PENDALAMAN MATERI
(ANALISIS BAHAN AJAR MATERI DOSEN)
Nama : ABDUL HENDI, S.Pd.I
Kelas : A K1 20241
Modul : Struktur Keilmuan PAI
Tugas : Analisis Bahan Ajar Jurnal 1
Dosen Pengampuh : Prof. Dr. Amilda,MA
1. 3 Konsep Beserta Diskripsinya
A. Pendidikan Agama Islam Islam
Pendidikan agama islam sangat menghargai orang yang berilmu atau berpengetahuan. Allah mengangkat derajat atau memberi kemuliaan kepada orang yang berilmu. Firman Allah swt yang artinya: “Niscaya Allah akan meninggikan orang orang yang berilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Q. S. Al-Mujadalah (58): 11). Ayat ini mengandung makna bahwa setiap umat Islam harus selalu mengembangkan ilmu pengetahuan secara terus menerus sehingga umat Islam memiliki derajat atau kemuliaan secara optimal. Para pemikir atau ilmuwan muslim berpendapat tentang pentingnya belajar atau mengembangkan ilmu pengetahuan sebagai berikut:
A Ilyas Ismail dalam buku True Islam) Memahami apa itu pendidikan Agama Islam akan lebih jelas jika terlebih dahulu dilihat dari perspektif epistimologi. Secara umum epistimologi terdiri dari dua kata yaitu epestem yang berarti pengetahuan dan logos yang bermakna ilmu. Menurut bahasa Inggris epistimologi berarti theory of knowledge (teori tentang pengetahuan) sedangkan dalam bahasa Arab disebut dengan istilah nazhariyyat al ma’rifah (teori tentang pengetahuan).menerus sehingga umat Islam memiliki derajat atau kemuliaan secara optimal. Para pemikir atau ilmuwan muslim berpendapat tentang pentingnya belajar atau mengembangkan ilmu pengetahuan sebagai berikut:
a. Ibn Abd al Barr: “Kamu akan menjadi orang yang pandai (‘alim) selagi kamu menjadi pembelajar (muta’allim). Jikalau kamu tidak belajar lagi, maka pastilah kamu menjadi orang yang bodoh.”
b. Imam Malik: “Tidak sepantasnya, bagi orang yang memiliki ilmu pengetahuan kemudian mereka berhenti melajar atau mengembangkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Maka dia akan sia sia hidupnya.”
c. Abdullah Ibn al Mubarak: “Ketika ditanya: sampai kapan tuan harus belajar? Jawabnya” sampai mati, karena boleh jadi ada pengetahuan yang sangat penting di dunia ini yang belum sempat saya catat atau peroleh.” d. Abu Amr ibn ‘Ala: “Kepadanya ditanya: sampai kapan seseorang sebaiknya belajar? Jawabnya: sampai kehidupan ini menjadi baik karena berkat kemajuan ilmu pengetahuan.” (lebih lanjut baca: A Ilyas Ismail dalam buku True Islam) Memahami apa itu pendidikan Agama Islam akan lebih jelas jika terlebih dahulu dilihat dari perspektif epistimologi. Secara umum epistimologi terdiri dari dua kata yaitu epestem yang berarti pengetahuan dan logos yang bermakna ilmu. Menurut bahasa Inggris epistimologi berarti theory of knowledge (teori tentang pengetahuan) sedangkan dalam bahasa Arab disebut dengan istilah nazhariyyat al ma’rifah (teori tentang pengetahuan).
Terminologi tentang pendidikan atau pembelajaran menurut kaca mata Islam dimulai dari lima ayat pertama kali turun yang artinya: “Bacalah dengan menyebut nama tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah dan Tuhanmulah Yang Mahamulia, Yang mengajarkan manausia dengan pena, Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahui.” (Q. S. Al-Alaq (96): 1-5). Ayat tersebut mengandung pelajaran atau makna bahwa Allah memerintahkan kepada manusia membaca (mempelajari, meneliti, menganalisis dan lain sebagainya) dari apa saja yang diciptakan baik dari peristiwa yang tersurat (qauliyah) maupun realitas yang tersirat yaitu fenomena yang ada di dunia. Membaca atau mempelajari semua fenomen yang ada didunia ini harus diawali dari kesadaran adanya kehadiran sang pencipta (Tuhan), sehingga apa yang dipelajari selalu memperhatikan etika atau norma yang diatur dalam agama. (lebih detail baca Al-Quran dan tafsirnya : Kementerian Agama RI tahun 2012)
Obyek atau kajian pendidikan agama Islam memiliki perbedaan dengan pendidikan selain PAI. Pendidikan atau pengetahuan Barat berasal dari falsafah atau cara fikir Aristoteles, bahwa ilmu pengetahuan itu bersumber dari empiris dan rasio (akal). Kebenaran adalah apa yang dapat dilihat dan sesuai dengan rasio manusia. Aristoteles memiliki prinsip “ Nihil est in intellectu Nisi Prius In Sense”, artinya tidak ada sesuatu yang ada di akal manusia selain yang terlebih dahulu diindera atau dilihat atau dirasakan”. (Dony Gaharal dalam Pemikiran Aristoteles). Obyek kajian Pendidikan Islam adalah apa yang dilihat/ dirasakan (empiris), apa yang dapat di rasio dan apa yang diyakini. Obyek pendidikan Islam minimal ada tiga hal yaitu akal, empiris dan keyakinan. Ada tiga hal atau potensi yang dimiliki setiap manusia dan potesi itu akan bisa dikembangkan untuk mewujudkn kualitas kehidupan manusia. Tiga hal atau potensi itu adalah (a) nafsu: yang mengarah kepada jiwa atau semangat manusua untuk mencari keuntungan
(b) Akal rasio: akan mengarah kepada karakter atau semangat untuk melahirkan jiwa kebijaksanaan atau kedewasaan.
(c) Jiwa/roh/keyakinan: akan mengarah kepada kehormatan bagi manausia.
Pendidikan Agama Islam mengarahkan kepada tiga hal ini dan berusaha secara optimal untuk mengoptimalkan rasio dan jiwa atau roh, sehingga manusia atau umat Islam memiliki kebijaksanaan dan kehormatan secara maksimal. Inilah letak perbedaannya pendidikan agama Islam dengan ilmu lainnya.
Metode pendidikan agama Islam sedikitnya ada tiga macam yaitu; pertama, metode bayani, yaitu metode berfikir atau pengembangan ilmu yang bersifat tekstualis. Kedua, metode Irfani, yaitu cara berfikir atau pengembangan ilmu pengetahuan yang didasarkan kepada intuisi atau spiritual. Ketiga, Burhani yaitu cara pengembangan ilmu pengetahuan yang didasarkan kepada kekuatan akal pikiran atau rasional. Pendidikan Agama Islam meliputi semua pengetahuan, pengalaman dan realitas yang terjadi di alam raya ini, mulai dari bagaimana memahami atau memaknai, sampai bagaimana memfungsikan apa yang ada di bumi ini untuk kemashlahatan atau kemanfaatan bagi manusia. Pendidikan agama Islam berada di atas pendidikan lainnya, karena pendidikan Islam mewarnai, mengilhami atau memberi inspirasi ilmu-ilmu lainnya seperti ilmu sosiologi, psikologi, manajemen, kewarganegaraan, kependudukan, politik, fisika, biologi, matematika, musik, olahraga dan lainnya.
B. Problem Keilmuan
Secara umum problem diartikan adanya kesenjangan atau perbedaan antara apa yang diidealkan (diinginkan) dengan apa yang dirasakan (dialami). Problem tidak selamanya bersifat negative dan problem tidak semua destruktif. Problem merupakan sebuah keniscayaan bagi setiap manusia yang hidup di dunia. Problem ada yang menyamakan dengan konflik, sehingga lahir sebuah teori atau manajemen yang disebut teori konflik atau manajemen konflik. Lawan dari teori konfik adalah teori struktural fungsional. Kedua teori tersebut memiliki cara pandang berlawanan dalam memahami eksistensi atau karakter manusia. Teori konflik memandang bahwa manusia memiliki kecenderungan melakukan kesalahan atau pelanggaran sehingga berimplikasi kepada pentingnya menyusun aturan atau norma untuk mengikat sikap dan perilaku manusia. Sementara teori struktural fungsionalmemandang manusia pada hakikatnya ingin berbuat jujur, baik, lurus dan tidak melanggar. Oleh sebab itu, aturan atau regulasi yang ada hanya untuk mengikat dan memaksa manusia sehingga tidak akan menimbulkan sikap dan perilaku yang menyimpang. Problem keilmuan juga bisa disandingkan dengan konflik keilmuan. PAI dari aspek keilmuan memiliki keunikan yang harus dijelaskan kepada publik. Dimanapun eksistensi PAI pertama dan utama dipertanyakan adalah tentang aspek dikotomi keilmuan. Sampai hari ini, persoalan dikotomi ilmu masih menjadi perdebatan panjang yang belum mencapai ujung kesepakatannya. Menurut penulis, persoalan dikotomi ilmu dalam Islam tidak akan pernah selesai atau mencapai kesepakatan. Pendidikan Islam akan selalu di”gugat” tentang dikotomi, hal ini akan sangat terlihat pada saat lembaga pendidikan agama Islam semacam STAIN, IAIN dan UIN mengajukan gagasan atau program studi baru tentang manajemen pendidikan, ekonomi Islam, politik Islam, selalu dipertanyakan apa perbedaan program studi yang akan diajukan di STAIN, IAIN dan UIN dibanding dengan universitas umum semacam UI, UGM atau UNDIP.
Persoalan-persoalan yang jelas-jelas menyangkut tentang perintah agama Islam saja belum mampu dioptimalkan atau dijawab, seperti bagaimana rumusan keilmuan untuk mengelola pengoptimalan pengelolaan shodaqah, zakat yang dikeluarkan secara rutin oleh umat Islam, bagaimana rumusan keilmuan implementasi pajak dan zakat, umat Islam yang sudah membayar pajak secara otomatis dianggap sudah mengeluarkan zakat atau belum, bagaimana format atau struktur keilmuan yang tepat yang mampu mempengaruhi sikap dan kesadaran umat islam secara optimal dalam menyesuaikan antara kesadaran pengetahuan, kesadaran keyakinan dan kesadaran melaksanakan atau menjalankan.
C. Problem Kultural
Problem lain yang dialami oleh umat Islam adalah problem kultural yaitu belum adanya kesadaran yang dapat dilaksanakan secara optimal. Manusia setidaknaya memiliki tiga kesadaran, yaitu
(a) kesadaran untuk mengetahui
(b) kesadaran untuk meyakini dan
(c) kesadaran untuk melaksanakan atau menjalankan.
Setiap umat Islam jika ditanya apakah mengetahui bahwa Islam mengajarkan menjaga lingkungan dan kebersihan, pasti jawabnya mengetahui. Jika ditanya lagi apakah meyakini bahwa manusia yang merusak lingkungan, dan tidak menjaga kebersihan itu termasuk melanggar perintah agama, pasti jawabnya juga meyakini. Umat Islam memiliki kesadaran meengetahui dan kesadaran meyakini tentang pentingnya melestarikan lingkungan dan menjaga kebersihan, namun mengapa umat Islam belum mampu melaksanakan apa yang diketahui dan diyakini. Umat Islam tanpa berdosa melakukan perusakan lingkungan dan membuang sampah sembarangan. Di negara-negara yang penduduknya mayoritas Islam, justru kerusakan lingkungan sangat besar, sementara di negara-negara yang penduduknya mayoritas tidak beragama Islam malah relatif kecil kerusakan lingkungan dan termasuk kebersihan lingkungannya. Persoalan politik atau tatanan pemerintahan di berbagai negara yang penduduknya beragama Islam juga masih belum mapan atau sering dilanda konflik politik yang berkepanjangan, seperti negara-negara di Timur Tengah yang sampai sekarang belum mampu menyusun konsep pengelolaan negara secara tepat. dan memberi kemaslahatan bagi warganya. Negara-negara Barat yang tidak memiliki keyakinan kepada Alquran dan hadis justru tata kehidupan politik kenegaraannya relatif lebih baik dibanding negara-negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam.
kontekstualisasi atas pemaparan materi dalam bahan ajar dengan realitas social
setelah membaca jurnal di atas terdapat kontekstulaisasi pada bahan ajar tersebut adalah pendidikan agama islam belum mampu merumuskan postur keilmuan yang bisa menjawab problem tersebut dan Problem keilmuan juga bisa disandingkan dengan konflik keilmuan. PAI dari aspek keilmuan memiliki keunikan yang harus dijelaskan kepada publik. Dimanapun eksistensi PAI pertama dan utama dipertanyakan adalah tentang aspek dikotomi keilmuan. Sampai hari ini, persoalan dikotomi ilmu masih menjadi perdebatan panjang yang belum mencapai ujung kesepakatannya.
Merefleksikan hasil kontekstualisasi materi bahan ajar dalam pembelajaran bermakna
Islam belum mampu merumuskan postur keilmuan yang bisa menjawab problem tersebut. Hal ini disebabkan oleh salah satu aspek yaitu karena lembaga pendidikan Islam atau ilmu agama Islam terlalu sibuk melakukan perdebatan epistimologis sehingga tidak optimal dalam melakukan rumusan ilmu yang memiliki manfaat untuk umat Islam khususnya dan masyarakat pada umumnya. Problem epistimologi di lingkungan pendidikan Islam merupakan sebuah keniscayaan, tidak mungkin dihilangkan namun juga jangan sampai terlalu disibukkan dengan perdebatan epistimologi dan dikotomi. sehingga dapat menyebabkan terjadinya komunikasi yang tidak sesuai dengan pemerintahan
Sumber :
A Ilyas Ismail, True Islam, (Jakarta: Mitra Wcana Media, 2013), hlm. 32.
Amin Abdullah, Desain Pengembangan Akademik IAIN Menuju UIN Sunan Kalijaga : Dari Pendekatan Dikhotomik-Atomistik ke arah integrative Multidiciplinary, (Bandung: Mizan, 2005), hlm. 56.
Adian, Dony Gahral, Pemikiran Aristoteles, Jakarta: Poliyama Widyapustaka, 2003. Al-Attas, Muh Naquib, Islam and Secularism, Malaysia: ISTAC, 2003.
Ali, Mohamamd Daud, Pendidikan Agama Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998. Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia, 2004.
Husain, Adian, Filsafat Ilmu: Perspektif Barat dan Islam, Depok Jawa Barat: Gema Insani, 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar