Guru Profesional
My Name Is Abdul Hendi

Senin, 09 September 2024

Teori Belajar Behavioristik

 Teori behavioristik merupakan salah satu dari beberapa teori belajar yang ada. Seperti namanya yang berasal dari kata “behavior” yang berarti “perilaku” dalam bahasa Inggris, teori belajar ini mengedepankan perilaku sebagai indikator atau hal utama yang diperhatikan dalam proses belajar. Menariknya, teori ini juga mengatakan bahwa manusia dikendalikan oleh lingkungannya. Hal tersebut karena lingkungan dianggap menjadi stimulus, dan tingkah laku kita adalah respons terhadap stimulus tersebut.

Menurut Rohim (2016, hlm. 85) behaviorisme menggambarkan manusia sebagai makhluk yang digerakkan semuanya oleh lingkungan atau apa yang disebut dengan Homo Mecanicus. Behaviorisme pada dasarnya semua pengalaman dari pengamatan serta struktur- struktur dalam masyarakat yang pada akhirnya akan menjadi perilaku kita.

Teori ini mengasumsikan bahwa perilaku manusia dianggap seperti mesin, yang selalu berhubungan antara satu sama lainnya, manusia dianggap bersifat hedonitis, yakni selalu mencari kesenangan dan menghindari kerugian. Hampir dapat dikatakan bahwa teori ini mengatakan manusia pada dasarnya seperti robot, di mana lingkunganlah yang mengatur dan mengendalikannya.


Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa manusia hidup untuk berpikir, akan tetapi manusia hidup bukan sekedar sebagai makhluk yang berpikir (belajar), karena manusia juga berusaha untuk menentukan identitas dirinya untuk mencapai apa yang didambakannya, berdasarkan observasinya terhadap lingkungan. Namun, untuk mendalami teori behavioristik dalam teori belajar, sebaiknya kita juga mendalami pengertian teori behavioristik dari kacamata pendidikan.

Pengertian Teori Belajar Behavioristik

Teori belajar behavioristik adalah teori belajar yang fokus terhadap perubahan tingkah laku individu sebagai perolehan dari pengalaman yang diakibatkan adanya stimulus dan respons. Pengertian tersebut sejalan dengan pendapat Thobroni (2015, hlm. 55) yang mengungkapkan bahwa teori belajar behavioristik merupakan suatu teori perihal perubahan perilaku sebagai perolehan dari pengalaman.

Selanjutnya, menurut Mursyidi (2019) teori belajar behavioristik adalah teori belajar yang menekankan pada tingkah laku manusia sebagai akibat dari interaksi stimulus dan respon. Behavioristik menekankan pemahaman bahwa perilaku manusia pada dasarnya memiliki keterkaitan antara stimulus dan respons. Respon atau perilaku tertentu dapat muncul akibat adanya metode pembiasaan dan pelatihan (tindakan pendidik) yang menjadi stimulus.

Faktor terpenting dari teori ini adalah faktor penguatan. Penguatan yang dimaksud adalah pemberian stimulus positif yang dapat memancing respons yang lebih kuat. Seperti yang diungkapkan oleh Thobroni (2015, hlm. 56) apabila penguatannya (positive reinforcement) ditambah, maka respons akan bertambah kuat juga. Begitu pula sebaliknya, apabila respons dikurangi atau hilang (negative reinforcement), respon juga tidak akan bertambah kuat.

Teori Stimulus-Respons

Teori stimulus-respon mengasumsikan bahwa kata verbal (lisan dan tulisan), isyarat-isyarat nonverbal, gambar-gambar, dan tindakan-tindakan tertentu akan merangsang orang lain untuk memberikan respons dengan cara tertentu. Proses ini dianggap sebagai pertukaran atau pemindahan informasi atau gagasan. Proses ini dapat bersifat timbal balik dan mempunyai banyak efek. Setiap efek dapat mengubah tindakan komunikasi berikutnya (Verderber, dalam Effendy, 2007 ).

Oleh karena itu, dalam penerapannya, peran guru sebagai pemberi stimulus  merupakan faktor yang sangat penting. Stimulus dari pendidik diharapkan mampu menghasilkan respons dari peserta didik, sehingga mereka bisa mendapatkan perubahan perilaku sesuai dengan tujuan pembelajaran. Maksud dari perilaku atau tingkah laku dalam behavioristik adalah tingkah laku yang bisa dicermati seperti respons. Kita dapat mengamatinya ketika siswa sedang belajar, baik berupa perilaku, jawaban, pikiran, perasaan, atau aktivitas lain yang dapat diamati dan dicermati.

Tentunya, setiap stimulus dan respons harus dibuat agar bisa diamati secara langsung. Misalnya, pikiran dan perasaan tentu tidak dapat diamati secara langsung, namun demikian kita dapat meminta siswa untuk mengungkapkannya, baik secara lisan maupun dituliskan. Belajar menurut aliran behavioristik adalah pembentukan asosiasi antara kesan yang ditangkap pancaindra dengan kecenderungan untuk bertindak atau sebagai hasil dari hubungan stimulus dan respons. Dengan demikian, apa saja yang diberikan oleh guru dan apa saja yang dihasilkan oleh siswa semuanya harus dapat diamati dan diukur dengan tujuan untuk melihat terjadinya perubahan tingkah laku.

Ciri-Ciri Behavioristik

Untuk menyelami teori belajar behavioristik lebih dalam, kita dapat mengenali berbagai ciri yang menyelubungi pembelajaran behavioristik. Menurut Rusli (dalam Sumarsono dkk, 2020, hlm. 12) Teori behavioristik memiliki ciri-ciri tersendiri yang khusus dalam pembelajaran yakni:

  1. Mengutamakan faktor lingkungan;
  2. Memfokuskan tingkah laku yang terlihat melalui pemakaian metode obyektif;
  3. Perkembangan tingkah laku seseorang itu bergantung kepada bagaimana cara belajar;
  4. Penekanan pada faktor bagian (beberapa elemen dan tidak seluruhnya);
  5. Bersifat mekanis atau mengutamakan reaksi dan mekanisme “Bond”, refleks dan kebiasaan-kebiasaan;
  6. Lebih mengutamakan masa lalu atau berpikiran historis, artinya seluruh perilakunya dapat dibentuk oleh pengalaman-pengalaman dan latihan-latihan.

Kelebihan Teori Belajar Behavioristik

Tentunya, terdapat kelebihan serta kekurangan di setiap teori belajar yang ada, termasuk teori behavioristik. Menurut Abdurakhman dan Rusli (2017, hlm. 4), kelebihan dari teori behavioristik adalah sebagai berikut.

  1. Membiasakan guru agar memiliki sikap yang teliti dan lebih peka atas keadaan pembelajaran.
  2. Guru tidak terlalu sering memberikan ceramah sehingga siswa dapat terbiasa belajar secara mandiri.
  3. Dapat membentuk suatu tingkah laku yang diharapkan mendapatkan penilaian positif dan tingkah laku yang kurang pantas mendapat pengakuan negatif yang mendasar atas prilaku yang terlihat.
  4. Dengan pengulangan, pelatihan yang berkelanjutan, bisa memaksimalkan kecerdasan dan bakat yang sudah terbangun dalam diri siswa.
  5. Bahan ajar yang sudah tersusun secara terstruktur dari yang biasa hingga yang rumit dengan memiliki tujuan pembelajaran yang terpecah pada unsur-unsur kecil yang dibuktikan melalui raihan suatu keterampilan yang dapat menciptakan tingkah laku yang konsisten berkenaan suatu bidang tertentu.
  6. Mampu merubah stimulus yang satu dengan stimulus lain dan seterusnya sampai respon yang diharapkan tampak.
  7. Teori behavioristik sangat tepat untuk mendapatkan kemampuan yang memerlukan praktek dan penyesuaian yang memuat komponen kecepatan, spontanitas, dan ketahanan.
  8. Teori behavioristik sangat tepat dikenakan pada anak yang masih memerlukan pengaruh dari orang dewasa, senang mengulang dan perlu pembiasaan, senang meniru, dan senang dengan berbagai penghargaan secara langsung.

Kekurangan Teori Belajar Behavioristik

Selain kelebihan yang dijelaskan di atas, tentunya teori behavioristik juga memiliki kekurangan. Kekurangan dari teori behavioristik di antaranya adalah sebagai berikut.

  1. Menjadi sebuah konsekuensi untuk membuat bahan ajar dengan bentuk yang telah siap digunakan.
  2. Tidak semua pelajaran bisa memakai metode ini.
  3. Siswa dalam hal ini berkedudukan menjadi pendengar pada saat pembelajaran berlangsung dan mengingat apa yang di dengar dengan apa yang di pandang menjadi cara ampuh.
  4. Untuk menertibkan siswa para tokoh behavioristik memiliki metode yang paling efektif, yaitu dengan menghindari penggunaan hukuman.
  5. Siswa yang dianggap pasif, memerlukan dorongan dari luar, dan penguatan yang diberikan guru sangat berpengaruh.
  6. Siswa hanya mendengarkan dengan tertib penjelasan guru, dengan mendengarkan apa yang harus didengar dan apa yang harus dilihat menjadi sistem pembelajaran yang ampuh sehingga inisiatif siswa dalam menghadapi masalah yang timbul secara temporer tidak dapat dibereskan oleh siswa.
  7. Lebih condong dalam memfokuskan siswa dalam berpikir linier, konvergen, kurang produktif, kurang kreatif dan memperlihatkan siswa sebagai individu yang kurang aktif.
  8. Proses pembelajaran yang lebih terpusat kepada guru (teacher centered learning) memiliki sifat sistematis dan cenderung hanya kepada hasil saja yang bisa diperhatikan.
  9. Penggunaan metode yang tidak tepat pada proses pembelajaran dapat berakibat berjalannya proses pembelajaran yang tidak menyenangkan untuk siswa, guru menjadi pusat, otoriter, komunikasi berjalan searah, guru hanya melatih, dan memutuskan apa yang perlu dipelajari dan tidak perlu dipelajari oleh siswa.

Teori Belajar Humanistik

 Pada dasarnya kata “Humanistik” merupakan istilah yang memiliki banyak makna tergantung dari konteksnya. Misalnya, humanistik dalam wacana keagamaan berarti tidak percaya adanya unsur supranatural atau nilai transendental serta keyakinan manusia tentang kemajuan melalui ilmu dan penalaran. Di sisi lain, humanistik dapat berarti minat terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat ketuhanan. Sedangkan humanistik dalam tataran akademik tertuju pada pengetahuan tentang budaya manusia, seperti studi-studi klasik mengenai kebudayaan Yunani dan Roma (Qodir, 2017, hlm. 191).

Humanistik adalah aliran dalam psikologi yang muncul tahun 1950an. Adapun Humanistik memandang manusia sebagai manusia yang artinya, manusia adalah makhluk hidup dengan fitrah-fitrah tertentu. Ciri khas utama dari teori humanistik adalah berusaha untuk mengamati perilaku seseorang dari sudut si pelaku, bukan dari sudut pengamat. Sebagai makhluk hidup, manusia, dari dalam dirinya sendiri harus melangsungkan, mempertahankan, dan mengembangkan hidupnya dengan potensi-potensi yang dimilikinya (Baharuddin & Makin, 2017, hlm. 22).

Oleh karena itu, kecenderungan teori humanistis dalam belajar adalah dengan mendorong individu pembelajar menjadi mandiri dan independen. Tidak hanya seperti pada paham konstruktivisme yang ingin siswa membangun pengetahuannya sendiri saja, namun siswa sebagai manusia harus mampu mempertanggungjawabkan pembelajaran mereka sendiri pula sebagai manusia yang memang memiliki kebutuhan untuk melangsungkan, mempertahankan, dan mengembangkan hidupnya melalui potensi-potensi yang mereka miliki.

Di situlah benang merah antara teori psikologi humanistik dan belajar ditarik. Pembelajaran sejatinya merupakan hal yang harus didatangkan dan disadari dari diri sendiri, bukan malah didatangkan dari luar pembelajar. Untuk lebih jelasnya, mari kita selami teori humanistis dari sisi teori belajar pada uraian di bawah ini.

Pengertian Teori Belajar Humanistik

Pertama, teori humanistik memiliki beragam definisi yang sedikit berbeda dari beberapa ahli. Misalnya, menurut Abraham Maslow (1908-1970) manusia tergerak untuk memahami dan menerima dirinya sebisa mungkin (Arbayah, 2013, hlm. 206). Teorinya yang sangat terkenal sampai dengan hari ini adalah teori tentang Hierarchy of Needs (Hirarki Kebutuhan). Hirarki kebutuhan tersebut meliputi kebutuhan fisiologis (makan, minum), rasa aman, kasih sayang, harga diri, dan aktualisasi diri.

Dalam kacamata Maslow, dapat disimpulkan bahwa teori belajar humanistik adalah pembelajaran yang harus tergerak dari manusia yang mampu mehahami serta menerima dirinya sendiri berdasarkan kebutuhannya.

Sementara itu, menurut Carl Ransom Rogers (1902-1987), ada dua tipe belajar, yaitu kognitif (kebermaknaan) dan eksperimental (pengalaman). Sehingga dalam humanistik ala Rogers, guru perlu menghubungkan pengetahuan akademik ke dalam pengetahuan kognitif (Budi Agus Sumantri dan Nurul Ahmad, 2019:13). Rogers menegaskan, dalam pengembangan diri seorang pribadi akan berusaha keras demi aktualisasi diri (self actualisation), pemeliharaan diri (self maintenance), dan peningkatan diri (self inhancement) (Arbayah, 2013, hlm. 207).

Sehingga dalam kacamata humanistis Rogers, teori belajar humanistis adalah teori belajar yang menempatkan individu pembelajar sebagai pelaku dan sebab tujuan secara sekaligus, sehingga individu dapat mengaktualisasikan segenap potensi dirinya tidak hanya dalam bentuk yang terasing dari sebab-sebab di luar, tetapi bahkan juga dalam posisi yang mengemban tujuan dari perwujudan dirinya, dan individu ini sepenuhnya bertumpu pada dirinya sendiri dalam proses aktualisasi diri, pemeliharaan diri, dan peningkatan diri (Arbayah, 2013, hlm. 207).

Dari berbagai keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa teori pembelajaran humanistik adalah teori belajar yang tergerak dari dalam diri manusia berdasarkan keinginan dan kebutuhannya sendiri dalam berbagai proses pemenuhan, aktualisasi, pemeliharaan, hingga peningkatan diri.

Ciri-Ciri Pembelajaran Humanistik

Ciri khas teori belajar humanistik adalah berusaha untuk mengamati perilaku seseorang dari sudut si pelaku dan bukan si pengamat. Sebagai makhluk hidup, ia harus melangsungkan, mempertahankan, dan mengembangkan, hidupnya dengan potensipotensi yang dimilikinya. Oleh karena itu, pembelajaran humanistik akan memiliki ciri sebagai berikut:

  1. Pembelajaran akan merespons perasaan siswa, dan mengunakan ide-ide siswa untuk melaksanakan interaksi yang sudah direncanakan.
  2. Berdialog dan berdiskusi dengan siswa.
  3. Menghargai siswa sebagai manusia yang memiliki kebutuhan untuk pribadinya (tidak dapat digeneralisir).
  4. Memiliki kesesuaian antara perilaku dan perbuatan.
  5. Menyesuaikan isi kerangka berpikir siswa (penjelasan untuk memantapkan kebutuhan yang paling penting dari siswa).

Tujuan Belajar Humanistik

Dalam penerapannya pada pendidikan, tentunya teori belajar humanistik menelurkan tujuan yang ingin dicapai untuk memperkuat ranah ini sesuai dengan penelusurannya mengenai manusia. Tujuan dasar pendidikan Humanistik adalah mendorong siswa menjadi mandiri dan independen, mengambil tanggung jawab untuk pembelajaran mereka, menjadi kreatif dan teetarik dengan seni, dan menjadi ingin tahu tentang dunia di sekitar mereka.

Sementara itu Arthur W. Combs (1912-1999) berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa setiap memulai belajar apabila materi pelajarannya disusun dan dijadikan sebagaimana mestinya. Akan tetapi pembelajaran itu tidak bermakna bagi siswa. Sehingga yang terpenting ialah bagaimana guru membawa siswa untuk memperoleh sesuatu yang dapat diserap bagi kebutuhan pribadinya, dari materi pelajaran tersebut dan menghubungkan dengan kehidupannya.

Oleh karena itu, menurut Combs, tujuan pendidikan humanistik adalah sebagai berikut.

  1. Menerima kebutuhan-kebutuhan dan tujuan siswa serta menciptakan pengalaman dan program untuk perkembangan keunikan potensi siswa.
  2. Memudahkan aktualisasi diri siswa dan perasaan diri mampu.
  3. Memperkuat perolehan keterampilan dasar (akademik, pribadi, antar pribadi, komunikasi, dan ekonomi).
  4. Memutuskan pendidikan secara pribadi dan penerapannya.
  5. Mengenal pentingnya perasaan manusia, nilai, dan persepsi dalam proses pendidikan.
  6. Mengembangkan suasana belajar yang menantang dan bisa dimengerti, mendukung, menyenangkan, serta bebas dari ancaman.
  7. Mengembangkan siswa masalah ketulusan, respek, menghargai orang lain, dan terampil dalam menyelesaikan konflik.

Prinsip Belajar Humanistik

Sejalan dengan tujuan yang telah disampaikan di atas, prinsip-prinsip pendidikan humanistik meliputi beberapa poin di bawah ini.

  1. Siswa harus dapat memilih apa yang mereka ingin pelajari. Guru humanistik percaya bahwa siswa akan termotivasi untuk mengkaji materi bahan ajar jika terkait dengan kebutuhan dan keinginannya.
  2. Tujuan pendidikan harus mendorong keinginan siswa untuk belajar dan mengajar mereka tentang cara belajar. Siswa harus memotivasi dan merangsang diri pribadi untuk belajar sendiri.
  3. Pendidik Humanistik percaya bahwa nilai tidak relevan dan hanya evaluasi diri (self evaluation) yang bermakna. Pemeringkatan mendorong siswa belajar untuk mencapai tingkat tertentu, bukan untuk kepuasan pribadi. Selain itu, pendidik humanistik menentang tes objektif, karena mereka menguji kemampuan siswa untuk menghafal dan tidak memberi umpan balik pendidikan yang cukup kepada guru dan siswa.
  4. Pendidik Humanistik percaya bahwa, baik perasaan maupun pengetahuan, sangat penting dalam proses belajar dan tidak memisahkan domain kognitif dan afektif.
  5. Pendidik Humanistik menekankan perlunya siswa terhindar dari tekanan lingkungan, sehingga mereka akan merasa aman untuk belajar. Setelah siswa merasa aman, belajar mereka menjadi lebih mudah dan lebih bermakna (Baharuddin & Makin, 2017, hlm. 24).

Teori Belajar Konstruktivisme

 Dalam konstruktivisme, pembelajaran bukanlah proses mentransfer ilmu, namun harus dibangun (constructed) sendiri oleh peserta didik. Dengan demikian, pusat pembelajaran harus dapat dilakukan secara mandiri oleh peserta didik. Guru atau pendidik dalam konstruktivisme hanya berperan sebagai fasilitator saja. Ini sebabnya, teori belajar ini melahirkan banyak pendekatan, model, dan metode pembelajaran yang berbasis student-centered atau berpusat pada siswa.

Konstruktivisme sendiri merupakan salah satu aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan merupakan hasil konstruksi (bentukan). Dalam sudut pandang konstruktivisme, pengetahuan merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif dari kenyataan yang terjadi melalui aktivitas seseorang.

Konstruktivisme ingin memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk belajar menemukan sendiri kompetensi dan pengetahuannya, guna mengembangkan kemampuan yang sudah ada pada dirinya. Dalam proses belajar mengajar, guru tidak hanya memindahkan pengetahuan kepada peserta didik dalam bentuk yang sempurna.

Dengan kata lain, peserta didik harus membangun suatu pengetahuan itu berdasarkan pengalamannya masing-masing. Lalu bagaimana aplikasinya dalam dunia pendidikan? Seperti apa prinsip yang diusung, dan bagaimana kita membedakan teori belajar ini dari teori belajar lainnya? Berikut adalah berbagai uraian yang akan menjawab berbagai pertanyaan tersebut.

Pengertian Teori Belajar Konstruktivisme

Konstruktivisme adalah teori belajar yang mengusung pembangunan kompetensi, pengetahuan, atau keterampilan secara mandiri oleh peserta didik yang difasilitasi oleh pendidik melalui berbagai rancangan pembelajaran dan tindakan yang diperlukan untuk menghasilkan perubahan yang dibutuhkan pada peserta didik.

Menurut Thobroni & Mustofa (2015, hlm. 107) Teori konstruktivisme memberikan keaktifan terhadap manusia untuk belajar menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan atau teknologi, dan hal lain yang diperlukan guna mengembangkan dirinya. Artinya, belajar dalam pandangan konstruktivisme betul-betul menjadi usaha aktif individu dalam mengonstruksi makna tentang sesuatu yang dipelajari.

Sementara itu, Yaumi & Hum (2017, hlm. 42) meungungkapkan bahwa konstruktivisme mengasumsikan bahwa siswa datang ke ruang kelas dengan membawa ide-ide, keyakinan, dan pandangan yang perlu diubah atau dimodifikasi oleh seorang guru yang memfasilitasi perubahan ini, dengan merancang tugas dan pertanyaan yang menantang seperti membuat dilema untuk diselesaikan oleh peserta didik.

Dalam hal ini, meskipun guru tidak melakukan transfer ilmu, guru harus tetap melakukan tindakan-tindakan yang akan memfasilitasi terbangunnya perubahan positif terhadap pada siswa. Sehingga siswa dapat membangun suatu pengetahuan, keterampilan, atau afeksi positif yang sesuai dengan tujuan pembelajaran.

Selanjutnya, Mudlofir & Fatimatur (2017, hlm. 12-13) menjelaskan bahwa dalam konstruktivisme, belajar lebih diarahkan pada experimental learning, yaitu adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkret di laboratorium, diskusi dengan teman sekelas, yang kemudian dikontemplasikan dan dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Oleh karena itu, aksentuasi dari mendidik dan mengajar tidak terfokus pada si pendidik melainkan pada pembelajar. Pembelajaran menurut teori belajar konstruktivistik lebih menekankan kepada proses dalam pembelajaran.

Berdasarkan keterangan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa konstruktivisme adalah teori belajar yang memberikan kebebasan kepada siswa untuk aktif belajar menemukan sendiri kompetensi dan pengetahuannya guna mengembangkan kemampuan yang sudah ada pada dirinya untuk diubah atau dimodifikasi oleh guru yang memfasilitasi, dengan merancang berbagai tugas, pertanyaan, atau tindakan lain yang memancing rasa penasaran siswa untuk menyelesaikannya.

Proses Mengonstruksi

Menurut Piaget (Dahar, 2011: 159) secara garis besar penekanan teori konstruktivisme terletak pada proses untuk menemukan sebuah teori atau pengetahuan yang ditemukan dan dibangun atas realita dilapangan. Singkatnya, proses mengonstruksi adalah yang utama. Proses mengkonstruksi sendiri, sebagaimana dijelaskan oleh Jean Piaget adalah sebagai berikut.

  1. Skemata, merupakan sekumpulan konsep yang digunakan untuk berinteraksi dengan lingkungan.
  2. Asimilasi, merupakam proses dimana seseorang menginterpretasikan dan mengintegrasikan persepsi.
  3. Akomodasi, merupakan proses sesorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang dimilikinya.
  4. Keseimbangan, merupakan dimana terjadinya proses Ekuilibrasi (keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi) dan diskuilibrasi (tidak seimbangnya antara asimilasi dengan akomodasi).

Tujuan Konstruktivisme

Perubahan menjadi suatu keharusan dalam proses belajar, terutama dalam hal konsep. Perubahan tersebut berupa asimilasi untuk tahap pertama dan tahap kedua yang disebut akomodasi. Dengan asimilasi, siswa menggunakan konsep-konsep yang telah mereka miliki untuk berhadapan dengan fenomena baru. Sementara dengan akomodasi siswa mengubah konsepnya yang sudah tidak cocok dengan fenomena baru yang muncul. Jadi, perubahan tetap menjadi tujuan utama bahkan dalam ranah teori konstruktivisme sekali pun.

Selanjutnya, menurut Thobroni (2017, hlm. 95) tujuan teori konstruktivisme adalah sebagai berikut.

  1. Mengembangkan Kemampuan siswa untuk mengajukan pertanyaan dan mencari sendiri pertanyaan.
  2. Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian pemahaman konsep secara lengkap.
  3. Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri, lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.

Ciri-Ciri Pembelajaran Konstruktivisme

Ciri-ciri pembelajaran yang menerapkan teori kontruktivisme adalah sebagai berikut.

  1. Memberi kesempatan kepada murid membina pengetahuan baru melalui penglibatan dalam dunia sebenar
  2. Menggalakkan ide/gagasan yang dimulai oleh murid dan menggunakannya sebagai panduan merancang pengajaran.
  3. Menyokong pembelajaran secara koperatif Menampilkan sikap dan pembawaan murid d. Menampilkan bagaimana murid belajar sesuatu ide.
  4. Menggalangkan dan menerima daya usaha murid.
  5. Menggalangkan murid bertanya dan berdialog dengan murid dan guru.
  6. Menganggap pembelajaran sebagai suatu proses yang sama penting dengan hasil pembelajaran.
  7. Menggalangkan proses inkuiri murid melalui kajian dan eksperimen.

Selanjutnya, berdasarkan pendapat Suderadjat (dalam Sutadi, 2007, hlm. 133), pembelajaran kontruktivisme mempunyai sejumlah ciri-ciri sebagai berikut.

  1. Cara atas-bawah ialah peserta didik dimulai dengan pelatihan mengatasi permasalahan yang saling berhubungan selama digali jalan keluarnya dan dibantu pendidik untuk diselesaikan mengikuti implementasi (KD) yang dipakai.
  2. Pembelajaran cooperative learning, bentuk konstruktivisme menerapkan pelatihan cooperative. Dengan begitu, peserta didik mampu menguasai konsepsi yang sukar didiskusikan dengan kelompoknya.
  3. Pembelajaran generatif dipakai untuk strategi konsruktivisme. Pendekatan ini memberi tahu bahwa peserta didik di tuntut untuk menggunakan pendekatan secara khusus supaya menyelesaikan peranan intelektual dengan menunjang arahan terbaru.
  4. Pembelajaran lewat cara menemukan. Peserta didik diharap melakukan pelatihan secara bersungguh-sungguh, mandiri, dan melaksanakan setiap teknik keterampilan konsepsi supaya pelajar mampu mendapatkan rancangan terbaru.
  5. Pembelajaran lewat pengaruh karakter. Strategi konstruktivisme memiliki pandangan bahwa peserta didik merupakan wujud yang idealis, maksudnya pribadi yang dapat mengontrol perasaannya.
  6. Scaffolding didasari teknik Vygotsky mengenai pelatihan dengan bimbingan pendidik.

Karakteristik Pembelajaran Konstruktivisme

Sementara itu,  Driver and Bell (dalam Suyono & Hariyanto, 2014, hlm. 106) mengemukakan bahwa karakteristik pembelajaran konstruktivisme sebagai berikut.

  1. siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan,
  2. belajar harus mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa,
  3. pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar, melainkan dikonstruksi secara personal,
  4. pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi lingkungan belajar,
  5. kurikulum bukanlah sekadar hal yang dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi dan sumber.

Kelebihan Konstruktivisme

Menurut Riyanto (2010, hlm. 157) kelebihan konstruktivisme antara lain adalah sebagai berikut.

  1. Memotivasi peserta didik bahwa belajar adalah tanggung jawab peserta didik itu sendiri guna mendapatkan ilmu pengetahuan dan wawasan baru.
  2. Mengembangkan potensi kemampuan peserta didik untuk mengajukan pertanyaan dan mencari jawabannya sendiri.
  3. Membantu peserta didik untuk mengembangkan potensi mengenai pengertian atau pemahaman konsep secara menyeluruh dan lengkap.
  4. Mengembangkan potensi kemampuan peserta didik untuk menjadi pemikir yang mandiri dan kreatif.

Kelemahan Pendekatan Konstruktivisme

Selanjutnya, masih menurut Riyanto (2010, hlm. 157) kelemahan dari pendekatan konstruktivisme adalah sebagai berikut.

  1. Sukar mengalihkan pendekatan kuno yang sudah diajarkan dengan kurun waktu lama oleh pendidik. Dengan begitu, pendidik yang menggunakan pendekatan konstruktivisme dituntut untuk lebih kreatif dalam perannya sebagai pendidik.
  2. Pemilihan media dalam pembelajaran.
  3. Pendidik, peserta didik, dan orangtua pasti mengutamakan penyesuaian pembelajaran dengan metode terbaru. Dengan begitu, simpulan yang didapat bahwa pelatihan mengarahkan pada konsep konstruktivisme dengan menitikberatkan keaktifan peserta didik untuk merefleksi pengetahuan mereka sendiri.

Prinsip Konstruktivisme

Terdapat sejumlah prinsip-prinsip yang dapat memandu penerapan konstruktivisme. Menurut Suyono & Hariyanto (2014, hlm. 107) prinsip-prinsip konstruktivisme adalah sebagai berikut.

  1. Belajar merupakan pencarian makna. Oleh sebab itu pembelajaran harus dimulai dengan isu-isu yang mengakomodasi siswa untuk secara aktif mengkonstruk makna.
  2. Pemaknaan memerlukan pemahaman bahwa keseluruhan (wholes) itu sama pentingnya seperti bagian-bagiannya. Sedangkan bagian – bagian harus dipahami dalam konteks keseluruhan. Oleh karenanya, proses pembelajaran berfokus terutama pada konsep – konsep primer dan bukan kepada fakta – fakta yang terpisah.
  3. Supaya dapat mengajar dengan baik, guru harus memahami model – model mental yang dipergunakan siswa terkait bagaimana cara pandang mereka tentang dunia serta asumsi – asumsi yang disusun yang menunjang model mental tersebut.
  4. Tujuan pembelajaran adalah bagaimana setiap individu mengkonstruksi makna, tidak sekadar mengingat jawaban apa yang benar dan menolak makna milik orang lain. Karena pendidikan pada fitrahnya memang antardisiplin, satu – satunya cara yang meyakinkan untuk mengukur hasil pembelajaran adalah melakukan penilaian terhadap bagian – bagian dari proses pembelajaran, menjamin bahwa setiap siswa akan memperoleh informasi tentang kualitas pembelajarannya.

Minggu, 08 September 2024

Teori kognitif

 

Teori kognitif

 

Teori kognitif memandang kegiatan belajar bukanlah sekadar stimulus dan respons yang bersifat mekanistik, tetapi lebih dari itu, kegiatan belajar juga melibatkan kegiatan mental yang ada di dalam diri individu yang sedang belajar. Karena itu, menurut aliran kognitif, belajar adalah sebuah proses mental yang aktif untuk mencapai, mengingat, dan menggunakan pengetahuan.

Teori kognitif juga menekankan bahwa bagian-bagian dari suatu situasi berhubungan dengan seluruh konteks situasi tersebut. Artinya, memisah-misah atau membagi-bagi materi pelajaran menjadi komponen-komponen kecil dan mempelajarinya secara terpisah-pisah akan menghilangkan makna utuh dari pembelajaran.

Kognitif (cognition) diartikan sebagai aktivitas mengetahui, perolehan, mengorganisasikan, dan menggunakan pengetahuan. Teori ini dikemukakan oleh Jean Piaget yang memandang individu sebagai struktur kognitif, peta mental, skema atau jaringan konsep guna memahami dan menanggapi pengalamannya berinteraksi dengan lingkungan.

Pengertian Teori Belajar Kognitif

Kognitif berasal dari kata cognition, yang memilki persamaan dengan knowing, yang berarti mengetahui. Kognitif merupakan kemampuan berpikir yang dimiliki seorang individu untuk memahami keterampilan dan konsep baru, maupun untuk menyelesaikan permasalahan yang ada di sekitarnya. Setiap individu memiliki tingkat kemampuan kognitif yang berbeda-beda. Menurut pandangan teori ini, tingkah laku seseorang sangat ditentukan oleh pemahamannya terhadap situasi yang berkaitan dengan tujuan.

Dapat disimpulkan bahwa teori belajar kognitif adalah teori belajar yang lebih menekankan pada suatu proses yang terjadi dalam akal pikiran manusia secara utuh dalam semua situasi dan kondisi pembelajaran yang sedang dilakukan.

Sementara itu Al-Hasan (2012, hlm. 10) mengemukakan bahwa kemampuan kognitif adalah kemampuan untuk berpikir secara lebih kompleks dan melakukan penalaran serta pemecahan masalah. Semakin berkembangnya kemampuan kognitif maka akan mempermudah seseorang untuk menguasai pengetahuan umum yang lebih luas.

Sehingga dapat dikatakan bahwa teori belajar kognitif adalah teori belajar yang ingin menekankan kemampuan berpikir lebih kompleks serta melakukan pemecahan masalah dibandingkan dengan hanya sekedar menguasai pengetahuan umum lewat hafalan atau latihan saja.

Namun demikian, ihwal kognitif ini adalah teori yang banyak diperdebatkan sepanjang masa. Beberapa tokohnya, termasuk Piaget memiliki sudut pandang yang sedikit berbeda. Hal ini penting untuk diketahui dalam memaksimalkan pemahaman mengenai teori kognitif. Oleh karena itu, berikut adalah teori belajar kognitif versi Piaget yang merupakan salah satu pelopor dari aliran ini.

Teori Belajar Kognitif menurut Piaget

Jean Piaget merupakan psikolog Swiss (1896-1980) yang ahli dalam perkembangan kognitif di abad ke dua puluh. Teorinya banyak dirujuk dalam dunia pendidikan, terutama mengenai teori belajar kognitif. Djiwandono (2018, hlm. 72-73) mengungkapkan bahwa perkembangan kognitif menurut Piaget dibedakan menjadi 4 tahapan perkembangan, yaitu sebagai berikut.

1.      Sensory-motor, usia 0 – 2 tahun.
Kemampuan pada tahap sensomotorik merujuk pada konsep permanensi objek, yaitu kecakapan psikis untuk mengerti bahwa suatu objek masih tetap ada.

2.      Praoperasional, usia 2 – 7 tahun.
Kemampuan menggunakan simbol-simbol yang menggambarkan objek yang ada di sekitarnya. Cara berfikirnya masih egosentris dan terpusat.

3.      Concrete Operational, usia 7 – 11 tahun
Mampu berpikir dengan logis dan konkret. Memperhatikan lebih dari satu dimensi dan juga dapat menghubungkan antar dimensi. Kurang egosentris dan belum bisa berpikir abstrak.

4.      Formal Operational, usia remaja – dewasa.
Mampu berpikir secara abstrak dan dapat menganalisis masalah secara ilmiah hingga kemudian menyelesaikan masalah.

Piaget berpandangan bahwa perkembangan kognitif adalah suatu proses yang didasarkan atas mekanisme biologis perkembangan sistem saraf seorang individu. Piaget juga berpendapat bahwa pengetahuan sebagai hasil belajar berasal dari dalam individu. Teori Piaget mengemukakan bahwa proses pengamatan seseorang terhadap lingkungan atau adaptasi terhadap lingkungan dilakukan melalui proses asimilasi dan proses akomodasi (Trianto, 2019, hlm. 70).

Proses asimilasi dan akomodasi ini sering juga disebut dengan proses adaptasi. Melalui kedua proses tersebut, seorang anak akan mengalami perubahan-perubahan dalam dirinya yang disebabkan oleh adanya proses berpikir. Perubahan-perubahan tersebut akan terus berlangsung dan berkelanjutan hingga akhirnya terjadi ekuilibrium (keseimbangan).

Selama proses pembelajaran sedang berlangsung, siswa akan terus melakukan proses asimilasi dan akomodasi hingga pengetahuan yang dimilikinya akan bertambah ataupun berubah. Kriteria proses asimilasi dan proses akomodasi teori Jean Piaget akan diuraikan dalam tabel di bawah ini.

Proses Berpikir

Keterangan/Indikator

Asimilasi

  1. Jika siswa mempunyai pengalaman yang sama ataupun hampir sama dengan perintah yang diberikan.
  2. Siswa menyesuaikan pengalaman-pengalaman baru yang diperolehnya untuk disesuaikan dengan struktur skema yang ada dalam dirinya.

Akomodasi

  1. Jika pengalaman siswa tidak sesuai dengan perintah yang diberikan.
  2. Siswa menyesuaikan skema yang ada dalam dirinya dengan fakta-fakta baru yang diperoleh melalui pengalaman dari lingkungan sekitarnya.

Ekuilibrium

  1. Siswa mempunyai pengalaman yang sama dengan perintah yang diberikan.
  2. Siswa menyesuaikan skema yang ada dalam dirinya dengan fakta-fakta baru yang telah diperolehnya melalui pengalaman dari lingkungannya.

Sumber: Trianto (2019, hlm. 71)

Ciri Belajar Kognitif

Melalui pemaparan teori kognitif Piaget di atas, kita dapat menarik implikasi-implikasi dasar yang dapat menjadi ciri belajar kognitif. Beberapa ciri tersebut adalah sebagai berikut.

1.      Memusatkan perhatian pada berpikir atau proses mental anak, tidak sekedar pada hasilnya.
Di samping kebenaran jawaban siswa, guru harus memahami proses yang digunakan anak sehingga sampai pada jawaban tersebut. Pengamatan belajar yang sesuai dikembangkan dengan memperhatikan tahap kognitif siswa, dan jika guru penuh perhatian terhadap metode yang digunakan siswa untuk sampai pada kesimpulan tertentu, barulah guru dapat dikatakan berada dalam posisi memberikan pengalaman sesuai yang dimaksud.

2.      Mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatan aktif dalam kegiatan belajar.
Dalam kelas, Piaget menekankan pengajaran pengetahuan jadi (ready made knowledge) tidak mendapat penekanan, melainkan anak didorong menemukan sendiri pengetahuan itu (discovery) melalui interaksi spontan dengan lingkungannya. Oleh karena itu guru dituntut mempersiapkan berbagai kegiatan secara langsung dengan dunia fisik.

3.      Memaklumi akan adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan perkembangan.
Teori Piaget mengasumsikan bahwa seluruh siswa tumbuh melewati urutan perkembangan yang sama, namun pertumbuhan itu berlangsung pada kecepatan yang berbeda. Sebab itu guru mampu melakukan upaya untuk mengatur kegiatan kelas dalam bentuk kelompok kecil dari pada bentuk kelas yang utuh (Trianto, 2019, hlm. 18).

Prinsip Kognitivisme

Teori belajar kognitif telah banyak digunakan sebagai dasar dalam melaksanakan proses pembelajaran berdasarkan prinsip-prinsipnya. Menurut Hartley dan Davies (dalam Daryanto & Rachmawati, 2015, hlm. 67-68) prinsip-prinsip kognitivisme adalah sebagai berikut.

1.      Peserta didik akan lebih mampu mengingat dan memahami sesuatu apabila pelajaran tersebut disusun berdasarkan pola dan logika tertentu.

2.      Penyusunan materi pelajaran harus dari yang sifatnya sederhana ke materi yang sifatnya lebih rumit.

3.      Belajar dengan memahami akan lebih baik dibanding menghapal tanpa pengertian.

4.      Perbedaan individu pada setiap peserta didik haus diperhatikan karena sangat mempengaruhi proses belajar.

Jenis Pengetahuan Kognitif

Menurut pendekatan kognitif, unsur penting dalam proses pembelajaran adalah pengetahuan yang dimiliki individu itu sendiri sesuai dengan situasi belajarnya. Tentunya situasi belajar ini juga ditentukan oleh jenis pengetahuan yang sedang dipelajari. Menurut  (Suyono & Hariyanto, 2016, hlm. 75) perspektif pengetahuan kognitif terbagi menjadi tiga berdasarkan jenis-jenisnya, yakni sebagai berikut.

1.      Pengetahuan deklaratif,
adalah pengetahuan yang dapat dinyatakan dalam bentuk kata atau disebut pula pengetahuan konseptual. Pengetahuan deklaratif jangkauannya luas, dapat berupa fakta, konsep, generalisasi, pengalaman pribadi atau tentang hukum dan aturan.

2.      Pengetahuan prosedural,
adalah pengetahuan tentang langkah-langkah atau proses-proses yang harus dilakukan atau pengetahuan tentang bagaimana untuk melakukan sesuatu. Pengetahuan ini dicirikan oleh adanya praktik dari suatu konsep.

3.      Pengetahuan kondisional,
adalah pengetahuan tentang kapan dan mengapa suatu pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural digunakan. Pengetahuan ini dianggap sangat penting karena menentukan kapan penggunaan konsep dan prosedur yang tepat dalam pemecahan masalah.

 

PTK PRASIKLUS

    UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MELALUI METODE MAKE A MATCH MATERI INDAHNYA SALING MENGHARGAI DALAM KERAGAMAN PADA SISWA K...