut di jalanan sepi Lhok Nga.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Delisa semakin kejang dalam pangkuan Ubai. Matanya
mendelik tinggal putihnya. Ubai serasa memeluk sebongkah
batu yang baru diambil dari bara api.
Mobil itu melesat menuju rumah sakit darurat Lhok
Nga. Delisa langsung dibawa ke unit gawat darurat.
Beruntung, rumah sakit Lhok Nga, meski kondisi bangunan
masih menyedihkan, peralatannya memadai sekali.
Bantuan dari kapal induk.
Rusuh beberapa perawat menyambut Delisa.
Menyiapkan ruang UGD secepat mungkin, dr Peter
mengambil alih urusan sepenuhnya. Abi dan Ubai terpaksa
hanya berdiri diam menunggu cemas di lorong rumah sakit.
Urusan ini amat mengkhawatirkan.
Abi berkali-kali mendesah menyebut. Istighfar. Ubai
berusaha memegang bahu Abi, berkata-kata kalimat
bijak.Menenangkan. Tetapi bagaimanalah akan bijak dan
menenangkan kalimat itu, jika yang mengatakannya ikutan
cemas. Ikutan menelan ludah teramat khawatir.
Satu jam berlalu tanpa kabar dari ruang UGD.
Satu jam yang panjang pula buat Abi. Satu jam yang
setara dengan puluhan desah tertahan, duduk-berdiriduduk-
berdiri lagi, mengusap wajah, dan berkali-kali
mengeluh panjang mengharap kebaikanMu.
"Kalau Kau baik saat itu kepada Delisa ya Allah, maka
tak ada sulitnya Engkau akan baik pula saat ini-" Abi
mendesahkan doa. **
(Oo-dwkz-oO)
Satu jam kemudian dr Peter keluar dari ruangan UGD.
Melangkah pelan, mendekati Abi dan Ubai yang terduduk
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kuyu di atas kursi panjang. Tersenyum memegang bahu Abi
yang tepekur diam. Abi mengangkat kepalanya.
"B-a-g-a-i-m-a-n-a?" entahlah erangan itu lebih terdengar
cemas atau apa. Abi gemetar memegang lengan dr Peter.
Bertanya dengan mata amat gentar.
"Puji Tuhan, panasnya sudah mereda, Demamnya sudah
turun, Usman! Tuhan memang selalu bersama anak-anak."
dr Peter menyeringai riang.
** Bagaimanalah jadinya kalau Delisa tidak
terselamatkan? Ya Allah, apakah hukuman untuk
pembangkangannya seberat itu? Bukankah banyak mahkluk
ciptaanMu yang sepanjang hidupnya tak pernah menurut
ayat-ayatMu, tidak pernah melakukan kebaikan-kebaikan,
tetapi Kau biarkan mereka hidup dalam semua kenikmatan?
Bukankah banyak seka/i hambaMu yang culas, durhaka,
dan zalim. Sepanjang hidupnya begitu. Tak pernah Kau
hukum. Dan ketika di penghujung hidupnya mereka sedetik
saja insyaf dan bertobat, seketika Kau maafkan dosa-dosa
mereka.
Ya Allah, bukankah Delisa sebaliknya. Di penghujung
semua kebaikannya, ia membangkang kepadaMu. Hanya
sekali ini saja. Dan Kau langsung menghukumnya.
Bagaimanalah kalau ia tidak terselamatkan lagi? Bagaimana
mungkin berguguran semua kebaikan itu. Bukankah
pembangkangan ini bisa diterima.
Ya Allah, kami bodoh'. Kami sering tidak mengerti apa
maksud takdirMu. Lantas apakah itu sebuah
pembangkangan jika kami berkata TIDAK'. Apakah salah
jika Delisa juga berkata TIDAK'. Kau-lah yang
menciptakan bongkah perasaan itu. Dan kami lemah untuk
memahami berbagai perasaan tersebut. Teramat lemah.
Bantulah kami'.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Abi jatuh terduduk. MemujiMu. Matanya basah. Abi
tadi takut sekali. Semua kenangan itu kembali saat dia
duduk berdiam di lorong sepi ini. Abi gentar sekali.
Sedikitpun tidak bisa membayangkan apa yang akan
dilakukannya jika Delisa juga pergi. Pergi setelah semua hal
menyakitkan ini. Bukankah semua kehilangan ini sudah
amat menyakitkan. Sungguh akan semakin menyakitkan
jika bungsunya juga pergi.
Abi lirih mengucap syukur. Ubai tersenyum tipis meraih
bahu Abi. Membantunya berdiri.
"Kondisi tubuhnya sudah terkendali, tetapi Delisa masih
pingsan. Kalau kau ingin, kau bisa melihatnya sekarang,
Usman." dr Peter menyilahkan Abi masuk ke dalam
ruangan UGD. Tanpa diminta dua kali, Abi beranjak
melangkah pelan, diikuti Ubai.
Gemetar mendekati ranjang Delisa.
Lihatlah! Bungsunya terbaring lemah di atas ranjang
rumah sakit. Rambut ikal pirangnya yang sudah panjang
rebah di dahi. Muka itu pucat. Tubuh itu seperti habis
berkeringat banyak. Tubuh itu seperti baru keluar dari
tungku panas. Diperas. Salah seorang perawat tadi
mengganti baju Delisa. Sekarang gadis bungsunya tergolek
tak berdaya. Tetapi dr Peter benar, Delisa sudah bernafas
normal kembali. Detak jantungnya pelan berirama.
Abi menelan ludah, berdiri di samping ranjang. Gemetar
tangannya menyentuh kening Delisa. Dingin. Suhu tubuh
Delisa sudah normal kembali. Bungsunya terlihat begitu
tenang dan takjim tertidur. Malaikat kecilnya tidur
nyenyak. Ubai akhirnya melepaskan senyum riang, dr Peter
entah menuliskan apa di atas kertas, menyerahkannya pada
perawat. Abi hanya membelai pipi bungsunya. Lama
mereka terdiam.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sibuk dengan berbagai pikiran.
(Oo-dwkz-oO)
Dan Delisa juga sedang "sibuk".
Delisa sibuk mengejar kupu-kupu di taman indah
tersebut. Berlari kesana-kemari. Kupu-kupu itu indah sekali.
Jutaan warnanya. Taman ini juga indah sekali. Jutaan
bunganya. Ada pelangi yang silang-menyilang di langitlangit.
Jutaan warnanya.
Delisa tertawa-tawa menyibak bebungaan. Kupu-kupu
itu lincah. Susah ditangkap. Padahal Delisa hanya ingin
melihat mereka dari jarak dekat saja. Nanti-nanti pasti
dilepaskan.
Delisa tiba di depan gerbang taman tersebut beberapa
saat yang lalu. Tiba begitu saja. Dan kali ini Delisa bisa
melangkah. Bisa bergerak. Delisa bisa masuk ke dalam
taman. Maka masuklah Delisa. Masuk dengan riang.
Langsung disambut oleh pemandangan berjuta warna ini.
Lama sekali Delisa mengejar kupu-kupu tersebut. Tak
satu pun yang berhasil ia tangkap. Delisa sambil tertawatawa
akhirnya jatuh terduduk. Lelah. Kupu-kupu itu jauh
lebih gesit darinya. Bagaimana mungkin? Kalau begitu tidak
akan ada anak lain yang mampu menangkapnya.
Delisa nyengir memikirkannya sambil duduk men-jeplak
di atas rumput hijau yang lembut. Rambut pirangnya ditiup
angin lembut. Segar sekali. Apalagi Delisa habis keringatan
ini. Terasa sejuk. Delisa melepas kerudung dari lehernya.
Menyeka keringat di dahi dan leher. Dengan kerudung itu.
Semua ini menyenangkan. Semua ini terasa berbeda.
Tempat ini indah sekali. Di manakah?
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ketika Delisa masih sibuk melepas lelahnya, sibuk
berpikir menatap sekitar. Sibuk menghirup bersihnya udara.
Ada yang menyentuh bahunya. Lembut. Delisa sontak
menoleh.
U-m-m-i!
Ya Allah, Ummi yang menyentuh bahunya.
Ummi duduk jongkok di belakang Delisa. Mata Ummi
bening menatap bercahaya. Muka teduh Ummi mengukir
sejuta rasa sayang, sejuta kerinduan, sejuta perasaan.
"U-M-M-I! UMMI!!" Delisa buncah oleh rasa gembira.
Delisa tersengal oleh rasa senang. Delisa bangkit berdiri.
Lantas loncat keras sekali ke dalam pelukan Ummi. Saking
kerasnya loncatan itu, Ummi jadi jatuh terjengkang.
Ummi dan Delisa berpelukan sambil jatuh ke tanah.
Bergulingan di atas permadani rumput hijau. Ummi
tertawa.
Delisa lebih keras lagi tawanya. Menyeringai. Bangkit
dari atas tubuh Ummi. Membantu Ummi duduk kembali.
Ya Allah, Ummi! Ummi menemuinya.
Lama Delisa menatap wajah Ummi. Terdiam.
Seolah-olah tak percaya. Ummi juga ikutan memandang
wajah bungsunya.
Jemari tangan kanan Delisa terjulur. Lama Delisa
menyentuh pipi Ummi dengan jemarinya. Ummi yang
selalu ia rindukan. Ummi yang selalu terkenang. Sekarang
bertemu di sini. Lihatlah! Delisa bisa membelai lembut pipi
Ummi seperti dulu. Delisa bisa melakukannya. Delisa bisa
memandang wajah teduh Ummi. Delisa bisa menatap
beningnya mata Ummi. Semua ini sungguh nyata. Dan
demi kesadaran itu, Delisa tiba-tiba menangis. Tersedan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ada apa, sayang?" Ummi bertanya lembut, memegang
lengan Delisa yang terhenti menyentuh pipinya.
"Ummi.... U-m-m-i, Delisa rindu Ummi.... Delisa
rinduuuu sekali.... U-m-m-i, Delisa cinta Ummi karena
Allah!" Delisa berkata lemah. Delisa menguntai kata di
tengah sedu-sedannya.
Ummi tersenyum amat indah. Lantas sekali lagi
merengkuh Delisa erat-erat dalam pelukannya. Sungguh ya
Allah, kalimat bungsunya kali ini tidak dusta. Sungguh
kalimat ini teramat indah. Kalimat yang ihklas tanpa
pengharapan. Maka terimalah.... Gugurkanlah semuanya....
Gugurkan dosa sebatang cokelat itu! **
Sulit terbaca
** Mdldikdl AUl-sang pencdldl kebuiukdn, "leinbukd
buku idksdsdnyd. Me"ge|ud¦ kdn penghdpus 'dksdsdnyd.
Buluh Oud tetas hdii untuk "icnghdpus Oasd •lu. Dud belas
i*d ¦ I ld"9>l, seldid Oud belas <>bu Id h u« bu ini.
Mdkd be i p«<( Id i*, wdhdi pdid pembudi <ndks>dl. Be
¦ pikulan, wdhdi pd<d pembudi zdl><n yd "9 lingd" ld»gd"
"ie«gdinb«l hdk-hdk aid "g Id in.
Ydng dengdn 'o «g be i *d Id i Ah, sepd"jd"g kdini be ¦
bud I bdik, bekeijd bdik, sungguh-sungguh, "idkd udng saga
k <ndsuk keijd dkdn ieid>npuni! Aid u dengdn
sendng beikdldi Ah, sepdnjdng kd<ni ke<nbdli ke «!••
nidS>ng - RidS.ng, be ¦ bud I bdik, 3u ngg u ng-Su ngg u h,
"ldkd seniud Z>nd Idngdn, indld, ddn hdli 'n! dkdn
leidinpuni. Ydng ffiuadh sekdli 'niencuii* Hdklu keijd.
'Mencuii* hdk aidng Id'n. Aid u ddn d Id u Id in nyd.
Bdgd inid nd Id h kdfan dkdn beihdidp dffipundn,
seadngkdn Oasd sebdldng cakeldl Delsd "ie "1 bu lu h kd n
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dud beldS libu Idhun untuk "ie ng hd pusnyd. Sungguh
seniud
utusan in i se hd i usnyd membudi kild mdlu. Mdlu ddn
beipikii! Mdlu! Beipikii!
(Oo-dwkz-oO)
"Ummi, Ummi kemana saja selama ini?" Delisa
mensejajari langkah Ummi. Mereka berdua sekarang
berjalan bersebelahan mengelilingi taman sejuta warna
tersebut.
"Delisa rindu berat Ummi, ya?" Ummi mengelus rambut
pirang Delisa. Tersenyum menggoda. Delisa menganggukangguk
mantap menggemaskan, kan tadi sudah Delisa
bilang. Mata hijaunya berkerjap-kerjap.
"Delisa rinduuuuuuu sekali!" Delisa nyengir, berkata
riang dan keras sekali lagi. Memasang wajah sok-serius.
Ummi tertawa kecil.
"Ummi, Ummi apakah kak Fatimah, kak Zahra kak
Aisyah juga ada di sini?"
Ummi mengangguk riang.
"T-i-u-r.... Tiur juga ada di sini, Mi?"
"Ya.... Kakak-kakaknya Tiur, Ummi Tiur...."
"Wah ramai sekali ya, Mi." Delisa manyun berpikir
tentang sesuatu. Ummi hanya tersenyum. Terus melangkah.
Sekarang mereka melewati sebuah jembatan kayu.
Jembatan kecil yang melewati sebuah sungai.
Delisa melongokkan kepala melihat sungai tersebut.
"Ya ampun.... Itu airnya kenapa putih seperti susu, Mi?"
Delisa berseru norak, sambil berpegangan tubir jembatan.
"Itu memang susu, sayang!" Ummi menjelaskan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sambil untuk kesekian kalinya mengusap rambut pirang
Delisa.
Delisa terpana menatapnya. Nyengir semakin norak.
Delisa serasa ingin loncat saja dari sini. Akan
menyenangkan sekali mandi sekaligus minum dalam inang
air susu ini, Delisa menyimpul senyum bersiap loncat.
Tetapi urung karena Ummi memegang bahunya. Menunjuk
arah kejauhan.
Delisa menatap jauh ke ujung muasal sungai. Mata
hijaunya membulat. Di hulu, mungkin dua kali lemparan
batu Abi jaraknya, di sisi sungai susu tersebut, seseorang
melambaikan tangan. Delisa terkesiap.
"Mi.... Ummi, itu kan Ibu Guru Nur!"
Ummi mengangguk. Membalas melambai. Delisa
berseru senang. Ibu Guru Nur! Ibu Guru Nur membalas
lambaian Ummi. Delisa ikut-ikutan melambai ke arahnya.
"IBU GURU NUR!" Delisa kemudian malah berteriak
kencang-kencang. Mengagetkan burung-burung, kupu-kupu
yang ada di taman itu. Berter-bangan. Ah, Delisa kan tidak
tahu. Di sini kalian bisa mendengar suara orang meski
hanya berbisik. Di sini kalian bisa berpergian jarak jauh
walau hanya sekejap. Tidak ada jarak. Tidak ada waktu.
Tidak ada bentuk. Ummi tertawa kecil. Melanjutkan
langkahnya. Delisa buru-buru ngintil mengikuti.
"Ummi, Ummi.... Delisa ingin tinggal di sini!" Delisa
mengatakan kalimat itu riang sekali. Mukanya bercahaya.
Tangannya menggenggam baju Ummi kencang-kencang.
Dan entah mengapa, Ummi mendadak menghentikan
langkahnya. Diam. Menatap wajah Delisa dengan tatapan
amat serius. Kalimat barusan Delisa membuat gurat muka
Ummi berubah sekali.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ummi menggeleng tegas.
Delisa mengeluh dalam. Gelengan itu.
"Delisa mau tinggal di sini...." Delisa ngotot sekali lagi.
Lupa, bukankah selama ini kalau Ummi sudah menggeleng,
maka ia tidak akan pernah bisa tawar-menawar lagi.
"TIDAK! Delisa tidak bisa tinggal di sini!"
"TAPI DELISA INGIN! DELISA I-N-G-I-NM" Delisa
bandel mencengkeram baju Ummi.
"Delisa harus kembali, sayang, Delisa harus
menyelesaikannya!" Ummi tersenyum tipis menyentuh
bahunya. Sentuhan itu sugestif sekali. Membunuh semua
kengototan di hati Delisa. Seketika.
"Menyelesaikan apa?" Delisa sekarang terbata bingung.
"Delisa harus menyelesaikan hafalan bacaan shalat itu,
sayang. Delisa harus menyelesaikannya!"
Dan kalimat itu menutup pertemuan tersebut. Begitu
saja. Mata Delisa tiba-tiba silau. Perih. Delisa seketika
menutup matanya.
(Oo-dwkz-oO)
Lampu ruangan UGD menyilaukan mata Delisa. Lemah
Delisa mulai siuman. Tangannya juga lemah bergerak
menutupi matanya. Perih. Sekarang sudah pagi di Lhok
Nga. Itu berarti semalaman Delisa tidak sadarkan diri di
ruang UGD rumah sakit. "Delisa-"
Itu bukan suara Ummi. Itu suara Abi. Delisa membuka
matanya. Mulai terbiasa dengan cahaya lampu. Abi berdiri
di sebelah ranjang, bersama kak Ubai. Wajah Abi amat
kusut. Wajah kak Ubai juga kusut.
"D-i-m-a-n-a?" Delisa lemah bertanya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Delisa ada di rumah sakit-" Abi menyentuh jemari
Delisa.
Pelan Delisa bisa mengingat apa yang terjadi padanya.
Rumah sakit? Ah-ya ia tiba-tiba merasa tidak enak selepas
pulang dari pemakaman massal itu. Panas. Badannya terasa
panas sekali waktu itu. Abi kemudian repot mengompres
dahinya. Panas sekali. Hanya itu yang Delisa bisa ingat
kemudian. Sisanya terlupakan.
Kak Ubai mengambilkan segelas air buat Delisa.
Membantu meninumkannya. Delisa menyeringai saat air
itu membasahi kerongkongannya. Terasa menyenangkan,
dr Peter masuk dengan seragam putih. Tersenyum senang
melihat Delisa yang sudah siuman. Memeriksa tubuh
Delisa. Mengangguk-angguk. Bengkak di kepala Delisa juga
sudah menipis.
"Sudah sembuh, kemarin hanya demam biasa anak-anak.
Tetapi harus kuakui, panasnya memang keterlaluan sekali,
Usman. Kalau sudah lewat masa kritisnya semalaman,
Delisa sudah bisa dikatakan sembuh, meski beberapa hari
ini harus banyak istirahat." dr Peter menjelaskan. Abi
mengangguk mendengarkan.
Siang itu Delisa dipindahkan ke ruang rawat biasa. Abi
menemaninya sepanjang hari. Menyuapi Delisa makan.
Menceritakan potongan kejadian malam-malam saat Delisa
dibawa ke rumah sakit. Menghiburnya.
Kak Ubai sudah kembali ke tenda PMI tadi pagi. Delisa
masih banyak berdiam diri. Tidak, kebencian di hatinya
sudah jauh berkurang. Kebencian itu sudah dipanggang
oleh bara pengampunan. Bahkan Engkau menukarnya
dengan mimpi indah tersebut. Meskipun Delisa lupa kalau
ia baru saja bersua dengan Ummi dalam mimpinya. Karena
semua mimpi-mimpi itu selama ini langsung terhapus dari
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
memorinya. Mimpi itu seperti obat yang berlalu membasuh
hati Delisa. Masuk kemudian keluar lagi. Tidak
menyisakan apapun, selain ketenangan.
Delisa tentu saja masih ingat kejadian di pemakaman
massal kemarin. Wajah Umam yang amat senang saat tahu
Umminya kembali. Delisa juga ingat tabiatnya kemarin, Ia
yang malah sebaliknya amat benci saat tahu ternyata hanya
Ummi Umam yang ditemukan. Kebencian yang sekarang
Delisa malu mengingatnya. Bagaimana mungkin ia
menyimpan perasaan dengki seperti itu kepada Umam? Ah,
sekarang perasaan itu benar-benar sudah meleleh.
Bukankah ia seharusnya ikut senang. Ikut bergembira.
Umam kan temannya juga. Umminya Umam berarti
Umminya juga.
Delisa menghela nafas panjang. Ia semakin rindu Ummi.
Rindu ingin bertemu. Delisa rindu—
Ibu Guru Ani dan anak-anak sekolah tenda darurat
datang menjenguk. Ruangan itu jadi ramai. Semua hadir
kecuali Umam. "Umam sedang ke Medan, Delisa!" Ibu
Guru Ani menjelaskan singkat tanpa diminta. Hati-hati
untuk tidak menyebut soal Ummi-nya Umam. Ke anakanak
lain, yang Umminya juga belum ditemukan, Ibu Guru
Ani hanya menjelaskan seperti itu kalau ada yang bertanya.
Penjelasan itu sensitif sekali, kan? Bukan hanya untuk
Delisa.
Tetapi Delisa sudah tahu kenapa Umam ke Medan. Dan
ia tidak ingin bertanya lebih lanjut. Ah, sekali lagi,
bukankah Delisa harusnya senang dengan kabar itu. Ummi
Umam kan baik sekali kepadanya. Sering mengirimi Ummi
masakan rendang. Bahkan sudah menganggap Delisa anak
sendiri, karena anak-anaknya cowok semua. Delisa sering
diajak main lama sekali di rumah Umam (meski terkadang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Umam suka mengusir Delisa kalau Delisa masuk ke
kamarnya).
Koh Acan datang lebih sore lagi. Membawa martabak
Aceh. Sayang martabak itu langsung di sita oleh perawat
rumah sakit. Makanan sejenis itu belum boleh di makan
oleh Delisa. "Haiya, tapi Delisa bisa kan icip-icip dikit?"
Koh Acan ngotot kepada suster yang mengambil bungkusan
martabaknya, orang sudah susah-susah ini bawanya. Abi
hanya menyeringai dari kursinya. Delisa tertawa kecil.
Beberapa kakak-kakak sukarelawan lainnya juga datang
berkunjung ke kamar Delisa. Delisa senang sekali. Senang
mereka semua membawa hadiah.
Makanan. Buku-buku. Kakak-kakak yang di pos depan
barak penampungan itu malah datang dengan dua batang
cokelat. Dan Delisa buru-buru menyembunyikannya. Takut
di sita oleh perawat galak itu.
Bukankah sudah dikatakan sebelumnya, Delisa memang
ngetop di Lhok Nga. Kebiasaannya berkeliling dari satu
tenda ke tenda lain membuatnya dikenal. Apalagi melihat
tampangnya yang amat berbeda. Semua orang seperti
berkepentingan untuk menjenguknya. "Kabar sakitnya
Delisa menjadi //headline// kota Lhok Nga, Usman." itu
becandaan Wak Burhan. Delisa nyengir tidak mengerti apa
maksudnya.
Maka sepanjang hari hingga menjelang isya, Delisa jauh
lebih sehat. Semua kunjungan ini menyenangkan. Membuat
kelam di hatinya berguguran satu persatu. Mutiara itu
kembali terbasuh oleh air. Kembali cemerlang. Delisa
malah membenci gurat pembangkangannya kemarin.
Bingung kenapa ia begitu tega menyumpahi semunya.
Menginjak-injak guratan nama kak Fatimah, kak Zahra dan
kak Aisyah. Menginjak-injak tiga tangkai bunga mawar
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
birunya (yang padahal itulah bunga terakhir yang tersisa
dari pohonnya).
Delisa tidak mengerti kenapa berbagai "kutukan" itu
harus terucap dari bibirnya? **
?? Ah, bahkan nabi-nabi dan orang-orang terbaik
piUhanMu pan sering bertanya. Menuntut penjelasan.
Meminta pemahaman. Masalahnya mereka orang-orang
yang rstigamah. Orang-orang yang mampu membersihkan
hati dari bercak-bercak kemunafikan.
Sedangkan hamba ya AHah? rtamba jauh dari memadai
untuk berhak bertanya padaMu. Tetapi terimalah berbagai
pertanyaan, pengaduan, dan keluh-kesah ini. Ampunkan
jika terlalu dan tak pantas. Dan semoga dengan itu hamba
bisa berkesempatan mendapatkan remah-remah penjelasan.
Dan semoga dengan itu hamba bisa ikut merasakan sisa-sisa
pemahaman.
(Oo-dwkz-oO)
Selepas isya, kak Ubai datang lagi. Abi pulang sebentar
untuk mengambil pakaian ganti dan membenahi rumah
yang sudah ditinggal 24 jam. Abi menitipkan Delisa kepada
kak Ubai.
Kak Ubai tersenyum mengangguk mengantar Abi hingga
lorong rumah sakit, masuk kembali sambil terus menenteng
kameranya. Dan sejurus kemudian, kak Ubai lebih sibuk
memoto-moto Delisa yang terbaring lemah. "Biar Delisa
ada kenang-kenangan.... Kan tampang Delisa lucu sekali
kalau lagi sakit ini!" Kak Ubai hanya nyengir lebar saat
Delisa protes. Sakit-sakit gini malah dipotret. Pas sehatwalafiat
kak Ubai malah sibuk moto dedaunan. Meskipun
demikian, Delisa tetap menyeringai (maksudnya pasang
wajah action; sayangnya lebih mirip menyeringai).
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Puas memoto Delisa, Kak Ubai sambil nyengir lebar
menyeret kursi mendekati ranjang Delisa. Lantas
mengeluarkan selembar kertas dari balik rompinya.
"Ada surat buat Delisa-"
Surat? Mata Delisa langsung membesar. Tetapi kok tidak
ada amplopnya? Hanya selembar kertas? Kak Ubai
menjelaskan, surat itu datang lewat internet. Namanya
email. Mengirimkannya lewat komputer. Sama seperti
orang menelepon. Surat ini dikirimkan lewat kabel-kabel.
Satelit. Sampai seketika saat yang mengirimkannya
menekan tombol
//send//. Lantas orang yang menerimanya bisa mensprinter-
nya seperti foto-foto itu.
Kak Ubai menghela nafas panjang menjelaskan. Lima
belas menit. Bukan! Bukan karena Delisa susah mengerti.
Pertanyaan Delisa yang uniklah yang membuat urusan
jelas-menjelaskan ini menjadi /Aibet//.
"Eh, kalau begitu asyik dong.... Delisa bisa kirim
makanan seketika. Misalnya kirim martabak ke Inggris....
Lewat eternet-" Kak Ubai nyengir memutus penjelasan.
Buru-buru kembali ke topik permasalahan. Surat yang
sedang dipegangnya.
"Dari siapa?" Delisa bertanya. Pertanyaan normal.
Ubai tersenyum. "Dari Sophia!"
"K-a-k C-o-f-i?" Delisa bertanya riang. Ubai
mengangguk.
"Eh, kenapa kak Cofi titip-titip surat lewat kak Ahar?"
Delisa menghentikan keriangannya. Bertanya serius sekali.
Ubai melipat dahinya tidak mengerti.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kak Ubai pacaran ya sama kak Cofi?" Delisa manyun,
ringan sekali mengatakan itu. Kemudian tertawa-tawa kecil
atas ide yang baru saja dipikirkannya. Hanya becandaan
kecil standar Delisa.
Tetapi tidak bagi Ubai. Mukanya langsung memerah.
Lipatan dahinya musnah, berganti semu tersipu. Tiga bulan
terakhir, dia memang pernah bertemu dengan Sophi.
Sebenarnya hanya dua kali di Lhok Nga. Saat Sophi datang
menjenguk Delisa, dan saat Sophi berpamitan. Meski dua
kali, progress pertemuan itu cepat sekali. Ah sudahlah,
urusan ini kan urusan Delisa. Bukan cerita tentang Ubai.
"Eh.... Delisa jangan ngaco, deh!" kak Ubai buru-buru
menatap tajam Delisa yang duduk berbaring di atas bantalbantal.
Delisa yang terus-terusan nyengir malah semakin
manyun menggodanya.
Setelah beberapa saat membahas urusan "tak-penting"
itu, menjelaskan (yang sayangnya malah membuat Delisa
semakin banyak nyeletuk), kak Ubai akhirnya membacakan
surat itu.
Kak Cofi bertanya apa kabar. Delisa mengangguk, kabar
baik. Kak Cofi bertanya bagaimana sekolahnya. Delisa
bilang nilainya bagus-bagus. Main bolanya, tetap jadi kiper.
Surat itu panjaaang sekali.
Kak Cofi bahkan titip salam dari //mam// & //dad//
kak Cofi dari Virginia. Bilang mereka akan senang sekali
menjadi Ummi dan Abi buat Delisa. Bilang mereka ingin
sekali menyempatkan datang berkunjung ke Lhok Nga.
Mata Delisa langsung berbinar-binar. Itu berarti cokelat
yang banyak!
Dan yang lebih penting lagi, surat kak Cofi menyuruh
Delisa belajar menggunakan komputer. Belajar
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menggunakan eternet. Agar Delisa bisa berhubungan
dengan kak Cofi—//ceting//; ah Delisa lupa namanya.
Delisa mengangguk-angguk senang. Ia akan belajar. Kan di
dalam suratnya, kak Cofi menyuruh kak Ubai untuk
mengajarinya. Nanti setelah ia pulang dari rumah sakit ini
Delisa akan sering main ke posko kak Ubai.
Selesai. Surat itu selesai dibaca kak Ubai.
Meski panjang, hanya butuh sepuluh menit untuk
membacanya. Yang lama setengah jam berikutnya
dihabiskan oleh Delisa yang sibuk mendaftar isi surat
balasannya. Kak Cofi kan menyuruh kak Ubai untuk
membuatkan balasannya. Jadi Delisa mulai mendaftar apa
saja yang ingin diceritakannya. Kak Ubai menyeringai tipis.
Diam mendengarkan Delisa yang berbicara banyak.
Mendaftar kabar dan ceritanya.
Lima menit kemudian. Tanpa disadari Delisa, ia
memulai pembicaraan super-penting itu. Ia mulai
memasuki wilayah penjelasan yang selama ini ia cari.
Semua keriangan ini tanpa disadarinya membawa Delisa ke
persoalan yang selama ini disembunyikannya.
Jawaban atas pertanyaannya!
Jawaban atas urusan hafalan bacaan shalatnya. Yang
sebenarnya sederhana, tetapi terkadang karena
kesederhanaannya itulah banyak orang yang alpa.
"Bilang.... Eh.... Apalagi ya? Ah-iya, kak Ubai bilang ke
kak Cofi, Delisa belum hafal juga bacaan shalatnya....
Susah sekali... Su-" Kalimat Delisa terputus. Keceriaannya
hilang seketika. Hei! Ia tak sengaja mengungkapkan gumpal
permasalahan tersebut.
Kak Ubai yang tidak menyadari kalau permasalahan itu
serius bagi Delisa masih mengangguk-angguk saja.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Menunggu kelanjutan ucapan Delisa. Mengabaikan
ekspresi kelu Delisa di hadapannya.
Tetapi Delisa masih terdiam. Ya Allah, bukankah
sudah tiga bulan lebih ia berusaha untuk menghafal
kembali bacaan shalatnya. Tiga bulan lamanya! Dan
sedikitpun ia tidak mengalami kemajuan. Susaaaaah sekali.
Bacaan shalat itu menolaknya mentah-mentah.
Melemparkan semua yang telah ia ?afal tanpa ampun keluar
lagi dari memori otaknya.
Delisa diam semakin kelu. Berpikir. Sekarang masalah
ini benar-benar mengganggunya. Delisa harus bertanya. Ia
harus menemukan jawabannya. Bertanya—
"K-a-k A-z-h-a-r...." Delisa menelan ludahnya. Baiklah,
ia akan bertanya dengan kak Ubai. Tetapi kenapa pula
susah sekali untuk mengeluarkan pertanyaan ini.
Kak Ubai yang bahkan sampai pura-pura terkantuk
menunggu Delisa melanjutkan daftar pesanannya untuk
surat balasan ke Shopia menoleh. Tersenyum. Ya, ada apa?
"Kenapa susaaaah sekali?" Delisa bertanya datar.
Memasang raut muka sebiasa mungkin. Kak Ubai malah
menjadi "tidak biasa". Pertanyaan Delisa aneh. Sejak kapan
kalimat Delisa menggantung seperti ini.
"Susah apanya, Delisa?"
Delisa diam. Aduh, kan Delisa tidak mau kak Ubai tahu
semuanya.
"Kenapa Delisa sekarang susah sekali mengerjakan
seuatu!" Delisa nyengir senang dengan idenya. Sesuatu. Ia
kan tidak mesti menyebutkan hafalan bacaan shalat kan.
"Hm.... Memangnya Delisa lagi susah mengerjakan
apa?" kak Ubai bertanya santai. Menyelidik.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ada deh.... Pokoknya Delisa susaaah sekali
melakukannya!" Ah, kak Ubai kadang sama dengan kak
Aisyah nggak sensitif. Pokoknya jawab saja napa.
Beruntung sebelum Delisa semakin manyun, kak Ubai
menjawab pertanyaan itu dengan serius.
"Orang-orang yang kesulitan melakukan kebaikan itu,
mungkin karena hatinya Delisa.... Hatinya tidak ihklas!
Hatinya jauh dari ketulusan...."
"Tidak ihklas? Tidak ihklas bagaimana maksud kak
Ubai!" Delisa menelan ludahnya.
"Ya, misalnya kalau orang tersebut merasa terpaksa
melakukan sesuatu itu. Misalnya seperti Delisa yang
terpaksa disuruh Abi membersihkan rumah, atau apalah!"
"Nggak.... Delisa nggak pernah ngerasa terpaksa, kok!"
Delisa kencang menggelengkan kepalanya. Terpaksa
menghafal bacaan shalat?
"Kan tadi misal, sayang.... Atau bisa juga misalnya
seperti mengharap hadiah.... Mengharap imbalan... Orang
itu melakukannya bukan karena sesuatu yang lebih hakiki,
hmm maksud kak Ubai bukan karena sesuatu yang lebih
mulia. Bukan karena Allah. Orang itu tidak ihklas. Tidak
tulus. Hanya berharap hadiah, hadiah, dan hadiah! Dan
Allah menutup pintu-pintu kebaikan dari orang-orang
seperti itu."
Delisa tercenung seketika. Terdiam membatu.
Sungguh Delisa tidak mengerti apa maksud penjelasan
kak Ubai. Bukankah Delisa sudah ihklas menghafal bacaan
shalatnya. Tidak ada paksaan sama sekali. Delisa juga
sudah tulus menghafal bacaan shalat itu. Kan sama sekali
tidak ada hadiah yang dijanjikan? Tidak ada? Kecuali janji
sepeda dari Abi. Tetapi itu kan baru Abi bilang setelah ia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berhasil menghafalnya dulu. Janji hadiah sepeda itu baru
dikatakan Abi setelah ia banyak menghafal dulu.
Lantas di mana masalahnya? Delisa mengeluh kelu. **
(Oo-dwkz-oO)
** Urusan kalung itu benar-benar terlupakan. Terhapus
dari kepala Delisa hingga beberapa jam kemudian.
Terhapus dari memorinya hingga beberapa saat kemudian.
Terhapus hingga ketika Engkau akhirnya berbaik hati
mengirimkan penjelasan lewat cara yang paling disukai
Delisa. Ya Allah, apakah semua hambaMu pernah
mendapatkan kesempatan seperti itu? Apakah semua
hambaMu berhak atas sebuah penjelasan? Penjelasan yang
Kau kirimkan langsung dari aras y Mu. Bukan penjelasan
lewat buku-buku. Bukan penjelasan lewat orang-orang
/ainnya. Tsetapi penjelasan yang tiba di hati secara
langsung. Tercerna begitu saja, kemudian mengalir bersama
merahnya darah kami. Penjelasan tentang semua hidup dan
kehidupan ini.... Penjelasan atas semua pertanyaanpertanyaan
kami....
(Oo-dwkz-oO)
18. Ajarka n k am i art i memaham i!
Malam datang menjelang. Kak Ubai sudah lama pulang.
Abi datang menggantikannya berjaga. Dari rumah sakit ini
suara debur ombak tidak terdengar. Maka malam benarbenar
sempurna sepi. Lhok Nga jatuh lelap dalam mimpi.
Abi juga sudah lama tertidur. Di atas kursi dengan kepala di
atas ranjang, tergolek lemah di sebelah Delisa. Delisa juga
terlelap.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dua-pertiga malam. Waktu yang mulia. Waktu yang
dijanjikan dalam ayat-ayatMu. Dan Delisa sekali lagi
berkesempatan mendapatkan penjelasan dari langit.
Penjelasan tentang urusan hafalan bacaan shalatnya.
Penjelasan itu datang lewat mimpi. Mimpi terakhirnya
dalam semua urusan ini. Mimpi yang kali ini Delisa
diijinkan untuk mengingatnya. Mimpi yang sebenarnya
akan ia ingat selalu.
(Oo-dwkz-oO)
Delisa sibuk mengejar kupu-kupu di taman indah
tersebut. Berlari kesana-kemari. Kupu-kupu itu indah sekali.
Jutaan warnanya. Taman ini juga indah sekali. Jutaan
bunganya. Ada pelangi yang silang-menyilang di langitlangit.
Jutaan warnanya.
Delisa tertawa-tawa menyibak bebungaan. Kupu-kupu
itu lincah. Susah ditangkap. Padahal Delisa hanya ingin
melihat mereka dari jarak dekat saja. Nanti-nanti pasti
dilepaskan.
Delisa tiba di depan gerbang taman tersebut beberapa
saat yang lalu. Tiba begitu saja. Dan kali ini Delisa bisa
melangkah. Bisa bergerak. Delisa bisa masuk ke dalam
taman. Maka masuklah Delisa. Masuk dengan riang.
Langsung disambut oleh pemandangan berjuta warna ini.
Lama sekali Delisa mengejar kupu-kupu tersebut. Tak
satu pun yang berhasil ia tangkap. Delisa sambil tertawatawa
akhirnya jatuh terduduk. Lelah. Kupu-kupu itu jauh
lebih gesit darinya. Bagaimana mungkin? Kalau begitu tidak
akan ada anak lain yang mampu menangkapnya.
Delisa nyengir memikirkannya sambil duduk men-jeplak
di atas rumput hijau yang lembut. Rambut pirangnya ditiup
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
angin lembut. Segar sekali. Apalagi Delisa habis keringatan
ini. Terasa sejuk. Delisa melepas kerudung dari lehernya.
Menyeka keringat di dahi dan leher. Dengan kerudung itu.
Semua ini menyenangkan. Semua ini terasa berbeda.
Tempat ini indah sekali. Di manakah?
Ketika Delisa masih sibuk melepas lelahnya, sibuk
berpikir menatap sekitar. Sibuk menghirup bersihnya udara.
Ada yang menyentuh bahunya. Lembut. Delisa sontak
menoleh. U-m-m-i!
Ya Allah, Ummi yang menyentuh bahunya.
Ummi duduk jongkok di belakang Delisa. Mata Ummi
bening menatap bercahaya. Muka teduh Ummi mengukir
sejuta rasa sayang, sejuta kerinduan, sejuta perasaan.
"U-M-M-I! UMMI!!" Delisa buncah oleh rasa gembira.
Delisa tersengal oleh rasa senang. Delisa bangkit berdiri.
Lantas loncat keras sekali ke dalam pelukan Ummi. Saking
kerasnya loncatan itu, Ummi jadi jatuh terjengkang.
Ummi dan Delisa berpelukan sambil jatuh ke tanah.
Bergulingan di atas permadani rumput hijau. Ummi
tertawa. Delisa lebih keras lagi tawanya. Menyeringai.
Bangkit dari atas tubuh Ummi. Membantu Ummi duduk
kembali.
Ya Allah, Ummi! Ummi menemuinya.
Lama Delisa menatap wajah Ummi. Terdiam. Seolaholah
tak percaya. Ummi juga ikutan memandang wajah
bungsunya.
Jemari tangan kanan Delisa terjulur. Lama Delisa
menyentuh pipi Ummi dengan jemarinya. Ummi yang
selalu ia rindukan. Ummi yang selalu terkenang. Sekarang
bertemu di sini. Lihatlah! Delisa bisa membelai lembut pipi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ummi seperti dulu. Delisa bisa melakukannya. Delisa bisa
memandang wajah teduh Ummi. Delisa bisa menatap
beningnya mata Ummi. Semua ini sungguh nyata. Dan
demi kesadaran itu,
Delisa tiba-tiba menangis. Tersedan.
"Ada apa, sayang?" Ummi bertanya lembut, memegang
lengan Delisa yang terhenti menyentuh pipinya.
"Ummi.... U-m-m-i, Delisa rindu Ummi.... Delisa
rinduuuu sekali.... U-m-m-i, Delisa cinta Ummi karena
Allah!" Delisa berkata lemah. Delisa menguntai kata di
tengah sedu-sedannya.
Ummi tersenyum amat indah. Lantas sekali lagi
merengkuh Delisa erat-erat dalam pelukannya. Sungguh ya
Allah, kalimat bungsunya kali ini tidak dusta. Sungguh
kalimat ini teramat indah. Kalimat yang ihklas tanpa
pengharapan. Maka terimalah.... Gugurkanlah semuanya....
Gugurkan dosa sebatang cokelat itu!
Ummi dan Delisa lantas berjalan berkeliling taman indah
itu. Sama seperti mimpi semalam. Amat norak menatap
sungai berairkan susu, bahkan hendak loncat. Delisa
bertemu dengan Ibu Guru Nur. Lantas ketika Delisa bilang
ingin tinggal di sana, Ummi seketika menghardiknya.
"TIDAK! Delisa tidak bisa tinggal di sini!"
"TAPI DELISA INGIN! DELISA I-N-G-I-NM" Delisa
bandel mencengkeram baju Ummi.
"Delisa harus kembali, sayang, Delisa harus
menyelesaikannya!" Ummi tersenyum tipis menyentuh
bahunya. Sentuhan itu sugestif sekali. Membunuh semua
kengototan di hati Delisa. Seketika.
"Menyelesaikan apa?" Delisa sekarang terbata bingung.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Delisa harus menyelesaikan hafalan bacaan shalat itu,
sayang. Delisa harus menyelesaikannya!"
Delisa terdiam. Hafalan bacaan shalatnya? Ah-iya Tetapi
Delisa kan bisa menghafalnya di sini. Apa bedanya. Di sana
dan di sini! Sekali lagi Delisa bandel berpikir. Bersiap
menumpahkan pertanyaan berikutnya.
Tetapi, hei! Ummi mengambil sesuatu dari langit-langit
di antara mereka berdiri. Ummi meraih lembut udara
kosong di hadapan mereka dengan tangan kanannya.
Seperti sedang meraih seekor nyamuk yang terbang. Ummi
menggenggam udara itu, lantas pelan menyerahkan kepalan
tangannya ke arah Delisa. Delisa menatap bingung. Ummi
tersenyum. Menunjukkan kepalan tangannya. Lantas
membukanya pelan-pelan. Dalam sebuah gerakan lambat
yang mempesona—
Kemilau indah berwarna kuning menjuntai dari tangan
Ummi. Delisa menatap takjub. Cahaya itu amat
menggentarkan. Lebih indah dari senja di pantai Lhok Nga.
Dan ketika kepalan tangan Ummi sempurna terbuka, Delisa
mengenali benda tersebut. Sehelai kalung. Kalung yang
elok. Ada huruf D. D untuk Delisa.
Seketika Delisa ingat.
Seketika Delisa paham.
Seketika Delisa menyadarinya.
Ya Allah, apa yang telah ia lakukan selama ini. Ya Allah
apa yang telah ia perbuat selama ini. Ya Allah Delisa
sungguh tak tahu. Delisa sungguh tak paham sebelumnya.
Sungguh Delisa tidak mengerti sebelumnya. Dan sekarang?
Delisa tiba-tiba jatuh terduduk. Ia menangis. Semua
keburukan itu mengiang di kepalanya. Semua kemunafikan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang dilakukan olehnya selama ini ... menghantam kuatkuat
hatinya.
Ya Allah, Delisa jahat sekali.
J-a-h-a-t! Delisa tergugu mengakui.
Ia menipu Ummi hanya demi sebatang cokelat. Ia juga
dulu pernah menipu Abi. Menipu kak Fatimah. Kak Zahra.
Juga kak Aisyah. Ya Allah, Delisa juga sering menipu
Tiur.... Ustadz Rahman.... Ibu Guru Nur.... Delisa-lah yang
lebih jahat dibandingkan siapapun, juga dibandingkan
Umam.
Dan sekarang! Lihatlah! Delisa menipu Engkau ya
Allah. Berani sekali Delisa hanya menghafal bacaan shalat
itu demi seuntai kalung ini. Delisa menangis tergugu.
Kesadaran itu datang. Benar! Kak Ubai benar sekali! Pintupintu
kebaikan itu tertutup bagi orang-orang yang tidak
tulus. Terkunci bagi orang-orang yang tidak ihklas. Dan
Delisa benar-benar tidak ihklas. Tidak tulus. Semata-mata
hanya berharap hadiah.
Lama Delisa tertunduk. Tersedan.
Ummi duduk di hadapan Delisa. Menyentuh dagu
bungsunya. Lembut mengangkat kepala Delisa. Mata
Ummi bening menyapu bungsunya yang bersedih. Muka
Ummi teduh menatap bungsunya yang merasa amat
bersalah. Lihatlah, penyesalan yang belum terlambat selalu
terasa "indah"! Tidak mengenal batas. Tidak mengenal
ukuran.
Dan Ummi tersenyum amat elok.
"Tidak, sayang.... Kalung ini tetap akan menjadi hadiah
hafalan bacaan shalat dari Ummi.... Tetap akan menjadi
hadiah dari Ummi.... Sementara dari langit, Allah akan
menyiapkan hadiah yang lebih indah.... Hadiah yang lebih
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
baik dari bumi dan seisinya." Ummi mengelus lembut pipi
Delisa. Menghapus lemah bilur air mata di pipi kanakkanak
yang halus. Menghibur kesedihan di hati bungsunya.
Delisa menggeleng kuat-kuat. Saking kuatnya, bulir air
mata di pelepah mata Delisa terpercik ke tanah. Rambut
ikal pirangnya bergoyang-goyang.
"Delisa tidak ingin lagi kalung ini.... Delisa tidak ingin
lagi!" Delisa menangis tersedu.
"Delisa hanya ingin bisa shalat dengan baik... Delisa
hanya ingin mendoakan kak Aisyah. Mendoakan kak
Zahra. Mendoakan kak Fatimah. Delisa hanya ingin
mendoakan mereka dalam shalat....
"DELISA TIDAK INGIN LAGI KALUNG ITU!"
Delisa berteriak parau.
"Delisa hanya ingin hafal shalatnya! Delisa hanya ingin
berdoa agar Delisa selalu bersama Ummi dalam shalat....
Delisa hanya ingin itu.... Delisa hanya ingin shalat! Delisa
hanya ingin berdoa agar bisa bertemu Ummi...." Mata hijau
Delisa buncah oleh penyesalan. Buncah oleh pemahaman
yang tiba-tiba ditumbuhkan dalam hatinya.
Ummi tersenyum takjim. Mencium kening bungsunya.
"Dan Delisa akan mendapatkannya sayang," Ummi
berbisik seperti mengabarkan sebuah kabar baik, "Allah
akan menjadikan semua itu hadiah untuk Delisa.... Hadiah
hafalan bacaan shalat untuk Delisa. Delisa akan bertemu
dengan Ummi.... Suatu saat nanti!"
Ummi membelai rambut ikal-pirang Delisa.
"Oleh karena itu, Delisa harus kembali. Delisa harus
menyelesaikannya, sayang.... Delisa harus
menyelesaikannya di sana! Bukan di sini!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ummi beranjak berdiri. Menuntun Delisa berdiri. Lantas
dengan anggun, membimbing Delisa melangkah menuju
gerbang taman indah tersebut. Mengajak Delisa ke jalan
setapak di luar taman. Tempat dulu Delisa terbaring lemah
tak bisa bergerak.
Ummi mengajak Delisa kembali!
(Oo-dwkz-oO)
Delisa terbangun!
Terbangun sambil menangis. Mimpi itu nyata sekali.
Mimpi itu dekat sekali. Delisa mengeluh tertahan. Ummi?
Delisa mendesis lemah. Kalung itu! D untuk Delisa!
Ia sekarang bisa merangkaikan semua kejadian itu
menjadi sebuah penjelasan yang indah. Sebuah pemahaman
yang baik. Jawaban atas masalahnya. Menggabungkannya
dengan kata- kata kak Ubai tadi sore. Kata-kata Abi dulu.
Kata-kata ustadz Rahman di meunasah. Kata-kata Ibu
Guru Nur di kelas. Kata-kata Ummi barusan. Tidak!
Semuanya tidak bohong! Semuanya benar. Hanya Delisalah
yang tidak pernah mengerti. Hanya Delisa-lah yang
belum tahu selama ini. Karena Delisa lalai untuk
melihatnya.
Ia menyesal ya Allah. Delisa tersungkur di atas
ranjangnya. Penuh penyesalan. **
(Oo-dwkz-oO)
** Itu cemburuku yang ke-sekian. Gadis kecil itu baru 6
tahun. Tak mengerti hidup dan kehidupan. Tak paham mati
dan kematian. Umurku saat ini 26 tahun. Bergelimang
bangga dengan ilmu yang kudapatkan dari bangku
universitas ternama. Bergelimang bangga dengan berbagai
tulisan yang mungkin dibaca juta orang. Bergelimang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bangga atas semua pemahaman dangkal. Bergelimang
bangga atas semu itu.
Tetapi setelah sekian lama, tak pernah kudapatkan
hakikat penjelasan itu ya Allah? Tak pernah kudapatkan
hakikat jawaban itu? Sementara Delisa, gadis kecil enam
tahun itu kau berikan kesempatan yang luar biasa? Apakah
hati ini terlalu kotor ya Allah? Apa hati ini amat munafik?
Apa hati ini terlalu dangkal untuk menangkap
penjelasanMu. Semua penjelasanMu yang tergurat di bumi.
Terlukis di langit. Apakah hati ini terlalu lemah untuk
mengerti. Untuk memahami....
Bahkan setelah sekian lama, hati ini masih kuyu
bertanya: apa arti hidup dan kehidupan? Apa makna mati
dan kematian?
Catatan Penalist kisah ini secara konseptual berakhir
hingga di sini. Ketika sebuah pemahaman muncul. Ketika
sebuah pengertian datang. Tidak penting akan berakhir
seperti apa sebuah cerita. Tidak penting seberbeda apapun
jalan kehidupan yang kita pilih. Tidak peduli seberapa jauh
kalian dengan standar hidup yang diciptakan oleh manusia.
Semuanya sudah "selesai".
(Oo-dwkzoO)
19. Had iah hafa lan sha lat De lisa
Bacaan shalat itu seperti berbicara kepada Delisa.
Esok sorenya, dr Peter mengijinkan Delisa pulang. Di
antar oleh kak Ubai menumpang jeep tua. Abi tersenyum
riang sepanjang perjalanan. Meski tidak banyak bercerita
dan tertawa. Delisa sedikit bingung melihat perangai Abi.
Pasti ada yang disembunyikannya. Ternyata Abi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menyiapkan kejutan di rumah. Ada "pesta" penyambutan
kecil untuknya.
Ibu Guru Ani, teman-teman sekelasnya, Koh Acan, Wak
Burhan, kakak-kakak sukarelawan itu berkumpul di rumah.
Delisa nyengir senang. Ia sehat. Jauh dari cukup untuk
menghabiskan kue-kue dan manisan yang banyak terhidang
di atas meja kalau Kak Ubai tidak sibuk mengingatkannya.
Memang tidak ada uang receh yang dilempar, tetapi ini
sudah lebih dari menyenangkan.
Seorang kakak-kakak sukarelawan teman kak Ubai
menyerahkan sesuatu kepadanya. Bungkusan yang besar.
Yang lain berseru senang meneriaki Delisa agar
membukanya. Delisa tidak perlu dibilang dua kali.
Tangannya sudah merobek bungkus kotak besar tersebut.
Kaki palsu!
Kaki palsu dari dr Eli. Baru tiba di posko PMI tadi sore.
Seisi ruangan berseru senang sekali lagi. Beramai-ramai
menyemangati Delisa saat kakak-kakak perawat tadi
memasangkan kaki palsu tersebut ke kakinya. Delisa
nyengir senang sekali. Ah, kalau begini urusannya, ia bisa
lari lebih cepat. Posisi //striker// itu akan kembali jadi
miliknya. Delisa manyun sendiri membayangkan banyak
hal.
Dan sisa malam itu, esok paginya, hari-hari berikutnya
berjalan amat cepat bagi Delisa.
(Oo-dwkz-oO)
Bacaan shalat itu seperti berbicara kepada Delisa.
Delisa sibuk kembali ke sekolah. Sibuk membiasakan diri
berjalan dengan kaki palsunya, yang tidak sulit. Sibuk
mengaji TPA dengan kak Ubai. Sibuk bermain bola di
pantai Lhok Nga yang sudah bersih seperti sedia kala.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Berbagai tumpukan sampah itu sudah diangkut. Delisa
tetap menjadi kiper. "Kami tidak pernah punya kiper
sehebat Delisa!" itu bujuk teman-temannya. Delisa mengkal
sekali, mesti akhirnya mengalah. Ia kan juga menikmati
posisi tersebut. Meneriaki teman-temannya yang lamban di
depan.
Delisa juga sibuk belajar menggunakan eternet di posko
PMI kak Ubai, sekarang mereka pindah ke salah satu
gedung yang sudah selesai dibangun kembali. Juga
beberapa posko sukarelawan lainnya. Bekas sekolah Delisa
dulu juga sedang sibuk dibangun. Lebih besar dan lebih
bagus. Lhok Nga menggeliat pulih dengan berbagai
bangunan yang menyeruak dari petak-petak tanah kosong.
Lhok Nga menjemput perbaikan fisik yang akan
memulihkan keindahan kotanya.
Ternyata asyik sekali ceting itu! Delisa tidak hanya
"ngobrol" dengan kak Cofi, tetapi juga dengan dr Eli, juga
dengan mam & dad kak Cofi, Om Ahmed dan Om Salam,
meskipun yang terakhir disebut lebih banyak Delisa yang
"bicara" di layar komputer, Om Salam tetap sependiam
dulu. Dan Delisa juga ceting dengan Michelle &
Margaretha. Seru sekali! Apalagi saat kak Ubai memasang
kamera kecil di atas layar komputer. Web, apalah! Aduh,
Delisa nggak ingat namanya. Yang penting semuanya seru
dan keren.
(Oo-dwkz-oO)
Bacaan shalat itu seperti berbicara kepada Delisa.
Ini yang jauh lebih penting dari semuanya. Setelah
pulang dari rumah sakit tersebut, ketika Delisa kembali
membuka buku hafalan bacaan shalatnya. Kalimat-kalimat
bacaan shalat itu seperti berbicara kepadanya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Cepat sekali Delisa menghafalnya. Delisa bahkan
mendapatkan hadiah terindah dari semua penyesalan atas
tabiatnya selama ini. Delisa tidak menyadarinya sekarang.
Nanti! Suatu saat baru ia akan tahu. Pemahaman atas
berbagai bacaan shalat tersebut. Mengapa bacaan tersebut
harus demikian. Mengapa kalimatnya meski demikian.
Pemahaman yang ditanamkan langsung dalam hatinya.
Lepas satu minggu, Delisa sudah nyaris hafal
seluruhnya. Shalatnya jauh lebih nyaman. Shalatnya jauh
lebih khusuk. Delisa bisa berdoa lebih baik. Mendoakan kak
Fatimah, mendoakan kak Zahra, mendoakan kak Aisyah.
Mendoakan Ummi, di mana pun Ummi sekarang berada.
(Oo-dwkz-oO)
Sabtu sore, 21 Mei 2005. Kak Ubai mengajak kelas
mengaji TPA-nya belajar di luar. Mereka semenjak pulang
sekolah sudah berkumpul senang di depan meunasah. Kak
Ubai meminjam dua mobil dari posko PMI. Beramai-ramai
Delisa dan teman-temannya naik ke atas mobil tersebut.
Berdesak-desakan. Tetapi tetap bernyanyi senang sepanjang
perjalanan.
Hari ini kak Ubai mengajak mereka ke salah satu bukit
yang banyak terdapat di Lhok Nga. Enam kilo meter dari
sekolah Delisa. Di salah satu lapangan yang terdapat di
lereng bukit tersebut, mereka membuat lingkaran besar. Di
sanalah tempat mengaji TPA mereka hari itu.
Kak Ubai meminta mereka mengeluarkan ember berisi
pasir yang mereka bawa tadi siang. Delisa dan temantemannya
akan belajar menggurat kaligrafi di atas pasir
tersebut. Ember plastik ukuran biasa. Di dalamnya dipenuhi
pasir. Kak Ubai lebih suka mengajarkan kaligrafi di atas
pasir. Lebih mudah dihapus kalau terlihat jelek. Maka
ramai mereka menulis-menghapus-menulis lagi sepanjang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
siang itu. Masing-masing sibuk membandingkan guratan
kaligrafi satu sama lain. Kak Ubai berkeliling membantu
anak-anak.
Hari ini amat menyenangkan bagi Delisa. Rambut
pirangnya bergoyang-goyang saat telunjuknya menggurat
huruf di atas pasir embernya. Gigi tanggal Delisa sudah
tumbuh. Hanya semili. Putih. Membuat wajahnya yang
sedang serius menulis dengan mulut terbuka sedikit terlihat
menggemaskan. Urusan tulis-menulis beginian, Delisa
nomor satu. Kak Ubai saja hanya melewatinya. Tidak
berkomentar banyak melihat kaligrafi Delisa.
(Oo-dwkz-oO)
Satu jam setelah begitu banyak hapus-menghapus di atas
pasir tersebut, kak Ubai menghentikan pelajaran kaligrafi.
Adzan ashar terdengar dari kejauhan. Kak Ubai menyuruh
mereka mengambil wudhu. Didekat lapangan luas di kaki
bukit tersebut ada sebuah anak sungai kecil yang bening
airnya. Ke sanalah Delisa dan teman-temannya mengambil
wudhu.
Menggulung lengan dan celana seragam TPA mereka.
Kerudung Delisa sih sudah dari tadi dilepas. Kak Ubai
membentangkan tikar-tikar yang sudah disiapkan di atas
lapangan. Mereka akan shalat berjamaah. Kak Ubai
menjadi imamnya.
Delisa shalat. Semesta alam bersiap.
Itulah! Tanpa Delisa sadari, itulah shalat pertamanya
yang akan sempurna. Itulah shalat pertamanya yang
lengkap. Utuh. Tak lupa satu bacaan-pun. Tak lalai satu
gerakan-pun.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ustadz Rahman dulu pernah berkata, jangan tinggalkan
shalat yang lima, terutama shalat yang itu! Ashar? Tidak
ada yang tahu shalat yang mana itu!
Dan Delisa bersiap menjemput shalat itu.
Ketika kak Ubai di depan bersuara mantap mengangkat
tangan untuk takbir pertama. Delisa di belakang bergetar
mengikuti mengangkat tangannya. Bibir Delisa lembut
mendesahkan takbiratul-ihram.
"Allaahu-akbar."
Seribu malaikat turun dari arasy-Mu. Melesat
mengungkung bukit kecil tersebut. Seribu malaikat bersiap
menjadi saksi agung semua urusan ini. Jikalau kalian bisa
melihat malaikat-malaikat tersebut. Satu sayap-sayap
mereka saja niscaya sudah cukup membentang memenuhi
langit-langit. Menutup sempurna cahaya matahari.
Delisa takjim membaca doa iftitah. "Innashalati,
wanusuki, wa-ma-... wa-ma-... wa-ma-yah-ya, wa-ma-mati....
Tiba bibir Delisa di kata wa-ma-ma-ti, lautan bergolak
lembut. Angin bertiup mempesona. Gunung-gunung
bergetar lemah. Ujung-ujung pohon meliuk menunduk.
Dedaunan semilisik menyebut salam.
Delisa membaca al-fatihah. Delisa membaca surat
pendek. "Ar-ro-ai-tal-la-zi yu-kad-di-bu-bid-din. Pa-dja-likal-
la-ji ya-du'ul ya-tim...."
Tidak. Sungguh Delisa tidak pernah sendirian. Ia punya
teman lebih banyak dari dunia dan seluruh isinya. Juga
kanak-kanak lainnya di muka bumi ini! Mereka tidak
pernah sendirian.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Delisa turun untuk ruku. Delisa bangkit untuk i'tidal.
Kemudian tubuh Delisa meluncur untuk sujud. "Allaahuakbar".
Muka basahnya menyentuh tikar pandan. Telapak
tangan basahnya menyentuh tikar pandan. Delisa sujud
dengan sempurna untuk pertama kalinya. Delisa
menyambung sujud yang terputus oleh gelombang tsunami
itu. Delisa sujud—
Sungguh sebuah tahan penghambaan yang sempurna.
Delisa tidak ingat siapapun lagi saat sujud. Pikiran Delisa
satu! Delisa ingin khusuk. Maka arasy Allah bergetar.
Semburat cahaya indah itu membuncah langit. Selaksa
cahaya menakjubkan itu menggentarkan semesta alam.
Ya Allah, sungguh, kami tidak pernah memiliki! Kami
tidak pernah mempunyai! Engkau-lah yang maha memiliki.
Engkau-lah yang maha mempunyai. Ya Allah, bahkan diri
kami sendiri bukan milik kami!
Delisa bangkit dari sujudnya. Duduk di antara dua sujud.
Doa-doa keluar dari bibir mungilnya.
Delisa tidak terbolak-balik. Delisa bahkan membaca doa
itu dengan sempurna. Kalimat itu seperti berbicara
padanya. Delisa beranjak berdiri. Rakaat kedua. Membaca
al-fatihah. Membaca alam-nasrah! Tiba di janjiMu.
Takbir—.
Tiba di gerakan-gerakan shalat berikutnya. Tiba di
bacaan-bacaan shalat berikutnya. Hingga akhirnya lemah
suara Delisa menyebut salam. Syahdu salam itu terucap.
Seribu malaikat di atas bukit membalas ucapan salam
tersebut. Semesta alam ramai membalas ucapan salam
tersebut.
Dan Delisa entah mengapa terisak pelan. Delisa
menangis. Matanya basah. Ya Allah, Delisa akhirnya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menyadari kalau ia baru saja bisa mengerjakan shalatnya
dengan lengkap. Gadis kecil itu bahagia sekali. Untuk
pertama kalinya ia menyelesaikan shalatnya dengan baik.
Shalat yang indah. Delisa membaca dari awal hingga akhir
bacaan shalatnya. Tidak lupa! Tidak tertukar-tukar.
Delisa terisak. Lihatlah! Di sini tidak ada Ibu Guru Nur
yang akan memberikan piagam kelulusan. Di sini tidak ada
ustadz Rahman yang akan memujinya, lantas memberikan
sebatang cokelat. Tidak ada kak Fatimah yang akan
membanggakannya. Tidak ada kak Zahra yang akan
menyeringai senang menatapnya, kemudian entah
menempelkan apa di kamar mereka. Tidak ada kak Aisyah,
yang meskipun entah Delisa tidak tahu kak Aisyah akan
melakukan apa.
Dan di sini, tidak ada Ummi. Ya Allah di sini tidak ada
Ummi. Yang akan tersenyum senang melihat Delisa
menyelesaikan hafalan bacaan shalatnya. Yang akan
membelai kerudung birunya. Ya Allah, Delisa ingin Ummi.
Delisa ingin jumpa Ummi. Delisa rindu sekali. Teramat
rindu! Delisa ingin memeluknya!
Tidak! Delisa tidak ingin kalung itu. Delisa tidak ingin
semuanya. Delisa hanya ingin di saat pertama kalinya ia
baru saja menyelesaikan hafalan bacaan shalatnya, Delisa
ingin ada Ummi yang melihatnya. Delisa hanya ingin
memeluk Ummi. Kemudian berbisik di telinga Ummi.
Menyampaikan kabar bahagia ini. Ya Allah—
Kak Ubai merengkuh Delisa yang terisak. Teman-teman
lainnya memandang tak mengerti. Sibuk membenahi
pakaian shalat masing-masing. Kak Ubai juga tidak tahu
kenapa Delisa menangis. Yang kak Ubai tahu, muka Delisa
bercahaya. Kerudung Delisa bercahaya. Kerudung Delisa
bagai terbuat dari air. Mengalir ketika disentuh. Menembus
ujung-ujung jari.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Semua ini sungguh terasa mengharukan. Indah! Hari itu,
sore itu, waktu itu, penduduk langit mencatatnya dengan
baik.
(Oo-dwkz-oO)
Maha suci Engkau, ya Allah! Yang selalu menepati janji.
Cukuplah percaya dengan satu janjiMu, Maka kehidupan di
dunia ini akan terasa jauh lebih indah.... Semua akan terasa
jauh lebih indah.
(Oo-dwkz-oO)
Epilog:
Sore itu, 21 Mei 2005.
Delisa melanjutkan belajar menggurat kaligrafi di atas
pasir di dalam ember plastik. Kak Ubai mengajarkan
mereka menulis kata-kata Ummi! Dan Delisa menggurat
"wajah" Ummi di atas pasirnya.
Sore datang menjelang. Matahari senja pelan
menghujam bumi di ujung cakrawala. Dari atas lereng bukit
ini Delisa dan teman-temannya bisa melihat matahari
tenggelam di laut Lhok Nga di kejauhan. Jingga.
Saat mereka akan pulang. Delisa ingin mencuci kedua
tangannya yang kotor oleh pasir ke sungai kecil di dekat
lapangan tersebut. Kak Ubai membiarkan saja, meskipun
anak-anak yang lain cukup mengibas-ngibaskan tangannya.
Mereka bersiap-siap pulang. Memasukkan ember-ember
plastik ke dalam mobil. Melipat tikar. Membersihkan
sampah-sampah.
Delisa sedang menuju tempat pertemuannya. Ketika
Delisa patah-patah menuruni sungai kecil tersebut. Ketika
Delisa menyibak rambut ikal pirangnya yang menutupi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dahi. Ketika ujung jemari Delisa menyentuh sejuknya air
sungai. Ketika itulah. Seekor burung belibis terbang di atas
kepalanya. Memercikkan air di mukanya. Delisa
terperanjat. Mengangkat kepalanya. Menatap burung
tersebut yang terbang menjauh. Ketika itulah, Delisa
menatap sesuatu di seberang sungai yang lebarnya hanya
berbilang dua-tiga meter tersebut. Sesuatu di seberang.
Kemilau kuning. Indah menakjubkan memantulkan
cahaya matahari senja. Sesuatu itu terjuntai. Terjuntai di
sebuah semak belukar. Semak belukar itu juga indah.
Semak belukar liar itu sedang berbuah. Buahnya kecil-kecil.
Berwarna merah-ranum. Memenuhi seluruh
permukaannya.
Delisa gementar menyeberangi sungai. Celananya basah
hingga sepaha. Delisa gentar sekali. Ya Allah! Seuntai
kalung tersangkut. Seuntai kalung yang indah. Delisa serasa
mengenalinya. Ya Allah, ada huruf D di sana.
D untuk Delisa.
Delisa terkesiap.
Tidak! Bukan karena menatap kalung tersebut. Di sana.
Di atas semak belukar yang merah oleh buahnya. Di sana!
Delisa tidak terkesiap oleh kalung tersebut!
Kalung itu bukan tersangkut di dedahanan. Tidak
tersangkut di dedaunan. Kalung itu tersangkut di tangan.
Tangan yang sudah menjadi kerangka. Sempurna kerangka
manusia. Putih. Tulang-belulang. Utuh. Bersandarkan
semak belukar tersebut.
"U-m-m-i!" Delisa jatuh terjerambab ke dalam sejuknya
air sungai. Delisa buncah oleh sejuta perasaan itu. Delisa—
Ummi....
Dan seribu malaikat yang mengungkung bukit mengucap
namaMu.... Seribu malaikat yang mengungkung bukit
melesat ke atas langit.... Kembali!
Semua urusan sudah usai.